"Saat aku menyelam di sungai nangkap ikan, untuk makan keluarga, bukan pahlawan, tapi saat aku menolak pergi ke Bandung, baru pahlawan," kata Bang Parlin. "dunia ini makin aneh," sambung Bang Parlin lagi."Abang yang bilang, wanita itu makhluk paling misterius di dunia ini," jawabku."Suka-sukamu lah, Dek," jawab Bang Parlin. Memang aneh, tapi bagiku ini perubahan besar dari dua lelakiku, Ucok bisa menolak Amanda, gadis yang disukainya sejak dulu, Bang Parlin bisa menolak bantu orang, berhubungan dengan Rara lagi. Ini satu kemajuan, receh memang, tapi, entahlah, aku bahagia sekali."Abang lagi bingung ini, Dek," kata Bang Parlin di suatu malam, saat itu hari sudah jam sebelas malam."Kenapa bingung, Bang? Udah, Lindung itu anak orang," kataku kemudian."Itulah kamu, Dek, cepat sekali nangkap, tapi salah," kata Bang Parlin."Jadi?""Tadi Abang ditelepon biro haji, kita akan berangkat tahun ini, mulai bulan depan akan manasik haji," kata Bang Parlin."Wah, tapi aku hamil, Bang,""Itula
Akhirnya disepakati, Bang Parlindungan dan Ucok yang akan berangkat naik haji. Pergantian ini cukup menyita waktu juga, karena tempat pendaftarannya di Medan, Torkis yang urus semua waktu itu. "Torkis, aku gak bisa berangkat ini, bisa bantu urus dulu, biar Ucok yang gantikan?" tanyaku pada Torkis lewat telepon."Lo, kenapa, Bu?" tanya Torkis.Aku lupa, dia belum tahu tentang kehamilan ini."Kurang sehat aku, Torkis," malu juga aku bilangnya lagi hamil."Kurang sehat bagaimana, Bu, kok gak kasih kabar?" Torkis kedengaran khawatir."Aku hamil, Torkis, bulan haji ini perkiraan melahirkan," kataku."Astaghfirullah, eh, Alhamdulillah," "Jadi kami sudah sepakat, Bang Parlindungan dan Ucok saja yang berangkat naik haji," kataku kemudian."Waduh, Ibu hebat, ada lagi adikku," kata Torkis."Bisa, bantu gak?""Bisa, Bu, bisa,""Kirimkan semua berkasnya, KTP, KK, surat kuasa dan semuanya, biar aku yang urus di sini, beres itu, Bu," kata Torkis."Alhamdulillah,"Aku sedikit lega, mungkin kami ta
PoV ButetAku kini sudah berseragam SMA, biarpun umurku lebih muda dari teman-teman sekelas, akan tetapi aku yang lebih besar. Masih seperti saat SMP, pelajaran sekolah masih bisa kuikuti. Aku yang jarang punya teman saat SMP, saat SMA pun sama juga. Entah kenapa kawan sebaya bukan teman yang cocok untukku.Hari itu saat aku pulang, aku tidak melihat Bang Ucok, biasanya kami selalu pulang bersama. Kulihat ke parkiran motor, motornya sudah tidak ada. Bang Ucok mungkin sudah meninggalkaku di sini.Aku akan menunggu angkutan saja, ketika aku berdiri di pinggir jalan, tiba-tiba ada motor berhenti di dekatku. Ketika pemotor itu membuka helm, spontan aku berseru."Bang Umar!""Ayo kuantar," ajak polisi tampan tersebut.Karena memang angkutan sudah tak ada, aku mau saja. Akan tetapi baru saja kami jalan, Bang Ucok sudah datang, dia memeepet motor polisi tersebut."Tet, ayo pulang," kata Bang Ucok."Udah, aku pulang sama Bang Umar saja," kataku."Tidak boleh!" kata Ucok."Abang tadinya entah
Ayah lalu memegangiku, lalu menyuruhku duduk. Aku lalu duduk dir kursi."Untung juga kau adikku, Tet," kata Bang Ucok seraya memegangi rahangnya."Tarik nafas dulu, Tet, istighfar," kata Ayah. Aku menuruti perintah ayah, setelah tarik nafas panjang dan istighfar, aku baru merasa tenang."Sekarang ceritakan ada apa?" kata Ayah lagi."Kan aku pulang sekolah, Bang Ucok gak ada, entah dia ke mana," kataku memulai cerita."Aku pergi jajan, Tet," Bang Ucok langsung bicara."Terus?""Datang si Agnez sama dua temannya, dibilangnya aku muka boros, dibilangnya aku chat pacarnya, aku gak peduli, eh dia tarik rambutku, tendang perutku, aku marahlah, aku pukul dua kali, mampus situ," kataku kemudian."Bagus, Tet, itu baru anak ayah, jangan mau ditindas," kata Ayah."Ayah bagaimananya, itu si Polisi itu antar jemput Agnes, Yah, Butet cemburu," kata Bang Ucok."Awas kau, Bang ya," kataku seraya menunjukkan kepalan tangan."Gak usah mengelak kau, Tet, terlambat aku sikit sudah naik motor polisi itu
Akhirnya Bang Ucok mendukungku kali ini, dia berusaha menenangkan mamak yang sudah mulai panik. Yah, memang dipikir-pikir, ibu mama yang tidak panik, anaknya viral di media sosial, memukuli anak Kapolsek lagi."Butet gak salah, Mak, karena perempuannya anak Kapolsek itu, kalau gak bisa kupukul juga itu," kata Bang Ucok."Aduh, bukan perkara salah gak salah, gak bisa kah kalian adem dulu, jangan banyak tingkah dulu, jangan cari masalah dulu," kata Mamak."Iyar Mak, maafkan Butet, Mak," kataku kemudian.Ada mobil parkir di depan rumah, aku melihat Bang Umar turun dari mobil, lalu membuka pintu tengah mobil tersebut. Terus pria berpakaian polisi turun dari mobil. Di pundak pria itu ada tiga balok warna emas. "Silahkan masuk, Pak," kata Mamak."Tidak, di sini saja, saya masih menghargai anak kalian yang dapat penghargaan sahabat polisi, jadi saya tunggu di kantor, tidak perlulah saya tangkap lagi," kata Pria tersebut. Aku kenal pria ini, dia yang berikan penghargaan untukku tempo hari
"Butet, jika memang sudah tidak ada bukti, udah minta maaf saja," kata Ayah saat kami dalam perjalanan."Tidak, Yah, aku tidak mau minta maaf, aku sudah di-bully, masa aku yang minta maaf," kataku. Aku tahu yang dikawatirkan ayah. Beliau tentu tidak rela anaknya ditahan polisi. Aku coba buka Facebook-ku, melihat kembali video tersebut. Yang memposting video itu pertama kali adalah Vina, teman satu geng Agnes. Aku coba kirim pesan inbox untuknya."Aku dan kamu tahu apa yang terjadi, apakah kamu tidak merasa berdosa memosting video yang sudah dipotong?" pesanku padanya.Dia langsung membalas ..."Tak ada kupotong ya," "Lalu mana video sebelumnya?" "Memang videonya hanya itu,""Kamu sengaja memvideokan saat aku memukuli saja," pesanku lagi."Suka-suka aku lah, kapan aku mulai video,""Oh, gitu ya, mungkin mulutmu itu sasaranku selanjutnya," pesanku lagi."Jangan!""Lihat sajalah, jika aku sampai ditahan polisi, kau yang pertama kucari setelah bebas," pesanku lagi."Sumpah, aku hanya
Bisa minta tolong, Pak?" kataku Pada Kapolsek tersebut."Minta tolong apa?"Aku segera mengambil tangkapan layar pada video kedua, di mana ada mobil berhenti di depan gerbang sekolah, aku pilih yang terlihat nomo plat polisinya."Ini, Pak, bisa minta tolong cari tahu ini mobil siapa?" kataku kemudian.Kuperhatikan wajah Kapolsek tersebut, belia tampak terkejut. Dia lalu berdiri terus ambil hp."Tak perlu menyuruh orang itu buang mobilnya, Pak, sayang dibuang," kataku lagi. Ayah melihatku, mamak juga seperti terkejut. "Ada yang kau sembunyikan, Tet" tanya Ayah."Gak ada, Yah, justru baru dapat bukti," jawabku.Sementara Kapolsek itu sepertinya sudah gelisah, dia mondar-mandir sambil bicara melalui HT. "Bagaimana, Pak? Apakah saya ditahan?" Aku mendesaknya."Apanya kau, Tet" tanya mamak.Lalu kutunjukkan video itu pada Mamak, mamak dan ayah sama-sama menontonnya. Lalu video kedua itu juga kutunjukkan. Ayah jadi marah. "Pak!" ayah memanggil Kapolsek tersebut."Sebentar, Pak, sebent
Aku jadi ikutan panik karena mamak terus mengaduh. Aku tidak tahu harus melakukan apa, hanya memegangi mamak dan memberikan semangat. "Bang, cepat!" kata Mamak.Tiba-tiba mobil kami seperti terguncang keras, ternyata ada polisi tidur."Aduh, pelan-pelan lah Yah, mamak sakit' ini," kataku protes."Macam mana?, mamak kau bilang cepat, kau bilang pelan-pelan," jawab ayah.Akhirnya kami sampai juga di rumah bersalin. Begitu mamak turun dari mobil, ada darah di bekas tempat duduk mamak. Ya, Allah, ada apa dengan mamak.Mamak langsung ditangani, hanya Ayah yang menemani di ruang bersalin, aku dan Bang Ucok duduk menunggu di ruang tunggu."Bang, aku takut mamak kenapa-kenapa, aku jadi merasa bersalah," kataku pada Bang Ucok."Kenapa?""Kan ayah sering bilang, jangan cari masalah dulu, mamak hamil, dokter bilang rentan lahirnya prematur," kataku lagi."Aku merasa bersalah, Bang," sambungku lagi."Udah, kita berdoa saja, semoga mamak sehat, adik kita selamat,' kata Bang Ucok.Aku jadi gelisa
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga