Apa Yuda memang sengaja?
Mungkin itu suruhan dari Bu Halimah. Dan Yuda menikahinya lagi-lagi karena untuk membuat orang-orang percaya kalau Dinar telah berselingkuh.Jadi orang-orang akan percaya kalau Danu dan Sania tidak salah menikah.Pikiran buruk demi pikiran buruk melintas di kepala Dinar. Rasa sakit kian menumpuk di hatinya.Pintu kamar terbuka setelah lebih dari dua jam ia terdiam setelah puas menangis."Kenapa kamu nangis, Nak?" tanya Bu Tiara."Gak apa-apa, Bu," balas Dinar lemahTanpa banyak bertanya lagi, sang ibu memperlihatkan sesuatu padanya."Ini daftar belanjaan yang habis di dapur. Kasih tahu suami kamu ya? Usahakan biar bisa di beli."Dinar melihat list bahan dapur itu."Banyak sekali, Bu? Ini mas Yuda semua yang harus beli?"Gila sih ini. Mana mungkin Yuda punya uang sebanyak ini, pikir Dinar."Iya. Usahakan ya."Sang ibu beranjak pergi tanpa perduli perasaan putrinya itu.Kekalutan makin kental ia rasakan. Dinar rasanya mau pingsan saja.****"Assalamualaikum""Kumsalam!""Gak ikhlas banget jawab salamnya," gerutu Yuda lalu berjalan masuk ke kamar Dinar.Dinar masih duduk dengan tatapan kosong melihat betapa hancur masa depannya."Kesambet?" tanya Yuda lalu duduk di sisi Dinar.Dinar melemparkan daftar belanjaan yang diberikan ibunya tadi pada Yuda.Yuda melihat semua list belanjaan itu."Bisa di usir kita nih," gumam Dinar lemah."Kenapa?" tanya Yuda tidak paham."Gimana kita beli semua belanjaan itu?" keluh Dinar lagi-lagi dirinya hendak menangis.Ternyata menikah tidak menikah sama saja. Memang mereka akan tetap di usir. Secara tidak langsung ibunya ingin ia pergi dari rumah ini dengan memberikan list belanjaan sebanyak itu. Padahal ibunya tau kalau suaminya tidak punya banyak uang."Ini? Gampang, Dinar. Tinggal ke toko, kasih catetan, bayar."Bugh!Lemparan bantal tak terelakan mengenai wajah Yuda. Dinar menatap suaminya itu geram."Aduh, Dinar. Saya salah apa?" keluhnya dengan wajah meringis.Lemparan istrinya ini tidak main-main kuatnya. Mana itu bantal kena tepat di hidung mancungnya. Untung saja tidak sampai mengurangi ketampanan di wajahnya ini."Mas tuh gak paham, ya? Mas cuma ngomong aja. Dinar capek kayak gini! Capek!"Beh!Khas ngomel ala emak-emak mulai terasa dari diri Dinar"Cuap-cuap. Jangan marah-marah," bujuk Yuda sambil menyenyir. Tangannya kemudian meraih sesuatu dari dalam tas.Ia mengeluarkan lembaran warna merah dari tasnya. "Nah, ini buat kamu," ujarnya memberikan tumpukan uang itu ke tangan Dinar."Cukup gak?" tanyanya.Sementara Dinar malah terdiam dengan tangan gemetar melihat benda di tangannya.Kedua belah tangannya memegang uang itu seolah beratnya mencapai puluhan kilo. Matanya tidak bisa mengedip saking kagetnya."Apa ini?" tanyanya kayak orang bodoh."Uang," balas Yuda menurun naikkan alisnya."Mas nyolong di mana?" tuduh Dinar dengan wajah takut.Belum selesai satu masalah, satu masalah datang lagi. Dapat nyolong dari mana Yuda sampai punya uang sebanyak ini."Astaghfirullah! Dinar! Kamu nuduh saya nyolong? Itu uang saya buat nafkahin kamu," ujar Yuda kaget dengan ucapan sang istri."Tapi? Ini banyak banget, Mas.""Kebanyakan ya? Saya pikir malah gak cukup," balas Yuda manggut-manggut."I-ini uang beneran punya, Mas?" tanya Dinar lagi-lagi mastikan."Ya kalau uang orang, di marahin orang saya kasih itu ke kamu. Itu pokoknya uang bulanan kamu."Dinar ternganga mendengar ucapan bulanan. Berati bulan depan akan ada tumpukan uang ini lagi.Mau sih, tapi. . . ."Nah kalau ini kasih ke ibu. Jangan kamulah yang beli. Ibu aja."Lagi-lagi tumpukkan uang di serahkan Yuda padanya. Uang dalam jumlah yang tidak sedikit bagi Dinar."Mas???"Rasanya pandangan Dinar mengabur. Kamar terasa berputar hingga ia tidak dapat melihat apa-apa lagi."Astaghfirullah!""Dinar?""Sadar! Kamu masih hidup?"****Dinar menghitung ulang uang yang tadi ia terima dari Yuda.Uang yang Yuda bilang untuk dirinya.Ia menyusun lembaran uang itu sepuluh-sepuluh. Hingga tertumpuk 5 tumpukkan kertas merah itu"Subhanallah! 5 juta," lirih Dinar lalu melirik Yuda yang masih tertidur di lantai sana.Untuk mempunyai uang 5 juta bukan hal mudah untuk Dinar. Bahkan perlu 5 bulan saat bekerja, baru bisa punya uang sebanyak ini. Itu juga, ia tidak boleh memakai uang itu sepeserpun.Ia kemudian menghitung lagi uang yang di khususkan untuk biaya rumah"Ya Allah! Ada 3 juta!" pekiknya pelan.Tukang parkir mana yang punya uang sebanyak ini????"Ini mah lebih besar dari pemberian bapak buat ibu," gumamnya seorang diri.Tukang parkir macam apa Yuda?!****"Makanan gak cukup lagi buat semua orang."Saat Dinar dan Yuda ke meja makan. Suara ibu langsung menggemelatuk masuk ketelinga keduanya."Ya udah. Kami makan di luar aja," balas Dinar dengan senyuman lebar."Oh, iya. Ini, Bu. Buat dapur. Dari Mas Yuda."Dengan bangganya Dinar memberikan uang itu dengan cara melebarkan tumpukkannya hingga seperti kipas.Ia letakkan di atas meja lalu menatap Sania dengan senyuman sangat lebar seolah berkata "duit tuh! Banyak! Lo bisa kasih sebanyak ini?!"Sekali-kali menyombongkan diri tidak masalah kan???Hitung-hitung melampiaskan kekesalannya."Ayo, Mas Yuda Sayang. Kita sarapan di luar aja."****Yuda memperhatikan istrinya yang kini makan dengan lahap. Rumah makan yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka agar tidak bertemu orang-orang yang sudah menelan bulat gosip murahan itu."Ternyata benar ya? Kalau Abang punya uang Abang di sayang. Kalau gak punya uang, Abang di tendang," sindir Yuda yang melihat perubahan hati istrinya pagi ini.Dinar mendongak seraya mendengar ucapan Yuda. "Ah, gak gitu kok," balasnya sambil cengar-cengir tidak enak.Apalagi tadi saat memanggil Yuda sayang di hadapan orang tuanya. Spontan saja padahal."Gak apa. Saya paham kok. Udah puaskan kamu dihadapan sodara kamu itu?"Dinar mengangguk dengan semangat. "Tapi itu uang yang mas kasih beneran buat Dinar?" tanyanya lagi mengulang."Iya. Itu nafkah kamu sebagai istri saya.""Tapi, itu uang punya, Mas?" Lagi-lagi ia mengulang."Iya, Dinar. Kenapa sesulit itu kamu percaya?"Mungkin siapapun akan sama sepertinya, sulit mempercayai lelaki seperti Yuda memiliki uang yang terbilang banyak untuk memenuhi nafkah istrinya."Apa jangan-jangan sebenarnya mas ini pengusaha sukses yang nyamar jadi tukang parkir?" tebak Dinar teringat novel-novel yang dulu pernah ia baca.Mungkin saja mas Yuda pengusaha sukses yang nyaman jadi orang miskin karena satu dua alasan!"Ngaco kamu. Saya itu kerja, Dinar. Saya kerja jadi tukang parkir.""Tapi, Mas!" Dinar masih tidak bisa percaya. "Kok bisa?""Ya bisalah. Kalau kerja, otomatis punya uang. Saya gini-gini bukan pengangguran."Dinar menatap Yuda lekat. Mungkin Yuda menyembunyikan identitasnya sebagai orang kaya? Sungguh sulit dipercaya Yuda dapat memberi dirinya uang bulanan dalam jumlah yang tidak sedikit. Padahal ia hanya tukang parkir.Bersambung. . . ."Wih, belanjaan banyak nih," komentar Dinar saat melihat sang ibu masuk membawa begitu banyak belanjaan untuk dapur. Pertama kalinya sang ibu terlihat sangat senang karena kebutuhan dapur lebih melimpah sekarang."Iya. Makasih ya sama Yuda udah kasih uang buat belanja bulanan. Uang dari bapak bisa ibu tabung jadinya," balas Bu Tiara dengan wajah sumberingah.Jujur sebenarnya Dinar tidak suka dengan sikap keduanya orang tuanya. Apa ia dan Yuda hanya di jadikan alat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Tapi, memang pada awalnya ia dan Yuda juga yang ingin tinggal di rumah ini."Bu. Minta uang dong. Sania ngidam pengen makan pizza nih." Tiba-tiba Sania pulang. Tampak pakaian dinas yang sangat di agung-agungkannya itu masih melekat."Kamu ngidam ya?" tanya Bu Tiara."Iya nih, Bu. Kepengen makan pizza."Sok banget ngidamnya. Dinar mencelos dalam hati mendengar pengutaraan sang adik. Masih terasa di hatinya sakit akibat tikaman tak kasat mata dari Sania.Apalagi masih banyak suara sumb
Dinar menatap uang yang kemarin di berikan Yuda padanya. Cukup lama ia terdiam dengan pikiran berkecamuk."Orang sekarang tidak melihat benar atau tidak perbuatan seseorang. Kebanyakan orang melihat kekayaan yang dimiliki orang tersebut, melalui apa yang ia punya saat ini." Begitulah kata Yuda kemarin. Dinar dalam keadaan bimbang. Apa ia pakai saja uang ini untuk membeli pakaian baru?Tapi, apa halal uang yang Yuda berikan padanya? Pria itu bahkan enggan mengakui dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Ia terus bilang kalau itu hasil ia markir. Orang bodoh mana yang mau percaya?Dinar memasukkan uang itu ke dalam dompet lagi. Sepertinya ia perlu berfikir panjang sebelum menggunakan uang itu.Setelahnya ia pergi ke dapur saja untuk memasak."Kalian serasi banget.""Iya. Semoga masa depan kalian cerah."Netra Dinar menangkap kedatangan orang tua Danu. Mereka sedang memuji pasangan yang dianggap serasi itu.Keduanya sama-sama menggunakan baju dinas, sepertinya baru pulang kerja. Bu Halim
"Wah cantik bener, Dinar. Tampilannya modis," puji Bu-ibu di tukang sayur."Bisa aja ibu," balas Dinar sambil memilih sayur. Hari ini ia sengaja ingin beli sayur demi memperlihatkan kalau ia bahagia. Sekarang dirinya jadi lebih setuju untuk tidak menepis, tapi membuktikan."Jangan terlalu maksa, Dinar. Kasian suami kamu yang tukang parkir itu. Dia pasti ngutang tuh buat bikin kamu tampil secantik ini," nyinyir salah atau ibu."Jangan souzon, Bu. Siapa tau memang suami Dinar mampu," bela salah satunya"Kalau mampu di mampu-mampuin sih ya namanya maksa. Nanti juga di tagih hutang sama koperasi."Tak mau ambil pusing, Dinar langsung membayar belanjaannya. Ia harus sabar. Semua butuh proses. Buktinya sekarang ada beberapa orang yang tidak merendahkan dirinya lagi berkat tampil lebih cantik."Berapa, Mang?""30 ribu, Neng."Uang merah melayang ke depan tukang sayur."Wah, kembaliannya belum ada ini
Tatapan sinis tak luput Dinar dapatkan saat keluar dari kamar ke esokan paginya."Makanya jangan sok! Udah ketahuankan belangnya?" sindir Sania.Dinar memilih mengindahkan. Nakun matanya justru menangkap sosok manusia menyebalkan. Nasib buruk sekali rasanya melihat Bu Halimah sudah ada di rumahnya sepagi ini. "Kamu bikin ibu malu lagi Dinar. Untung ada Bu Halimah yang menolong," ujar ibunya.Tatapan tajam yang jauh berbeda dari beberapa hari ini. Padahal baru kemarin sang ibu memuji-muji Yuda karena membantu memenuhi kebutuhan dapur."Bilang terima kasih kamu sama keluarga Danu!" perintah bapaknya.Suami Bu Halimah yang tidak lain adalah ayah mertuanya itu berucap, "Dinar. Saya rasa kamu tidak perlu melakukan apapun. Biarkan saja agar tidak memberatkan Yuda." Dahi Dinar mengerut dengan penuturan mertuanya. Aneh. Kenapa jangan melakukan apapun? "Bapak sudah memberikan uang 10 juta yang Bu Asih tuntut. Tapi pih
"Ini, bukti mutasi rekening bank, dan struk pengambilan uang atas nama Yuda Saputra di ATM beberapa hari lalu. Tepat di saat Bu Asih kehilangan uang!"Bulan melampirkan semua bukti yang mematahkan tuduhan."Hanya karena Yuda menyapa Bu asih saat Bu Asih memegang uang 10 juta, bukan berarti Yuda yang mengambil uang itu saat hilang!" tegas Bulan.Ia menatap petinggi polisi yang duduk di hadapannya. "Kepercayaan masyarakat pada kepolisian sedang di uji. Tolong jangan buat kepercayaan masyarakat semakin berkurang, Bapak polisi! Anda menangkap orang yang salah!"Bulan menatap Bu Asih dengan tatapan tajam khas dirinya saat menjadi pengacara."Bu Asih! Ibu telah merusak reputasi Yuda Saputra! Klien saya tidak terima, dan kami akan memberikan tuntutan!" Wajah Bu Asih memucat."Kalau bermain koneksi, saya punya koneksi yang jauh lebih kuat dari pada kamu!" sengit Bulan pada keponakan ibu Asih yang mengenakan pakaian polisi.Berdasarkan analisa Bulan, laporan polisi ini lolos bahkan tanpa bukti
"Habiskan ayamnya," suruh Yuda dengan senyum simpul.Malu-malu Dinar menyambar paket besar ayam krispi yang dipesan Yuda.Lelaki itu paham dirinya sejak tadi melirik potongan ayam yang masih utuh dalam kotak kertas. "Toko emas depan hotel masih buka tuh. Habis makan ke sana ya?" ajak Yuda.Posisi duduk mereka di resto hotel berhadapan dengan sebuah toko emas.Ayam yang baru ia gigit, terdiam beberapa saat di bibir gadis itu. Dinar mengunyah pelan lalu menelan dengan susah payah "Beli emas?" tanya Dinar memastikan "Iyalah."Dinar tercenung beberapa saat. Mungkin kalau Yuda menjelaskan dari mana uang yang ia miliki dengan penjelasan logis, ia akan senang.Ya kali. Perempuan mana yang akan menolak kalau di tawari membeli emas oleh suami sendiri.Hanya saja, situasinya kini berbeda. Semenjak kasus di penjaranya Yuda, walau ini cuma salah tangkap, masih menyisakan kekhawatiran di lubuk hati Dinar
"Dinar kasian, Mas, sama keluarga Bu Asih," lirih Dinar di samping Yuda.Pria itu menghela nafas lalu menuntun kepala istrinya agar bersandar di bahunya."Kita sudah berbaik hati tidak menuntut mereka, Sayang. Tapi kita harus memikirkan tentang kenyamanan kita juga," terang Yuda. Usapan lembut dikepala Dinar makin membuatnya merasa betah bersandar di bahu suaminya ini."Kasian aja gitu. Pasti anak-anak Bu Asih nanti di bully di sekolah."Yah, memang bukan main viralnya video klarifikasi itu. Sebab melibatkan akun seorang selebgram yang ternyata kenal baik dengan Bulan.Orang-orang yang tadinya ingin menghujat Yuda dan Dinar, berbalik menghujat Bu Asih atas salahnya sendiri."Itu resiko. Ada beberapa hal yang perlu kita maafkan dari kesalahan orang lain. Dan ada juga yang harus kita beri pelajaran."Dinar mengangguk walau hatinya masih tidak nyaman. Pikirannya masih menerawang bagaimana nasib anak-anak Bu Asih nanti."Oh, iya. Masalah tabungan saya, nanti ya saya kasih. Soalnya tabun
Tak ada lagi alasan Bu Tiara untuk tidak mengizinkan Yuda dan Dinar sarapan pagi bersama. Sebab, uang yang digunakan adalah uang Yuda.Dinar mengambilkan makan untuk sang suami tercinta. Yah, mungkin sekarang rasa yang ada di hatinya sudah bertukar menjadi cinta dengan semudah itu. Bahkan rambut basah Dinar menjadi saksi percintaan mereka.Juga tidak bisa disembunyikan raut bahagia Yuda pagi ini. Karena setelah penantian beberapa hari, akhirnya ia bisa mendapatkan haknya."Mau lauk agak banyakan?" tawar Dinar.Beberapa kali Yuda selalu sarapan dengan lauk dan nasi seadanya. Bahkan beberapa hari lalu Yuda hanya makan nasi dan sayur karena lauk dibagi ibu dengan sangat tidak adil.Mentang-mentang Sania lagi hamil dan dia malas makan nasi, jadi lauknya dia semua yang habiskan."Secukupnya aja," jawab Yuda.Dinar tetap mengambilkan lauk yang banyak untuk Yuda. Karena bagaimanapun Yuda yang punya hak penuh untuk makanan ini. Masa dia dapat yang sedikit.Bahkan ibu dan bapak mengambil banya
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya