Wanita di atas kursi roda yang tengah menatapnya, cukup memprihatinkan. Keadaannya kurus hanya tersisa kulit dan tulang. Kakinya yang tak dapat lagi di buat berjalan seolah makin memperjelas keadaannya tampak tidak sebaik dulu."Kehidupanmu kelihatannya lebih makmur setelah membuat putraku pergi," ujar wanita itu sinis.Masih saja sama pemikirkan wanita di depannya ini. Ia selalu di sebut penyebab kematian Arif."Kalau orang bilang, bunga yang tersisih akan terlihat lebih baik bila di rawat oleh orang yang mencintai dan merawatnya dengan baik. Mungkin itu juga yang terjadi," balas Syafira."Suami yang berada di sisimu, tak sepenuhnya berarti, Syafira. Putraku jauh lebih berarti untuk kehidupanmu. Kau lupa kehidupanmu bergantung pada jantung yang ia berikan padamu. Padahal untuk hidupnya, kau tak lagi di butuhkan. Ia hampir menjadi ayah andai saja kau tidak merusak segalanya."Syafira memejamkan mata menahan getar yang entah kenapa ingin keluar dari tubuhnya. Jantung ini. Memberikan ke
Pagi-pagi di kediaman Yuda dan Dinar sudah heboh karena subuh tadi ibu dan Bapa baru saja tiba. Mereka pulang untuk melihat cucu pertama.Beragam pujian untuk Daneen serta do'a dan kasih sayang yang tidak terhingga. Emaknya sampai terharu melihat betapa banyak cinta yang mengelilingi putrinya.Nasib Daneen lebih baik darinya. Daneen akan menjadi cucu, ponakan dan anak kesayangan."Kau makanlah. Biar aku yang gendong," kata beliau sambil mengambil alih Daneen dari pelukannya.Bayi itu tampak anteng pada neneknya. Membuat ibu sangat bahagia dapat memangku cucu kesayangannya itu.Dinar memilih pergi ke dapur sekalian menemani Yuda makan."Cantik kali," puji Ibu tak henti-hentinya mengatakan itu.Syafira duduk di samping ibu ikutan tersenyum bahagia. Walau dalam hati ia sangat ingin punya satu seperti Daneen."Kapan ya, Aku punya bayi kayak gini," gumam Syafira tanpa ia sadari.Sentuhan kecil di jemarinya menyadarkan Syafira kalau kata-katanya tadi di dengar ibu. Tatapan lembut dan penuh
Bayi kecil itu benar-benar mirip dengan Arif. Hampir seluruh struktur wajah Arif di warisinya. Si cantik mungil ini tampak senang saat di jumpai Syafira. Walau tidak bisa menunjukkan ekspresi mereka semua tau bayi kecil ini senang di jumpai seseorang. Karna sejak kelahirannya, ia selalu kesepian."Boleh saya bawa ke taman rumah sakit?" tanyanya meminta izin.Beberapa pihak rumah sakit agak sedikit bingung harus memperbolehkan atau tidak. Namun di sisi lain mereka tau Syafira istri pemilik salah satu saham rumah sakit."Sebentar saja ya, Bu? Bayinya masih cukup lemah," ujar salah satu perawat.Para perawat di sana cukup jatuh cinta dengan bayi cantik mungil imut ini. Andai bisa mereka mau merawat sepanjang waktu. Hanya saja kadang mereka harus bekerja. Tak mungkin pula mengadopsi bayi ini karena mereka punya kehidupan.Sebenarnya kasian sekali bayi ini. Sejak lahir tak merasakan air susu ibu sama sekali. Bahkan belum sempat memeluk ibunya. Waktu dilahirkan, sang ibu enggan melihatnya. G
"Masih sibuk ngurus buat pembukaan laundry?" Devandra menghampiri Syafira yang sibuk bersama kertas-kertas yang sama dengan yang biasa istrinya kerjakan. Hanya saja kertas itu bertumpuk sementara Syafira fokus dengan ipadnya.Nampan berisi teh dan kopi serta sepiring kripik sebagai cemilan Devandra letakkan di hadapan Syafira."Udah selesai semua kok," balas Syafira dengan mata yang tetap terfokus pada ipad di tangannya."Kalau gitu kencan sama dia udahan dong. Aku di anggurin di sini." Devandra menarik ipad itu lalu mengecup kening istrinya."Ih, apa sih. Aku gak kerja kok." Syafira berusaha mengambil alih ipadnya kembali.Sementara itu Devandra melihat apa yang Syafira buka di ipadnya.List nama-nama bayi perempuan di internet. Ia menatap Syafira sejenak. Seolah apa yang Syafira pikirkan langsung bisa ia ketahui."Kasian dia gak punya nama sampai sekarang," lirih Syafira penuh arti.Seolah langsung peka dengan 'dia' yang Syafira sebutkan, Devandra mengembalikan ipad itu lalu duduk
Ana sudah di bawa oleh keluarga barunya. Mereka akan tinggal di kota yang cukup jauh. Rasa kehilangan jadi makin di rasakan Syafira. Walau baru sebentar bayi kecil itu ada di kehidupannya."Sekarang Ana akan tinggal di keluarga yang hangat. Di rumah yang nyaman. Dia gak berakhir di panti asuhan kaya yang kita khawatirkan," ucap Devandra seolah menenangkan Syafira.Mereka duduk bersama di pinggir pantai menatap cahaya langit yang mulai menggelap.Syafira mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Iya. Syukurlah," balas Syafira hampa.Kini hanya terdengar deraian air laut dan hembusan angin yang menerpa kulit mereka. Saling diam terlelap dalam pikiran masing-masing."Mau coba adopsi anak?" tawar Devandra.Entah keberanian dari mana ia berkata begitu. Walau sebenarnya ia merasa terlambat berkata begitu. Harusnya, saat Ana masih belum di bawa dirinya sudah mengatakan itu. Agar Ana lah yang menjadi anak mereka."Ibu bilang sebaiknya kita mengadopsi anak. Untuk menemani hari-hari kita sambil be
Laundry Syafira sudah buka beberapa hari lalu. Semua di rancang olehnya dan Dinar banyak membantu dalam beberapa hal juga. Terutama pada bagian setrika uap yang bisa dibilang cukup berbahaya kalau tidak mengerti cara pakainya.Dinar yang pandai mengatur proses laundry dan mengajari para karyawan bagaimana memproses pakaian tiap kali pelanggan datang hingga pakaian itu siap di packing.Sementara Syafira pandai mengatur bagaimana agar banyak pelanggan datang. Strategi marketingnya patut di acungi jempol. Ia banyak tau bagaimana cara memancing pelanggan.Setidaknya pekerjaan ini sedikit banyak bisa membantunya menghilangkan kekecewaan karena Ana di bawa pergi. Dan orang-orang yang tidak punya pekerjaan sekarang setidaknya bisa memiliki penghasilan.Rata-rata yang bekerja di sini adalah janda yang punya anak namun tak ada bantuan dari mantan suaminya untuk menafkahi anak. Setidaknya dengan bekerja di sini mereka bisa membeli keperluan rumah dan memenuhi kebutuhan anak-anak mereka."Tumben
Devandra menghela nafas menunggu Yuda yang sedang memesan buket bunga besar sebelum mereka pulang."Ngapain repot-repot pesan bunga gitu?" tanya Devandra saat Yuda sudah berada di mobil.Plus bunga mawar merah besar yang di belinya.Bayangkan saja 36 tangkai bunga mawar dijadikan satu. "Paham sedikit. Istri saya pasti sedang marah karena saya tidak pulang-pulang," ucap Yuda."Makanya kubilang telpon dia kalau kita akan sangat sibuk. Sudah tau sikap istrimu kadang kadang seperti anak kecil," gerutu Devandra."Ck! Ini semua juga karenamu. Saya gak pulang-pulang hampir dua hari begini karena nolongin cari Ana."Kalau saja Devandra tidak secara tiba-tiba membatalkan urusan mereka dan menemui polisi untuk mencari tahu sindikat penjualan bayi itu. Mungkin ia tidak akan seperti sekarang."Kau tidak kasian? Bayi itu sudah tidak punya orang tua. Setidaknya kepedulianku padanya bisa sedikit membuatnya tidak menyesal hidup di dunia ini."Lagi-lagi kata itu untuk membuatnya luluh kasian pada bay
Seperti biasa Yuda akan membawa Daneen jalan-jalan lagi keliling komplek. Sekalian memberikan kesempatan Dinar untuk mandi dan berbenah diri.Baby sitter lebih banyak menjaga Daneen di malam hari. Jadi pagi-pagi begini Yuda menyuruh baby sitter itu untuk istirahat.Baru saja yuda mendorong stroller keluar pekarangan, sebuah siulan riang membuatnya menoleh.Ia tersenyum lebar melihat Devandra yang menggandong Ana keluar rumah.Bayi kecil itu sudah menemukan keluarga yang sebenarnya sekarang. Sungguh tak terduga permainan tuhan. Siapa yang menyangka anak yang di harapkan keluarga besar Arif justru diasuh perempuan yang dulu di anggap keluarga Arif tidak berguna."Daneen," sapa Devandra seolah membahasakan Ana.Tangan Daneen yang mengawang di udara seolah menyambut Ana."Jadi bapak juga sekarang," kata Yuda sambil mendorong stroller.Kesampaian keinginan Devandra membawa Ana jalan-jalan pagi bersama seperti ini.Tak sia-sia memang berdebat dengan pihak kepolisian agar secepatnya memprose
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya