Aku menatap Bang Parlin dengan pandangan curiga, sepertinya suamiku itu paham apa yang ada dalam pikiranku."Dek, datang tamu minta makan, adek gak ada, Abang bawa ke warung ini untuk mencegah fitnah," kata Bang Parlin."Aku percaya pada Abang, yang gak bisa kupercaya adalah wanita ini," kataku kemudian.Merry kembali menangis, dia sampai sesunggukan. Aku tidak percaya dengan air matanya. Entah kenapa yang namanya pelakor sangat sulit untuk kupercayai."Aku terpuruk, sangat terpuruk, aku datang kemari karena tidak tahu mau pergi ke mana lagi, aku butuh bantuan," kata Merry disela isak tangisnya."Kenapa terpuruk?" tanya Bang Parlin."Aku diceraikan, huhuhu," wanita itu masih menangis."Waduh, kenapa?" tanya Bang Parlin.Sementara aku diam diam chat mantan bupati tersebut.(Kenapa bapak ceraikan Merry?) Begitu chat yang kukurim."Salsabila, Bang Parlin, dia rekayasa semua, aku dituduh mau racuni dia, padahal dia yang sudah berpengalaman soal racun," kata Merry."Wah, kok bisa begitu?"
Aku mulai menghubungi para korban Abdul Hakim, selain Butet dan Salsa, ada empat orang lagi. Semuanya siswa di sekolah Butet dulu. Yang pertama kuhubungi adalah seorang ibu yang punya anak laki-laki korban pelecehan."Bu, kemarin itu kan ada anak angkat kami, dia tawarkan damai supaya bisa bertemu langsung dengan Abdul Hakim, ternyata tawarannya itu diterima keluarga Abdullah Hakim, begitu aku tandanya tangan, mereka langsung transfer dari dua puluh nomor rekening yang berbeda-beda, masing-masing lima puluh juta, jadi saya merasa tidak enak, dan bermaksud membagi uang itu untuk korban' yang lain," kataku setelah basa-basi sejenak."Dia dihukum begitu saja kami sudah sangat berterimakasih kasih, Bu, kami juga berterima kasih karena kalian semuanya ini terungkap," jawab ibu tersebut."Oh, iya, Bu, jadi saya mau bagi uang denda itu untuk tabungan pendidikan anak kita," kataku lagi."Terima kasih banyak, Bu," "Kita bertemu di kota minggu depan ya, Bu," kataku kemudian."Baik, Bu," Satu
Bayi itu sudah agak besar, mengkin umurnya juga sudah satu tahun, akan tetapi sepertinya belum pandai berjalan. Aku coba gendong. Tiba-tiba bayi itu menangis, aku jadi panik, tangisannya terdengar sangat keras. Kucoba goyangkan badan layaknya orang gendong bayi. Akan tetapi bayi itu terus saja menangis."Bang, beli dulu susunya?" perintahku pada Bang Parlin."Susu apa?" "Aku mana tau, Bang," "Kasih air tajin aja," kata Bang Parlin. "Ini anak bupati lo, Bang, bukan anak petani," kataku kemudian.Ucok dan Butet memang tidak pernah minum susu kemasan saat bayi, mereka masih menyusui sampai dua tahun, setelah itu makan seperti biasa, tidak pernah minum susu formula atau susu pertumbuhan. "Udah, sini kugendong," kata Bang Parlin. Suamiku itu pun menggendong bayi satu tahun tersebut sambil bernyanyi. Nyanyiannya masih seperti dulu, ungut-ungut yang sudah dia modifikasi."Dari mana hendaknya ke manaDari Medan hendak ke PadangBagaimana hati tidak gundah gulanaAyah dan ibumu lagi berper
Entahlah, masalah seperti banyak berdatangan, Butet yang hendak ujian kesetaraan, Merry lagi yang tiba-tiba datang ngantar anak, sudah diantarnya minta diantar balik. Belum lagi Bang Parlin yang sepertinya ingin bantu semua orang. Kini dia membimbing Tugirin untuk berdzikir. Aku pernah dengar, zikir itu obat untuk jiwa yang gersang. Atau memang Bang Parlin mau mengobati Tugirin?HP Bang Parlin berbunyi lagi. Saat kulihat panggilan dari Merry lagi."Apa lagi maumu?" tanyaku kesal setelah menggeser tombol hijau."Aku mau bicara dengan Bang Parlin," katanya dari seberang."Mau bicara apa, bilang samaku saja," jawabku makin kesal."Aku hanya mau bicara dengan Bang Parlin," katanya lagi."Oh, kau mau memanfaatkan suamiku kan, kau tahu dia akan bantu orang yang butuh bantuan, sabar dulu, antri, Bang Parlinnya sekarang lagi membantu orang lain," kataku kemudian. Kesal juga pada suami, orang antri yang butuh bantuannya."Bu Nia, tadinya aku sudah ingin tinggalkan anakku saja, karena mau nyebr
Kami pulang ke rumah, dalam perjalanan Ucok yang menggendong anak Merry. Dia terus bermain bersama anak tersebut. "Yah, kok gak mirip Salsabila ya?" tanya Ucok."Ya iyalah, gak selalu mirip, memang kau mirip Butet?" jawab Bang Parlin."Butet mirip mamak, aku mirip ayah, la, ini mirip siapa?" kata Ucok lagi."Aku lalu memperhatikan wajah anak tersebut, memang tidak mirip Merry, tidak juga mirip mantan bupati."Anak itu gak harus selalu mirip, Cok," kata Bang Parlin.HP Bang Parlin bunyi, ada panggilan dari nomor tak dikenal, Bang Parlin menyuruhku untuk menerima panggilan tersebut. "Assalamualaikum, halo," salam dan sisapaku kemudian."Hallo, Bu, saya temannya Merry, disuruh jemput anak, tapi rumah ibu kosong, gak ada orang," katanya dari seberang."Oh, ya, tunggu, kami segera sampai," kataku kemudian."Baik, saya tunggu, terima kasih, Bu," ujar pria tersebut.Bang Parlin justru menghentikan mobil, katanya kami harus diskusikan lagi."Bagaimana, Dek, kita serahkan anak ini, atau kit
Aku bisa bernafas lega malam itu, dua masalah serius bisa teratasi dalam satu hari. Dalam hati aku salut sama suamiku itu, dia rela menyisihkan waktunya yang tak seberapa membantu masalah orang, yang bahkan bukan saudara. "Bang, itu Tugirin kok berubah drastis?" tanyaku saat kami berduaan di kamar."Abang juga tidak ngerti, Dek, yang Abang ajari dia sekaligus praktekkan mengembalikan miliknya yang hilang," kata Bang Parlindungan."Kok bisa berubah ya, tiba-tiba dia talak istrinya talak tiga," kataku kemudian."Zikir juga bisa menghilangkan pengaruh jin, Makin kita berzikir, setan akan makin menjauh," kata Bang Parlin."Apa hubungannya?""Gini lo, Dek, ilmu pelet itu lewat bantuan jin jahat, jadi zikir obatnya, orang yang selalu menjaga zikirnya, tidak bisa dipelet," "Maksud Abang Tugirin dipelet bininya?""Ya, begitulah kira-kira," "Wah, itu sekali zikir dua hasil, pelet pudar, istri kembali," kataku lagi."Ya, tepat sekali, tapi Abang jadi khawatir, Dek," kata Bang Parlin."Khawat
Kami justru ditinggalkan di rumah tersebut bersama Salsabila. Sebelum pergi, Mantan bupati itu masih berpesan pada anaknya supaya menuruti perkataan kami. Jadilah kami tinggal di rumah tersebut."Ini bisa menghemat pengeluaran kita, Bang, gak lagi bayar hotel," kataku pada Bang Parlin. Saat itu kami lagi memperhatikan Salsa dan Butet yang lagi belajar didampingi guru."Iya, juga, ya," sahut Bang Parlin."Bang, kira-kira Butet selepas ini nyambungnya sekolah di mana?" tanyaku kemudian."Entahlah, Dek, Butet ini terlalu pintar, sekolah pun payah dapat yang cocok," kata Bang Parlin."Benar juga ya, Bang, asal pakai terlalu, gak ada yang Bagus, terlalu pintar saja jadi begini," kataku lagi."Iya, Dek, cuma satu terlalu yang baik," "Apa itu, Bang,""Kamu itu terlalu gemuk,""Ish, Abang,""Itu pujian lo, Dek, ada ungkapan beginil, jangan mengaku sebagai suami sukses, jika belum bisa membuat istriy gemuk," kata Bang Parlin."Hahaha," di luar dugaan, guru Salsa dan Butet ternyata mendengar p
PoV MerryDitalak tiga justru membuat aku senang, ini saatnya bisa merdeka, setelah selama ini merasa terkungkung dengan banyaknya aturan suami. Akan tetapi anakku, ini akan jadi beban untukku, jika kutinggal bersama Salsa, bagaimana jika mereka tahu rahasia yang sebenarnya.Aku lalu teringat, Bang Parlin, dia orang yang selalu bisa dimintai bantuan. Dengan naik motor matic serta bawa anak, aku nekat pergi tengah malam. Paginya baru sampai, dari jauh sudah kulihat Nia hendak berangkat bersama anaknya. Aku memilih menunggu Bang Parlindungan sendiri. Bicara dengan Nia selalu tidak mengenakkan.Setelah Nia pergi aku langsung datangi rumah Bang Parlin, dia malah tak membiarkanku masuk rumah. Aku malah dibawa ke warung sarapan.Sambil sarapan, aku minta tolong pada Bang Parlin, akan tetapi dia kali ini tidak bisa bantu. Entahlah, aku makin kesal karena Nia datang ke warung tersebut. Gagal sudah rencana.Aku akhirnya pergi dari tempat tersebut. Saat di jalan, aku dapat telepon dari Wisnu."
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga