Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya.
"Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-"
"Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.
Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran nggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu."
"Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."
Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.
Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bulek Siti saja."
Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga nggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu."
"Ya, ya. Siti sering kekurangan makanan. Lempar ke sana saja!" tambah Parlan dengan nada mengejek.
Kirana semakin heran dengan sikap kedua orang tuanya yang semakin keterlaluan. Ingin sekali dia membalas perkataan bapak ibunya itu, tapi suaminya lagi-lagi terlihat menggelengkan kepala.
"Ya udah, Pak, Bu. Kami pamit sebentar ke rumah Bulek Siti ya," pamit Rayan masih dengan nada sopan.
"Hm," sahut Parlan singkat tanpa menoleh pada dua orang itu.
Sedangkan Kirana tiba-tiba berkata, "Mas, kita pakai motor aja ya?"
Belum sempat Rayan menjawab, Herni yang mendengar perkataan putrinya itu sudah berkata dengan nada sinis, "Motor Ibu maksud kamu?"
"Nggak, nggak Ibu pinjamin," lanjut Herni sambil mengiris bawang putih.
Kirana berujar, "Kenapa nggak boleh, Bu? Kami cuman pinjam sebentar kok. Rumah Bulek Siti kan lumayan jauh, Bu. Lama nanti kalau jalan kaki."
"Lho, itu bukan urusan Ibu. Lagian, sebelumnya dia juga jalan kaki ke sini. Terus kenapa sekarang mau pinjem motor?" kata Herni sembari menaikkan alis tebalnya yang digambar dengan pensil alis.
"Nggak ada pinjem-pinjem motor segala, ntar kebablasan tiap saat pinjem. Nggak ada, nggak ada," tambah Herni ketus.
Kirana menghela napas dan menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah, "Mas."
"Nggak apa-apa, yuk kita jalan kaki aja!" ajak Rayan dengan tatapan lembut.
"Yakin, Mas? Ini panas banget lho, Mas." Wanita itu melihat sinar matahari yang cukup terik di jam dua siang.
Rayan tersenyum kecil, "Lho, saya kan udah biasa cuaca begini. Ingat, Kirana. Saya kan tukang sepatu keliling, saya malah takut kalau kamu yang nggak tahan panas."
Kirana segera menggelengkan kepala, "Aku nggak masalah kok. Sering juga keluar minimarket di siang terik gitu."
"Oh, iya udah kalau gitu ayo jalan!" ajak Rayan yang siap menggandeng tangan istrinya lagi.
Kirana mengangguk tanpa berpikir panjang dan menautkan tangannya pada tangan Rayan.
Sedangkan Parlan yang melihat sepasang suami istri itu mulai berjalan pun berkomentar, "Nah, bagus tuh jalan kaki. Lebih sehat, daripada buang-buang bensin. Bensin mahal, belum tentu juga kalian mau ganti bensin motornya."
Kirana terlihat sekali ingin membalas, tapi suaminya menahan lengan gadis itu dan berkata dengan nada yang sangat pelan, "Jalan aja, Kirana!"
Dengan sedikit kesal, Kirana pun akhirnya menuruti sang suami dan berjalan berdua menjauh dari rumah kedua orang tuanya.
Setelah berjalan agak jauh, Kirana yang kebingungan dengan semua sikap suaminya itu pun bertanya dengan ekspresi tidak sabar, "Kenapa Mas nggak biarin aku buat jelasin soal restoran tadi? Terus soal motor dan bensin tadi. Ya Allah, Mas. Kita kan bisa ganti bensinnya. Kenapa Mas kayanya nggak mau aku balas perkataan mereka, Mas?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Tapi, Rayan tidak langsung menjawabnya dan malah mengetik sesuatu di ponselnya.
"Mas, kok nggak dijawab? Kok malah sibuk sama ponsel sih?" tanya Kirana dengan menahan kesal saat melirik ponsel suaminya.
Rayan mengangkat wajahnya dan malah tersenyum lagi, "Maaf, ini Mas lagi hubungin taksi online."
Mulut Kirana setengah terbuka, "Hah? Taksi online? Buat apa?"
"Buat antar kita ke rumah Bulek Sitilah," jawab Rayan dengan santainya.
Kirana berkedip-kedip, agak kaget. Tapi, sebelum dia bertanya lebih lanjut, sebuah mobil hitam plat AD melaju pelan ke arah mereka.
"Itu dia taksi online-nya!" seru Rayan.
Kirana tentu semakin terkejut. "Lho, kok cepet banget, Mas?"
Perasaan baru saja beberapa detik, enggak ada semenit kayanya. Kok bisa udah datang sih taksinya? pikir Kirana heran.
"Ya karena kebetulan dia lagi di sekitar sini saja, Kirana," sahut Rayan.
"Oh, benar juga!" balas Kirana yang tak lagi heran.
Rayan membukakan pintu mobil itu untuk Kirana. Aroma harum bunga pun langsung tercium di hidung mungilnya.
Biasanya, Kirana akan mual jika mencium aroma parfum mobil, tapi kali ini anehnya dia tidak mual. Justru sebaliknya, Kirana merasa rileks setelah mencium aroma itu.
Dia lalu melihat interior mobil itu dan terkesima.
"Kenapa?" tanya Rayan yang baru saja menutup pintu mobil itu dan duduk di samping istrinya.
Mobil pun sudah mulai melaju.
Kirana mendekatkan kepalanya pada telinga sang suami dan berbisik, "Kamu pinter pilih taksi online, Mas."
"Pinter gimana?" balas Rayan dengan nada pelan juga, agak heran.
"Aku memang nggak ngerti merk mobil sih, tapi kayanya ini mobil mahal jadinya nyaman aja di dalam sini. Bahkan, parfumnya nggak bikin aku mual, Mas," jelas Kirana dengan nada polos.
Rayan sontak tertawa kecil dan seketika Kirana langsung memasang wajah cemberut.
"Eh, maaf, Kirana. Saya enggak bermaksud ngetawain kamu."
Kirana masih terdiam, agak sebal.
Rayan menjadi tidak enak dan berkata pelan, "Maafin suami kamu ini ya, Kirana. Sungguh, tadi saya hanya merasa kamu sangat lucu, tapi bukan berarti saya ngejek kamu."
Kirana menghela napas dan memilih untuk melupakan hal itu, "Ya sudah, aku maafin. Terus, gimana yang tadi? Kamu belum jawab pertanyaan aku, Mas."
Rayan tidak berpura-pura lupa dan akhirnya berkata, "Ada kalanya kita tidak perlu menjelaskan sesuatu yang orang pun terkadang belum tentu mempercayainya. Kita pun tidak harus membalas perbuatan yang tidak menyenangkan itu dengan bantahan juga."
Kirana malah terlihat bingung, "Lha terus, maksudnya harus dibalas dengan cara apa, Mas?"
Rayan tersenyum misterius, "Nanti kamu akan tahu, Kirana."Kirana menatap suaminya dengan tanpa berkedip, berharap suaminya akan menjelaskan sesuatu. Tapi, ternyata suami yang umurnya belum dia ketahui itu malah berujar, "Ya udah, yuk siap-siap!""Hah?" mulut Kirana terbuka sedikit.Rayan menunjuk ke arah depan dengan jari telunjuknya, "Itu di depan, kita udah sampai."Kirana segera menoleh ke arah yang dimaksud oleh Kirana dan seketika. Tanpa dia sadari, mobil yang dia tumpangi itu sudah tiba di dekat jalan rumah Siti."Eh, kok cepet banget ya!" ucap Kirana seraya memperlihatkan ekspresi keheranan.Rayan terkekeh pelan, "Karena kamu asyik ngobrol sama saya, makanya sampai enggak sadar."Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia tak membalas apapun. Kenyataannya memang mengobrol dengan suaminya memang membuatnya sampai lupa waktu.Aneh memang. Meski baru dua kali bertemu, dia merasa cukup nyaman berbicara dengan Rayan.Begitu mereka turun, mobil itu meninggalkan sepasang suami istri itu.
Herni menelan ludah, "Be-becanda kan kamu, Na?"Parlan yang tadinya terkejut, kini menatap Rayan dengan galak."Heh, kamu. Jawab jujur! Nyolong di mana kamu?" desis Parlan dengan kilatan mata tajam."Saya tidak mencuri," kata Rayan tegas, menatap bapak mertuanya tanpa rasa takut."Terus kamu mau kami percaya kalau tukang sol sepatu seperti kamu bisa hasilin uang sebanyak ini? Memang kamu pikir kami ini tolol?" balas Parlan, masih mendelik tidak suka pada menantunya.Rayan berkata, "Semua itu bisa saja, Pak. Apa yang tidak mungkin di dunia ini?"Herni mendecak lidah tapi tidak berkomentar lagi. Hingga kemudian Kirana yang merasa jengah dengan sikap kedua orang tuanya itu pun berujar, "Gini aja deh, Pak, Bu. Kalau nggak percaya uang itu hasil kerja Mas Rayan, balikin ke Kirana aja itu uangnya."Wanita itu berniat mengambil kembali uang yang ada di tangan ibunya itu, tapi tiba-tiba Herni menepis tangan Kirana dengan kasar. "Enak aja, uang udah dikasih sama Ibu, mau kamu ambil lagi? Ikla
Kirana melongo, kaget adik iparnya itu berani menyuruh suaminya seperti itu. Sedangkan Bagas sendiri menambahkan, "Kan sayang punya kakak ipar bisa benerin sepatu tapi nggak dimanfaatin.""Iya, Mbak Na. Daripada kami harus cari tukang sol sepatu lain ya mending ke sini lah ya," ujar Siska yang berdiri sambil bersandar pada tiang dengan bersedekap.Rayan masih tak memberi tanggapan sehingga Bagas berkata lagi, "Tenang aja, aku bayar kok. Berapa sih ongkosnya? Sepuluh ribu? Lima belas ribu?"Bagas mengambil dompetnya dan hendak mengeluarkan uangnya, tapi Siska mencegahnya dengan cepat, "Ih, kok bayar sih? Kan sama keluarga sendiri. Masa iya ditarik bayaran?"Kirana memutar bola matanya malas. Dia bahkan berpikir bila suaminya tidak mungkin sudi mengerjakan hal itu. Akan tetapi, rupanya suaminya dengan santai malah berkata, "Saya nggak bisa kalau hari ini." "Eh, Mas?" ucap Kirana kaget tak percaya, tapi dia tidak bisa berkomentar lebih lanjut.Bagas mendesah kesal. Senyumnya tadi sudah
Kirana sontak menatap mata suaminya yang terlihat menatapnya dalam-dalam. Mata pertama yang menatapnya dengan begitu sangat hangat dan tulus.Astaga, bahkan mantan kekasihnya dulu saja tidak pernah menatapnya seperti itu. Handi, mantannya yang dulu berkata sangat mencintainya itu tidak pernah benar-benar menatapnya. Perasaan bersalah pun langsung menyelimutinya. Wanita itu pun memberanikan diri berkata, "Mas, maaf. Sebenarnya bukan kaya gitu."Wanita itu jelas terlihat tidak nyaman dengan situasi saat itu dan hal itu juga bisa dirasakan oleh Rayan.Rayan mendesah pelan lagi, "Saya yang harusnya meminta maaf sama kamu."Kirana menatap bingung pada suaminya.Rayan malah tersenyum, "Iya, saya yang salah. Saya terlalu memaksa kamu, mendesak kamu. Kamu ... pasti butuh waktu.""Tapi, Mas ....""Nggak apa-apa, Kirana. Saya akan sabar nunggu kamu siap," jawab Rayan sembari merapikan anak rambut istrinya yang sedikit agak berantakan.Seakan baru saja teringat akan sesuatu, Kirana pun akhirnya
