PoV ButetDi sekolah, Agnes masih saja cari gara-gara. Entah kenapa dengan anak Kapolsek ini, dia seperti menganggapku musuh besarnya. Aku sudah sering coba tahan diri, teringat mamak yang baru lahiran. Ayah dan Bang Ucok yang lagi manasik haji. Aku tidak ingin mengganggu mereka dengan masalahku. Seperti hari itu ..."Orang tuanya ditangkap polisi karena dicurigai bawa narkoba, eh, bawa orang sekampung," kata Agnes pada temannya, saat itu aku lagi di kantin sekolah, tiba-tiba saja mereka sudah duduk di meja sebelah.Aku coba tetap cuek, teringat perkataan Bang Ucok saat hendak pergi ke Medan mengikuti manasik haji."Tet, jika ada masalah, menghindar dulu, mamak itu sepertinya ada gejala baby blues," fokuskan urus mamak. Begitu kata Bang Ucok saat mereka hendak pergi. Ada kemajuan, biasanya dia bilang "jangan cari masalah dulu," kini disuruh menghindar jika ada masalah, berarti Bang Ucok sudah sadar, jika aku bukan pencari masalah.Aku tahu, mamak memang sepertinya hampir stress, karen
Kapolsek dicopot dari jabatannya, kini dia non job di Polres, tak ada jabatan sama sekali. Malam itu ketika kami hendak pulang. Kapolsek itu menelepon. Dia minta bertemu dengan kami. "Jangan mau, Yah," kataku pada Ayah. "Udah, gak apa-apa, gak usah takut," jawab ayah. "Nanti kita diapa-apain?" Kataku lagi."Gak usah takut, Tet, ayo kita pulang', bertemu Kapolsek nanti di jalan katanya Rumah Makan Sopo Tinjak," kata Ayah.Akhirnya kami pulang, sesuai rencana bertemunya di salah satu rumah makan di pinggir jalan. Saat kami tiba, sudah ada Kapolsek, Bang Umar juga ikut.Kami menyalami mereka semua, ada empat orang polisi."Bang Parlin punya anak perempuan, pasti tahu bagaimana perasaanku," kata kapolsekta."Benar, Pak, karena itu saya mau bertemu," kata Ayah."Begini, Bang Parlin, semua itu tidak sepengatahuan saya," kata Kapolsek itu."Maaf, Pak, surat geledah itu ada tanda tangan Bapak, kami bukan orang bodoh," kataku kemudian."Betul, tapi ini semuanya perbuatan Agnes, tak kusangka
PoV NiaMakin hari aku makin merasa terkurung, langkahku terasa terhambat. Sungguh aku merasa ibu yang gagal saat Butet ada masalah aku tak bisa mendampinginya. Butet anak yang kurang bergaul, temannya tidak seberapa. Akulah tempat curhatnya selama ini. Jika dia bermasalah akulah yang paling depan mengatasi. Akan tetapi kali ini Butet harus pergi bersama ayahnya, tanpa bisa kuikuti."Cok, Ayahmu kok belum pulang ya, dah mau Magrib itu," kataku pada Ucok. Anak lajangku ini terus setia menemaniku."Mungkin bentar lagi, Mak," kata Ucok."Telepon dulu, Cok," Ucok pun mengambil hp, lalu menelepon ayahnya. "Kok belum pulang, yah?" terdengar Ucok bertanya."Oh, iya, yah," kata Ucok lagi."Mereka berangkat habis magrib, Mak, berarti sampainya kira-kira jam sepuluh," kata Ucok."Kenapa nya ayahmu itu, kok pulang malam pula, kalau sudah selesai pulang napa?" kataku kemudian."Udah, Mak, tenang saja," kata Ucok."Mamak gak bisa tenang, Cok, si Butet mulutnya gak bisa dia rem, selama ini sela
Para hadirin pun bertepuk tangan, penceramah kembali mengambil alih mikrofon. "Tadinya saya ingin mendengar sedikit motivasi dari Bang Parlin, tapi beliau justru bicara tentang rasa dan keluarga. Baru kali ini saya mendengar istilah tersesat oleh rasa, jadi saya ingin membahasnya tersesat dan keluarga,' kata Ustadz tersebut."Maksud tersesat oleh rasa ini adalah, saat kita merasa sudah baik, sudah alim, tapi ternyata kita dalam kesesatan, itulah yang mungkin maksud Bang Parlin. Ini memang banyak terjadi di antara kita, kadang kita lagi salat, tak bisa khusuk karena ada rasa ingin buang angin, kita tahan, kita merasa sudah mampu menahan, ternyata lepas sedikit, kita merasa Salat kita sudah sah, ternyata tidak. Satu contoh lagi tersesat oleh rasa, kita merasa diri paling baik, itulah bibit sombong, sungguh luar biasa Bang Parlin ini, saya jadi ikutan tersindir, saya salah' satu yang tersesat oleh rasa ini," kata ustadz tersebut.Tak sadar, refleks aku tertawa, karena aku tahu apa maksu
PoV ButetAbang dan Ucok pergi nail haji, aku tinggal berdua dengan mamak. Aku juga punya teman baru yang satu frekuensi, yang tidak suka keramaian. Dia Sandy, orang yang bantu aku dalam kasus Kapolsek. Saat acara syukuran keberangkatan ayah dan Bang Ucok, aku mengundangnya, akan tetapi dia tidak mau datang dengan alasan tak suka keramaian."Maaf, jangankan pesta, bertemu orang saja aku takut dan malas," begitu pesannya."Ayolah, kamu gak akan dimakan orang," kataku lagi."Iya, sih, tapi, ya, begitulah, apa aku harus datang dan diam saja, kan malu,""Aku butuh bantuamu," aku coba cara lain."Bantuan apa?""Acara itu mau didokumentasikan, kamu kan ahlinya," pesanku lagi."Ada tempat tersembunyi, kah, yang gak ada orang?""Ada," "Baik, aku datang,"Akhirnya saat acara berlangsung, dia datang juga bersama ibunya. Aku terkejut melihat' dia berpakaian rapi. Tampan juga, mirip oppa korea, tapi kulit tampak pucat, mungkin karena tidak pernah terkena sinar matahari langsung.Aku langsung me
Polisi muda itu masih saja muntah, kali ini muntahannya tinggal cairan, semua yang dia makan sudah keluar semua. Ibu pemilik sarung memberikan air hangat, Bang Umar meminumnya. "Sakit perutku kumat, aku pulang dulu ya," kata Bang Umar, dia berdiri sambil memegang perutnya. Kemudian berjalan ke mobilnya. "Bisa nyetir, Bang?" kataku khawatir."Bisa, bisa," katanya seraya menghidupkan mesin mobil, terus pergi.Setelah Bang Umar pergi, Sandy keluar dari sarangnya."Menambah kerjaan saja itu, masa muntah di meja," kata Sandy seraya membersihkan meja tersebut.Kupandangi wajah Sandy, dia tampak cemberut sambil membersihkan sisa-sisa muntahan Polisi itu."Itulah, polisi pemabuk itu, pasti baru pulang minum-minum dia," kata Sandy lagi.Ada orang datang, cepat sekali Sandy kembali masuk sarang. Salam sekejap dia sudah ke dapur lagi. Aku tetap menunggu karena sudah janji, akan tetapi Bang Sandy tidak keluar sampai orang yang makan itu pergi lagi. "Ayo," Bang Sandy sudah siap, dia memakai ka
Bagaimana pria berkacamata itu bisa pulang? Alangkah sulit hidup yang dijalani Bang Sandy, naik angkutan umum pun dia gak berani. Aku jadi merasa bersalah."Ma, Bang Sandy pulang jalan kaki," kataku pada mamak."Gak mungkin, sekali lima belas menit lewat angkutan desa," jawab Mamak."Bang Sandy gak berani' naik angkutan, Mak," kataku lagi."Mustahil, itu, namanya manusia pasti punya pikiran, gak mungkin dia jalan kaki," jawab Mamak."Aku merasa gak enak, Mak," kataku kemudian, lalu kuceritakan semua telah terjadi, mulai Bang Umar yang datang dan muntah, sampai perkataan Bang Sandy yang tidak mau ada orang lain di antara kami."Waduh, gak beres itu anak, bisa-bisa dia terobsesi padamu, Tet," jawab mamak."Ah, mama mungkin, Mak, gemuk begini mana cowok terobsesi," kataku lagi."Obsesi itu bukan hanya karena cantik, tapi bisa karena hal lain," kata mamak."Yeah, berarti mamak akui aku gak cantik,""Ish, Butet, kamu cantik kok," Aku kemudian membantu mamak beres-beres rumah, untuk apa me
Aku terus coba hubungi Bang Sandy, akan tetapi tetap juga tak bisa dihubungi. Kukirim pesan pun tak dibaca. Ke mana dia? Aku juga tak bisa bergerak, biarpun sudah bisa bawa motor, mamak tidak akan mengizinkan aku naik motor sendiri. Kadang peraturan mamak terlalu ketat, anak orang masih SD sudah bawa motor, aku sudah lima belas tahun gak boleh bawa motor."Mak, aku cari Bang Sandy ya?" tanyaku pada mamak,""Pake apa kau cari, Tet?'"Pake motor lah, Mak,""Gak boleh,""Ini darurat lo, Mak,""Tetap gak boleh," kata mamak.Aku tak mungkin mengajak mamak, ada adekku yang baru dua bulan usianya, gak mungkin ditinggalkan, gak mungkin juga dibawa. Saat aku bingung, ada mobil parkir di depan rumah. Mobil Avanza hitam. "Bang Umar!" aku berteriak gembira, ini seperti pucuk di cinta ulam tiba. Butuh kendaraan untuk cari Bang Sandy, datang lengkap dengan sopirnya."Hei, Butet, bagaimana, siap pecahkan kasus?" kata Bang Umar."Kasus apa?" tanya mamak?""Ninja sawit, Bu, di desa sebelah marak nin
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga