"Mas, ini gimana?" tanya Dewi dengan berbisik. Jantungnya tidak lagi berdetak beraturan, ia menggenggam erat tangan Rafael. "Kau diam atau memilih kita selesai di sini!" seru Rafael dengan berbisik. Nada bicaranya terdengar bergetar, ia takut pada siapa di balik pintu itu. Tapi ... siapa yang harus ia takuti kini? Ann atau ... Brak! Pintu itu terbuka dengan menampakkan sosok Ann yang berdiri di sana. "Rafael, Dewi sepertinya kalian harus diperiksa," ucap Ann dengan senyuman manisnya. "Kak, bukan kami yang melakukan itu," elak Dewi dengan tatapan penuh harap. Memohon agar dirinya dilepaskan saja, tapi sepertinya keadaan tidak pernah berpihak pada dirinya. "Apa yang kamu lakukan, Ann? Kamu menuduh kami melakukan ini?" tanya Rafael dengan menatap nyalang ke arah Ann. "Jika kamu tidak melakukan, kenapa raut wajahmu seperti itu, Rafael?" Saat membalikkan tanya pada Rafael, Ann bersama dengan seorang pria. Bukan Sena atau pun siapa yang mungkin Dewi kenal.
Setelah beberapa hari, Ann mulai mengurus tambahan laporan tentang Rafael. Semua kebusukannya terlihat, Dewi sengaja dibebaskan dengan pertimbangan kehamilannya. "Aku tidak menyangka jika semuanya cukup rumit, Sena," ucap Ann lirih. "Tidak apa-apa, Sayang. Semua ini agar ia mendapatkan balasan yang setimpal," balas Sena. Ke duanya duduk di ruang tunggu, Rafael yang dihadirkan begitu kumuh dan lusuh. "Tuan, Nona, silakan jika ingin bicara pada pelaku," ucap seorang pria itu. "Terima kasih, Pak." Ann dengan gemetar mendekati Rafael, ia menatap nyalang ke arah pria yang dulu sangat ia cintai. "Aku tidak paham dengan jalan pikirmu, Rafael. Mungkin dulu aku sangat mencintaimu, tapi kini aku terpaksa menjebloskanmu ke penjara," ucap Ann dengan penuh ketegasan. "Jika bukan karena istriku yang menahanku menjebloskanmu lebih dulu. Mungkin kau sudah habis ditanganku, bajingan!" pekik Sena seraya mengepalkan tangan. "Sena, stop! Pak, tolong bawa dia masuk!" pinta Ann.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa Arka saat Sena hendak memasuki ruangan. "Pagi, Arka. Apa ada hal yang harus aku perhatikan hari ini?" tanya Sena. "Permisi, Tuan muda. Ada tamu yang menunggu di bawah," ucap seorang wanita. Sena mengernyitkan dahinya, sedangkan Arka mulai bertanya-tanya. "Arka, ada jadwal pertemuan pagi ini?" Sena melempar tanya dengan menatap sekretarisnya itu. "Tidak ada, Tuan. Coba saya cek dulu ya," Arka beranjak meninggalkan Sena. Langkahnya terburu-buru menuju lobi, seorang wanita yang cukup cantik berdiri di dekat pintu. "Selamat pagi, Nona," sapa Arka. "Pagi, apa saya bisa bertemu dengan Tuan Muda Gaharu?" tanyanya dengan terburu-buru. "Kalau boleh tahu, ada urusan apa dengan Tuan muda Gaharu? Beliau sangat sibuk hari ini, setelah saya cek Anda juga tidak membuat jadwal," terang Arka. Helaan nafasnya terlihat gusar, wanita yang tinggi semampai dengan pakaian yang sangat mencolok. "Oh, kamu karyawan baru di sini. Saya ini saudari Tuan m
"Ann, menurutmu bagaimana?" tanya Lena. "Bagaimana? Apanya?" Ann menatap ke arah Lena dengan penuh tanya. "Kalau Aisha menikah, kita akan susah nongkrong 'kan?" Lena melemparkan celetukan. "Belum tentu, Lena. Bisa aja malah lebih sering nongkrong karena calon suami Aisha kan sekretaris Sena suamiku," terang Ann. Lena mendongak pada Ann, tidak ada yang salah dari jawabannya. Tapi, kenapa ia merasa tersingkir? "Kamu gak bakalan lupa sama aku kan, Ann?" tanya Lena. Ann mengernyitkan dahinya bingung, "Memangnya kenapa sih, Lena? Aisha menikah dengan Arka juga hak dia. Gak bakalan aku lupa sama kamu, kita kan tetap temenan," paparnya. "Iya sih." Lena melenggang begitu saja tanpa banyak kata. Entah apa yang sebenarnya ia pikirkan. "Dasar aneh!" seru Ann. Matanya tertuju pada sebuah pesan singkat yang dikirim Sena. [Sayang, aku sudah mengajukan cuti 4 hari pada Dewa, sepertinya dia sudah setuju. Arka sudah memesankan tiket liburan 3 hari. Kamu tidak keberatan
"Sayang, kamu yakin mau mandi sekarang?" tanya Sena. Sedangkan Ann masih kesulitan bernafas, ia memukul tubuh Sena dengan keras. Bruk! Ann terjatuh di lantai, ia meringis kesakitan. Entah apa yang dipikirkan Sena sampai melepaskan pegangannya pada Ann. "Kamu!" pekik Ann. Susah payah ia berdiri dan pergi meninggalkan Sena. Di dalam kamar mandi, Ann memegang pantatnya yang terasa sakit. "Suami kampret!" hardiknya. Di luar kamar mandi, ia mampu mendengar suara Sena yang menertawakannya. Kian kesal pada tingkah suaminya, Ann segera menyelesaikan proses mandinya. "Sayang, ayo makan!" ajak Sena saat melihat Ann keluar. "Makan sendiri, pergilah sendiri. Aku mau ke apartment!" seru Ann dengan sedikit berteriak.. Manik mata Sena membelalak lebar, "Ada apa, Sayang?" tanya Sena. Raut wajahnya bingung, tercetak jelas ia tidak terima dengan keputusan Ann sepihak. "Gak ada apa-apa. Kamu saja tidak peduli aku terjatuh, terus kenapa aku harus pergi denganmu? Apal
"Apa yang terjadi, Arka?" tanya Sena. "Maaf mengganggu istirahat Anda, Tuan Muda. Wanita yang sempat datang ke kantor kembali datang," terang Arka. "Usir!" tegasnya. Setelah kalimat itu terdengar, Sena meninggalkan Arka sendirian. "Baik." Semua terlihat menyebalkan, saat Sena harus menerima kabar pelik yang membebani pikirannya. "Ann," panggilnya lirih. Tapi, tidak ada jawaban yang ia dengar dari dalam kamar. Pintunya terkunci, entah mengapa istrinya berlaku demikian? "Reni, bawakan kunci cadangan!" pintanya. Sigap saja Reni memberikan kunci cadangan pada Sena. Setelah pintu terbuka, matanya membelalak lebar. Ann terlelap dengan posisi asal, ia hanya bisa tersenyum seraya membenarkan posisi tidur Ann. "Kamu kalau tidur gini makin cantik, aku jadi pengen gigit!" gumam Sena. Cinta dan kasih sayang sebesar itu rela ia curahkan sepenuhnya pada Ann. Usapan lembut pada ujung kepalanya membuat Sena semakin cinta. "Sayang, kamu jadi ikut aku 'kan?" tanya
"Sena ... bangun!" Ann berbisik pada suaminya. Semalam, ia dan Sena melakukan hal yang sama sekali di luar kendalinya. Biasanya hanya dilakukan satu sampai dua kali. Tapi malam itu berbeda, Sena seperti siap menerkamnya hidup-hidup. Kini ... pria yang terlelap di sampingnya terlihat lelah. Tapi senyumnya sangat cerah. "Sena, pasti kita akan telat sarapan kalau kamu tidak bangun," ujar Ann lagi. Tubuhnya penuh bekas keunguan, tapi perutnya terasa sangat lapar. Malu! Jika harus berjalan sendirian dengan tubuh seperti ini. "Sena!" seru Ann seraya mengoyak tubuh suaminya. "Hm, Sayang, Aku masih sangat mengantuk," keluh Sena. "Tapi aku lapar!" ucap Ann dengan memelas. Meski tahu Sena tidak akan melihat ekspresinya, tapi itu sebuah usaha untuk membuat Sena bangun. "Sayang, ayo bangun. Aku malu kalau keluar dengan badan seperti ini, semua ini kan perbuatan kamu. Jadi bertanggung jawablah!" teriak Ann dengan keras. "Bertanggung jawab tentang apa, Ann? Se
"Kenapa diam saja?" tanya Ann. Setelah kejadian pagi tadi, Sena hanya terpaku diam tanpa banyak bicara. "Tidak apa-apa, Sayang," balasnya. "Hari ini Arka sudah mengatur jadwal kita 'kan? Lalu, kenapa kita masih di sini?" tanya Ann dengan penuh desakan. Sena mengernyitkan dahinya, "Kamu mau keluar?" tanya Sena. "Ya, memangnya kita akan diam selama 3 hari di hotel?" Ann membalikkan tanya. Alih-alih akan mendapatkan liburan yang nyaman, nyatanya Sena seperti membuat Ann terkurung di hotel. "Ya, ayo kalau begitu." Hanya itu? Ann menggertakkan rentetan giginya, ia penuh kekesalan.. "Kalau kamu tidak ingin pergi bersamaku, aku bisa sendiri!" tegas Ann. Langkah kaki terburu-buru dengan meraih tas slempang yang biasa ia bawa. Ann membawa dirinya keluar dari kamar, berjalan keluar tanpa memedulikan panggilan Sena. "Sayang, maafkan aku. Tubuhku sangat lelah kali ini, tapi aku siap menemanimu kemana pun!" ucap Sena. Setelah ia berlari mengejar istrinya, kini
"Lena?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Kan kamu janjiin dia cowok, Sayang. Kamu lupa?" tanya Ann dengan kekesalan. "Tidak, aku masih ingat kok. Hm, beberapa temanku memang sedang mencari pacar, nanti aku akan mengenalkan salah satunya pada Lena," terang Sena. Mata yang teduh kini menatap lekat ke arah Ann, perjalanan menuju apartment selalu menyenangkan baginya. "Malam ini biarkan aku memasak untukmu, Sayang. Kamu istirahat saja ya," bisik Sena. "Ta-tapi? Kenapa tidak pesan di luar saja?" Ann melempar tanya. Ia hanya cemas jika Sena memasak asal dan tidak bisa dimakan. Akan sangat mubazir jika itu terjadi. "Tenang saja!" ucap Sena. Tibalah mereka berdua di apartment, Sena yang langsung membawa Ann ke kamar. "Kamu istirahat ya, mandi dulu," titah Sena. "Tapi, Sayang," Ann memeluk erat tubuh Sena. Membuat lelaki itu terdiam sejenak, Ia membalas pelukan Ann dengan hangat. "Kamu mau apa sekarang? Mandi dulu ya, nanti aku yang memasak," terang Se
"Siang, Tuan Muda," sapa Arka dan Aisha kompak. Kini mereka duduk di sebuah restoran cukup ternama, Ann yang duduk di samping Sena membuat Aisha canggung. Bukan karena apa, hanya saja suaminya mengajaknya makan siang bersama. "Aisha, aku dengar dari Lena kamu lagi cari rumah?" tanya Ann dengan menatap wajah Aisha sekilas. "Iya, Mbak. Dasar Lena suka bahas hal-hal yang gak perlu!" Aisha menanggapi dengan kekehan ringan. Merasa malu, ia meremas ujung bajunya sampai kusut. "Aku berniat memberikan apartment padamu, Aisha," ucap Sena. Satu kalimat yang berhasil membuat mulut Aisha ternganga, bukan ini yang ia inginkan. Tapi ... kenapa Sena ingin memberikan apartment padanya? "Tuan, saya punya tabungan untuk menyewa rumah kecil saja. Saya ...," Aisha menghentikan ucapannya. "Aisha, semua ini tidak kuberikan cuma-cuma, karena kamu teman baik istriku. Dia yang meminta padaku tentang ini, jangan ditolak ya!" peringat Sena. Manik mata yang kini basah menatap Arka secara berulang, ia m
"Aku dengar Aisha lagi cari kontrakan ya," celetuk Lena saat tiba di tempat duduknya. "Aku malah gak dengar apa-apa, Len." Ann kembali fokus pada pekerjaan yang ada di hadapannya. "Aku masih bertanya-tanya, apa bapaknya belum berubah dari dulu?" Lena masih dengan tanya yang ada di kepalanya. Mendengar itu, Ann mendongak pada sahabatnya yang kini bersandar di kubikel. sorot mata penuh tanya dengan tatapan tajam. "Bapaknya belum berubah? Maksudmu apa?" tanya Ann. "Orangnya kasar banget, Ann. Dulu waktu masih SMA, Aisha sering dateng babak belur ke sekolah," terang Lena dengan mengingat beberapa tahun ke belakang. "Gila, kenapa kamu diam aja sih!" seru Ann. Lena menatap Ann dengan penuh tanya, bingung! Padahal awalnya Lena hanya membahas tentang Aisha yang mencari rumah. "Aisha itu kelihatannya mau kabur dari rumah, Ann. Makanya dia berniat beli rumah baru," terang Lena sebagai tambahan. "Iya, aku telpon suamiku dulu." Ann meraih ponselnya yang tergeletak di
"Mas, kan kita mau pulang. Kenapa lewat sini?" tanya Aisha saat mengamati arah laju mobil Arka. "Kita makan," singkat. Akhirnya, Aisha memilih diam tanpa bertanya lagi. Ia hanya bersandar dengan posisi nyaman. Menatap jalanan yang ramai di malam hari. "Ai, kenapa diam?" tanya Arka dengan lembut. "Gak apa-apa, Mas. Aku tidak lapar," jawabnya. Meski perutnya terasa kosong dan membuat tubuhnya lemas. Aisha tidak lagi ingin merepotkan Arka, sudah terlalu banyak bantuan yang ia terima. Hingga Aisha bingung harus membalas dengan apa. "Mas, aku jadi bebanmu ya sekarang?" Kalimat itu keluar begitu saja, membuat Arka sempat tergelak. "Maksudmu, Ai?" tanya Arka dengan menatap penuh tanya. "Karena Mas Arka melamarku, aku sekarang jadi merepotkanmu, Mas!" kata Aisha dengan ragu. Ia tidak lagi mampu menopang dirinya sendiri, dan ia malah merepotkan orang lain yang notabene pria yang melamarnya. "Mas, harusnya aku gak memperlakukanmu seperti ini," ucap Aisha lagi.
"Aisha, ada apa?" tanya Arka dengan penuh kecemasan. Di sambungan telepon, di ruangan yang gelap. Aisha memberanikan diri menghubungi Arka, malam itu. "Aku gak apa-apa, Mas. Tapi temani aku sebentar ya," kata Aisha dengan gemetar. "Iya, aku temani. Apa kamu mau aku ke sana? Aku temani ya," Arka kian mencemaskan Aisha kali ini. Logikanya tidak lagi bisa diajak kompromi, satu hal yang ia inginkan. "Jangan ya, Mas. Aku gak mau Mas Arka ikutan keseret. Temenin aku aja via telepon," elak Aisha. "Baiklah, Aisha. Katakan saja kalau ada apa-apa," timpal Arka. Kecemasan yang tidak ada habisnya, ia hanya bisa menahan diri. Menemani Aisha dalam kekalutan yang tidak dia pahami. "Arghhh!" pekik Arka dengan keras. Tanpa sadar ia berteriak saat telepon masih tersambung. "Mas, ada apa?" tanya Aisha terburu-buru. "Tidak apa-apa, Aisha. Mas ke sana aja ya, di sini gak bisa tenang," tegas Arka. "Ta-tapi, ... Aku gak bisa jamin loh, Mas," Aisha terbata dengan suara gem
"Kamu senang?" tanya Arka saat diperjalanan mengantar Aisha. "Ya, Mas Sena dan Mbak Ann sangat baik, Mas," tutur Aisha. "Hehehe, Tuan muda memang selalu baik, Ais. Tanpa dia sepertinya aku gak akan seperti sekarang," Arka menyetir dengan mengulas senyuman. "Aku hanya berharap mereka selalu bahagia bersama," ucap Aisha dengan tulus. Arka tersenyum, "Aku juga berharap kita bahagia, Aisha!" ungkapnya lembut. Ke duanya hanya tersipu dengan ucapan masing-masing. Setibanya di depan gang rumah Aisha, Arka hanya membukakan pintu. "Mas, ikut ya?" tanya Arka. "Mas, jangan dulu ya!" Aisha mengelak. Entah kenapa Aisha masih enggan membawa Arka pada keluarganya. "Ya, oke." Meski sudah melamar Aisha, Arka masih suka bertanya-tanya tentang keadaan keluarganya. Tapi, Aisha selalu menghindari itu. "Aku pulang dulu, Sayang," ucap Arka dengan senyuman. "Ya, hati-hati, Sayang," balas Aisha. *** "Suami kamu royal banget, Ann!" seru Lena tatkala tiba di kantor. "Ya, makanya
"Hehehe," Hari berlalu dengan sibuk, Ann menatap layar komputer sampai matanya pedas. Pekerjaan yang cukup menumpuk akibat ia mengambil cuti. Lena dengan emosionalnya akibat tumpukan pekerjaan. "Kau benar-benar gila, lihatlah semua ini aku yang kerjakan!" seru Lena. "Iya, maaf, Lena. Aku juga tidak tahu kenapa Pak Dewa melimpahkan itu padamu," Ann menatap nanar ke Lena. "Hahaha, canda besti. Nanti bilang ke suamimu ya, suruh dia mengenalkan teman tampannya untukku," bisik Lena dengan mengedipkan sebelah mata. "Punya teman serakah itu seperti ini ternyata," ujar Ann tanpa ragu. *** "Bagaimana kerjaan kamu?" tanya Sena dengan lembut. "Lancar, kamu gimana, sayang?" Ann membalikkan tanya. Sedangkan wanita yang duduk di samping kemudi seperti obat nyamuk. Hanya bermain ponsel dengan tatapan kosong. "Minimal sadar ya!" sindirnya. "Hahaha, Lena ... benarkah kamu sedang mencari calon suami?" tanya Sena dengan kekehan ringan. "Wah, benar, Tuan muda. Kalau
"Siap, Sayang? Kita kembali ke kota yang ramai dengan hiruk pikuk dunia," celetuk Sena seraya menatap istrinya yang terlihat diam. "Siap gak siap, Sena. Di sini sangat nyaman, jadi aku cukup jatuh cinta dengan kota ini," balas Ann dengan nanar. Sena hanya tersenyum simpul, tidak ada yang salah dari ucapan Ann. Ia begitu mencintai pantai dan laut, akan sangat senang jika ia bisa tinggal di dekat dua tempat itu. "Nanti kita ambil cuti lagi ya, yang lebih lama lagi. Sekarang sudah saatnya kita pulang, Sayang," ucap Sena dengan lembut. "Ya." *** "Permisi, Tuan muda. Sarapannya sudah siap!" Suara Reni yang menggelegar terdengar nyaring dan memekakkan telinga Ann dan Sena. Dua sejoli yang baru terlelap beberapa jam itu harus segara membuka matanya. "Huahh, aku masih mengantuk sekali, Ann!" gumam Sena lembut. "Sama, tapi tidak mungkin kita terus terbaring di sini, Sayang!" Sena meraih tangan Ann, menariknya masuk ke kamar mandi. "Ya, Reni. 30 menit kami akan
"Saudara perempuan?" Ann melemparkan tanya dengan tatapan bingung. "Iya, Ann. Entah ini benar atau salah, tapi ini sangat membebani pikiranku," keluh Sena. Pelan Ann menelaah setiap kalimat yang keluar dari bibir Sena. Aneh, dan penuh tanda tanya besar. "Kamu yakin itu adik kamu?" tanya Ann lirih. "Tidak, aku percaya dengan ucapan ibuku sebelum meninggal. Aku adalah satu-satunya anak dari pasangan keluarga Gaharu," terang Sena. Ann bingung harus menanggapi apa, raut wajah Sena yang terlihat tertekan dengan keadaan yang diluar kendalinya. "Sayang, peluk aku!" ucap Ann. Ia merentangkan tangan dengan penuh keyakinan, jika mulutnya tidak mampu berkata dengan benar. Setidaknya, dekapannya mampu memberikan ketenangan pada Sena. "Sayang, terima kasih ya," bisik Sena. Ke duanya saling mendekap satu sama lain, mengeratkan pelukannya. "Besok sore kita pulang, ayo nikmati bulan madu kali ini, Sayang," bisik Sena. "Badanku rasanya remuk sekali, Sena. Bahkan untuk