Bang Parlin tak pulang juga dari mesjid, ini tidak biasa, padahal hari sudah jam sepuluh. Segera kusuruh Ucok melihat ayahnya. Tak berapa lama kemudian, Ucok pulang dan melapor."Ayah lagi ada pertemuan dengan bapak-bapak," kata Ucok.Tumben Bang Parlindungan begitu, biasanya jika ada masalah dia membicarakan dengan kami keluarganya, ini dengan jema'ah masjid."Lagi bahas apa, Bang, kok bahasnya di masjid, kok gak di kantor desa, kok kepala desa gak dilibatkan?" aku memberondong suami dengan berbagai pertanyaan begitu dia pulang. "Bahas tanah Wakaf, " jawab Bang Parlin."Oh, terus, bagaimana keputusannya?" tanyaku gak sabar."Masyarakat desa juga ternyata menyalahkan kita yang memberikan tempat buat si Rusdi itu, " kata Bang Parlin."Inilah akibatnya kalau gak tegaan," kataku."Iya, Dek, ini pelajaran berharga bagi kita, " "Jadi bagaimana keputusan rapat?""Rusdi diusir dari situ, besok sehabis Jum'at, kami akan beramai-ramai ke sana, untuk mengusirnya," kata Bang Parlin."Wah, kasi
Itulah suamiku ini, menghadapi parang seperti ini, dia justru bisa tenang. Padahal aku sudah ketakutan sekali. Bang Parlin lalu menyuruhku masuk ke mobil. "Ayo pulang, Bang," aku menarik tangan Bang Parlin.Sementara itu Rusdi masih berteriak-teriak tak jelas sambil mengacungkan parang. Kami memilih meninggalkan tempat tersebut dan terus ke kantor desa. Baru saja masuk kantor, seorang pria datang, begitu datang langsung marah-marah, akan tetapi bukan marah pada kami, tapi marah pada Rusdi."Aku tadi lihat kejadian itu, Pak Parlin, aku gak rela Bu kades yang pemimpin kami, yang lagi gendong anak diancam pake parang seperti itu, izinkan aku tantang duel si Rusdi itu, Pak Parlin, biar kukeluarkan ususnya dua belas meter, mohon izinkan, darah Batakku mendidih ini," kata Pria tersebut. Pria itu biasa kami panggil Rambe, dia bekerja memanen sawit, masih lajang tapi sudah berumur. "Sabar, Rambe, sabar," kataku kemudian."Bagaimana aku bisa sabar, Bu, kebetulan tadi aku lihat dia acungkan
Dengan menaiki motor aku dan Butet segera ke rumah Rusdi yang berada di tanah wakaf. Butet menggendong Cantik Jelita, aku mengemudi dengan kecepatan sedang. Begitu kami sampai ternyata sudah ramai orang. Akan tetapi mana Bang Parlin?"Ada apa ini?" tanyaku pada seorang warga."Gak tau, Bu, aku baru datang," jawab pria tersebut. Sementara orang sudah ramai sekali. Aku dan Butet menerobos masuk untuk melihat.Ternyata rumah itu sudah roboh ke tanah. Yang aku heran tidak ada yang memadamkan api, biasanya jika ada kebakaran, warga desa akan bergotongroyong memadamkan api, ini hanya menonton. "Mana Bang Parlin," tanyaku pada seorang warga yang menyapaku."Pergi, Bu, bawa Rusdi," jawab warga tersebut."Aduh, Ucok?" tanyaku kemudian, rasa was-was mulai menghampiri."Gak tau, Bu," jawab pria itu.Butet lalu kusuruh menelepon Ucok, tentu saja tidak aktif, karena Ucok pergi dari rumah untuk salat Jum'at, tentu saja tidak bawa HP. Akhirnya aku dapat jawaban juga dari seorang warga tetangga kam
Saat kami sampai, lagi-lagi bertemu Umar. Dia tampak mendampingi seorang polisi berpangkat perwira. Aku lalu mendekat dan menyalami polisi tersebut."Bagaimana kejadiannya, Bu," tanya polisi tersebut.Aku pun coba menjelaskan secara rinci, tanpa ada yang terlewat. Polisi itu tampak manggut-manggut."Apapun kesalahan orang, membakar rumahnya tidak bisa dibenarkan, itu melanggar hukum'," kata polisi tersebut."Iya, Pak, saya mengerti," jawabku."Mana korbannya?" tanya Polisi' itu lagi.Seorang warga desa yang mendengar kami bicara mendekat."Pak, pelaku dibawa korban ke rumah sakit," kata pria tersebut."Saya kurang mengerti, pelaku dibawa korban? Mungkin terbalik, Korban dibawa pelaku," kata polisi tersebut."Bukan, Pak, memang pelaku yang dibawa korban," jawab pria itu."Cobalah jelaskan, saya tidak mengerti, bagaimana bisa korban membawa pelaku, padahal kan korban, aneh," kata polisi itu lagi."Kan sudah saya jelaskan tadi, Pak, suami saya diancam pakai parang, tentu suami saya korb
