PoV ButetKejahatan itu memang biasanya ada motif, jika untuk mencuri, rasanya mustahil Sandy seperti itu, dia YouTubers dengan penghasilan ratusan dollar. Tidak mungkin dia merusak dirinya demi hal receh begitu.Saat kami asyiknya diskusi, datang Bang Umar."Sandy, cepat atau lambat, kami pasti dapat bukti," kata Umar."Syukurlah," jawab Sandy."Ngaku ajalah, dari pada kamu nanti susah," kata Bang Umar lagi."Cari dulu buktinya?" kata Sandy "Kami akan dapat segera," kata Bang Umar."Kok gitu, Bang Umar, langsung main tuduh," kataku kemudian."Feeling, Tet,""Oh, polisi sekarang bekerja berdasarkan feeling ya," kata Bang Sandy."Aku permisi dulu," kata Bang Umar setelah ada temannya memanggil.Setelah Bang Umar pergi, Bang Ucok juga mengajakku pulang. Padahal kasus ini sangat menarik bagiku. Saya kami sampai di rumah, sedang ada tamu, Resti datang berkunjung, aku langsung menuju dapur, dugaanku mamak pesan ayam bakar dan dia bawa datang antar ayam bakar, ternyata tidak ada."Butet,
PoV NiaAda ungkapan begini "Punya anak bayi selalu membuat cemas, akan tetapi punya anak remaja membuat ketar-ketir." Aku baru percaya ungkapan itu sekarang. Setelah mengalami keduanya. Punya anak bayi sekaligus punya dua anak remaja.Aku terkejut karena Butet ternyata sudah pandai cari perhatian cowok. Dia sampai mengirim makanan segala. Makin terkejut karena Ucok ternyata masih menyimpan rasa untuk Salsabila. Jika kata orang punya anak gadis itu membuat selalu cemas, aku justru lebih cemas punya anak laki-laki. Aku lebih khawatir pada Ucok dari pada Butet.Seperti siang itu, Ucok dan Butet pulang lebih cepat, aku langsung khawatir mendengar dari Butet tentang Salsabila. Aku sangat khawatir dengan anakku ini. Aku merasa dia mau menghabiskan tenaga dan pikiran untuk orang, seperti ayahnya. Jika dinasehati, Ucok selalu bilang iya, iya saja, akan tetapi dia tetap berusaha membantu Salsabila. Mungkin sudah ditakdirkan keluarga kami jadi tempat menyelesaikan masalah, seperti siang itu
Aku terkejut karena peta itu menunjukkan lokasi pesantren, tak bisa kubayangkan jika pesantren terlibat pencurian laptop di sekolah Butet. Aku menyuruh Sandy untuk memeriksa sekali lagi, mungkin alatnya salah tidak mungkin rasanya pesantren menyimpan barang curian. Pemuda itu mencoba berulang kali tetap saja lokasi pesantren itu yang ditunjukkan peta, kulihat bang Parlin, dia pun sepertinya heran. Bang Parlin lalu mengambil telepon terus menghubungi kepala sekolah."Pak, apakah email yang bapak berikan itu benar?" Tanya Bang Parlin setelah sambungan telepon tersambung, Bang Parlin menghidupkan speaker HP."Benar, Bang Parlin, sebenarnya kami sudah periksa, ada ahli IT dari kepolisian. Kami sudah tahu pesantren Bang Parlin itu tempatnya," kata Kepala Sekolah itu lagi."Lalu, kenapa lagi minta bantuan pada kami?" tanya Bang Parlin."Karena kami menghormati bapak, ini sarana Kapolsek, beliau juga sangat menghormati bapak, kami tidak berani menuduh pesantren bapak, jadi kami serahkan pa
PoV ButetTernyata banyak yang suka Ustadz Rizal, tidak nyangka sampai gadis tiga belas tahun pun suka padanya. Bela-belain ambil hp orang tuanya hanya untuk bisa memoto Ustadz Tampan itu. Akan tetapi aksinya itu justru membuat kasus ini jadi terkuak.Saat kami pergi ke sekolah keesokan harinya, penjaga sekolah itu sudah tidak ada konon sudah ditangkap polisi. Akan tetapi laptop sekolah sudah sempat dijual."Kok bisa tukang listrik atur isi cctv-nya, Bang Sandy?" tanyaku pada Bang Sandy, saat itu aku sudah pulang sekolah, akan tetapi Bang Ucok belum pulang, aku menunggu Bang Ucok di rumah makan Bang Sandy."Entahlah, rasanya tidak mungkin," kata Bang Sandy."Kenapa, Bang?""Atur chanel itu sangat sulit, itu butuh waktu lama, bukan pekerjaan sebentar dan butuh alat mahal. Itu kan membajak siaran TV dan menayangkannya di cctv, itu butuh ahlinya, aku saja belum pernah coba," kata Bang Sandy."Jadi ada tersangka lain?""Begitulah, tapi biar sajalah, itu bukan urusan kita lagi, sudah ditan
PoV Butet Aku harus jawab apa? Sungguh baru kali ini aku tidak tahu apa yang akan kukatakan. Aku bisa berdebat dengan polisi, bahkan bupati, akan tetapi kali ini lain dari pada yang lain. "Diam berarti ya, aku yakin itu," kata ibunya Bang Sandy. "Oh, bukan , diam bukan berarti ya, diam berarti karena bingung, karena aku masih polos, aku turut ayah saja," kataku kemudian. Mereka tampak kecewa, mereka akhirnya pulang juga, setelah mereka pulang, aku langsung periksa rantang bawaan mereka. Ada rendang daging. "Asyik, makan enak," kataku seraya mengambil piring. Bang Ucok ikut gabung, dia juga ambil piring dan kami makan di ruang tengah. "Lamaran ditolak, tapi rendangnya disantap," kata Bang Ucok. "Ya, iyalah," "Terkejut aku tadi, Tet, kupikir mau kau langkahi aku," kata Bang Ucok "Langkahi macam mana, Bang?" "Kau kawin duluan," kata Bang Ucok lagi," "Hahaha," "Kok bisa mikirin gitulah si Sandy itu, pikirannya sempit sekali, takut bersaing lamar duluan," kata Bang Ucok l
Setelah percobaan tunangan dari Bang Sandy itu, aku jadi malas mampir ke rumah makan mereka, ibunya seperti berharap lain padaku. Seperti siang itu sepulang sekolah, Bang Ucok terlambat lagi Aku duduk di depan sekolah menunggu sambil main HP. Ada pesan masuk dari Bang Sandy, ketika kubuka ternyata foto diriku yang sepertinya baru diambil. Kutatap ke seberang jalan, Bang Shandy melambaikan tangan. Akan tetapi aku malas untuk datang.Bang Sandy mengirim video, yang sepertinya video cctv dari halaman sekolah. Dalam video itu nampak Bang Ucok sedang berkumpul dengan siswa lain."Bang Ucok masih lama, mampir dulu," pesannya kemudian.Aku hanya membalas dengan emoticon senyum. Lalu dia balas lagi dengan emoticon sedih. "Maaf, aku gak bisa datang, takut khilap makan banyak, lagi diet," pesanku beralasan.Bang Ucok akhirnya datang juga, aku langsung naik ke boncengan motornya."Kok lama kali, Bang?" tanyaku saat kami dalam perjalanan pulang."Kami lagi membahas kemalingan itu," jawab Bang U
PoV Nia"Mak, kasihan Bang Sandy," kata Butet di suatu hari, saat itu dia menemaniku di kantor desa. "Kasihan kenapa, Tet?" tanyaku seraya mata' fokus ke berkas yang di depanku. Aku memang lagi banyak kerjaan, karena ada beberapa surat-surat yang harus kuperiksa."Penyakitnya kumat," kata Butet lagi."Penyakit apa itu?""Introvert akut,""Oh, udah, gak usah pikiri," jawabku kemudian."Dia gak pernah mau keluar lagi, patah hati kata ibunya," kata Butet lagi."Udah, Tet, biar saja, kita gak mungkin bisa jadi penyelamat semua orang," kataku kemudian.Aku memang lagi banyak kerjaan, berkas-berkas ini sangat menyita waktu dan pikiran. Aku harus memeriksa kelayakan surat lalu menandatangani, jika belum lengkap menghubungi orangnya. Ini perintah langsung dari Bupati melalui dinas pertanahan dan tata ruang. Desa kami dapat giliran pembagian akte tanah gratis dari pemerintah. Warga desa sangat antusias dengan program pemerintah ini.Bang Parlindungan datang, begitu dia sampai langsung kusodor
Rusdi, dulu dia datang minta tolong, katanyat dia tak punya tempat tinggal. Mau bangun gubuk di lahan dekat kuburan. Tanah wakaf itu memang baru ada beberapa kuburan. Masih banyak lahan yang kosong. Bang Parlindungan yang pengurus tanah wakaf membantu saja. Pertama' dia bangun semacam tenda darurat. Baru pondok kecil dari kayu dan bambu. Keluarganya pun datang entah dari mana. Tanpa minta izin lagi dia bangun rumah semi permanen, alasannya untuk melindungi keluarganya.Ketika ada bantuan sertifikat rumah gratis, dia mengurus supaya tanah itu jadir hak miliknya. Rusdi ini benar-benar keterlaluan. Dia menanyakan harga tanda tanganku. Tentu saja aku tersinggung."Kamu pendatang di sini, Ktp-mu sajak bukan beralamatkan di desa ini," aku masih mencoba bicara' santun."Tak ada hukum yang melarang memiliki tanah di desa orang, Bu," kata Rusdi."Memang benar, Pak, tapi menguasai lahan wakaf itu melanggar hukum, mencoba menyuap kepala desa itu melanggar hukum," kataku."Katakan saja harganya,
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga