Siska juga ikut menambahkan, "Daripada jadi perawan tua, Mbak. Terima aja, lagian belum tentu ada yang mau sama Mbak, kan? Nungguin siapa lagi juga?"
Dua adiknya itu seakan begitu kompak memberi dukungan atas ide dua orang tuanya itu. Tapi, lidah Kirana masih kelu hingga dia tidak bisa langsung membantah.
"Teman-teman SD-mu itu sudah menikah semua, tinggal kamu yang belum. Masa kamu enggak malu belum nikah sendiri?" Herni menambahkan dengan nada ketus.
Kirana membasahi bibir dan akhirnya bisa berkata, "Nggak, Bu. Kirana nggak suka dijodoh-jodohin."
Nadia dan Siska sudah bersemangat ingin berbicara lagi tapi Herni menyuruh dua putrinya itu untuk diam terlebih dulu.
"Eh, Ibu nggak suka ya kamu nolak-nolak. Mereka sudah mau ada rencana ke sini," ujar Herni mulai terdengar marah.
"Kan baru rencana, Bu. Bisa dibatalkan," balas Kirana.
Parlan yang kesal dengan balasan sang putri pun berkata, "Jangan bikin Bapak malu! Udah, pokoknya kamu siap-siap saja. Minggu depan kamu lamaran sama Seno."
"Tapi, Pak. Kirana-"
"Bapak nggak mau tahu, kamu harus nikah sama duda kaya itu. Kalau kamu nolak, mendingan nggak usah tinggal di sini," ancam Parlan, terdengar serius.
Dia bahkan juga melotot ke arah putri sulungnya itu, menyiratkan bahwa kata-katanya itu benar-benar tidak main-main.
Kirana mencengkeram sisi meja. "Ba-bapak ngusir Kirana? Kok Bapak tega. Memang salah kalau Kirana nolak, Pak?"
Parlan yang memang hatinya sudah keras berkata, "Kenapa tidak tega? Kamu saja tega sama Bapak dan ibumu."
"Apa salahnya sih menikah sama duda, Na? Kalau dia bisa menjamin hidup kamu, kenapa ditolak?" ucap Herni, masih dengan nada ketus.
Melihat kedua orang tuanya semakin bersikeras memaksa, Kirana tetap masih yakin dengan keputusannya, "Maaf, Pak, Bu. Kirana tetap nggak bisa."
Nadia menatap kakaknya dengan tatapan tidak suka, "Ya elah, Mbak. Kok keras kepala banget. Mbak itu sadar diri kenapa. Jangan jadi beban keluarga dong. Udah jadi perawan tua, masa mau pilih-pilih jodoh?"
Wanita yang sedang hamil itu menggeleng sebal, sementara Siska juga menanggapi, "Belum tentu ada yang lebih baik, Mbak. Udah, terima aja. Kapan lagi dapat suami kaya?"
Siska lalu melirik Kirana dan mengernyit, "Mbak itu nggak cantik, nggak punya background pendidikan bagus, terus pekerjaan juga cuman jadi karyawan minimarket. Udah ada yang naksir, harusnya udah bersyukur dong, Mbak."
"Tuh, dengerin adik-adikmu." Herni berkata dengan ekspresi masih kesal.
Wanita berwajah kotak itu melanjutkan, "Kamu nggak seperti adikmu yang cantik-cantik, menarik dan punya pendidikan bagus jadi bebas milih jodoh. Kamu itu harus ngerti kalau kamu nggak punya pilihan, Na."
Kirana jadi tidak ingin makan pagi. Sungguh perutnya yang semula kosong dan minta diisi itu pun mendadak menjadi penuh.
"Kalau nggak punya kelebihan itu ya jangan sok pilih-pilih deh, Mbak," tambah Nadia tanpa perasaan.
Sudah cukup.
Kirana tidak tahan lagi. Semua kata-kata yang keluar dari mulut keluarganya sungguh sudah mengiris hatinya.
Air matanya hampir saja terjatuh tapi dia mati-matian berusaha menahannya agar tidak tumpah di sana.
"Kirana memang tidak secantik Siska atau Nadia, Bu. Kirana juga nggak punya pendidikan yang tinggi atau pekerjaan bagus, tapi meskipun begitu Kirana ingin milih pria yang jadi suami Kirana sendiri, bukan karena dijodohkan."
Parlan langsung murka, "Anak bodoh! Masih juga sombong. Udah ada yang mau melamar saja itu udah bagus, eh sok-sokan menolak. Kamu ini nggak tahu kalau Seno itu banyak yang mau?"
Kirana menoleh ke arah bapaknya, masih dengan menahan air mata agar tidak terjatuh.
"Iya, kamu enggak salah dengar. Banyak yang ngantri jadi istrinya Seno, tapi dia milih kamu. Harusnya kamu merasa beruntung karena kamu dipilih," kata Parlan dengan berapi-api.
Kirana menggelengkan kepala.
"Maaf, Pak. Kirana tetap nggak bisa," tegas Kirana.
Usai mengatakannya, gadis itu berlari ke luar rumah dan baru berhenti ketika dia sampai di halte. Dan saat itulah dia tak lagi bisa menahan air matanya.
Dia bersandar pada tiang halte dan biarkannya air matanya itu jatuh dengan begitu deras. Kala itu sedang sepi, kebetulan dia memang datang terlalu awal untuk bus yang seharusnya baru sampai di halte lima belas menit ke depan.
"Kenapa mereka tega? Apa aku nggak berhak menentukan semuanya sendiri?" gumam gadis itu di sela-sela tangisnya.
Kadang kala, Kirana sangat heran. Perlakuan kedua orang tuanya pada dirinya dan dua adiknya sangatlah jauh berbeda. Dia sampai pernah curiga jikalau mungkin dia bukan anak kandung mereka.
Tapi, dia tak pernah menemukan sebuah bukti yang menyatakan kebenaran dari kecurigaannya itu sehingga dia hanya mencoba menerima nasib dan mengalah terus-menerus.
"Tenang, Kirana. nggak boleh sedih, nanti pasti ada jalan keluar," ucap gadis itu, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Setelah merasa lebih baik, dia menghapus air matanya dan menunggu kedatangan busnya.
Ketika sore tiba, Kirana merasa tak sanggup untuk pulang ke rumah. Dia pun memilih untuk berjalan tanpa arah demi menjernihkan pikirannya yang sedang kusut.
Namun, saat dia melihat hari semakin gelap, dia memutuskan untuk pulang ke rumah karena sudah tak punya pilihan.
Kirana pun terbelalak kaget ketika melihat banyak orang di dalam rumahnya. Kaca rumah milik orang tuanya memang sedikit agak gelap, tapi di malam hari semua di rumah itu justru bisa terlihat dari luar akibat cahaya lampu.
"Loh, nggak mungkin sekarang kan lamarannya?" ujar Kirana langsung panik.
Dia pun berhenti melangkah, seolah tak ingin masuk ke dalam rumah.
Tapi sayangnya dia terlambat karena secara bersamaan, sang ayah, Parlan memergokinya, "Kirana."
Kirana tidak jadi berbalik, "I-iya, Pak."
"Ayo cepat masuk!" perintah Parlan.
Kirana menelan ludah, "Pak. Kirana kan udah bilang kalau Kirana-"
"Masuk!" potong Parlan cepat dengan mata melotot tidak ingin dibantah.
Kirana menggigit bibir, merasa tak berdaya. Dengan ekspresi bercampur aduk, gadis yang terlihat lelah itu pun akhirnya masuk.
Begitu dia melihat seorang pria duduk di bagian kanan itu, dia agak terkejut.
Bukankah yang dijodohkan dengannya adalah duda dengan dua anak yang berusia 45 tahun? Tapi, dilihatnya pria itu terlihat sangat muda. Malahan, tampak seperti seusia dengannya atau malah lebih muda darinya.
Lelaki itu duduk di samping Siti, bibinya yang merupakan adik ayahnya. Dikarenakan memiliki hubungan yang baik dengan Siti, Kirana langsung mendekati sang bibi dan menyapa dengan ramah, "Bulek Siti."
Dia mencium tangan bibinya yang kemudian dibalas dengan usapan di kepalanya dengan sayang.
Siti tersenyum lembut, "Masih capek ya, Nduk? Maaf, Bulek dadakan ke sini."
Kirana yang masih tak mengerti hanya mengangguk tanpa berani melirik ataupun bertanya pada sang bibi mengenai laki-laki muda yang duduk di samping bibinya.
"Siti, langsung saja," kata Parlan, tidak sabar.
"Iya, Siti. Buruan, ini aku mau ada arisan ini," ujar Herni.
Siti pun mengangguk, "Gini lho, Nduk. Bulek ke sini karena dengar kamu mau dijodohkan sama duda desa sebelah."
Kirana langsung tertarik dan menghadap bibinya dengan penuh perhatian, senang karena dia yakin bibinya yang baik hati itu pasti akan membela dirinya.
"Bulek tahu tabiat Seno itu enggak baik. Bulek nggak mau kamu menikah sama orang yang suka main perempuan," jelas Siti sembari melirik Parlan dengan tatapan tidak suka.
Kirana tersentak, sontak menatap ke arah orang tuanya dengan ekspresi kaget.
Bagaimana bisa dia dijodohkan dengan orang semacam itu? Kenapa orang tuanya begitu tega kepadanya?
Tapi, ternyata Parlan dan Herni tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikit pun. Mereka malah terkesan santai dan cuek.
Siti melanjutkan, "Jadi, Bulek pikir lebih baik kamu menikah sama Rayan."
Kirana akhirnya memberanikan diri untuk melirik ke arah Rayan yang masih diam tak bersuara. Dia ingin bertanya tapi suara ayahnya sudah terdengar kembali.
"Kamu kerja apa memangnya?" Parlan bertanya dengan nada tidak ramah pada Rayan.
"Saya tukang sol sepatu, Pak," jawab Rayan.
Kirana melongo.
Gadis itu sontak merasa sedang dipermainkan oleh keadaan.
Tukang sol sepatu? ulang Kirana dalam hati.
Mana yang lebih baik? Dilamar oleh seorang duda kaya dengan dua anak tapi usianya terpaut jauh darinya atau seorang tukang sol sepatu yang miskin?
Mengapa yang melamarnya bukan seorang pemuda yang masih single tapi kaya?
Dua orang adiknya, Nadia dan Siska yang duduk di bagian paling belakang itu langsung tertawa mengejek.
Tapi anehnya, Parlan, sang bapak malah hanya berkata, "Oh, ya sudah. Keputusan ada di tangan kamu, Na. Mau terima si tukang sol sepatu ini atau Seno?"
Kebimbangan seketika menyelimuti hati Kirana. Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit. Seno meskipun seorang yang suka memainkan wanita, dia tetaplah memiliki harta yang cukup. Kehidupannya pasti akan terjamin jika dia memilih Seno.Akan tetapi, membayangkan dia harus melihat orang itu bermain dengan wanita lain membuatnya tak mungkin sanggup menjalaninya.Sedangkan jika dia memilih Rayan yang hanya seorang tukang sol sepatu, masalah ekonomi sudah jelas di depan mata. "Na, dijawab sana cepat," kata Herni.Lamunan Kirana pun buyar. Dia kembali menatap pria yang belum dia ketahui namanya itu dengan pandangan bingung. "Kenapa kamu mau menikahi aku?"Nadia yang duduk di samping ibunya langsung angkat bicara, "Astaga, Mbak. Pakai ditanya, udah terima aja.""Kalau kamu nggak mau sama Seno, ya nggak apa-apa kalau mau yang ini," kata Parlan, tanpa menyebut nama pemuda itu.Sedangkan Siska yang masih berpakaian rapi itu mendecak lidah, "Nggak perlu lama mikirnya, Mbak. Yang penting nikah."
"Tapi, Bu. Kami kan-""Bereskan!" potong Herni sambil menunjuk ke arah lantai sementara dia duduk di kursi sofa bersama dengan suami dan dua putrinya yang lain serta dua menantunya.Kirana mengepalkan tangan karena kesal. Dengan terpaksa dia membungkukkan badan untuk melipat tikar. Tapi, tanpa dia duga Rayan menahan lengannya, seolah melarangnya untuk melakukan hal itu. Herni menaikkan alis kanan, "Heh, tunggu apa lagi, Na?""Mas," panggil Kirana dengan nada bingung.Rayan pun berujar, "Kamu masuk ke dalam aja, biar saya yang urus."Nadia yang mendengar hal itu seketika menyeletuk, "Owh, so sweet!"Dia juga bertepuk tangan untuk Rayan tapi lalu menambahkan, "Kalau begitu jangan lupa cuci gelas-gelas kotor ini juga ya!"Dia menggunakan mata untuk memberitahu Rayan. Kirana pun berkata, "Mas, aku-""Kamu masuk aja ya," ucap Rayan.Kirana menggeleng tapi Rayan bersikeras, "Kamu masuk aja. Percaya sama saya, biar saya yang urus."Wanita muda itu ingin sekali membantah, tapi melihat tatap
Rayan tidak tersinggung dan malah tersenyum kecil, "Iya, insyaallah halal. Nggak mungkin saya kasih istri saya uang haram."Kirana terpana mendengar cara Rayan menyebut dirinya. Dengan tergagap dia membalas, "Tapi, ini dari mana? Mas, sepuluh juta lho ini. Ini sama kaya gaji aku selama lima bulan, Mas.""Ya dari kerjalah," jawab Rayan sembari menatap istrinya dalam-dalam."Dari benerin sepatu?" ucap Kirana, masih terlihat tidak percaya."Ya kan kamu sudah tahu saya memang tukang sol sepatu," angguk Rayan, membenarkan ucapan Kirana.Namun, Kirana masih belum dengan jawaban itu dan bertanya lagi, "Berapa lama kamu ngumpulin uang ini, Mas?"Rayan membalas, "Sudah, kamu nggak perlu pikirin itu. Yang penting kamu pakai aja ya."Kirana masih terlihat ragu dan belum yakin. Tapi saat dia teringat akan ibunya yang membutuhkan uang tambahan modal untuk toko kelontongnya di pasar yang sudah tutup selama satu minggu itu, dia segera bertanya pelan pada sang suami, "Mas, kalau gitu boleh nggak aku k
Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya."Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-""Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran nggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu.""Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bulek Siti saja."Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga nggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu.""Ya, ya. Siti sering kekurangan makana
Rayan tersenyum misterius, "Nanti kamu akan tahu, Kirana."Kirana menatap suaminya dengan tanpa berkedip, berharap suaminya akan menjelaskan sesuatu. Tapi, ternyata suami yang umurnya belum dia ketahui itu malah berujar, "Ya udah, yuk siap-siap!""Hah?" mulut Kirana terbuka sedikit.Rayan menunjuk ke arah depan dengan jari telunjuknya, "Itu di depan, kita udah sampai."Kirana segera menoleh ke arah yang dimaksud oleh Kirana dan seketika. Tanpa dia sadari, mobil yang dia tumpangi itu sudah tiba di dekat jalan rumah Siti."Eh, kok cepet banget ya!" ucap Kirana seraya memperlihatkan ekspresi keheranan.Rayan terkekeh pelan, "Karena kamu asyik ngobrol sama saya, makanya sampai enggak sadar."Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia tak membalas apapun. Kenyataannya memang mengobrol dengan suaminya memang membuatnya sampai lupa waktu.Aneh memang. Meski baru dua kali bertemu, dia merasa cukup nyaman berbicara dengan Rayan.Begitu mereka turun, mobil itu meninggalkan sepasang suami istri itu.
Herni menelan ludah, "Be-becanda kan kamu, Na?"Parlan yang tadinya terkejut, kini menatap Rayan dengan galak."Heh, kamu. Jawab jujur! Nyolong di mana kamu?" desis Parlan dengan kilatan mata tajam."Saya tidak mencuri," kata Rayan tegas, menatap bapak mertuanya tanpa rasa takut."Terus kamu mau kami percaya kalau tukang sol sepatu seperti kamu bisa hasilin uang sebanyak ini? Memang kamu pikir kami ini tolol?" balas Parlan, masih mendelik tidak suka pada menantunya.Rayan berkata, "Semua itu bisa saja, Pak. Apa yang tidak mungkin di dunia ini?"Herni mendecak lidah tapi tidak berkomentar lagi. Hingga kemudian Kirana yang merasa jengah dengan sikap kedua orang tuanya itu pun berujar, "Gini aja deh, Pak, Bu. Kalau nggak percaya uang itu hasil kerja Mas Rayan, balikin ke Kirana aja itu uangnya."Wanita itu berniat mengambil kembali uang yang ada di tangan ibunya itu, tapi tiba-tiba Herni menepis tangan Kirana dengan kasar. "Enak aja, uang udah dikasih sama Ibu, mau kamu ambil lagi? Ikla
Kirana melongo, kaget adik iparnya itu berani menyuruh suaminya seperti itu. Sedangkan Bagas sendiri menambahkan, "Kan sayang punya kakak ipar bisa benerin sepatu tapi nggak dimanfaatin.""Iya, Mbak Na. Daripada kami harus cari tukang sol sepatu lain ya mending ke sini lah ya," ujar Siska yang berdiri sambil bersandar pada tiang dengan bersedekap.Rayan masih tak memberi tanggapan sehingga Bagas berkata lagi, "Tenang aja, aku bayar kok. Berapa sih ongkosnya? Sepuluh ribu? Lima belas ribu?"Bagas mengambil dompetnya dan hendak mengeluarkan uangnya, tapi Siska mencegahnya dengan cepat, "Ih, kok bayar sih? Kan sama keluarga sendiri. Masa iya ditarik bayaran?"Kirana memutar bola matanya malas. Dia bahkan berpikir bila suaminya tidak mungkin sudi mengerjakan hal itu. Akan tetapi, rupanya suaminya dengan santai malah berkata, "Saya nggak bisa kalau hari ini." "Eh, Mas?" ucap Kirana kaget tak percaya, tapi dia tidak bisa berkomentar lebih lanjut.Bagas mendesah kesal. Senyumnya tadi sudah
Kirana sontak menatap mata suaminya yang terlihat menatapnya dalam-dalam. Mata pertama yang menatapnya dengan begitu sangat hangat dan tulus.Astaga, bahkan mantan kekasihnya dulu saja tidak pernah menatapnya seperti itu. Handi, mantannya yang dulu berkata sangat mencintainya itu tidak pernah benar-benar menatapnya. Perasaan bersalah pun langsung menyelimutinya. Wanita itu pun memberanikan diri berkata, "Mas, maaf. Sebenarnya bukan kaya gitu."Wanita itu jelas terlihat tidak nyaman dengan situasi saat itu dan hal itu juga bisa dirasakan oleh Rayan.Rayan mendesah pelan lagi, "Saya yang harusnya meminta maaf sama kamu."Kirana menatap bingung pada suaminya.Rayan malah tersenyum, "Iya, saya yang salah. Saya terlalu memaksa kamu, mendesak kamu. Kamu ... pasti butuh waktu.""Tapi, Mas ....""Nggak apa-apa, Kirana. Saya akan sabar nunggu kamu siap," jawab Rayan sembari merapikan anak rambut istrinya yang sedikit agak berantakan.Seakan baru saja teringat akan sesuatu, Kirana pun akhirnya
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny
“Iya, katanya hari ini pembelinya juga udah datang kok,” kata seorang karyawan yang lain. Serin terlihat semakin penasaran, “Hah? Di mana orangnya?” Karyawan yang memberikan informasi itu hanya mengangkat bahu. Kirana sendiri tidak terlalu ingin tahu mengenai masalah itu karena kedatangannya ke minimarket itu di hari itu hanya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Maka setelah dia selesai mengerjakan salah satu tugasnya, wanita itu segera menemui bosnya dan menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Setelah berbicara empat mata dengan sang manager, Kirana pergi keluar dan terkejut ketika melihat Rayan berjabat tangan dengan seorang yang dia ketahui sebagai pemilik minimarket itu. “Saya senang sekali berbisnis dengan Anda, Pak. Semoga Anda bisa mengembangkan minimarket ini dengan jauh lebih baik dan saya harap … Anda semakin sukses,” kata pemilik minimarket itu sembari tersenyum lebar. Selanjutnya Kirana melihat orang itu meninggalkan area itu dan membiarkan Rayan be
Serin tentu saja seperti biasanya mengangguk cepat, “Iyalah. Semua juga tahu kalau suami Mbak Kirana itu cuman seorang tukang sol sepatu. Ngapain pakai setelan jas kayak bos gitu?”“Ya kalau nggak bukan buat nutupin profesinya yang asli ya pasti karena cuman mau dibilang punya kerjaan yang bagus aja,” lanjut Serin.Vena terkikik mendengar ucapan temannya, “Lha iya, Mbak. Buat apa sih pakai berusaha untuk nutupin segala, Mbak Rana? Lagian nggak ada juga kok yang mempermasalahkan profesi suaminya Mbak Kirana.”Tina langsung berkaca pinggang menatap dua orang itu dengan begitu galak, “Duh, Mbak. Kalian ini kok repot banget sih ngurusin hidup orang. Yang tanya itu aku dan yang seharusnya jawab itu Mbak Kirana, bukan kalian. Aneh banget!”Vena dan Serin langsung saja tersinggung dengan ucapan Tina dan dua wanita itu segera ingin membalas, tetapi Tina yang tahu akan maksud mereka berdua cepat-cepat mendahului mereka dengan berkata, “Sudah, Mbak. Kita beresin di sebelah sana aja yuk. Biar ngg
Rayan sontak menoleh ke arah istrinya yang terlihat terkejut dengan perkataannya. Sesungguhnya dia sangat maklum dikarenakan istrinya pasti sedikit agak kebingungan tentang rencananya yang tiba-tiba.“Sayang, sebenarnya Mas mau memberi … uang sejumlah yang dulu Bapak minta,” jelas Rayan.Kirana menelan ludah dan tidak menyangka bila ternyata jawabannya seperti itu. Dia pikir Rayan ingin pergi ke rumah kedua orang tuanya dikarenakan memberitahu mereka tentang identitas rakyat yang sebenarnya. Sesungguhnya dia sama sekali tidak keberatan tetapi dia hanya berpikir jika sampai kedua orang tuanya mengetahui latar belakang Rayan yang asli, maka kemungkinan besar orang tuanya tersebut akan mencoba untuk memanfaatkan Rayan. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan merasa telah cukup membuat Rayan kesusahan karena sikap kedua orang tuanya.“Mas pikir lebih baik Mas kasih uang itu untuk satu bulan sehingga Mas tidak perlu memikirkannya lagi,” jelas Rayan.Kirana langsung saja menanggapi, “Tapi,