Dikarenakan Serin ataupun teman-temannya yang lain hanya bengong dan tidak menjawab perkataannya, Kirana pun berkata dengan tidak sabar, "Lho, ayo! Siapa saja boleh kok ikut aku ke kamar mandi buat lihat aku beneran lagi haid atau cuman bohong aja."Ditantang seperti itu, salah seorang dari karyawan itu pun akhirnya merespon, "Jijik banget deh, Mbak! Ngapain sampai segitunya.""Nah, bener. Kayanya ini akal-akalannya Mbak Na aja deh. Mbak Na sudah tahu kalau semua orang pasti jijik, makanya percaya diri aja ngomong begitu. Soalnya udah pasti enggak ada yang mau ikut Mbak Na ke toilet," sahut temannya yang lain.Kirana menghela napas, mulai lelah menanggapi orang-orang yang memang tidak menyukainya itu.Tetapi, dia tetap tidak mau dituduh atas hal yang tidak dia lakukan. Dirinya bahkan masih suci sampai detik itu dan dia akan membela dirinya sampai dia dinyatakan tidak bersalah. "Oh, masih ada cara lain sih," kata Serin secara tiba-tiba.Vena langsung bertanya, "Apa caranya, Mbak?"Ser
"Menurutmu ke mana?" Kirana bertanya balik.Sang karyawan yang berusia lebih muda satu tahun dari Kirana itu pun membalas dengan tergagap, "A-apa maksud Mbak? Kok malah tanya aku?"Serin memang terkejut, tapi dia berusaha untuk tetap berani dan kemudian bergerak membela temannya. "Lapor ke Bos? Mana mungkin Bos akan percaya?" tanya Serin dengan senyum setengah mengejek.Kirana mengangguk, seakan paham maksud Serin, "Bos memang enggak akan mungkin membelaku, makanya aku enggak kan laporin ke Bos.""Lha terus ke mana?" sahut Serin dengan dagu terangkat."Polisi. Kebetulan enggak terlalu jauh dari sini ada polsek deh," kata Kirana.Serin membelalakkan mata, sementara temannya yang lain itu sudah semakin pucat. "Mbak bercanda kan?""Enggak. Kalian nuduh seperti tadi juga bukan sebuah candaan kan?" balas Kirana yang kini sudah lelah terus menerus mengalah.Tiba-tiba semuanya terdiam, mulai takut bila Kirana akan benar-benar melakukan apa yang dia katakan.Dikarenakan tak mau berurusan den
Kirana lagi-lagi hanya bisa mendesah pelan. Dia pun mencoba untuk menahan diri mati-matian dan kemudian menyimpan semua pertanyaan-pertanyaan liar yang muncul di dalam kepalanya itu.Dia tidak bisa bisa menemukan kalimat yang tepat mengenai suaminya. Yang jelas, menurutnya suaminya itu terlalu misterius.Sejak awal Rayan memang aneh. Melamarnya tanpa persiapan yang matang, menikahinya secara mendadak dan juga bahkan ketika hari pernikahan mereka digelar, tak ada satu pun anggota keluarganya yang datang.Untuk masalah itu, dia sangat ingin bertanya pada suaminya. Namun, dia takut malah rasa penasarannya akan menyinggung suaminya.Tapi, ini sudah hampir satu minggu dan suaminya itu terlihat belum mau mengungkap hal-hal yang masih dia tidak ketahui.Di samping itu, masalah uang yang selalu membuat Kirana terheran-heran. Suaminya jelas-jelasa adalah seorang tukang sol sepatu. Dia sudah melihatnya sendiri. Dia sudah menyaksikan suaminya memperbaiki sepatu pelanggannya.Akan tetapi, uang ya
"Kirana," panggil sang suami dengan nada yang cukup lembut. Kirana tergagap, "I-iya, Mas." "Jadi, gimana? Kamu suka yang mana?" Rayan bertanya sambil menunjuk ke arah kalung indah dengan liontin berbentuk hati. Karena tak mau membuat suaminya menunggu, akhirnya Kirana pun berkata, "Mas aja yang pilihin. Apapun aku pasti suka." Mendengar itu Rayan pun tersenyum. "Ya udah, kamu duduk dulu ya, Mas yang pilihin." "Iya, Mas." Selanjutnya, Kirana melihat suaminya memilih beberapa macam perhiasan yang saat kasir menyebutkan total harganya, Kirana hanya bisa melongo. Tapi, yang membuat Kirana agak heran, Rayan menggunakan uang tunai untuk membayarnya. "Udah, sekarang kita cari baju buat kita sama beberapa perlengkapan lain," ajak Rayan. Kirana menelan ludah dengan susah payah tapi dia tetap menurut mengikuti Rayan. Dia penasaran tentang uang suaminya yang menurutnya terlalu banyak itu, tapi dia tak akan mengkonfrontasi Rayan saat ini. Hampir dua jam lamanya mereka menghabiskan wak
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny
“Iya, katanya hari ini pembelinya juga udah datang kok,” kata seorang karyawan yang lain. Serin terlihat semakin penasaran, “Hah? Di mana orangnya?” Karyawan yang memberikan informasi itu hanya mengangkat bahu. Kirana sendiri tidak terlalu ingin tahu mengenai masalah itu karena kedatangannya ke minimarket itu di hari itu hanya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Maka setelah dia selesai mengerjakan salah satu tugasnya, wanita itu segera menemui bosnya dan menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Setelah berbicara empat mata dengan sang manager, Kirana pergi keluar dan terkejut ketika melihat Rayan berjabat tangan dengan seorang yang dia ketahui sebagai pemilik minimarket itu. “Saya senang sekali berbisnis dengan Anda, Pak. Semoga Anda bisa mengembangkan minimarket ini dengan jauh lebih baik dan saya harap … Anda semakin sukses,” kata pemilik minimarket itu sembari tersenyum lebar. Selanjutnya Kirana melihat orang itu meninggalkan area itu dan membiarkan Rayan be
Serin tentu saja seperti biasanya mengangguk cepat, “Iyalah. Semua juga tahu kalau suami Mbak Kirana itu cuman seorang tukang sol sepatu. Ngapain pakai setelan jas kayak bos gitu?”“Ya kalau nggak bukan buat nutupin profesinya yang asli ya pasti karena cuman mau dibilang punya kerjaan yang bagus aja,” lanjut Serin.Vena terkikik mendengar ucapan temannya, “Lha iya, Mbak. Buat apa sih pakai berusaha untuk nutupin segala, Mbak Rana? Lagian nggak ada juga kok yang mempermasalahkan profesi suaminya Mbak Kirana.”Tina langsung berkaca pinggang menatap dua orang itu dengan begitu galak, “Duh, Mbak. Kalian ini kok repot banget sih ngurusin hidup orang. Yang tanya itu aku dan yang seharusnya jawab itu Mbak Kirana, bukan kalian. Aneh banget!”Vena dan Serin langsung saja tersinggung dengan ucapan Tina dan dua wanita itu segera ingin membalas, tetapi Tina yang tahu akan maksud mereka berdua cepat-cepat mendahului mereka dengan berkata, “Sudah, Mbak. Kita beresin di sebelah sana aja yuk. Biar ngg
Rayan sontak menoleh ke arah istrinya yang terlihat terkejut dengan perkataannya. Sesungguhnya dia sangat maklum dikarenakan istrinya pasti sedikit agak kebingungan tentang rencananya yang tiba-tiba.“Sayang, sebenarnya Mas mau memberi … uang sejumlah yang dulu Bapak minta,” jelas Rayan.Kirana menelan ludah dan tidak menyangka bila ternyata jawabannya seperti itu. Dia pikir Rayan ingin pergi ke rumah kedua orang tuanya dikarenakan memberitahu mereka tentang identitas rakyat yang sebenarnya. Sesungguhnya dia sama sekali tidak keberatan tetapi dia hanya berpikir jika sampai kedua orang tuanya mengetahui latar belakang Rayan yang asli, maka kemungkinan besar orang tuanya tersebut akan mencoba untuk memanfaatkan Rayan. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan merasa telah cukup membuat Rayan kesusahan karena sikap kedua orang tuanya.“Mas pikir lebih baik Mas kasih uang itu untuk satu bulan sehingga Mas tidak perlu memikirkannya lagi,” jelas Rayan.Kirana langsung saja menanggapi, “Tapi,