Gea langsung membuka wajahnya. "Itu karena aku tidak tahu kamu putra Buana.""Memang apa bedanya putra Buana dengan laki-laki pada umumnya?""Jangankan melamar, menatap pun aku tidak akan berani. Kau tau berapa banyak gadis dari keluarga bermartabat sedang menyiapkan diri untuk bertemu denganmu saat jamuan Buana tahunan nanti. Aku tak bisa membayangkan jika mereka tahu pria yang mereka idamkan sedang di atas di ranjangku. Mereka pasti mengumpat dan mengatakaiku sebagai perempuan tidak tahu diri."Ahsin meraih bahu Gea dan menenggelamkan dalam pelukannya."Mengapa kau merendahkan diri begitu? Aku akui kualifikasi diriku. Tapi kau juga berkontribusi menambahkan pendapatan buat Buana selama beberapa tahun atas nama Prayoga. Dan sekarang salah satu pilar More. Tanpamu, mungkin More sudah tumbang sejak lama. Jasamu sangat besar pada More."Tiba-tiba Gea teringat ucapan Ahsin waktu zoom tim. Ia menengadahkan kepalanya. "Saat pesta ulang tahun More nanti, maukah kau memperkenalkan tim kami
Tiba-tiba mereka dikejutkan dering ponsel di atas sofa. Salah seorang mengambil ponsel itu dan menyerahkan kepada bos."Suruh suamimu kemari," perintah bos sambil mendekatkan ponsel ke mulut Gea. "Jangan ke sini!" teriak Gea. "Panggil polisi."Plak. Kembali sebuah tamparan mendarat. Bos melemparkan ponsel itu sehingga terdengar bunyi retak."Bagaimana bos?" tanya seorang yang memegang tongkat. "Kita tinggalkan dulu tempat ini," sahut sang bos, kemudian berbalik. Ketiga anak buah mengikuti, tetapi sebelumnya seorang yang memegang tongkat memapas barang yang ada di atas meja. Seketika bunyi pecahan kaca memenuhi ruangan. Spontan Gea menundukkan kepalanya. Saat ia membuka mata, bertebaran pecahan kaca dari gelas dan teko di samping kakinya, bahkan sebelah kakinya tergores dan mengeluarkan cairan merah. Sementara Ahsin yang mendengar teriakan Gea di telepon langsung berlari sambil menelpon anak buahnya. Hanya beberapa detik semua bergerak dari berbagai arah. Yang paling dekat posisin
"Nona Elena?" tanya Gea setelah Ferry keluar."Dia ketua pengurus rumah tangga di rumahku," jawab Ahsin sambil merapikan semua peralatan obat ke dalam kotak. "Bahkan pengurus rumah tangga terdengar lebih berkelas dariku," lirih Gea. Ahsin tengadah. "Minder lagi." "Di Prayoga aku lebih dominan dari Bei, di tim pengembangan More juga tidak ada yang berani macam-macam padaku. Tapi saat melihat caramu bicara sama Ferry, tiba-tiba aku merasa seperti semut."Ahsin duduk ke sofa sambil tertawa kecil. Ia menjentikkan jarinya ke dahi Gea. "Aku tadi cemas setengah mati, sedang perhatianmu dengan mudahnya teralih pada Ferry dan Elena."Gea hanya memberikan reaksi dengan wajah merengut. "Bahkan mengeja nama keduanya saja bisa membuat orang bergetar. Tak heran jika orang-orang sangat menghormatimu.""Tapi kamu satu-satunya yang aku hormati setelah Kakek," sahut Ahsin cepat. Gea terdiam. Ada bagian dirinya bahagia dan bangga. Namun, ia tidak bisa membuang begitu saja rasa minder yang terlanju
"Lyman dari perusahaan Zurra," jawab pria bertubuh kekar itu dengan tersengal.Ahsin menyeringai. "Ternyata dia. Apa maunya?""Dia memerintahkan kami menyingkirkan suami Gea." Sekali lagi Ahsin melayangkan kepalannya. Ferry meringis. Terdengar jeritan memenuhi bangunan tanpa dinding itu. "Aku dengar bahkan harimau tidak memangsa anaknya," gumam Ahsin. "Dengar. Gea istriku. Berarti yang kalian cari itu aku.."Mata pria bertubuh kekar itu membelalak. "Tidak. Kami tidak akan berani jika kami tahu dari awal. Dipinjamkan seratus keberanian, kami tidak akan berani pada Anda," sahut pria terikat dengan napas makin tersengal. "Kalian harus berani. Kembalikan pada mereka dua kali lipat dari apa yang kau lakukan pada Gea."*** Lyman dan Malika tersentak. Tiba-tiba terdengar keributan di rumahnya. Ia segera membuka lampu tidur dan mengambil kacamata di atas nakas. "Apa yang kalian lakukan?" teriak Lyman setelah melihat rumahnya yang sudah berantakan. "Tangkap mereka," titah pria bertubuh
"GEA!" teriak Lyman. Gea abai. Ia menghadap lingkaran. "Terima kasih semuanya yang telah berkontribusi untuk perusahaan ini. Perusahaan ini didirikan ibuku dan sekarang saya mengambil alih sesuai dengan amanah yang diberikan. Saya tidak memaksa, jika memang ada yang tidak berkenan perusahaan ini saya kelola, silakan keluar. Besok saya kembali lagi ke sini. Saya harap tidak ada lagi perdebatan. Jika masih ada, saya tidak segan mengusir kalian."***"Selamat siang, Tuan, Nona," sambut beberapa orang perempuan di rumah Ahsin. Ahsin menggamit pinggang Gea. "Kau lihat, rumah ini terlalu besar untuk seorang bujangan, aku sering menghabiskan waktu di kantor, tapi karena ini milik ayah ibu, jadi aku harus merawatnya. Aku tak menyangka kalau suatu saat akan membawamu kemari. Andai ibu melihat, dia pasti senang sekali."Gea menghentikan langkahnya. Sesaat ia menengadah, melihat lampu di plafon sangat tinggi. Rumah berdiri dua tingkat, di bagian tengah dibiarkan kosong. Di tengah itu pula di j
"Gimana? Tinggal di sebuah komplek, dekat masjid dan menikmati udara pagi dengan berjalan kaki sudah tercapai bukan?" pancing Ahsin. "Alhamdulillah. Tapi, bukan dari hasil jerih payahku," sahut Gea dengan wajah merengut. "Alhamdulillah, kok ada tapinya?""Aku sudah membayangkan bisa memberimu pekerjaan, rumah yang dekat masjidnya. Indah sekali. Heh … semuanya tidak mungkin. Aku tidak tahu lagi apa yang bisa kuberikan padamu." "Dirimu."Gea menghentikan langkahnya. Ahsin menggenggam tangannya dan terus berjalan. "Setiap orang punya pikiran yang berbeda. Kau selalu bereaksi seperti itu jika aku bilang dirimu. Apakah menurutmu itu suatu yang vulgar?" "Aku …." Mendadak otaknya beku. Ia mengakui ada bagian dirinya yang merasa tertangkap basah."Kebutuhan biologis memang sangat berarti bagi seorang laki-laki. Tapi, bukan berarti bisa sembarang orang. Menyalurkan hasratku padamu, menimbulkan efek bahagia, damai dan ketenangan. Tentu itu juga karena kita pasangan halal. Lebih dari itu, k
Gea bersorak girang dan melingkarkan tangan ke leher Ahsin. “Sebegitu bahagianya?”“Sangat bahagia," sahut Gea cepat.Obrolan mereka teriterupsi dering ponsel Gea. "Ya, Paman?" ucap Gea setelah mengangkat ponselnya. Spontan Ahsin menoleh. "Nona Gea, kemarin Tuan Lyman melobi para eksekutif perusahaan. Terdengar hari ini mereka akan mengadakan rapat." "Mengerti, Paman. Saya akan segera ke sana." Gea menutup panggilannya. Ahsin menggesernya kursinya mendekat. Ia merangkum kedua tangan Gea. "Asal kau mau, aku siap membantumu," ulang Ahsin."Aku ingin mengandalkan kemampuanku dulu.""Aku hargai keputusanmu. Tapi, jika darurat, panggil aku."Gea mengangguk dengan senyum semringah. "Tadi janji mau mengenakan pakaian buruh," tagih Gea. "Di saat seperti ini kau masih memikirkan itu?""Tentu saja. Kau mengantarku ke kantor, memberiku booster mood. Ya," rengek Gea. "Iya, iya. Tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu," jawab Ahsin sambil berdiri. Gea tak berhenti tersenyum. Sepeninggalan
"Nona, pasti mereka telah mulai. Jika kita gagal kali ini, bukan hanya tidak mendapatkan perusahaan, Nona juga akan diusir."Gerakan Gea terhenti. Ia menoleh pada Pak Bagus, di sisi lain layar desktopnya terus menjerit."Tapi ini juga penting, Paman.""Saat ini, apa yang lebih penting dari mengambil perusahaan, kerja keras ibu Nona?" desak Pak Bagus.Gea membuka mulutnya. Layar desktop terus menjerit. Ia memejamkan mata. "Ahsin, mungkin ini cara Tuhan memberiku kesempatan mendukungmu." Ia membuka mata. "Paman keluarlah dulu. Aku akan ke sana secepatnya.""Dengar, jika tidak ke sana, mungkin tidak ada lagi kesempatan kedua," ancam Pak Bagus sambil keluar. Gea berjalan, tapi bukannya keluar, malah mengunci pintu dan kembali ke laptopnya. Pak Bagus terkejut dengan dentuman pintu. Ia mengetuk pintu berkali-kali. "Nona Gea, ingatlah perjuangan ibu Nona."Pak Bagus berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil, tetapi telinga Gea sudah menuli. ***Ahsin duduk di tengah meja lingkaran panja