“Elo suka sama perempuan tadi?” tanya Rahman tanpa kalimat pembuka. Tiba-tiba saja bahkan ketika mereka baru menginjakkan kaki di rumah.Andreas melirik keponakan dan kakak iparnya yang sudah masuk duluan ke rumah. Lantas, merapat ke arah Rahman. “Kenapa dibahas?”“Ya, haruslah. Dia bakal jadi calon keluarga kita.” Entah kenapa Rahman sudah yakin akan niat Andreas kali ini. Sudah lama adik bungsunya betah menyandang status jomlo. Sudah lama dia ngga melihat kedua mata coklat berbinar dan hidungnya kembang-kempis seperti tadi.“Gimana? Cantik, kan?” tanya Andreas seraya menunjukkan deretan giginya.“Dia sudah punya anak. Yakin ngga apa-apa?” tanya Rahman mulai sangsi. Melihat senyuman jahil yang menyebalkan itu lagi, dia teringat masa lalu Andreas.“Yakinlah. Anaknya juga seru begitu.” Andreas tampak bersemangat.“Hati-hati, Ndre. Bisa-bisa kalau kamu menyakiti mama-nya, anaknya juga bisa ikut terluka,” ucap Rahman memperingatkan. Dia hapal betul tingkah adik bungsunya yang ngga pernah
Pak Akbar ngga memiliki ruangan khusus sendiri. Itu hanya gegayaannya saja saat bilang disuruh ke ruangannya. Padahal, hanya meja kerja sepetak seperti milik guru-guru yang lain. Hanya letaknya agak spesial. Di depan sendiri, paling deket sama pendingin ruangan, dan agak berjarak dengan meja yang lain. “Mau apa, Fa?” tanya Bu Fauziah—wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. Kebetulan, dia duduk di meja piket. Biasalah, rumpi. Maklum, sudah pada sesepuh ini. “Mau ....”“Efa! Masuk!” Suara Pak Akbar terdengar dari dalam.Bu Fauziah menengok. “Mau ketemu Bapak, ya?” tanyanya setengah berteriak.“Iya, Bu,” sahut Akbar agak kencang.Bu Fauziah menatap gadis bermata tajam itu. “Kamu nakal, ya, Fa?”Efa hanya nyengir. Kalau dia jawab karena ngga mengerjakan tugas, duh bisa dobel kena marahnya ini. Lebih baik kena omel Pak Akbar daripada Bu Fau. Bu Fau kalau sudah berbicara, ngga tahu lagi kapan harus berhentinya, sebelas dua belaslah sama Mak. Efa sampai merinding hanya membayangkannya.“Bu,
Beberapa hari yang lalu ....Akbar berada dalam antrian untuk masuk ke Botani Square. Siang menjelang sore ini antrian cukup ramai. Entah apa yang orang-orang ini cari. Kalau dia, sih karena ada janji bertemu dengan temannya saja. Sehari-hari, sih jarang ke tempat penuh keramaian seperti ini. Bisa pusing kepalanya. Riweh.Kalau bisa memilih, Akbar lebih ingin berada di rumahnya saja. Memasak atau sekedar menonton film sudah membuat harinya bahagia. Apalagi, dia cukup lelah setelah seharian mengajar.“Tiiin!” Mobil di depan mobilnya Akbar mengklakson cukup kencang, terkesan kesal dan marah. Akbar sedikit memanjangkan lehernya untuk melihat apa yang terjadi.“Oi, buruan!” Suara pengemudi mobil di depannya juga terdengar menyergah.Kepala Akbar miring ke samping. Sekilas, bisa dilihatnya seorang wanita tengah menunggu dua anak kecil masuk ke dalam mobil. Kemudian, bergegas kembali ke balik kemudi. Sejurus kemudian, antrian itu pun kembali berjalan.Akbar, sih berusaha ngga terlalu peduli
Roda mobil merah itu melambat di dekat lampu merah. Lantas, berhenti sempurna, cukup halus. Nisha sudah menyetir mobil sejak seumur Efa, jadi sudah cukup lihai mengendarainya. Terkadang sambil melirik gawai, terkadang sambil menelepon pula, bahkan seringkali sambil selfie. Ngga dianjurkan malah sangat terlarang, tapi melakukan dua hal sekaligus seperti itu bukanlah hal yang sulit buat Nisha.Tok-tok-tok!Tiba-tiba ada yang mengetuk kaca mobil Nisha. Dia sontak menoleh, tanpa menurunkan kaca.Dua orang pemuda berada di sisi itu. Keduanya terlihat dekil, rambut mohawk, dan dicat ngga karuan warnanya, entah itu pink atau coklat pirang. Pakaian kusam mereka menambah nilai kedekilan. Apalagi, tindik di kuping, dagu, bahkan hidung kian menyatakan bahwa mereka tidaklah berada dalam pergaulan yang sewajarnya orang tua pikirkan.Nisha melambaikan tangannya. Menolak permintaan pemuda itu meminta uang setelah menyanyikan satu bait lagu yang Nisha sendiri ngga tahu itu lagu apa, liriknya pun ng
Shareefa mundur beberapa langkah. Ia mencoba mencari tempat persembunyian. Dan, lewat otaknya yang cerdas secepat mungkin menemukan tempat persembunyian terbaik, tak lain adalah di belakang Bianca.Tubuh Efa memang tertutupi oleh tubuh berisi Bianca, namun bahunya yang lebih tinggi tetap terlihat meskipun kepalanya sudah ditundukkan.“Shareefa Al-Attar!” Suara Nisha menggelegar.‘Mampus! Kalau Mama sudah manggil pakai nama lengkap begitu artinya sedang marah,’ simpul benak Efa ketakutan.Nisha tentu saja bisa menemukan dengan mudah sosok anak perempuannya itu. Tapi, yang dipanggil ngga juga benar-benar menampakkan diri.Sikap canggung Nisha terlihat jelas saat tanpa sengaja manik matanya melirik ke arah kiri Bianca, sosok Andreas. Andreas memang sudah sedari tadi menunggu manik mata kecoklatan itu menatapnya. Tanpa membuang kesempatan, ia melambaikan singkat tangannya seraya tersenyum lebar.Tanpa bisa menghindar, Nisha hanya mengangguk pelan, lantas berpaling cepat ke arah Efa.Ting
“Mama ngapain ngaca melulu?” tanya Shareefa pada akhirnya. Sedari tadi ia perhatikan terus ibu kandungnya itu menatap cermin, memperbaiki jilbabnya, lantas men-touch up dandanannya. Nisha terus saja memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Ia hanya menoleh sekilas saat menyahut. “Mama mau pergi.”“Pergi?!” seru Efa agak kaget. “Sst! Jangan heboh, entar Bahri denger,” larang Nisha cepat sambil menempelkan telunjuk di bibir. Kalau anak keduanya itu dengar, bisa merengek ingin ikut. Sementara Nisha sudah janji sama Vika dan Elza kalau ngga bawa ‘buntut’ siang ini.Serentak, kedua orang itu menatap ke arah Bahri yang tengah bermain mobil-mobilan di luar bersama beberapa anak pemilik toko yang lain.“Entar dia lihat Mama pergi gimana?” tanya Efa seolah hendak lepas tanggung jawab.“Bilang aja pergi deket sini, cuma bentar.”“Mama ngajarin Efa bohong?” tuding sang anak.Nisha berdecak lalu menoleh dengan tatapan tajam. “Sorry,” ucap Efa acuh tak acuh. “Memangnya Mama mau ke mana, sih? N
Karena tidak diperbolehkan ikut masuk ke ruang UGD, Nisha pun duduk menunggu di luar ruangan itu. Padahal, dia penasaran apa yang terjadi di dalam.Ia melirik setiap orang yang berlalu lalang. Tidak ada yang dikenalnya. Namun, itu bisa mengurangi kejenuhannya dalam menunggu.Tiba-tiba ada gerakan kecil di dalam tasnya. Ternyata ponselnya bergetar hebat. Nisha ngga menunda untuk menerima panggilan itu.“Assalamu'alaikum,” ucapnya.“Nisha, jadi ke sini apa ngga?” Suara Vika terdengar setengah emosi di ujung panggilan.Nisha menggeleng, meskipun sahabatnya itu tidak dapat melihatnya. “Kayaknya aku ngga bisa datang hari ini.”“Yah, kenapa gitu, Nis? Kita sudah janjian jauh-jauh hari, lho,” protes Vika ngga terima.“Tadi aku sudah di jalan. Tapi, mendadak ada halangan. Ini lagi di UGD.”“Kenapa? Kamu kecelakaan, Nis?!” Suara Vika terdengar tercekat dan panik.“Ngga. Bukan aku. Tapi, orang lain. Aku lagi di rumah sakit nemenin orang itu. Ngga enak mau pergi,” jawab Nisha agak memelankan vol
Ana keluar dari restoran pempek miliknya. Semula tujuannya adalah hendak memanggil Bahri, yang masih saja asyik bermain, padahal matahari tengah beranjak tenggelam.Akan tetapi, sesosok pria tidak terlalu jauh dari pintu butik menarik perhatian Ana. Ia pun datang menghampiri.“Permisi,” panggilnya ramah nan sopan. Sesungguhnya sikap pria itu yang celingak-celinguk tidak jelas sangatlah mengganggu, namun Ana masih bersabar.Pria itu menoleh. Tampaklah buket bunga mawar berada dalam pelukan lengan kanannya.“Cari siapa, ya?” tanya Ana tanpa berbasa-basi. Lebih ke ketus. Tante sama keponakan ngga beda jauh perangainya. Malah, Ana lebih ke tomboi.“Nisha. Ada?”Ana memerhatikan pria itu dari atas hingga bawah. Tidak ada yang minus, semuanya berada di atas rata-rata. Baik wajah tampan, gaya berpakaian yang fashionable, juga posturnya yang tegap. “Oh, Kak Nisha.”Andreas mengangguk mantap. Tersirat kelegaan di raut wajahnya, yang sumringah hanya mendengar nama itu disebut. “Ada?”“Kak Nisha