"Bener mau nemenin Dinar ke salon?" Wajah Dinar berbinar.Pagi-pagi Yuda membisikkan sesuatu yang sudah pasti akan Dinar sukai. "Iya. Tapi siapin asi buat Daneen terus main bentar sama dia. Baru kita jalan." Yuda berkata sambil berjalan keluar hendak membersihkan mobil.Sebagai seorang suami yang baru aja punya anak, Yuda banyak belajar dari Bapa atau teman-teman yang sudah punya anak. Kalau kasih sayang yang lengkap untuk anak dan healing tipis-tipis juga penting untuk istri.Sejak melahirkan Dinar tidak pernah keluar rumah karena kondisinya harus banyak beristirahat. Jadi saat kondisi istrinya sudah membaik seperti sekarang, Yuda berencana membawa Dinar jalan-jalan sekalian perawatan."Daneen gak di ajak?" Wajah cemberut Dinar membayangkan si kecilnya di tinggalkan sendiri.Ia berjalan mengikuti Yuda."Jangan di bawa keluar-keluar dulu. Kasian dia masih kecil."Yuda mengambil peralatan untuk membersihkan mobil sementara Dinar berdiri di ambang pintu menontoni dirinya.Dinar tampak
"Mungkin gak ya kalau kita punya anak."Syafira menatap langit-langit kamar sambil berandai-andai kelak ia bisa mengasuh bayi yang lahir dari perutnya."Kalau rezeki, pasti bisa." Devandra meraih jemarinya dan mengelus-elus pelan.Malam begini serasa hampa walau mereka bersama. Padahal Devandra sudah menyiapkan banyak hal untuk menghibur malam mereka. Bahkan membeli banyak kaser Drama korea kesukaan Syafira. Buku-buku Novel dan sebagainya.Yang pada akhirnya juga bosan menghabiskan malam hanya dengan menonton TV.Tak ada kegiatan bagi mereka berdua. Kegiatan yang membuat hari-hari menjadi sibuk.Mereka sama-sama berbaring di tempat tidur telentang dengan rasa sepi yang tenyata tidak nyaman.Walau keduanya kini terikat pernikahan dan saling mencintai, nyatanya belum ada kepastian apa ia bisa mengandung atau tidak. Syafira sangat berharap satu hari nanti ada anugrah yang akan tuhan berikan padanya. Mengamanahkan titipan yang akan menyempurnakan kisah hidupnya."Kalaupun gak bisa, aku j
"Sepi banget rasanya, Din," keluh Syafira saat mereka duduk-duduk santai."Mau nyetel sound sistem gak biar berisik," tawar Dinar sambil cengar-cengir."Serius, Din. Rasanya jiwaku hampa." Ya. . ., Dinar sendiri juga serius. Kalau sepi setel aja sound sistem."Bang Devandra kemana sampai hampa?"Selama menikah dengan Yuda tak pernah rasanya jiwa dinar hampa. Selalu ada Yuda dan masalah rumah tangga mereka yang seliweran datang menghampiri.Nikah gak pake pacaran ya gitu. Tanggung masalah dalam pernikahan. Untung aja Yuda tipe suami dewasa buat istri yang kayak dirinya ini"Emang kamu gak liat dia barusan?""Ya Dinar pikir gitu Bang Devandra kemana sampai hampa begitu."Syafira menghela nafas pendek seperti merasa lelah dengan Dinar. Niat mau curhat tapi jadinya malah gregetan."Daneen tidur?" tanya Syafira mengubah topik pembicaraan."Gitulah. Kalau dia bangun mana mungkin bisa santai-santai gini.""Tapikan ada baby sitternya biarpun bangun juga."Dinar menggeleng dengan bibir manyun
Devandra memejamkan mata menikmati detik-detik pelepasannya. Sambil mengontrol nafasnya, Devandra merasakan kebahagiaan di saat-saat seperti ini.Kemudian Devandra teringat kejadian tadi. Ia menoleh pada Syafira yang tampaknya akan memejamkan mata."Mau ngomong apa?" tanya Devandra.Ia tau betul kalau sikap Syafira mulai mengundang dirinya seperti itu, pasti ada yang istrinya inginkan.Geliatan manja Syafira perlahan mendekat hingga menempel di lengannya."Dev," panggilnya dengan suara seksi. Sudah pasti ada hal yang akan merogoh isi dompetnya. Untung saja ia memang punya dompet yang tebal."Kenapa?" bisik Devandra menahan senyum geli karena sudah tau keinginan istrinya ini.Paling Syafira ingin membeli sesuatu yang mahal. Akan ia berikan. Toh semua ia lakukan untuk istrinya."Aku tuh, kepengen punya kegiatan," ucapnya sambil memainkan jadi di dada bidang Devandra."Apa?" tanya Devandra sambil memejamkan matanya.Beginilah rasanya punya istri yang sudah berpengalaman. Selalu tau bagai
Tangannya memegang pembatas jembatan dengan tubuh yang hanya meniti di pinggir jembatan itu. Sekali lepas saja kedua tangannya, maka ia akan berakhir ke bawah sungai sana."Seberat-beratnya hidup, memang harus aku akhiri dengan mati?"Sebuah suara tampak terdengar dekat dengan telinganya. Sementara itu Devandra memilih tetap memejamkan mata.Sebelah kaki sudah hampir terjun ke sungai yang sangat deras di bawah sana. Tak terpikir lagi kemungkinan diri akan selamat."Kau itu masih muda. Kalau kau ada masalah, pikirkan cara mengatasinya. Pendek kali bah otakmu sampai mau terjun bebas begini. Kau pikir setelah kau mati nanti semua masalah selesai?"Bapak-bapak yang tiba-tiba ada di sampingnya berbicara santai dengan bertumpu ke pinggir jembatan."Gak usah ceramahin saya. Anda gak ngerti gimana hancurnya hidup saya," tepis Devandra.Sedikit lagi tubuh itu akan meluncur bebas ke bawah. terbawa arus sungai hingga nantinya meregang nyawa."Cemen kali kau. Masalah berat di umur 18 tahun itu ap
Meja ruang tamu sedang berserakan dengan banyaknya kertas-kertas rancangan rintisan usaha yang akan Syafira buat."Gimana Dev?"Syafira menunjukan desain tempat laundry yang akan dibuat. Beberapa contoh desain yang di tunjukkan, Syafira memilih sebuah desain simpel elegant yang tampak ceria.Devandra yang baru saja masuk menghampiri dan melihat kertas di tangan Syafira."Bagus. Kapan mulai di renovasi tempatnya?""Besok. Aku udah ngehubungin orang buat bikin tempatnya kayak gini."Devandra mengangguk paham. Ia berlalu masuk ke dapur. Membiarkan Syafira yang tengah senang menyiapkan usaha yang akan di rintisnya.Ia mengambil air hangat dan menegaknya sedikit demi sedikit.Kedua tangan yang tiba-tiba melingkari pinggangnya. Menyadarkan Devandra yang sedang melamun."Kenapa sih? Kamu masih keberatan ya aku bikin usaha ini?" Syafira memeluknya dan berbicara sambil menyandarkan kepala di punggungnya.Devandra melepaskan tangan Syafira lalu menariknya agar bisa ia peluk dari depan."Enggak,
"Beres semua?" tanya Devandra saat melihat Syafira yang pulang dengan wajah sumbringah.Ia hari ini tidak pergi bekerja. Namun Syafira justru meminta izin keluar sebentar mengurus usaha yang mau dirintisnya.Devandra seharian tidur karena beberapa waktu ini siang dan malamnya jadi kacau karena aktivitas yang padat."Iya, Dev. Tinggal cari karyawan aja buat jalanin usahanya."Keceriaan yang Syafira tampakkan membuat dirinya senang. Setidaknya mereka bisa mempertahankan rumah tangga yang mereka jalani ini."Mau langsung cari karyawan?" tanyanya basa-basi."Iya. Aku secara kerjaannya gak tau betul apa yang harus di kerjain. Jadi sedikit banyak minta bantuan si Dinar," jelas Syafira dengan penuh semangat."Oh, bagus sih. Biar kamu gak capek."Devandra menuntun Syafira ke sofa. Wajahnya tampak serius seolah ada yang mau di bicarakan."Sya. Istri kedua Arif itu, dulunya sempat hamil?" tanya Devandra tiba-tiba.Syafira mengerutkan kening heran dengan pertanyaan yang tidak iya bayangkan sebel
Wanita di atas kursi roda yang tengah menatapnya, cukup memprihatinkan. Keadaannya kurus hanya tersisa kulit dan tulang. Kakinya yang tak dapat lagi di buat berjalan seolah makin memperjelas keadaannya tampak tidak sebaik dulu."Kehidupanmu kelihatannya lebih makmur setelah membuat putraku pergi," ujar wanita itu sinis.Masih saja sama pemikirkan wanita di depannya ini. Ia selalu di sebut penyebab kematian Arif."Kalau orang bilang, bunga yang tersisih akan terlihat lebih baik bila di rawat oleh orang yang mencintai dan merawatnya dengan baik. Mungkin itu juga yang terjadi," balas Syafira."Suami yang berada di sisimu, tak sepenuhnya berarti, Syafira. Putraku jauh lebih berarti untuk kehidupanmu. Kau lupa kehidupanmu bergantung pada jantung yang ia berikan padamu. Padahal untuk hidupnya, kau tak lagi di butuhkan. Ia hampir menjadi ayah andai saja kau tidak merusak segalanya."Syafira memejamkan mata menahan getar yang entah kenapa ingin keluar dari tubuhnya. Jantung ini. Memberikan ke
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya