"Aku hamil anak Mas Danu!"Seruan itu tiba-tiba menghentikan perbincangan anggota besar keluarga.Keluarga yang terlibat dalam acara pernikahan Dinar dan Danu seketika terkejut dengan penuturan adik mempelai h apa-apa."Aku harus nikah sama mas Danu, Mbak," ujarnya berkata dalam linangan air mata. Danu yang tiba-tiba datang membuat orang-orang makin memfokuskan tatapan pada mereka. Bak sudah tau apa permasalahan mereka, Danu mendekat dengan ekspresi marah."Sudah kubilang jangan bicara!" bentaknya pada Sania tak peduli keluarga besar di sana."Mas?" panggil Dinar menatap calon suaminya itu mencari kejujuran dari matanya."Mas Danu! Aku hamil," jerit Sania lagi pada lelaki yang kini terlihat pucat.Danu memalingkan wajah acuh pada Sania. Ia menghadap Dinar dengan tatapan memohon."Ini semua gak sepenuhnya salahku, Dinar. Pernikahan kita akan tetap berlanjut," ucap Danu berusaha mempertahankan pernikahan mereka."Gak bisa! Aku hamil, Mas! Kamu yang hamilin aku!" jerit Sania lagi makin h
"Iya gitu, Bu. Kami sih dari pihak keluarga bisa apa? Untung saja Sania mau membantu kami untuk mempertahankan nama baik keluarga."Bu Halimah yang pagi itu masih berada di rumah keluarga Dinar, tiba-tiba membeberkan alasan kenapa mempelai wanita di ganti di hari resepsi dan akad."Wah. Gak bersyukur banget sih itu si Dinar. Udah dapet laki-laki yang bermasa depan bagus kayak Danu, eh malah selingkuh."Satu persatu ibu-ibu yang tengah menunggu tukang sayur termakan cerita itu."Iya. Untung ada Sania."Skenario yang di bangun Bu Halimah berjalan mulus. Tak ada warga yang tidak percaya dengan congornya."Emang cocok Sania sama Danu. Sama-sama kerja di pemerintahan terus sama-sama kuliah juga. Cocok deh pokoknya.""Jadi itu si Dinar kepincut sama kakaknya Danu yang kerja jadi tukang parkir?""Bodoh banget ya jadi perempuan."Dinar menatap orang-orang yang membicarakan dirinya dari celah kaca dalam rumah. Dengan cukup jelas ucapan mereka terdengar di telinganya.Ia sudah tidak sanggup lag
cuplikan:Dinar berbaring di atas tempat tidur. Hatinya masih sakit dan kini hadir pula perasaan risau setelah mengambil keputusan menikah dengan Yuda. Lelaki yang tidak ia kenal.Betapa bodoh ia. Kenapa kemarin menerima begitu saja tawaran Yuda tanpa berfikir ulang lagi.Dinar baru menyadari kegilaannya ini setelah semua sudah terjadi.Mungkinkah rasa sakit yang ia terima membuat otaknya jadi berfikiran pendek?Tapi kalau tidak menikah dengan Yuda, mungkin ia sudah di usir dari rumah ini sekarang."Belum tidur?"Yuda muncul di balik pintu kamar. Ia sudah bertukar pakaian dengan kaos lusuh dan celana pendek. "Belum," balas Dinar pendek.Lelaki itu kemudian mengambil tempat di lantai samping ranjang lalu menggelar sarung yang ia gunakan untuk sholat tadi.Tanpa banyak bicara ia berbaring menghadap ke atas."Kok gak pakai bantal?" tanya Dinar yang tadi sudah menyiapkan tikar dan bantal untuk Yuda."Gak apa. Saya biasa kayak gini," balas Yuda.Dinar menggeleng. Ia mengambil bantal dan s
Apa Yuda memang sengaja?Mungkin itu suruhan dari Bu Halimah. Dan Yuda menikahinya lagi-lagi karena untuk membuat orang-orang percaya kalau Dinar telah berselingkuh. Jadi orang-orang akan percaya kalau Danu dan Sania tidak salah menikah. Pikiran buruk demi pikiran buruk melintas di kepala Dinar. Rasa sakit kian menumpuk di hatinya.Pintu kamar terbuka setelah lebih dari dua jam ia terdiam setelah puas menangis."Kenapa kamu nangis, Nak?" tanya Bu Tiara."Gak apa-apa, Bu," balas Dinar lemah Tanpa banyak bertanya lagi, sang ibu memperlihatkan sesuatu padanya."Ini daftar belanjaan yang habis di dapur. Kasih tahu suami kamu ya? Usahakan biar bisa di beli."Dinar melihat list bahan dapur itu."Banyak sekali, Bu? Ini mas Yuda semua yang harus beli?" Gila sih ini. Mana mungkin Yuda punya uang sebanyak ini, pikir Dinar."Iya. Usahakan ya."Sang ibu beranjak pergi tanpa perduli perasaan putrinya itu.Kekalutan makin kental ia rasakan. Dinar rasanya mau pingsan saja.****"Assalamualaikum"
"Wih, belanjaan banyak nih," komentar Dinar saat melihat sang ibu masuk membawa begitu banyak belanjaan untuk dapur. Pertama kalinya sang ibu terlihat sangat senang karena kebutuhan dapur lebih melimpah sekarang."Iya. Makasih ya sama Yuda udah kasih uang buat belanja bulanan. Uang dari bapak bisa ibu tabung jadinya," balas Bu Tiara dengan wajah sumberingah.Jujur sebenarnya Dinar tidak suka dengan sikap keduanya orang tuanya. Apa ia dan Yuda hanya di jadikan alat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Tapi, memang pada awalnya ia dan Yuda juga yang ingin tinggal di rumah ini."Bu. Minta uang dong. Sania ngidam pengen makan pizza nih." Tiba-tiba Sania pulang. Tampak pakaian dinas yang sangat di agung-agungkannya itu masih melekat."Kamu ngidam ya?" tanya Bu Tiara."Iya nih, Bu. Kepengen makan pizza."Sok banget ngidamnya. Dinar mencelos dalam hati mendengar pengutaraan sang adik. Masih terasa di hatinya sakit akibat tikaman tak kasat mata dari Sania.Apalagi masih banyak suara sumb
Dinar menatap uang yang kemarin di berikan Yuda padanya. Cukup lama ia terdiam dengan pikiran berkecamuk."Orang sekarang tidak melihat benar atau tidak perbuatan seseorang. Kebanyakan orang melihat kekayaan yang dimiliki orang tersebut, melalui apa yang ia punya saat ini." Begitulah kata Yuda kemarin. Dinar dalam keadaan bimbang. Apa ia pakai saja uang ini untuk membeli pakaian baru?Tapi, apa halal uang yang Yuda berikan padanya? Pria itu bahkan enggan mengakui dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Ia terus bilang kalau itu hasil ia markir. Orang bodoh mana yang mau percaya?Dinar memasukkan uang itu ke dalam dompet lagi. Sepertinya ia perlu berfikir panjang sebelum menggunakan uang itu.Setelahnya ia pergi ke dapur saja untuk memasak."Kalian serasi banget.""Iya. Semoga masa depan kalian cerah."Netra Dinar menangkap kedatangan orang tua Danu. Mereka sedang memuji pasangan yang dianggap serasi itu.Keduanya sama-sama menggunakan baju dinas, sepertinya baru pulang kerja. Bu Halim
"Wah cantik bener, Dinar. Tampilannya modis," puji Bu-ibu di tukang sayur."Bisa aja ibu," balas Dinar sambil memilih sayur. Hari ini ia sengaja ingin beli sayur demi memperlihatkan kalau ia bahagia. Sekarang dirinya jadi lebih setuju untuk tidak menepis, tapi membuktikan."Jangan terlalu maksa, Dinar. Kasian suami kamu yang tukang parkir itu. Dia pasti ngutang tuh buat bikin kamu tampil secantik ini," nyinyir salah atau ibu."Jangan souzon, Bu. Siapa tau memang suami Dinar mampu," bela salah satunya"Kalau mampu di mampu-mampuin sih ya namanya maksa. Nanti juga di tagih hutang sama koperasi."Tak mau ambil pusing, Dinar langsung membayar belanjaannya. Ia harus sabar. Semua butuh proses. Buktinya sekarang ada beberapa orang yang tidak merendahkan dirinya lagi berkat tampil lebih cantik."Berapa, Mang?""30 ribu, Neng."Uang merah melayang ke depan tukang sayur."Wah, kembaliannya belum ada ini
Tatapan sinis tak luput Dinar dapatkan saat keluar dari kamar ke esokan paginya."Makanya jangan sok! Udah ketahuankan belangnya?" sindir Sania.Dinar memilih mengindahkan. Nakun matanya justru menangkap sosok manusia menyebalkan. Nasib buruk sekali rasanya melihat Bu Halimah sudah ada di rumahnya sepagi ini. "Kamu bikin ibu malu lagi Dinar. Untung ada Bu Halimah yang menolong," ujar ibunya.Tatapan tajam yang jauh berbeda dari beberapa hari ini. Padahal baru kemarin sang ibu memuji-muji Yuda karena membantu memenuhi kebutuhan dapur."Bilang terima kasih kamu sama keluarga Danu!" perintah bapaknya.Suami Bu Halimah yang tidak lain adalah ayah mertuanya itu berucap, "Dinar. Saya rasa kamu tidak perlu melakukan apapun. Biarkan saja agar tidak memberatkan Yuda." Dahi Dinar mengerut dengan penuturan mertuanya. Aneh. Kenapa jangan melakukan apapun? "Bapak sudah memberikan uang 10 juta yang Bu Asih tuntut. Tapi pih
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya