Share

Tawaran Impulsif

"Bersyukur?" 

"Iya, karena kamu tahu sifatnya lebih awal? Coba bayangkan, bagaimana kalau kalian terlanjur menikah dan baru tahu sekarang sifat aslinya? Tentu akan lebih sakit dan lebih sulit lagi melepaskan diri." 

Gea menghela napasnya. "Kakek benar. Seharusnya aku bersyukur telah putus dari laki-laki seperti dia."

***

Di rumah sakit yang sama dua orang laki-laki berjalan cepat. Seorang mengenakan setelan jas dan satunya berseragam kuli berwarna biru dengan helm di tangan.

"Tuan Muda, tidakkah ganti pakaian dulu sebelum menemui Tuan Besar?"

"Tidak perlu. Akan lebih praktis setelah sini kita langsung meluncur ke lokasi konstruksi."

"Baik, Tuan Muda."

"Kamu pergilah. Biasanya kakek cerewet dan akan memakan waktu."

"Baik, Tuan Muda."

****

Gea mengantar kakek ke ruang rawat inap dengan menggandeng lengan.

"Kakek sudah tua. Jagalah kesehatan, jangan berkeliaran sendirian," pesan Gea sambil membuka pintu dan membimbing kakek sampai ke ranjang. 

Kakek mendesah. "Heh, Kakek tua ini menghabiskan hari sendirian. Punya seorang cucu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tidak mempedulikan Kakek lagi."

Gea tersenyum. Ia menyentuh punggung tangan telah keriput itu. "Kakek bilang cucu Kakek sibuk bekerja, itu artinya dia peduli dengan Kakek. Lihatlah, Kakek dapat dirawat di ruang VIP, itu artinya dia ingin memberikan yang terbaik buat Kakek."

Kakek merengut. "Tetap saja, Kakek kesepian."

Kali ini Gea tersenyum. Ia sedikit kagum dengan barusan apa yang dialaminya. Mengapa tiba-tiba ia begitu akrab dengan laki-laki tua asing, padahal di rumah orang tuanya sendiri tiada hari tanpa pertengkaran. 

"Kek." Pintu terbuka diiringi dengan kemunculan seorang pria muda berpakaian kuli bangunan. 

Spontan Gea berdiri. 

"Ahsin, kamu datang?" sambut Kakek. 

Pria yang dipanggil Ahsin itu mendekat. 

"Ahsin, Kakek kenalkan dia Gea. Penyelamat Kakek kemarin."

Ahsin mengulurkan tangannya ke arah Gea. "Bertemu lagi."

Gea mengangkat tangannya dengan bingung. "Kita pernah bertemu?"

"Malam tadi di GB, aku yang mengeluarkanmu dari kolam," sahut Ahsin. 

Kening Gea makin mengerut tajam. Ia tidak tahu siapa penyelamatnya malam tadi. Jika benar, laki-laki di depannya, bagaimana ia bisa menemui kebetulan seperti ini?

"Kalian pernah bertemu?" sela Kakek. 

Ahsin mengangguk. Gea masih berselimut kebingungan. Sewaktu di kolam ia sudah tidak sadarkan diri. Ia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya juga mengantar ke rumah sakit. Tanpa pengakuan pria di depannya, ia mengira Sinta atau Bei yang mengantarnya ke rumah sakit. Mendadak dadanya berdenyut nyeri. Setega itukah kedua orang itu padanya? Apakah mereka benar-benar mengharapkan kematiannya?

"Sepertinya obrolan kalian cocok. Kalian ngobrollah. Kakek mau mencari udara segar dulu," ucap Kakek sambil berlalu dengan mengabaikan reaksi mereka.

Seketika keduanya menjadi canggung. 

"Soal malam tadi … terima kasih." Gea membuka suara dengan jari yang tak bisa diam. 

Ahsin hanya membalas dengan anggukan dan bunyi tidak jelas. 

"Kamu bekerja di hotel GB?" tanya Gea berusaha memecah kecanggungan. Lagipula tidak salah jika dia menebak karena terlihat Hotel GB lagi sedang menambah bangunan baru di belakang. 

"Iya," jawab Ahsin singkat. 

Gea masih meremas kedua tangannya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana ngobrol apa. 

Sesaat hening. 

Keheningan dipecah oleh bunyi dering ponsel Ahsin yang tersimpan di saku pakaian kerjanya. Ia mengangkat ponselnya. Baru menggeser ikon panggilan berwarna hijau sudah terdengar cecaran suara Kakek. 

"Ahsin, Kakek sudah membuka jalan untukmu. Dasar bocah nakal. Usia sudah 28 tahun masih belum menikah. Awas saja. Jangan harap Kakek pulang ke rumah, jika kamu tidak membawa menantu Kakek." Panggilan dimatikan.

Ahsin meringis ketika menyadari Gea pasti mendengar titah kakeknya. 

"Mmm …. Jika ada perkataan Kakek yang tidak masuk akal, mohon jangan dimasukkan ke hati."

Gea mengibas kedua tangannya. "Tidak … tidak. Kakek orang baik. Dia tidak mengatakan perkataan buruk." 

Ahsin mengangguk. "Kalau begitu …."

Gea teringat ucapan Sinta padanya barusan. "Reputasi Kakak buruk, di kota ini siapa yang akan menikahi Kakak?"

"Ahsin, namamu Ahsin?"

"Mmm," jawab Ahsin sambil mengangguk. Tangannya masih memegang helm. 

"Bolehkah saya bertanya padamu?" 

"Silakan."

"Kamu dipaksa keluargamu menikah?"

"Mmm." Ahsin kembali mengangguk. 

"Sudah punya pacar?" tanya Gea dengan kedua tangan masih saling meremas.

"Belum," jawab Ahsin.

"Maukah kau mempertimbangkan menikah denganku?"

Ahsin tersentak. "Kamu serius?"

"Serius. Kamu pria yang menyelamatkanku tadi malam."

"Tapi …."

"Perkenalkan," potong Gea. "Namaku Gea Mas'ud. Usia 25 tahun. Lulusan Universitas Canterbury. Punya tempat tinggal dan mobil. Gaji 25 juta perbulan. Jika kamu bersedia menikah denganku, aku akan memberimu 5 juta perbulan. Terserah apa kamu mau bekerja atau tinggal di rumah. Aku akan mencukupimu. Kontrak selama setahun. Terserah apakah nanti mau dilanjutkan atau tidak. Jika kau mempunyai seseorang yang kau sukai, bilang saja, aku akan membebaskanmu."

Gea menghela napas panjangnya. Seakan baru saja menghirup oksigen. Dadanya berdegup kencang. Ia memang terlalu impulsif, tetapi terlambat untuk mundur. 

Ahsin terdiam dengan mata terbuka lebar. Baru pertama kali ia bertemu seorang gadis yang bersedia menanggung hidupnya. 

"Baiklah."

Gea tersentak. "Kamu setuju?"

"Iya. Kapan kita ke KUA?"

"Kapan kamu siap?" tanya Gea balik. 

"Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau sekarang?"

"Sekarang?" pekik Gea. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status