Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."
*** Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. "Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. "Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi." "Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya? "Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. "Kita ke rumah sakit, ya." "Tidak perlu. Ini sudah biasa." "Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir. "Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan aku terbiasa dan akan sembuh sendirinya sebelum sampai ke rumah sakit." Gea mengambil tisu lagi, melipatnya menjadi kecil dan meletakkan di lubang hidungnya. Ahsin teringat kejadian malam tadi. Ia yang mengantar Gea ke rumah sakit dan satu orang keluarga pun tidak ada yang muncul. Bei sibuk mengurus adik ipar. Karena penasaran, ia menyuruh Ferry menyelidiki latar belakang Gea. "Nona Gea menjalani kehidupan yang sangat sulit," lapor Ferry. "Ibunya Atmiati Mas'ud pendiri perusahaan Zurra. Ibunya meninggal saat Nona Gea berusia 6 tahun. Setahun kemudian ayahnya menikah dengan membawa Sinta yang usianya hanya selisih beberapa bulan. Usia 14 tahun Nona Gea dikirim ke luar negeri. Nona Gea bertemu dengan tunangannya saat di luar negeri, kemudian pulang ke Jakarta karena saat itu kondisi perusahaan Prayoga memburuk." Ahsin menatap perempuan yang tidak sadarkan diri itu. Meski orang asing, ia dapat merasakan bagaimana sulitnya berjuang di luar negeri, apalagi Gea dikirim saat usia masih muda. Dia beruntung dikirim saat usia kuliah dan tentu uang saku lebih dari cukup dibanding Gea. "Nona Gea dan Bei bekerjasama mengelola perusahaan Prayoga hingga sampai sekarang Prayoga memiliki nilai pasar di atas rata-rata. Dan barusan diadakan pesta pertunangan …." "Cukup!" Mendadak ia merasakan luapan emosi yang membuat Ferry kebingungan. Pikiran Ahsin kembali. Ia menatap lembut perempuan pingsan malam tadi yang sekarang menjadi istrinya. "Mulai sekarang, aku akan melindungimu. Siapapun tidak boleh ada yang menganiaya kamu." Gea tersenyum. "Terima kasih. Jangan khawatir. Aku bisa melindungi diri sendiri. Aku bukan Gea yang dulu lagi. Aku sudah muak dengan sikap mereka." Ahsin mengelus pelan rambut Gea. "Aku percaya kamu. Namun, aku juga ingin menjadi orang yang diandalkan." Gea membuka mulutnya, tetapi tertahan karena dering ponsel Ahsin. "Tua muda, sertifikat villa di puncak sudah siap dikirim." "Tidak perlu. Batalkan." Ahsin menutup ponselnya. "Ayo, kita pulang!" ""Gea! Gea, Sinta bilang kau sudah menikah. Beraninya kau mengkhianatiku." Tiba-tiba Bei muncul dengan wajah marahnya. Ia hendak menarik lengan Gea, tetapi segera ditepis Ahsin. Tak hanya di situ, sebuah tinjauan juga melayang ke wajah Bei. Payung yang sejak tadi melindungi Gea terlepas dan melayang jauh ditiup angin. "Gea!" "Siapa dia?" tanya Ahsin sambil menoleh pada Bei yang tersungkur ke tanah. "Dia mantan tunanganku. Oh belum, mantan pacarku." "Apa maksudmu?" tanya Bei sambil bangun. Ia hendak menyerang Gea, tetapi lagi-lagi keduluan Ahsin dan seketika tubuhnya terpental. "Apa maksudnya? Secara harfiah kita sudah putus. Sekarang kau bisa dengan Sinta. Mau seranjang atau terbang bersama itu terserahmu." "Mengapa mulutmu selalu bau busuk?" Sekali lagi Ahsin mengambil kerah kemeja Bei dan siap melayangkan tinjunya, tetapi ditahan Gea. "Sudahlah. Kau akan kena masalah jika dia kenapa-kenapa," bujuk Gea. Ahsin melepaskan pegangannya. "Kali ini kau beruntung dan ambil jalan memutar jika bertemu denganku." Ia menarik lengan Gea dan segera membawanya pergi. "Gea, aku akan membayar semua perlakuanmu. Laki-laki liar itu akan meninggalkan kota ini!" kecam Bei dengan gemertak rahangnya. *** Gea termangu duduk di sofa. Hari yang melelahkan. Tak sampai 48 jam ia telah mengalami banyak hal. Melihat foto perselingkuhan, dirinya yang nyaris tewas, bertemu seorang kakek baik juga menikah dengan laki-laki asing. Ahsin, ia mengeja nama itu dalam hati. Meski baru bertemu, tetapi Ahsin terus membelanya dibanding Bei. Kenyataan ini menyadarkannya lama hubungan tidak menjamin seseorang akan menjadi sebuah prioritas. Pintu kamar mandi terbuka, tanpa dapat dicegah matanya menoleh. Ahsin dengan santainya keluar hanya mengenakan handuk di pinggang. “Kenapa kau tidak mengenakan pakaian?” tanya Gea gugup. “Aku tidak melihat ada pakaian.” Gea mendeham. Ia merutuki mata lancangnya mencuri pandang roti sobek di dada Ahsin. “Maaf. Nanti aku pesankan untukmu. Kau naiklah dulu.” Ahsin mengangguk. “Kau juga istirahatlah lebih awal.” Gea mengangguk cepat. Ia semakin tidak bisa mengendalikan kedua tangannya yang gemetaran. Mengapa laki-laki ini begitu peduli dengan kesehatannya? Ia membuka ponselnya. Memesan beberapa potong pakaian di toko terdekat melalui website. Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?” .Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?” Ia mengeluarkan sebuah buku dari kolong meja. Ia siap menggores di buku itu, tetapi mendadak otaknya tumpul. Ia menutup buku, mengembalikan ke kolong meja, kemudian menyandarkan punggungnya.“Gea … Gea … Apa yang telah kau lakukan?” rutuknya.Bel berbunyi. Ia bergegas membuka pintu dan menerima pesanannya. Yang membuatnya bingung, apakah harus mengantar langsung ke kamar atau memanggil Ahsin. “Ah, sudahlah, mungkin dia sudah tidur,” gumamnya sambil menaiki anak tangga. Tepat di depan kamar, langkahnya memelan. Pintu ternyata tidak ditutup. Ia kembali gugup, ternyata Ahsin belum tidur, sedang bersandar dengan masih bertelanjang dada. Tidak ada kesempatan buatnya untuk mundur karena Ahsin sudah melihat kedatangannya. “Ini pakaian untukmu sudah datang. Semoga cocok di badanmu.” Ahsin berdiri menyambutnya.Spontan Gea berpaling. Ia m
"Bekerja sepagi ini?" gumamnya. "Aku harus mengambil perusahaan ibuku dan memberi Ahsin pekerjaan yang lebih bagus."***Ahsin sedang ngobrol virtual. Meski berdiri di samping, Ferry masih bisa melihat beberapa orang yang muncul di layar desktop."Bos?" pekik seseorang. "Wah, Bos go publik," sela lainnya. Ahsin tertawa. "Sudah terlanjur tercium media. Owner More tak bisa disembunyikan lagi. Kuharap kalian tidak sungkan." "Tidak. Kami akan tetap menganggapmu Ahsin teman kami. Dari dulu kami sudah menduga kamu putra Buana," sahut Charles sebagai penanggung jawab teknologi More. Ahsin mengerutkan kening. "Bagaimana bisa?"Charles tertawa. "Kau bisa menutup wajahmu dengan topeng, tapi tak bisa menutup ID-mu dari kami."Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Semua orang di layar mengangguk."Oh, ada. A
Baru pintu terbuka, lengannya langsung diseret Bei hingga terduduk ke meja kerja. "Benar kau sudah menikah?" tanya Bei sambil memajukan wajah dengan amarah tertahan. "Benar. Pria kemarin yang bersamaku."Bei memegang leher Gea. "Dari mana kau mendapatkan pria liar itu? Sedikit pun tidak bisa dibandingkan denganku."Gea mengibas pergelangan Bei hingga terlepas. "Mengapa? Dia punya tubuh yang bagus dan tampan. Apa lagi?""Apa yang kau harapkan dari seorang buruh?""Ada apa dengan buruh? Penghasilannya sedikit? Kau lupa kalau Prayoga itu dapat bangkit 80 persen dari usahaku?""Kak, bagaimana kau bisa bicara begitu?" Tiba-tiba Sinta muncul membela Bei. "Bagaimanapun Kak Bei bosnya, tidak bisakah kau menghargainya?"Gea tersenyum sinis. "Aku paling benci senyum sinismu," seru Bei dengan wajah memerah."Lalu?" tantang Gea. Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei, lihatlah emosi dia. Bagaimana dia bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?"Bei menghela napasnya. "Gea, aku beri kamu istiraha
"Kakak tau pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award tahun kemarin?""Aku tahunya dua pemenang dari sini," sahut Bei."Kak Bei, aku pemenang ketiga itu.""Apa? Kamu serius?"Sinta mengangguk. "Aku penasaran dua pemenang ini, siapa sangka ternyata selalu di sekelilingku. Mengapa kamu sembunyikan ini?""Aku tidak ingin popularitas. Mengatakan ini ke hanya untuk membantu Kak Bei. Sekarang katakan ke perusahaan Buana, kalau Prayoga telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award. Aku yakin mereka akan kembali mempertimbangkan kontrak kerjasama."Bei tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Sinta. Aku tidak akan melupakan jasamu.""Tak perlu sungkan, demi Kak Bei, apapun akan aku lakukan."****Ahsin langsung berdiri begitu melihat Gea memasuki pintu restoran yang dijanjikan. Ia langsung menyambut dan mengulurkan tangan. Sesaat Gea tercenung melihat uluran tangan Ahsin."Kenapa?" tanya Ahsin sambil menggerakkan tangannya yang masih nganggur. Gea sedikit menengadahkan wajahny
"Iya. Katanya Tuan Buana membatalkan kerjasama dengan Prayoga.""Dan dia menuduhmu?""Iya. Sakit tu orang. Bahkan saat kerjasama aku belum pernah ketemu Tuan Buana, bagaimana lagi sekarang?"Ahsin tersenyum simpul. "Ternyata mereka memang menebaknya. Dan ini ada hubungannya dengan Gea itu memang benar," batin Ahsin."Lalu tadi sepertinya mereka telah menemukan solusinya," pancing Ahsin. "Katanya dia telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award.""Kalau begitu mereka akan berhasil?" sahut Ahsin. "Tidak mungkin. Perusahaan Buana tidak semudah itu dikibuli. Kuberitahu, desain dari pemenang ketiga itu punyaku.""Hah?""Itu lukisanku yang kusimpan studio. Ayah memaksa kami ikut lomba desain, Sinta mencuri lukisan itu dan mengirimnya ke lomba.""Saat itu kenapa kau tidak mengkonfirmasi?""Tidak ada yang percaya. Ayah juga melarangku. Kuberitahu satu rahasia lagi. Pemenang satu itu aku."Ahsin tersentak. "Karena sudah terlanjur didaftarkan, aku kerja keras melukis ulang. S
Ahsin membuka mulut, tetapi tidak ada bunyi yang keluar. Gea tertawa kecil. "Kenapa kau syok begitu?""Mmm … tidak menyangka saja, peretas luar biasa dan salah satu pilar More itu sekarang jadi istriku.""Memangnya kenapa? Kau juga mau bilang punya hubungan dengan More?""Bukan begitu. Syok saja.""Sekarang kau sudah tahu, tidak perlu lagi ada yang dicurigai. Jadi percayalah, kau tidak akan melarat bersamaku. Meski sudah resign dari Prayoga, aku masih bekerja di More," seloroh Gea dengan bangga. "Iya, aku percaya," sahut Ashin sambil menghidupkan mesin mobil."Kau ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu ke mall. Mumpung aku dapat duit. Aku ingin membelikanmu pakaian.""Sebentar," jawab Ahsin kemudian melihat memonya. "Sayang sekali, aku masih ada kerjaan."Gea menatap. "Bahkan malam pun kau bekerja?""Maaf," ucap Ahsin dengan wajah bersalahnya. "Lain kali aku akan mengajakmu jalan-jalan.""Tidak apa. Aku bisa mampir ke toko-toko di pinggir jalan sini. Oh iya, aku akan mengantarmu.
"Tidak apa. Aku tidak sekaget itu jika memang putra Buana. Perusahaan tempat aku bekerja sudah pernah menjalin kerjasama dengan Buana dan mereka memang memiliki etos kerja yang tinggi. Tak heran jika putra Buana memiliki kualifikasi lebih tinggi dari yang kita bayangkan," tutur Gea. "Lalu kenapa kau begitu kaget?""Kebetulan nama suamiku sama dengan putra Buana. Jadi mungkin alam bawah sadarku mengira dia."Giliran Charles yang kaget. Ia memajukan wajahnya. "Setahuku tidak ada nama yang sama dengannya. Nama Ahsin mungkin banyak, tapi siapa yang berani menyematkan nama Buana di belakang?""Mungkin saja. Latar belakang yang jauh berbeda. Mungkin saja orang tuanya tidak tahu di dunia ini ada yang namanya Buana atau saat itu Buana nama diidolakan.""Masuk akal," sela berwajah Afrika. "Namaku Michael Jackson karena orang tuaku mengidolakannya. Dan latar belakang yang jauh berbeda tidak akan mempertemukan kami. Jadi tidak akan menimbulkan masalah.""Kalian benar. Tapi aku penasaran, mengi
"Tidak. Mendengar ceritamu entah kenapa menjadi sedih. Kakek yang memperkenalkan kami. Aku cuma tak menyangka, dia menerimaku karena Kakek.""Kakekmu menyukainya?"Ahsin mengangguk. "Dapat dimengerti. Ia memang punya keluarga, tapi lebih menyedihkan dari yatim piatu. Bekerja bagai kuda seakan-akan bertanggungjawab atas keluarga besar. Wajar jika dia sangat menyukai Kakekmu," urai Charles.Tanpa sadar Ahsin mengangguk. "Bos, jangan khawatir. Selama kau memberi perasaan nyaman dan aman, kau pasti mendapatkan hatinya." "Gea perempuan mandiri. Bagaimana aku bisa ….""Bagaimana pun dia wanita. Dia pasti butuh perlindungan dan rasa nyaman," sahut Charles cepat. Ahsin mengangguk. "Terima kasih, Charles. Gea cerita banyak tentangmu. Aku sangat bersyukur dia bersamamu, hingga akhirnya menghantarnya ke More.""Tak perlu sungkan, Bos. Tanpa bertemu bos, aku tetap melindunginya secara jauh. Ah bukan cuma aku, semua tim di sini sangat menyayanginya. Kami selalu menghargai keputusan Gea.""Bena
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl