“Gea, kenapa kamu selalu suka bikin masalah dengan adikmu sendiri? Dan sekarang berebut selembar kain?” bela Bei.“Bikin masalah? Masalah apa? Oh soal internet? Apa kau sudah tanyakan padanya? Itu pun kalau dia mau jujur. Soal gaun itu, aku yang duluan datang dan transaksi. Apakah aku disebut merebut?” sahut Gea. “Kak Bei, sudahlah. Jangan bikin keributan di sini,” sela Sinta. “Kita tak boleh selalu mengalah dengannya. Lagi pula kau menyukai gaun itu.” Bei beralih pada Gea. “Aku akan ganti gaun itu dengan harga lebih tinggi.”“Oke. Seharga …..” Gea mengangkat lima jarinya. “Lima juta?” tebak Sinta.“Bukan, tapi lima kali lipat. Gaun itu seharga lima juta lima ratus ribu kali lima, aku genapkan 25 juta saja. Mau?”“Kau ….” Mendadak lidah Bei menjadi kelu. “Kak Gea kau keterlaluan?” cecar Sinta.“Kenapa? Aku tidak memaksamu membeli. Kalau tak mampu ya sudah.” Gea menghela napas. “Hah, ternyata cinta Bei putra Prayoga kepada adikku tak sebesar itu.”“Baiklah. Aku bayar.” Bei terpan
“Kak Bei lupa, Kak Gea telah mencampakkan Kakak?”“Bagaimana pun kami telah lama bersama. Selama dia mau sadar, aku bersedia menerimanya kembali. Ayo kita ke sana, aku tidak mungkin membiarkannya semakin terjerumus.”Namun, di depan toko mereka sudah dihadang dua orang sekuriti. "Maaf, Anda dilarang masuk," kata salah seorang. Melihat Gea yang mencermati gaun-gaun cantik dari luar, Sinta makin berang. Ia merangsek maju, tetapi kembali dicegat salah seorang sekuriti. "Mohon tidak mempersulit pekerjaan kami.""Baik. Katakan, kenapa kami dilarang masuk?" tanya Bei. "Karena kalian telah menyinggung Nona Muda kami.""Siapa Nona Muda kalian?" tanya Bei emosi. "Tanpa komentar. Kami cuma diperintah, jangan mempersulit pekerjaan kami," sahut salah seorang, kali ini dengan nada lebih tegas. Bei ingin merangsek, tetapi segera dicegah Sinta. Sinta meminta mundur dengan isyarat gelengan kepala.***Ahsin langsung menyambar begitu ponsel berbunyi. Foto pertama yang dikirim Kakek membuatnya in
Bei berdecak kesal. "Sampai kapan dia bersikap abnormal begini?" Bei mengambil ponsel dalam saku jasnya. "Apa? Aku akan segera ke sana." Bei segera meluncurkan mobilnya ke perusahaan. Kaget bercampur panik ketika melihat perusahaannya dalam keadaan kacau. Dua orang tampang bodyguard melempar apapun yang bisa disentuh. Semua karyawan menepi. Satu orang berusaha menyelamatkan file malah akhir terpental ke lantai. "Apa yang kau lakukan?" teriak Bei. Sinta meringsut berlindung di belakang Bei.Dua bodyguard itu menghentikan aksinya dan berlalu. Bei mengikuti mereka hingga akhirnya bertemu pria berdasi yang duduk dengan wajah dinginnya. Di belakangnya juga berdiri dua bodyguard. Melihat pria itu, Sinta dapat merasakan iparnya itu bukan sembarang orang, tetapi tidak juga terlihat sebagai gangster."Apa yang kalian lakukan? Ooh … kau ingin memperingatkanku jangan menyentuh Gea?"Ahsin menarik satu sudut bibirnya. "Dia istriku. Jadi aku harus melindunginya. Tidak seperti kau yang selalu m
Mendadak Gea emosi. Ia meluruskan badannya menghadap Ahsin. “Sampai kapan kau mau berbohong padaku?”“Aku berbohong padamu?” ulang Ahsin.“Aku kira kau kuli.”“Aku memang kuli. Kau lihat, aku sangat sibuk setiap hari,” sahut Ahsin.“Mengapa tidak bilang sebenarnya kau Ahsin putra Buana?” protes Gea.“Tidak bilang, bukan berarti berbohong. Sejak menikah, kita memang tak pernah ngobrol banyak dan membahas pekerjaanku. Aku tidak ada niatan menutupi darimu.”“Lalu saat zoom More kemarin? Mengapa kau pura-pura tidak tahu?”“Itu karena kami sempat ngobrol dengan tim. Tiba-tiba saja tercetus ide ulang tahun More di kota ini, aku ingin memberimu kejutan di pesta itu. Tentu beda rasanya menyampaikan ungkapan terima kasih secara formal di depan orang banyak dibanding bicara santai seperti ini.”Gea menghela napasnya. Ia tak punya stok kata lagi untuk mendebat Ahsin. Ahsin memang tidak salah. Dirinya yang langsung berasumsi hanya karena saat itu Ahsin mengenakan pakaian kuli. “Kau tau, jika ing
Gea langsung membuka wajahnya. "Itu karena aku tidak tahu kamu putra Buana.""Memang apa bedanya putra Buana dengan laki-laki pada umumnya?""Jangankan melamar, menatap pun aku tidak akan berani. Kau tau berapa banyak gadis dari keluarga bermartabat sedang menyiapkan diri untuk bertemu denganmu saat jamuan Buana tahunan nanti. Aku tak bisa membayangkan jika mereka tahu pria yang mereka idamkan sedang di atas di ranjangku. Mereka pasti mengumpat dan mengatakaiku sebagai perempuan tidak tahu diri."Ahsin meraih bahu Gea dan menenggelamkan dalam pelukannya."Mengapa kau merendahkan diri begitu? Aku akui kualifikasi diriku. Tapi kau juga berkontribusi menambahkan pendapatan buat Buana selama beberapa tahun atas nama Prayoga. Dan sekarang salah satu pilar More. Tanpamu, mungkin More sudah tumbang sejak lama. Jasamu sangat besar pada More."Tiba-tiba Gea teringat ucapan Ahsin waktu zoom tim. Ia menengadahkan kepalanya. "Saat pesta ulang tahun More nanti, maukah kau memperkenalkan tim kami
Tiba-tiba mereka dikejutkan dering ponsel di atas sofa. Salah seorang mengambil ponsel itu dan menyerahkan kepada bos."Suruh suamimu kemari," perintah bos sambil mendekatkan ponsel ke mulut Gea. "Jangan ke sini!" teriak Gea. "Panggil polisi."Plak. Kembali sebuah tamparan mendarat. Bos melemparkan ponsel itu sehingga terdengar bunyi retak."Bagaimana bos?" tanya seorang yang memegang tongkat. "Kita tinggalkan dulu tempat ini," sahut sang bos, kemudian berbalik. Ketiga anak buah mengikuti, tetapi sebelumnya seorang yang memegang tongkat memapas barang yang ada di atas meja. Seketika bunyi pecahan kaca memenuhi ruangan. Spontan Gea menundukkan kepalanya. Saat ia membuka mata, bertebaran pecahan kaca dari gelas dan teko di samping kakinya, bahkan sebelah kakinya tergores dan mengeluarkan cairan merah. Sementara Ahsin yang mendengar teriakan Gea di telepon langsung berlari sambil menelpon anak buahnya. Hanya beberapa detik semua bergerak dari berbagai arah. Yang paling dekat posisin
"Nona Elena?" tanya Gea setelah Ferry keluar."Dia ketua pengurus rumah tangga di rumahku," jawab Ahsin sambil merapikan semua peralatan obat ke dalam kotak. "Bahkan pengurus rumah tangga terdengar lebih berkelas dariku," lirih Gea. Ahsin tengadah. "Minder lagi." "Di Prayoga aku lebih dominan dari Bei, di tim pengembangan More juga tidak ada yang berani macam-macam padaku. Tapi saat melihat caramu bicara sama Ferry, tiba-tiba aku merasa seperti semut."Ahsin duduk ke sofa sambil tertawa kecil. Ia menjentikkan jarinya ke dahi Gea. "Aku tadi cemas setengah mati, sedang perhatianmu dengan mudahnya teralih pada Ferry dan Elena."Gea hanya memberikan reaksi dengan wajah merengut. "Bahkan mengeja nama keduanya saja bisa membuat orang bergetar. Tak heran jika orang-orang sangat menghormatimu.""Tapi kamu satu-satunya yang aku hormati setelah Kakek," sahut Ahsin cepat. Gea terdiam. Ada bagian dirinya bahagia dan bangga. Namun, ia tidak bisa membuang begitu saja rasa minder yang terlanju
"Lyman dari perusahaan Zurra," jawab pria bertubuh kekar itu dengan tersengal.Ahsin menyeringai. "Ternyata dia. Apa maunya?""Dia memerintahkan kami menyingkirkan suami Gea." Sekali lagi Ahsin melayangkan kepalannya. Ferry meringis. Terdengar jeritan memenuhi bangunan tanpa dinding itu. "Aku dengar bahkan harimau tidak memangsa anaknya," gumam Ahsin. "Dengar. Gea istriku. Berarti yang kalian cari itu aku.."Mata pria bertubuh kekar itu membelalak. "Tidak. Kami tidak akan berani jika kami tahu dari awal. Dipinjamkan seratus keberanian, kami tidak akan berani pada Anda," sahut pria terikat dengan napas makin tersengal. "Kalian harus berani. Kembalikan pada mereka dua kali lipat dari apa yang kau lakukan pada Gea."*** Lyman dan Malika tersentak. Tiba-tiba terdengar keributan di rumahnya. Ia segera membuka lampu tidur dan mengambil kacamata di atas nakas. "Apa yang kalian lakukan?" teriak Lyman setelah melihat rumahnya yang sudah berantakan. "Tangkap mereka," titah pria bertubuh
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl