"Lyman dari perusahaan Zurra," jawab pria bertubuh kekar itu dengan tersengal.Ahsin menyeringai. "Ternyata dia. Apa maunya?""Dia memerintahkan kami menyingkirkan suami Gea." Sekali lagi Ahsin melayangkan kepalannya. Ferry meringis. Terdengar jeritan memenuhi bangunan tanpa dinding itu. "Aku dengar bahkan harimau tidak memangsa anaknya," gumam Ahsin. "Dengar. Gea istriku. Berarti yang kalian cari itu aku.."Mata pria bertubuh kekar itu membelalak. "Tidak. Kami tidak akan berani jika kami tahu dari awal. Dipinjamkan seratus keberanian, kami tidak akan berani pada Anda," sahut pria terikat dengan napas makin tersengal. "Kalian harus berani. Kembalikan pada mereka dua kali lipat dari apa yang kau lakukan pada Gea."*** Lyman dan Malika tersentak. Tiba-tiba terdengar keributan di rumahnya. Ia segera membuka lampu tidur dan mengambil kacamata di atas nakas. "Apa yang kalian lakukan?" teriak Lyman setelah melihat rumahnya yang sudah berantakan. "Tangkap mereka," titah pria bertubuh
"GEA!" teriak Lyman. Gea abai. Ia menghadap lingkaran. "Terima kasih semuanya yang telah berkontribusi untuk perusahaan ini. Perusahaan ini didirikan ibuku dan sekarang saya mengambil alih sesuai dengan amanah yang diberikan. Saya tidak memaksa, jika memang ada yang tidak berkenan perusahaan ini saya kelola, silakan keluar. Besok saya kembali lagi ke sini. Saya harap tidak ada lagi perdebatan. Jika masih ada, saya tidak segan mengusir kalian."***"Selamat siang, Tuan, Nona," sambut beberapa orang perempuan di rumah Ahsin. Ahsin menggamit pinggang Gea. "Kau lihat, rumah ini terlalu besar untuk seorang bujangan, aku sering menghabiskan waktu di kantor, tapi karena ini milik ayah ibu, jadi aku harus merawatnya. Aku tak menyangka kalau suatu saat akan membawamu kemari. Andai ibu melihat, dia pasti senang sekali."Gea menghentikan langkahnya. Sesaat ia menengadah, melihat lampu di plafon sangat tinggi. Rumah berdiri dua tingkat, di bagian tengah dibiarkan kosong. Di tengah itu pula di j
"Gimana? Tinggal di sebuah komplek, dekat masjid dan menikmati udara pagi dengan berjalan kaki sudah tercapai bukan?" pancing Ahsin. "Alhamdulillah. Tapi, bukan dari hasil jerih payahku," sahut Gea dengan wajah merengut. "Alhamdulillah, kok ada tapinya?""Aku sudah membayangkan bisa memberimu pekerjaan, rumah yang dekat masjidnya. Indah sekali. Heh … semuanya tidak mungkin. Aku tidak tahu lagi apa yang bisa kuberikan padamu." "Dirimu."Gea menghentikan langkahnya. Ahsin menggenggam tangannya dan terus berjalan. "Setiap orang punya pikiran yang berbeda. Kau selalu bereaksi seperti itu jika aku bilang dirimu. Apakah menurutmu itu suatu yang vulgar?" "Aku …." Mendadak otaknya beku. Ia mengakui ada bagian dirinya yang merasa tertangkap basah."Kebutuhan biologis memang sangat berarti bagi seorang laki-laki. Tapi, bukan berarti bisa sembarang orang. Menyalurkan hasratku padamu, menimbulkan efek bahagia, damai dan ketenangan. Tentu itu juga karena kita pasangan halal. Lebih dari itu, k
Gea bersorak girang dan melingkarkan tangan ke leher Ahsin. “Sebegitu bahagianya?”“Sangat bahagia," sahut Gea cepat.Obrolan mereka teriterupsi dering ponsel Gea. "Ya, Paman?" ucap Gea setelah mengangkat ponselnya. Spontan Ahsin menoleh. "Nona Gea, kemarin Tuan Lyman melobi para eksekutif perusahaan. Terdengar hari ini mereka akan mengadakan rapat." "Mengerti, Paman. Saya akan segera ke sana." Gea menutup panggilannya. Ahsin menggesernya kursinya mendekat. Ia merangkum kedua tangan Gea. "Asal kau mau, aku siap membantumu," ulang Ahsin."Aku ingin mengandalkan kemampuanku dulu.""Aku hargai keputusanmu. Tapi, jika darurat, panggil aku."Gea mengangguk dengan senyum semringah. "Tadi janji mau mengenakan pakaian buruh," tagih Gea. "Di saat seperti ini kau masih memikirkan itu?""Tentu saja. Kau mengantarku ke kantor, memberiku booster mood. Ya," rengek Gea. "Iya, iya. Tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu," jawab Ahsin sambil berdiri. Gea tak berhenti tersenyum. Sepeninggalan
"Nona, pasti mereka telah mulai. Jika kita gagal kali ini, bukan hanya tidak mendapatkan perusahaan, Nona juga akan diusir."Gerakan Gea terhenti. Ia menoleh pada Pak Bagus, di sisi lain layar desktopnya terus menjerit."Tapi ini juga penting, Paman.""Saat ini, apa yang lebih penting dari mengambil perusahaan, kerja keras ibu Nona?" desak Pak Bagus.Gea membuka mulutnya. Layar desktop terus menjerit. Ia memejamkan mata. "Ahsin, mungkin ini cara Tuhan memberiku kesempatan mendukungmu." Ia membuka mata. "Paman keluarlah dulu. Aku akan ke sana secepatnya.""Dengar, jika tidak ke sana, mungkin tidak ada lagi kesempatan kedua," ancam Pak Bagus sambil keluar. Gea berjalan, tapi bukannya keluar, malah mengunci pintu dan kembali ke laptopnya. Pak Bagus terkejut dengan dentuman pintu. Ia mengetuk pintu berkali-kali. "Nona Gea, ingatlah perjuangan ibu Nona."Pak Bagus berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil, tetapi telinga Gea sudah menuli. ***Ahsin duduk di tengah meja lingkaran panja
"Kenapa Anda selalu menyalahkan dia." Tiba-tiba dalam layar bersuara dengan suara lantang membuat semua orang di ruangan terkejut. Sinta mengernyit. "Mengapa suaranya terasa familiar?""Mengapa tidak Anda tanyakan pada diri Anda sendiri. Bu Atmiati belum meninggal setahun, Anda datang membawa putri yang usia tak jauh beda dengan Gea.""Gea? Mengapa Tuan Buana menyebut Kak Gea seringan itu?" tanya Sinta dalam hati. "Itu …." Lyman tergagap. "Lalu anak haram Anda, diam-diam selingkuh dengan Bei yang membuat hubungan Bei dan Gea berakhir.""Tidak. Itu tidak benar. Pasti ada yang menyebarkan informasi palsu," sahut Sinta panik. "Palsu? Semua orang di pesta itu melihat Bei menyelamatkan Anda dibanding Gea. Apa bisa dibilang sesederhana itu?" "Tidak. Pa." Sinta meminta pembelaan ayahnya. "Baik, mungkin saya tidak mendapatkan informasi lengkap soal ini. Tapi sekarang yang penting, bagaimana perusahaan Zurra Menurut saya, Sinta lebih mumpuni dan bertanggung jawab dibanding Gea. Lihatlah,
"Tapi, Papa tidak lihat tadi, Tuan Buana terlihat condong kepada Kak Gea. Bagaimana kalau jabatan itu dia serahkan kepada Kak Gea?" Lyman merengkuh bahu putrinya. "Kamu tenanglah dulu. Beberapa hari lagi pesta ulang tahun More milik Ahsin. Papa sudah dapat undangannya. Di pesta ini, kamu harus bisa menarik perhatian Ahsin. Jika kamu berhasil, perusahaan Zurra bisa kamu ambil hanya beberapa detik." Lyman meletakkan kedua tangannya di bahu Sinta. "Tak terasa kamu sudah dewasa. Ahsin bergabung ke Zurra, jalan kita dengan Buana semakin dekat. Sangat dekat. Papa sangat berharap, kamu bisa masuk ke keluarga Buana. Di sana kamu akan mandi emas.""Tenang saja, Pa. Sinta pasti bisa menarik hati Ahsin. Setelah itu, Sinta janji masa tua Papa dan Mama penuh dengan kesenangan dan keliling dunia." Dua anak bapak itu tersenyum lebar. Kemewahan. Siapa yang tidak mabuk kepayang dengan kemewahan di depan mata?***Dengan mengenakan pakaian buruh, Ahsin datang membawa rantang makanan. Di jalan ia ber
Gea tersentak. "Bagaimana bisa?" "Kenapa tidak? Mana mungkin aku membiarkan istriku berjuang sendirian tanpa pengawasan."Gea kembali memberikan kecupan di pipi Ahsin. "Terima kasih.""Berterima kasihlah dengan menghabiskan makanan ini," titah Ahsin. "Siap, Tuan Ahsin," sahut Gea dengan meletakkan tangannya ke dahi. Ahsin tertawa kecil. “Sepertinya senang sekali.”“Benar. Selamat dari pertempuran rasa melegakan sekali. Tapi tidak tahu berapa kerugian yang kau terima.”“Jangan pikirkan itu lagi. Biar yang lain mengurusnya. Kau istirahatlah," ucap Ahsin.Hening. Gea mencermati wajah Ahsin yang tiba-tiba berubah. "Kau membuatku marah, menyelesaikan More dengan mengabaikan Zurra. Untung Zurra masih bisa diselamatkan. Jika tidak, aku tidak tahu harus bagaimana menatapmu."Gea merangkum kedua tangan Ahsin. "Kau tau semenjak menikahimu, yang kupikirkan selalu ingin mendukungmu. Lalu, ketika ada kesempatan, mana mungkin aku melewatkannya. Aku bangga sekali bisa menyelamatkan milikmu."Ahs
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl