"Sudahlah. Sesuai wasiat ibumu. Kau bisa mengambil perusahaan Zurra jika sudah menikah. Jadi jangan putus dari Bei jika ingin mengambil alih perusahaan."
Gea membuka tasnya dan memperlihatkan buku nikah. "Aku sudah menikah." Sontak Sinta berdiri dan merampas buku nikah itu. Ia membuka buku itu dan sesaat terkejut ketika melihat nama suami kakaknya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum kemenangan. "Kakak tak perlu membuat buku nikah palsu hanya karena ingin putus dengan Kak Bei." Gea merangsek maju dan mengambil buku nikahnya. "Kamu lupa aku putus dengan Bei karena trik norakmu." "Mengapa kau selalu mengintimidasi adikmu?" sela Malika sambil mengelus dada Lyman. "Menginditimasi? Heh." "Pa, lihat putrimu! Dia semakin melonjak," adu Malika. "Gea, apa kau tidak malu. Baru putus dengan Bei, langsung menikah dengan pria entah berantah." "Malu? Hah? Bagaimana dengan Sinta yang sangat lengket dengan calon tunangan kakaknya. Oh aku lupa, dia memang genetik darimu. Belum genap ibuku meninggal, kamu membawa anak yang usianya hampir sama denganku. Siapa seharusnya yang lebih malu?" tukas Gea. "Kau!" Malika menggigil menahan amarahnya. "Sudahlah. Kalau memang sudah menikah, panggillah dia sekarang," sela Lyman. *** Ahsin sedang menaiki proyek yang baru dibangun. Baru menaiki lantai ke lima tiba-tiba ponselnya berdering. "Ahsin, bisa kau datang kemari sekarang? Papa ingin bertemu denganmu." "Bisa. Tapi aku belum ganti pakaian," jawab Ahsin sambil mengedarkan pandangannya. Sekretaris Ferry dan beberapa rekan berdiri di dekatnya. "Tidak perlu. Kemarilah. Akan kukirim alamatnya." "Hari ini sampai di sini dulu. Aku mau pergi dulu," ucap Ahsin setelah menutup ponselnya. "Ferry, kita pergi dulu." "Lalu mereka …." Ferry menunjukkan kepala kontrak proyek. "Tidak apa. Tinggalkan saja jika memang penting. Nanti kita lanjutkan lagi," sahut pria paruh baya yang juga mengenakan pakaian kuli bangun lengkap dengan helm. "Terima kasih. Ayo Ferry." *** Gea bergegas menyambut Ahsin dan menggandeng lengannya. "Perkenalkan, dia suamiku, Ahsin.” Gea memperkenalkan suaminya yang masih mengenakan pakaian kuli dengan bangga. "Gila, dimana Kakak menemukan pria setampan ini? Kak Bei kalah jauh," pekik Sinta dalam batin. "Tapi melihat pakaiannya, dia malang sekali." Malika menatap remeh. Lyman semakin merasakan nyeri di dadanya melihat pakaian Ahsin. "Mengapa kau menikah dengan sembarang orang?" sesalnya sambil memegang dada. "Baru mengangkat bata? Ceraikan dia! Bei seribu lebih bagus dari dia." "Tidak akan," sahut Gea tegas. Ia semakin mengeratkan pegangannya. Ahsin menoleh cepat, menatap perempuan yang baru dinikahinya. Baru kali ini ia merasakan rasa yang sulit dijabarkan. Haru, tapi kenapa terasa sesak. Bibir tersenyum, tapi kenapa matanya memanas. "Kak Gea, lihat pakaiannya. Apa yang kau harapkan dari dia? Dia tak mampu memberimu apa-apa. Kau akan menderita," sela Sinta. "Jangan khawatir, aku bahagia. Soal penghidupan, jangan kira semua orang seperti kalian suka mengandalkan orang lain demi mendapatkan kehidupan hedonis." "Kau!" suara Sinta tertahan. Mendadak kumpulan kata manisnya menguap. "Gea, lihatlah dia datang tidak beradab. Begitukah pertama kali bertemu dengan keluarga istri? Jangankan memberi mahar dan hadiah pernikahan, berganti pakaian lebih layak pun tidak," timpal Malika. "Sudahlah. Kalau kau mau bersamanya silakan, tapi setelah pergi dari sini, kau tidak akan mendapatkan apa-apa," ancam Lyman. "Jangan khawatir. Aku memang tidak menginginkan apa-apa. Namun, cepat atau lambat aku akan mengambil apa yang memang seharusnya menjadi milikku." "Kita lihat saja," tantang Lyman. "Ayo, kita pergi dari sini," ajak Gea. Ahsin mengangguk. Ia mengalihkan pegangan Gea, kemudian menggenggam telapak tangan kecil mulus itu. "Aku akan ingat perlakuan kalian pada Gea. Ke depannya, aku tidak akan diam jika melihatnya lagi." Mereka berbalik keluar. "Piuh," umpat Malika. "Memang dia siapa. Buruh imigran." Sinta beralih duduk di samping papanya. "Pa, bagaimana kalau Sinta menggantikan Gea menikahi Kak Bei?" "Jangan. Soal Bei, nanti aku bicara padanya. Kamu dengan Grup Buana?" "Grup Buana? Terkaya di kota ini, salah satu terkaya di Indonesia dan sepuluh besar di Asia bahkan perusahaan More, sudah memasuki daftar 100 teratas di dunia." Lyman mengangguk. "Kamu benar. Keluarga Buana memang luar biasa. Aku dengar putra mereka sudah kembali ke Indonesia. Belum menikah dan tak lama mereka akan mengadakan pesta tahunan. Papa sudah mendapatkan undangan. Pada pesta itu, kau harus bisa meraih hati putra itu." "Pa, percayalah. Aku akan menikahi putra Buana dan memberi banyak kemewahan untuk Papa dan Mama." Lyman dan Malika tersenyum puas. "Kamu memang anak berbakti," puji Lyman. "Tapi … tadi Sinta lihat nama suami Kak Gea, Buana …." "Mungkin kamu salah lihat. Kalau pun benar, mungkin hanya namanya sama. Mana mungkin putra Buana berpakaian buruh," sahut Lyman. "Papamu benar. Dia muncul saja, dari sini sudah tercium bau kemiskinan," tambah Malika. Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."*** Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. "Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. "Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi.""Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya?"Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. "Kita ke rumah sakit, ya.""Tidak perlu. Ini sudah biasa.""Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir."Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan a
Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?” Ia mengeluarkan sebuah buku dari kolong meja. Ia siap menggores di buku itu, tetapi mendadak otaknya tumpul. Ia menutup buku, mengembalikan ke kolong meja, kemudian menyandarkan punggungnya.“Gea … Gea … Apa yang telah kau lakukan?” rutuknya.Bel berbunyi. Ia bergegas membuka pintu dan menerima pesanannya. Yang membuatnya bingung, apakah harus mengantar langsung ke kamar atau memanggil Ahsin. “Ah, sudahlah, mungkin dia sudah tidur,” gumamnya sambil menaiki anak tangga. Tepat di depan kamar, langkahnya memelan. Pintu ternyata tidak ditutup. Ia kembali gugup, ternyata Ahsin belum tidur, sedang bersandar dengan masih bertelanjang dada. Tidak ada kesempatan buatnya untuk mundur karena Ahsin sudah melihat kedatangannya. “Ini pakaian untukmu sudah datang. Semoga cocok di badanmu.” Ahsin berdiri menyambutnya.Spontan Gea berpaling. Ia m
"Bekerja sepagi ini?" gumamnya. "Aku harus mengambil perusahaan ibuku dan memberi Ahsin pekerjaan yang lebih bagus."***Ahsin sedang ngobrol virtual. Meski berdiri di samping, Ferry masih bisa melihat beberapa orang yang muncul di layar desktop."Bos?" pekik seseorang. "Wah, Bos go publik," sela lainnya. Ahsin tertawa. "Sudah terlanjur tercium media. Owner More tak bisa disembunyikan lagi. Kuharap kalian tidak sungkan." "Tidak. Kami akan tetap menganggapmu Ahsin teman kami. Dari dulu kami sudah menduga kamu putra Buana," sahut Charles sebagai penanggung jawab teknologi More. Ahsin mengerutkan kening. "Bagaimana bisa?"Charles tertawa. "Kau bisa menutup wajahmu dengan topeng, tapi tak bisa menutup ID-mu dari kami."Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Semua orang di layar mengangguk."Oh, ada. A
Baru pintu terbuka, lengannya langsung diseret Bei hingga terduduk ke meja kerja. "Benar kau sudah menikah?" tanya Bei sambil memajukan wajah dengan amarah tertahan. "Benar. Pria kemarin yang bersamaku."Bei memegang leher Gea. "Dari mana kau mendapatkan pria liar itu? Sedikit pun tidak bisa dibandingkan denganku."Gea mengibas pergelangan Bei hingga terlepas. "Mengapa? Dia punya tubuh yang bagus dan tampan. Apa lagi?""Apa yang kau harapkan dari seorang buruh?""Ada apa dengan buruh? Penghasilannya sedikit? Kau lupa kalau Prayoga itu dapat bangkit 80 persen dari usahaku?""Kak, bagaimana kau bisa bicara begitu?" Tiba-tiba Sinta muncul membela Bei. "Bagaimanapun Kak Bei bosnya, tidak bisakah kau menghargainya?"Gea tersenyum sinis. "Aku paling benci senyum sinismu," seru Bei dengan wajah memerah."Lalu?" tantang Gea. Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei, lihatlah emosi dia. Bagaimana dia bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?"Bei menghela napasnya. "Gea, aku beri kamu istiraha
"Kakak tau pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award tahun kemarin?""Aku tahunya dua pemenang dari sini," sahut Bei."Kak Bei, aku pemenang ketiga itu.""Apa? Kamu serius?"Sinta mengangguk. "Aku penasaran dua pemenang ini, siapa sangka ternyata selalu di sekelilingku. Mengapa kamu sembunyikan ini?""Aku tidak ingin popularitas. Mengatakan ini ke hanya untuk membantu Kak Bei. Sekarang katakan ke perusahaan Buana, kalau Prayoga telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award. Aku yakin mereka akan kembali mempertimbangkan kontrak kerjasama."Bei tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Sinta. Aku tidak akan melupakan jasamu.""Tak perlu sungkan, demi Kak Bei, apapun akan aku lakukan."****Ahsin langsung berdiri begitu melihat Gea memasuki pintu restoran yang dijanjikan. Ia langsung menyambut dan mengulurkan tangan. Sesaat Gea tercenung melihat uluran tangan Ahsin."Kenapa?" tanya Ahsin sambil menggerakkan tangannya yang masih nganggur. Gea sedikit menengadahkan wajahny
"Iya. Katanya Tuan Buana membatalkan kerjasama dengan Prayoga.""Dan dia menuduhmu?""Iya. Sakit tu orang. Bahkan saat kerjasama aku belum pernah ketemu Tuan Buana, bagaimana lagi sekarang?"Ahsin tersenyum simpul. "Ternyata mereka memang menebaknya. Dan ini ada hubungannya dengan Gea itu memang benar," batin Ahsin."Lalu tadi sepertinya mereka telah menemukan solusinya," pancing Ahsin. "Katanya dia telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award.""Kalau begitu mereka akan berhasil?" sahut Ahsin. "Tidak mungkin. Perusahaan Buana tidak semudah itu dikibuli. Kuberitahu, desain dari pemenang ketiga itu punyaku.""Hah?""Itu lukisanku yang kusimpan studio. Ayah memaksa kami ikut lomba desain, Sinta mencuri lukisan itu dan mengirimnya ke lomba.""Saat itu kenapa kau tidak mengkonfirmasi?""Tidak ada yang percaya. Ayah juga melarangku. Kuberitahu satu rahasia lagi. Pemenang satu itu aku."Ahsin tersentak. "Karena sudah terlanjur didaftarkan, aku kerja keras melukis ulang. S
Ahsin membuka mulut, tetapi tidak ada bunyi yang keluar. Gea tertawa kecil. "Kenapa kau syok begitu?""Mmm … tidak menyangka saja, peretas luar biasa dan salah satu pilar More itu sekarang jadi istriku.""Memangnya kenapa? Kau juga mau bilang punya hubungan dengan More?""Bukan begitu. Syok saja.""Sekarang kau sudah tahu, tidak perlu lagi ada yang dicurigai. Jadi percayalah, kau tidak akan melarat bersamaku. Meski sudah resign dari Prayoga, aku masih bekerja di More," seloroh Gea dengan bangga. "Iya, aku percaya," sahut Ashin sambil menghidupkan mesin mobil."Kau ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu ke mall. Mumpung aku dapat duit. Aku ingin membelikanmu pakaian.""Sebentar," jawab Ahsin kemudian melihat memonya. "Sayang sekali, aku masih ada kerjaan."Gea menatap. "Bahkan malam pun kau bekerja?""Maaf," ucap Ahsin dengan wajah bersalahnya. "Lain kali aku akan mengajakmu jalan-jalan.""Tidak apa. Aku bisa mampir ke toko-toko di pinggir jalan sini. Oh iya, aku akan mengantarmu.
"Tidak apa. Aku tidak sekaget itu jika memang putra Buana. Perusahaan tempat aku bekerja sudah pernah menjalin kerjasama dengan Buana dan mereka memang memiliki etos kerja yang tinggi. Tak heran jika putra Buana memiliki kualifikasi lebih tinggi dari yang kita bayangkan," tutur Gea. "Lalu kenapa kau begitu kaget?""Kebetulan nama suamiku sama dengan putra Buana. Jadi mungkin alam bawah sadarku mengira dia."Giliran Charles yang kaget. Ia memajukan wajahnya. "Setahuku tidak ada nama yang sama dengannya. Nama Ahsin mungkin banyak, tapi siapa yang berani menyematkan nama Buana di belakang?""Mungkin saja. Latar belakang yang jauh berbeda. Mungkin saja orang tuanya tidak tahu di dunia ini ada yang namanya Buana atau saat itu Buana nama diidolakan.""Masuk akal," sela berwajah Afrika. "Namaku Michael Jackson karena orang tuaku mengidolakannya. Dan latar belakang yang jauh berbeda tidak akan mempertemukan kami. Jadi tidak akan menimbulkan masalah.""Kalian benar. Tapi aku penasaran, mengi