Aku tak tahu harus bilang apa, memang kasihan juga Sandy, akan tetapi aku jadi merasa ibu ini membebankan sakit' anaknya pada kami. Seakan-akan kami yang bertanggungjawab akan keadaannya."Beda kasus, Bu," kataku akhirnya."Iya, Bu, memang beda kasus, tapi perlakuan Bang Parlin menghadapi kasus yang satu dengan yang lain pilih kasih, anakku hanya butuh teman, temannya itu Butet, Bang Parlin tidak membiarkan Butet berteman dengan anakku. Padahal rugi kalian apa? Bahkan untung lagi, anakku bisa bantu , sudah terbukti sering," kata ibu tersebut."Iya, Bu,""Haa, ini yang kalian bantu ini penjahat, ngancam lagi, entahlah, Bu,dunia ini memang tidak adil," kata ibu tersebut.Butet datang juga akhirnya begitu dia datang langsung salim dan minta dibuatkan minum. "Tet, Shandy sudah gak pernah keluar, aku khawatir dia membusuk di situ," kata Ibu itu."Oh,""Panggil dulu kenapa, Tet?" kata ibu itu lagi."Bang Sandy!" Butet berteriak.Ajaib, Sandy langsung keluar kamar dan turun ke bawah."Hei,
Mobil yang kami tumpangi terus berjalan dengan kecepatan sedang, masih setengah perjalanan, mungkin bisa menjelang sore baru' sampai di ibukota kabupaten."Butet, mari kita bicara sesama perempuan ya, anggap saja mamak temanmu," kataku pada Butet."Mau bicara apa, Mak?""Apa kau ingin berteman dengan Sandy?""Iya, Mak,""Kenapa?""Dia pintar, enak diajak diskusi, terus ibunya tukang rumah makan,""Begini saja, Tet, mamak dukung kau berteman dengan Sandy, tapi hanya teman tidak yang lain-lain," kataku lagi."Ahhh, mamak?!"Kenapa, Tet, mamak serius ini,""Kata mamak bicara sebagai teman, tapi masih main perintah," kata Butet.Akhirnya kami tiba juga di rumah sakit umum daerah. Saat kami sampai Bang Parlin sudah menunggu di depan pintu."Dek, sana dulu urus administrasi, mau operasi harus ada jaminan," kata Bang Parlin. Aku segera ke tempat yang ditunjuk Bang Parlin. Jaman sekarang masih saja ada rumah sakit' yang minta jaminan untuk operasi. Kuberikan saja kartuku. Uang sepuluh juta p
Ternyata Sandy belum sampai ke rumah dari tadi siang. Entah dia kesasar atau bagaimana, akhirnya kusuruh Butet untuk menelepon pemuda tersebut."Bang Sandy di mana?" terdengar Butet bicara, akan tetapi tak kudengar apa yang dikatakan Sandy."Apa katanya, Tet?" tanyaku tidak sabar."Oh, iya, Bang," Butet terlihat manggut-manggut."Tet, apa katanya?" aku jadi makin tak sabar.Butet lalu mematikan sambungan telepon. "Mak, kata Bang Sandy, ini saatnya dia belajar mandiri," kata Butet."Belajar mandiri bagaimana, Tet?""Dia mau tinggal terpisah dengan ibunya, tinggal di kos," kata Butet."Suruh dia bilang sama ibunya, dong, biar kita tidak jadi tertuduh," kataku kemudian."Iya, Mak," jawab Butet seraya mengetik sesuatu di HP -nya.Beberapa saat kemudian ...."Katanya dia sudah bilang, tapi ibunya tidak memperbolehkan," kata Butet lagi."Oh, kalau begitu ibunya yang terlalu mengekang, udah, biar saja itu urusan mereka." kataku kemudian.Malam itu kami diskusi panjang lebar, mulai dari masa
Pertemuan itu justru jadi pertengkaran mantan bupati dan istri barunya. Si istri mengaku bahagia, ternyata harta mereka satu persatu terjual untuk membahagiakan istri barunya itu. Jadilah mereka bertengkar hebat, kami hanya mendengar. "Pokoknya besok aku berangkat ke Jakarta, aku harus urus anakku," kata mantan bupati tersebut."Ya, udah, silakan pergi, tapi jangan salahkan aku, Pa, jika papa pulang aku sudah tak ada," kata istrinya."Sebaiknya jika mau bertengkar di rumah saja, Pak," kataku kemudian. Gerah juga mendengar mereka bertengkar.Suami istri beda jauh usia itu akhirnya pergi juga. Aku jadi sedikit lega. Dari tadi aku sudah merasa tak enak hati, pertengkaran mereka didengar oleh dua anakku. Menjelang tengah malam, Bang Parlin pamit mau ke rumah sakit, katanya tidak ada orang yang menjaga Rusdy dan istrinya.Pagi hari Minggu, aku dan tiga anakku berencana pulang ke desa, Bang Parlin masih tetap di kota. Kata Bang Parlin, dia tidak sampai hati meninggalkan Rusdi dan istrinya
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga