Kondisi Bu Asma masih drop karena belum bisa menerima kenyataan yang sebenarnya soal Robin. Apalagi sekarang putrinya telah menjadi bagian dari keluarga Sadewa. Ia takut Nabilah bernasib sama dengan faisal. "Ibu makan dulu ya, sedikit saja. Habis itu minum obat!" ujar Nabilah yang hendak menyuapi, tetapi Bu Asma menolak dengan menggeleng."Kalau Ibu mau makan, Bilah janji akan tetap tinggal di rumah ini!" bujuknya kemudian. Bu Asma kemudian menyahuti, "Bohong nanti kalau Robin ngajak ngontrak pasti kamu akan ikut dengannya.""Paling kalau ngontrak di depan rumah Bu. Jadi Bilah bisa setiap hari ke sini!" sahut Nabilah lagi."Ibu nggak percaya, nanti kamu diam-diam kabur sama Robin!" Bu Asma yang tetap takut ditinggal Nabilah. Nabilah tampak menghela napas panjang dan tidak tahu harus membujuk ibunya dengan cara apa lagi. "Bilah, beres-beres dapur saja. Biar Bapak yang menyuapi Ibu!" seru Pak Jamal yang segera menggantikan Nabilah. Nabilah memberikan piring yang berisi nasi ke t
Tapi aku minta berhentilah untuk memata-matai kehidupanku lagi. Kamu sudan punya Lucy dan Bryan jadi biarkan aku hidup tenang bersama Hans!" sahut Mom Sandra dengan tegas. Sadewa memang egois, dia sudah memiliki kehidupan yang baru. Akan tetapi, tidak mau melepaskan rasa cintanya kepada Sandra. Wanita itu baginya seperti matahari, tegas, pintar dan berani. Sementara itu Lusy bagaikan rembulan, lemah lembut dan sangat penurut. Sadewa ingin memiliki keduanya, tetapi sayang Sandra tidak mau dipoligami."Baiklah, aku berjanji tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi," sahut Sadewa yang segera meninggalkan rumah Sandra.Sandra kemudian menceritakan pembicaraannya dengan Sadewa kepada Hans secara garis besarnya saja."Aku belum pernah melihat Sadewa serapuh ini. Pantas Bryan jarang terlihat lagi ternyata dia sakit. Pasti pertemuannya dengan Bara membuatnya semakin terpuruk," ujar Hans sambil menatap kepergian Sadewa dari balik jendela. Sandra memberikan pendapatnya, "Bara memang keras, pad
Sambil menunggu jawaban Sadewa atas tawarannya, Robin menepati janjinya untuk menemui Nabilah. Akan tetapi, ketika ia sampai di rumah mertuanya, Pak Jamal dan Bu Asma tidak ada di tempat. Jadi Robin hanya bertemu dengan istrinya saja."Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Robin membuka pembicaraan. "Alhamdulillah sudah membaik, sekarang sedang diantar berobat sama Bapak," jawab Nabilah memberitahu kondisi Bu Asma. "Maaf ya Bang, Bilah nggak jadi ikut sama momi, kalau bisa kita tinggal di sini saja. Sampai kondisi ibu sehat seperti sedia kala!" pinta Nabilah yang sudah janji tidak pergi meninggalkan ibunya.Robin tidak menanyakan alasan Nabilah minta tinggal di rumah orang tuanya karena mengerti akan kekhawatiran Bu Asama. Ia tampak mengangguk kecil dan menyahuti, "Iya nggak apa-apa. Lebih baik Bilah tinggal di sini karena kemungkinan Abang akan pergi lagi.""Abang mau ke mana?" tanya Nabilah ingin tahu. "Abang nggak bisa cerita sekarang. Pada intinya ada sedikit masalah yang harus Abang se
"Jangan percaya Om, Sadewa hanya berpura-pura saja, agar aku mau pulang!" sahut Robin dengan yakinnya dan tidak mau tertipu lagi.Nabilah yang mendengar percakapan itu kemudian bertanya, "Siapa yang sakit Bang?""Bukan siapa-siapa, tidak penting. Abang mau tidur, nanti bangunkan kalau Bapak dan Ibu sudah pulang!" sahut Robin sambil merebahkan tubuhnya di kasur.Baru saja Nabilah ke luar dari kamar, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata Mom Sandra yang menghubunginya. Mereka kemudian terlibat yang cukup lama dan serius.Ketika bakda ashar, Nabilah membangunkan Robin yang sedang tertidur pulas. "Bangun Bang, sudah mau ashar. Lagipula tidak baik tidur sebelum magrib!" seru Nabilah sambil mengguncang bahu suaminya.Robin tampak menggeliat dan segera bangun. Ia tersenyum melihat Nabilah sudah mandi sore, begitu segar dan harum. "Abang mau mandi?" tanya Nabilah yang dijawab anggukan oleh Robin. Setelah Robin membasuh diri, azan ashar pun berkumandang. Ia kemudian mengganti pakaiannya d
Di salah satu ruang ICU rumah sakit elit di Singapura, Sadewa tampak terbaring kritis. Beberapa alat medis tampak terpasang di tubuhnya. Sementara itu Lucy hanya bisa melihat dari kaca pintu."Tenanglah Nyonya, semua akan baik-baik saja. Saya yakin sekali Tuan Muda Bara akan kembali setelah mengetahui ancaman kita," ujar Sam kepala keamanan keluarga Sadewa."Cobaan ini sangat berat sekali, aku tidak sanggup menerimanya!" lirih Lucy yang belum siap ditinggal Sadewa untuk selamanya. "Tidak ada gunanya menangis, lebih baik kau berdoa untuk kesembuhan Sadewa, Lucy!" seru Robin yang datang dengan penampilan seperti Bara. Tanpa brewok dan rambut gondrongnya. Lucy menoleh dan tampak terkejut melihat kedatangan Robin. Seketika tangisnya langsung berhenti dan menatap anak tirinya itu dengan penuh kemarahan. "Dasar anak tidak tahu diri bisa-bisanya kamu memberikan papi pilihan yang sulit. Ingat Bara, kamu telah menikmati hasil jerih payah suami dan anakku. Mereka kerja keras untuk membangu
Setelah pulang ke kediaman Sadewa, Robin tetap melakukan kebiasaannya sebagai preman kampung. Ia suka pergi sebelum subuh dan pulang sehabis isya. Sadewa tidak melarangnya, asalkan Sam turut serta untuk mengetahui apa saja kegiatan Robin di luar sana. Bagi Sadewa Kehadiran Robin seperti obat yang mujarab untuk kesembuhannya."Tuan Bara pergi ke mesjid untuk salat, mulai dari subuh sampai isya. Selebihnya lebih banyak menghabiskan waktu di gym," ujar Sam melaporkan kegiatan Robin by phone. "Dia benar-benar sudah berubah menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya," ujar Sadewa yang tidak menyangka sama sekali karena sudah hapal betul kebiasaan putranya itu yang suka minum dan main perempuan. Sam pun membenarkan, "Benar Tuan, terkadang saya seperti baru mengenalnya.""Terus jaga dan lindungi dia!" seru Sadewa mengakhiri percakapan itu. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang baik. Akan tetapi, keadaan dan pergaulan membuat setiap anak mempunyai pilihan hidupnya se
Setelah melakukan serangkaian tes kesehatan dan dinyatakan cocok untuk mendapatkan transplantasi sumsum tulang belakang dari Robin, Bryan menolaknya. Padahal Lucy sudah membujuknya dengan segala cara, tetapi tetap saja tidak mau. Bahkan Sadewa yang masih dalam masa penyembuhan sampai datang untuk bicara dengan Bryan dan semua pun sia-sia."Cukup Mi, Pi, aku lelah. Tolong kalian jangan memaksa lagi. Ikhlaskan saja apa pun yang terjadi nanti!" pinta Bryan yang seolah siap kapan pun ajalnya akan menjemput.Lucy pun menyerah membujuk putranya dan hanya bisa terus menangis. Sementara itu Sadewa juga sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi."Aku akan bicara dengannya, tolong tinggalkan kami berdua!" pinta Robin yang akan bicara dengan Bryan. Sadewa dan Lucy segera pergi dan kini hanya tinggal Bryan dan Robin. "Kau harus sembuh, demi Papi dan Mami. Aku akan membantumu mengelola perusahaan semampuku!" janji Bara dengan ramah. Bryan tersenyum simpul dan berkata, "Omong kosong, kau bisa apa
Tujuh tahun yang lalu, Monica diundang menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman sosialitanya. Tanpa disangka ia bertemu dengan Bryan di acara itu. Mereka kemudian berpesta dengan minum sampanye. "Kamu kenapa Monica?" tanya Bryan ketika melihat calon kakak iparnya itu tampak resah. "Entahlah, sepertinya aku tidak enak badan," sahut Monica yang merasakan tubuhnya tiba-tiba jadi demam."Pasti kamu masuk angin, sudah istirahat di kamar saja!" seru Cindy teman Monica. Monica menyetujui saran temannya dan masuk ke kamar tamu. Setelah sejenak menenangkan diri, ia merasakan tubuhnya masih panas, padahal memakai baju yang terbuka. Wanita itu segera membesarkan volume AC, tetapi rasa panas tidak hilang juga dan semakin menjadi. Justru Monica merasakan ada dorongan gejolak yang mendesak ke luar dari tubuhnya. "Monica apa kamu, baik-baik saja?" tanya Bryan yang tiba-tiba masuk ke kamar itu. "Tolong aku, tubuhku panas sekali rasanya!" sahut Monica yang semakin gelisah. Bryan kemudian me