"Bersyukur?"
"Iya, karena kamu tahu sifatnya lebih awal? Coba bayangkan, bagaimana kalau kalian terlanjur menikah dan baru tahu sekarang sifat aslinya? Tentu akan lebih sakit dan lebih sulit lagi melepaskan diri." Gea menghela napasnya. "Kakek benar. Seharusnya aku bersyukur telah putus dari laki-laki seperti dia." *** Di rumah sakit yang sama dua orang laki-laki berjalan cepat. Seorang mengenakan setelan jas dan satunya berseragam kuli berwarna biru dengan helm di tangan. "Tuan Muda, tidakkah ganti pakaian dulu sebelum menemui Tuan Besar?" "Tidak perlu. Akan lebih praktis setelah sini kita langsung meluncur ke lokasi konstruksi." "Baik, Tuan Muda." "Kamu pergilah. Biasanya kakek cerewet dan akan memakan waktu." "Baik, Tuan Muda." **** Gea mengantar kakek ke ruang rawat inap dengan menggandeng lengan. "Kakek sudah tua. Jagalah kesehatan, jangan berkeliaran sendirian," pesan Gea sambil membuka pintu dan membimbing kakek sampai ke ranjang. Kakek mendesah. "Heh, Kakek tua ini menghabiskan hari sendirian. Punya seorang cucu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tidak mempedulikan Kakek lagi." Gea tersenyum. Ia menyentuh punggung tangan telah keriput itu. "Kakek bilang cucu Kakek sibuk bekerja, itu artinya dia peduli dengan Kakek. Lihatlah, Kakek dapat dirawat di ruang VIP, itu artinya dia ingin memberikan yang terbaik buat Kakek." Kakek merengut. "Tetap saja, Kakek kesepian." Kali ini Gea tersenyum. Ia sedikit kagum dengan barusan apa yang dialaminya. Mengapa tiba-tiba ia begitu akrab dengan laki-laki tua asing, padahal di rumah orang tuanya sendiri tiada hari tanpa pertengkaran. "Kek." Pintu terbuka diiringi dengan kemunculan seorang pria muda berpakaian kuli bangunan. Spontan Gea berdiri. "Ahsin, kamu datang?" sambut Kakek. Pria yang dipanggil Ahsin itu mendekat. "Ahsin, Kakek kenalkan dia Gea. Penyelamat Kakek kemarin." Ahsin mengulurkan tangannya ke arah Gea. "Bertemu lagi." Gea mengangkat tangannya dengan bingung. "Kita pernah bertemu?" "Malam tadi di GB, aku yang mengeluarkanmu dari kolam," sahut Ahsin. Kening Gea makin mengerut tajam. Ia tidak tahu siapa penyelamatnya malam tadi. Jika benar, laki-laki di depannya, bagaimana ia bisa menemui kebetulan seperti ini? "Kalian pernah bertemu?" sela Kakek. Ahsin mengangguk. Gea masih berselimut kebingungan. Sewaktu di kolam ia sudah tidak sadarkan diri. Ia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya juga mengantar ke rumah sakit. Tanpa pengakuan pria di depannya, ia mengira Sinta atau Bei yang mengantarnya ke rumah sakit. Mendadak dadanya berdenyut nyeri. Setega itukah kedua orang itu padanya? Apakah mereka benar-benar mengharapkan kematiannya? "Sepertinya obrolan kalian cocok. Kalian ngobrollah. Kakek mau mencari udara segar dulu," ucap Kakek sambil berlalu dengan mengabaikan reaksi mereka. Seketika keduanya menjadi canggung. "Soal malam tadi … terima kasih." Gea membuka suara dengan jari yang tak bisa diam. Ahsin hanya membalas dengan anggukan dan bunyi tidak jelas. "Kamu bekerja di hotel GB?" tanya Gea berusaha memecah kecanggungan. Lagipula tidak salah jika dia menebak karena terlihat Hotel GB lagi sedang menambah bangunan baru di belakang. "Iya," jawab Ahsin singkat. Gea masih meremas kedua tangannya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana ngobrol apa. Sesaat hening. Keheningan dipecah oleh bunyi dering ponsel Ahsin yang tersimpan di saku pakaian kerjanya. Ia mengangkat ponselnya. Baru menggeser ikon panggilan berwarna hijau sudah terdengar cecaran suara Kakek. "Ahsin, Kakek sudah membuka jalan untukmu. Dasar bocah nakal. Usia sudah 28 tahun masih belum menikah. Awas saja. Jangan harap Kakek pulang ke rumah, jika kamu tidak membawa menantu Kakek." Panggilan dimatikan. Ahsin meringis ketika menyadari Gea pasti mendengar titah kakeknya. "Mmm …. Jika ada perkataan Kakek yang tidak masuk akal, mohon jangan dimasukkan ke hati." Gea mengibas kedua tangannya. "Tidak … tidak. Kakek orang baik. Dia tidak mengatakan perkataan buruk." Ahsin mengangguk. "Kalau begitu …." Gea teringat ucapan Sinta padanya barusan. "Reputasi Kakak buruk, di kota ini siapa yang akan menikahi Kakak?" "Ahsin, namamu Ahsin?" "Mmm," jawab Ahsin sambil mengangguk. Tangannya masih memegang helm. "Bolehkah saya bertanya padamu?" "Silakan." "Kamu dipaksa keluargamu menikah?" "Mmm." Ahsin kembali mengangguk. "Sudah punya pacar?" tanya Gea dengan kedua tangan masih saling meremas. "Belum," jawab Ahsin. "Maukah kau mempertimbangkan menikah denganku?" Ahsin tersentak. "Kamu serius?" "Serius. Kamu pria yang menyelamatkanku tadi malam." "Tapi …." "Perkenalkan," potong Gea. "Namaku Gea Mas'ud. Usia 25 tahun. Lulusan Universitas Canterbury. Punya tempat tinggal dan mobil. Gaji 25 juta perbulan. Jika kamu bersedia menikah denganku, aku akan memberimu 5 juta perbulan. Terserah apa kamu mau bekerja atau tinggal di rumah. Aku akan mencukupimu. Kontrak selama setahun. Terserah apakah nanti mau dilanjutkan atau tidak. Jika kau mempunyai seseorang yang kau sukai, bilang saja, aku akan membebaskanmu." Gea menghela napas panjangnya. Seakan baru saja menghirup oksigen. Dadanya berdegup kencang. Ia memang terlalu impulsif, tetapi terlambat untuk mundur. Ahsin terdiam dengan mata terbuka lebar. Baru pertama kali ia bertemu seorang gadis yang bersedia menanggung hidupnya. "Baiklah." Gea tersentak. "Kamu setuju?" "Iya. Kapan kita ke KUA?" "Kapan kamu siap?" tanya Gea balik. "Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau sekarang?" "Sekarang?" pekik Gea. ***"Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau sekarang?""Sekarang?" pekik Gea. ***Gea membuka buku nikahnya setengah tidak percaya. Tiba-tiba saja ia telah menikah dengan laki-laki yang baru dikenal. Ia menatap fotonya bersanding dengan seorang laki-laki tanpa berkedip. Di belakangnya Ahsin setengah berlari membawa payung dan memberi naungan padanya. Spontan wajahnya tengadah.Syok kembali menyelimutinya. Ia baru menyadari pria yang sekarang jadi suaminya ternyata sangat tampan. "Mulai gerimis."Gea mengerjap. Seakan rohnya baru kembali. "Mmm … Aku mau kerja dulu. Masukkan nomor telponmu," ucapnya sambil menyerahkan ponsel. Ahsin menyambutnya, kemudian memasukkan nomor telponnya tanpa menyimpan nama. "Namamu?" tanya Gea. Ahsin mengerutkan kening. "Oh maaf. Aku sedikit linglung hari ini," ucapnya sambil menutupi rasa malu dengan mengetikkan beberapa huruf. Nyatanya ia memang tidak bisa mengingat nama laki-laki yang telah menjadi suaminya. Ia berinisiatif memberi nama suamiku. Setidaknya
"Sudahlah. Sesuai wasiat ibumu. Kau bisa mengambil perusahaan Zurra jika sudah menikah. Jadi jangan putus dari Bei jika ingin mengambil alih perusahaan."Gea membuka tasnya dan memperlihatkan buku nikah. "Aku sudah menikah."Sontak Sinta berdiri dan merampas buku nikah itu. Ia membuka buku itu dan sesaat terkejut ketika melihat nama suami kakaknya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum kemenangan. "Kakak tak perlu membuat buku nikah palsu hanya karena ingin putus dengan Kak Bei."Gea merangsek maju dan mengambil buku nikahnya. "Kamu lupa aku putus dengan Bei karena trik norakmu.""Mengapa kau selalu mengintimidasi adikmu?" sela Malika sambil mengelus dada Lyman."Menginditimasi? Heh.""Pa, lihat putrimu! Dia semakin melonjak," adu Malika. "Gea, apa kau tidak malu. Baru putus dengan Bei, langsung menikah dengan pria entah berantah.""Malu? Hah? Bagaimana dengan Sinta yang sangat lengket dengan calon tunangan kakaknya. Oh aku lupa, dia memang genetik darimu. Belum genap ibuku meninggal,
Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."*** Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. "Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. "Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi.""Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya?"Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. "Kita ke rumah sakit, ya.""Tidak perlu. Ini sudah biasa.""Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir."Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan a
Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?” Ia mengeluarkan sebuah buku dari kolong meja. Ia siap menggores di buku itu, tetapi mendadak otaknya tumpul. Ia menutup buku, mengembalikan ke kolong meja, kemudian menyandarkan punggungnya.“Gea … Gea … Apa yang telah kau lakukan?” rutuknya.Bel berbunyi. Ia bergegas membuka pintu dan menerima pesanannya. Yang membuatnya bingung, apakah harus mengantar langsung ke kamar atau memanggil Ahsin. “Ah, sudahlah, mungkin dia sudah tidur,” gumamnya sambil menaiki anak tangga. Tepat di depan kamar, langkahnya memelan. Pintu ternyata tidak ditutup. Ia kembali gugup, ternyata Ahsin belum tidur, sedang bersandar dengan masih bertelanjang dada. Tidak ada kesempatan buatnya untuk mundur karena Ahsin sudah melihat kedatangannya. “Ini pakaian untukmu sudah datang. Semoga cocok di badanmu.” Ahsin berdiri menyambutnya.Spontan Gea berpaling. Ia m
"Bekerja sepagi ini?" gumamnya. "Aku harus mengambil perusahaan ibuku dan memberi Ahsin pekerjaan yang lebih bagus."***Ahsin sedang ngobrol virtual. Meski berdiri di samping, Ferry masih bisa melihat beberapa orang yang muncul di layar desktop."Bos?" pekik seseorang. "Wah, Bos go publik," sela lainnya. Ahsin tertawa. "Sudah terlanjur tercium media. Owner More tak bisa disembunyikan lagi. Kuharap kalian tidak sungkan." "Tidak. Kami akan tetap menganggapmu Ahsin teman kami. Dari dulu kami sudah menduga kamu putra Buana," sahut Charles sebagai penanggung jawab teknologi More. Ahsin mengerutkan kening. "Bagaimana bisa?"Charles tertawa. "Kau bisa menutup wajahmu dengan topeng, tapi tak bisa menutup ID-mu dari kami."Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Semua orang di layar mengangguk."Oh, ada. A
Baru pintu terbuka, lengannya langsung diseret Bei hingga terduduk ke meja kerja. "Benar kau sudah menikah?" tanya Bei sambil memajukan wajah dengan amarah tertahan. "Benar. Pria kemarin yang bersamaku."Bei memegang leher Gea. "Dari mana kau mendapatkan pria liar itu? Sedikit pun tidak bisa dibandingkan denganku."Gea mengibas pergelangan Bei hingga terlepas. "Mengapa? Dia punya tubuh yang bagus dan tampan. Apa lagi?""Apa yang kau harapkan dari seorang buruh?""Ada apa dengan buruh? Penghasilannya sedikit? Kau lupa kalau Prayoga itu dapat bangkit 80 persen dari usahaku?""Kak, bagaimana kau bisa bicara begitu?" Tiba-tiba Sinta muncul membela Bei. "Bagaimanapun Kak Bei bosnya, tidak bisakah kau menghargainya?"Gea tersenyum sinis. "Aku paling benci senyum sinismu," seru Bei dengan wajah memerah."Lalu?" tantang Gea. Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei, lihatlah emosi dia. Bagaimana dia bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?"Bei menghela napasnya. "Gea, aku beri kamu istiraha
"Kakak tau pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award tahun kemarin?""Aku tahunya dua pemenang dari sini," sahut Bei."Kak Bei, aku pemenang ketiga itu.""Apa? Kamu serius?"Sinta mengangguk. "Aku penasaran dua pemenang ini, siapa sangka ternyata selalu di sekelilingku. Mengapa kamu sembunyikan ini?""Aku tidak ingin popularitas. Mengatakan ini ke hanya untuk membantu Kak Bei. Sekarang katakan ke perusahaan Buana, kalau Prayoga telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award. Aku yakin mereka akan kembali mempertimbangkan kontrak kerjasama."Bei tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Sinta. Aku tidak akan melupakan jasamu.""Tak perlu sungkan, demi Kak Bei, apapun akan aku lakukan."****Ahsin langsung berdiri begitu melihat Gea memasuki pintu restoran yang dijanjikan. Ia langsung menyambut dan mengulurkan tangan. Sesaat Gea tercenung melihat uluran tangan Ahsin."Kenapa?" tanya Ahsin sambil menggerakkan tangannya yang masih nganggur. Gea sedikit menengadahkan wajahny
"Iya. Katanya Tuan Buana membatalkan kerjasama dengan Prayoga.""Dan dia menuduhmu?""Iya. Sakit tu orang. Bahkan saat kerjasama aku belum pernah ketemu Tuan Buana, bagaimana lagi sekarang?"Ahsin tersenyum simpul. "Ternyata mereka memang menebaknya. Dan ini ada hubungannya dengan Gea itu memang benar," batin Ahsin."Lalu tadi sepertinya mereka telah menemukan solusinya," pancing Ahsin. "Katanya dia telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award.""Kalau begitu mereka akan berhasil?" sahut Ahsin. "Tidak mungkin. Perusahaan Buana tidak semudah itu dikibuli. Kuberitahu, desain dari pemenang ketiga itu punyaku.""Hah?""Itu lukisanku yang kusimpan studio. Ayah memaksa kami ikut lomba desain, Sinta mencuri lukisan itu dan mengirimnya ke lomba.""Saat itu kenapa kau tidak mengkonfirmasi?""Tidak ada yang percaya. Ayah juga melarangku. Kuberitahu satu rahasia lagi. Pemenang satu itu aku."Ahsin tersentak. "Karena sudah terlanjur didaftarkan, aku kerja keras melukis ulang. S
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl