Share

Suamiku Bukan Manusia
Suamiku Bukan Manusia
Author: Widanish

Lalu Apa?

Author: Widanish
last update Last Updated: 2023-04-13 21:56:56

“Kalau bukan manusia, lalu apa?”

“Bisa jadi itu arwahnya. Coba perhatikan mana mungkin suami kamu bersikap baik begitu, berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat!”

Tiba-tiba saja ibu mertua membangunkanku di pagi buta dan mengatakan bahwa suamiku bukan manusia. Aku yang masih mengantuk tentu saja kaget dengan pernyataannya.

“Kalau tidak percaya, ayo ikut ibu!” Ibu Mertua lanjut mengajakku ke dapur, dengan semangat bercampur sedikit rasa takut tangannya yang gemetaran menarik tanganku agar mengikuti langkahnya.

Mas Burhan—suamiku—sedang sibuk mencetak pentol untuk jualan. Kami memang punya usaha pentol ojeg sebagai mata pencaharian, sudah dua tahun berjalan dan belum ada kemajuan, masih kecil-kecilan. Berbeda dengan pentol ojeg temanku yang kini sudah punya karyawan. Usahaku macet karena Mas Burhan sempat meninggalkanku selama setahun.

“Biarkan saja,” bisikku pada ibu mertua yang nampak tak percaya dengan pemandangan di depannya. “Mungkin setelah kejadian kemarin, Mas Burhan jadi sadar, makanya dia sekarang berubah. Lihat, kakinya menapak ke lantai jadi tidak mungkin dia hantu!” lanjutku.

“Tapi ibu masih tidak percaya. Mana mungkin orang yang sudah tenggelam di lautan dan hilang selama setahun bahkan sudah dinyatakan meninggal lalu tiba-tiba pulang ke rumah seakan tidak terjadi apa-apa. Apalagi wataknya berbeda sekali. Secara fisik memang itu Burhan—anak ibu, tapi secara watak, sikap, dan sifatnya ... ibu rasa itu bukan Burhan! Ibu kenal betul siapa Burhan, dan dia bukanlah sosok yang ada di hadapan kita sekarang!” Ibu Mertua kukuh dengan firasatnya.

Kurang lebih setahun yang lalu saat usia kehamilanku baru satu bulan, Mas Burhan kabur dengan wanita selingkuhannya yang bernama Risma. Mereka menjalin kasih sudah sangat lama dan baru ketahuan olehku pada waktu itu sehingga membuatku marah besar, akibatnya Mas Burhan muak padaku dan akhirnya kabur dari rumah. Menurut informasi yang kudengar saat itu, mereka kabur ikut naik perahu temannya yang seorang nelayan dan keesokan harinya aku menerima kabar tenggelamnya Mas Burhan beserta semua orang di atas perahu itu. Semua orang dari mulai nelayan hingga warga di sekitar pesisir pantai ikut mencari, bahkan melibatkan tim SAR. Pencarian dilakukan sampai hampir sebulan namun tidak ada hasil sama sekali, semua korban dinyatakan meninggal.

Semenjak kejadian itu, aku menjalani kehamilan seorang diri dan mengurus usaha pentol yang baru saja kurintis, namun karena dalam kondisi hamil aku hanya bisa berjualan di teras rumah dan hasilnya cukup untuk membiayai kebutuhan. Mertuaku yang punya ladang dan sawah juga sering menyumbang beras dan hasil kebun, karena anak lelakinya dinyatakan meninggal jadi mertuaku masih bertanggungjawab menafkahiku, apalagi aku tengah mengandung cucunya waktu itu.

Hari demi hari kulalui sampai akhirnya aku melahirkan secara sesar. Mertua yang membiayai dan mengurus semua keperluan, termasuk merawatku dan bayiku hingga sekarang, itulah sebabnya ibu mertua masih tinggal di rumahku sedangkan bapak mertua harus pulang karena pekerjaan.

Hingga seminggu yang lalu, tepat bayiku berusia tiga bulan, Mas Burhan pulang secara tiba-tiba. Dia langsung membuka pintu rumah tanpa mengucap salam dan tanpa berkata sepatah kata, melengos ke dapur dan minum segelas air putih. Aku dan ibu mertua yang tengah menonton TV waktu itu sangat kaget dan hanya bisa mematung, antara tak percaya dan takut karena Mas Burhan yang dinyatakan sudah meninggal tiba-tiba saja masuk rumah.

“Lita, aku ngantuk. Aku mau tidur. Siapkan sajadah di kamar salat, bangunkan aku sebelum azan asar.” Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan setelah kepulangannya. Masih terngiang di telingaku dengan sangat jelas hingga saat ini.

Setelah minum, Mas Burhan langsung tidur di kamar kami. Bayiku yang awalnya lelap tidur dalam gendonganku mendadak menangis kencang saat Mas Burhan masuk kamar. Aku pun disadarkan oleh tangisan bayiku sedangkan ibu mertua masih terpaku mematung. Keluar keringat dingin dari keningnya.

“Lita, kamu barusan lihat dan dengar sendiri kan siapa yang berbicara? Apa Cuma halusinasi ibu saja?” kata ibu mertua gemetaran waktu itu.

“Dia Mas Burhan, Bu,” jawabku tak kalah gemetaran.

Mas Burhan datang dengan begitu santuy-nya, sehingga membuatku dan ibu mertua heran, heran sekali, bingung, takut, dan tanda tanya besar!

Benarkah dia Mas Burhan? Dari fisik itu memang seratus persen Mas Burhan—suamiku, tapi sifat dan sikapnya jelas berbeda. Mas Burhan yang dahulu adalah seorang yang pemalas, kasar, acuh perhatian, masa bodo-an, hanya satu bagusnya yaitu dia tidak pelit kalau pas lagi punya uang. Sedangkan Mas Burhan yang sekarang dia sangat baik, rajin, bertanggungjawab, agak posesif terhadapku, royal, rajin beribadah. Pokoknya berbanding terbalik. Wajar kalau kami tidak percaya itu adalah Mas Burhan.

Sejak saat itu ibu mertua selalu waspada terhadap sosok Mas Burhan yang baru, dia merasa sosok itu adalah arwah alias hantu. Sedangkan aku lebih memilih menerimanya, mau itu Mas Burhan atau bukan yang penting aku tidak kehilangan sosok suamiku. Meski perselingkuhannya yang membuatku sakit hati masih membekas dalam ingatan, namun tak dapat kupungkiri aku merindukan Mas Burhan yang hilang selama setahun.

Suara piring jatuh membuyarkan lamunanku akan kejadian itu, tak sengaja ibu mertua menyenggol rak piring saat kami mengintip aktivitas Mas Burhan di dapur dini hari ini. Suamiku itu jadi menengok ke belakang, “sedang apa kalian di sini?” tanyanya.

“Ini Mas, aku dan ibu mau bantuin nyetak pentol, sekalian nyiapin yang lainnya juga untuk jualan,” jawabku spontan.

“Tidak usah. Urusan pekerjaan itu tanggungjawab suami. Banting tulang cari nafkah dari mulai persiapan, berangkat, hingga pulang lagi itu semua jadi urusan tanggungjawabku. Tugas kamu sebagai istri hanya di rumah saja, urus anak, urus suami, urus rumah, dan jangan lupa pula urus dirimu sendiri. Sudah sana, kembali ke kamar, rebahan istirahat sambil nunggu azan subuh berkumandang. Nanti kita salat berjamaah!” titah Mas Burhan.

Aku menelan ludah mendengar perintahnya, apalagi mendengar pernyataannya tentang tanggungjawab suami dan istri! Rasanya aneh aja gitu, Mas Burhan jadi sok bijaksana gitu bicaranya.

Apalagi ibu mertua, terlihat jelas rasa kaget campur tak percaya dari raut wajahnya. “Lita, kali ini ibu benar-benar yakin kalau dia bukan Burhan. Burhan itu anaknya tengil, manja, malas, enggak bijaksana seperti ini!” bisiknya.

“Sudah, Bu. Jangan mikir aneh-aneh dulu,” kataku berbisik. “Mending kita nurut aja.”

“Ibu juga, nanti pagi pulang saja ke rumah ibu. Kasihan bapak di rumah sendirian. Sudah cukup ibu menemani istri dan anakku, tiba giliran ibu untuk mengurus diri sendiri tidak direpotkan lagi dengan kami.” Giliran Mas Burhan bicara pada ibu mertua.

*

Pagi hari sekitar jam delapan-an, aku baru saja menandikan Syifa—bayiku—dan hendak menjemurnya di teras rumah yang tersinari matahari pagi. Sedangkan di halaman, Mas Burhan sedang menaikkan ‘gerobak’ pentol ke jok belakang motor dan mempersiapkan keperluan untuk jualan. Tampaknya sebentar lagi suamiku itu akan segera berangkat kerja.

Tiba-tiba ibu mertua duduk di sampingku sambil menenteng tas besar, aku tebak itu adalah baju-bajunya.

“Ibu mau kemana?” tanyaku heran.

“Pulang. Kan tadi Burhan nyuruh ibu pulang.”

“Jangan dulu, Bu. Aku takut, kalau dia bukan Mas Burhan yang asli bagaimana?” pintaku berbisik. Aku mulai merasa takut juga.

“Ya makanya mending ibu pulang aja. Di sini serem ih! Ada hantu.” Ibu malah menakut-nakutiku meski dia bicara serius sambil mengeluarkan ponsel dari saku tas nya dan menunjukkan layarnya padaku. “Nanti kalau hasil panen bapak sudah laku ibu mau beli ini,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah daster di keranjang belanja online nya. Meski sedang merasa takut, masih sempat pamer daster incarannya padaku. Mertuaku dua-duanya memang doyan belanja online.

Aku manggut-manggut saja mengiyakan, meski dalam hati merasa agak ngenes juga karena tahu niat ibu mertua mau memanasiku.

Suara mesin motor mulai menyala, Mas Burhan rupanya mau berangkat. Dia menghampiriku dan mencium Syifa, lalu mengelus ubun-ubun kepalaku dan mencium keningku.

“Mas berangkat dulu ya, sayang. Jaga dirimu baik-baik di rumah selama Mas pergi mencari nafkah. Nanti kalau Mas pulang mau dibelikan apa?” katanya padaku, membuatku melongo dengan sikap Mas Burhan.

“Bu—burhan?” Ibu sepertinya refleks bereaksi terhadap sikap Mas Burhan yang menggelikan.

“Kenapa, Bu? Ibu mau protes?” Mas Burhan menoleh pada ibu mertua. “Sebagai suami, aku sadar belum bisa membahagiakan istriku dengan harta, maka aku akan membahagiakannya dengan perhatian, cinta, dan kasih sayangku,” jelas Mas Burhan dengan begitu yakinnya.

Bugh!

Baik aku dan Mas Burhan sama-sama terkejut karena ibu mertua langsung jatuh pingsan hingga menimbulkan suara ‘bugh’ di teras rumah.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Suherni 123
Bu saking gak percaya sama anak sendiri sampai pingsan ya...
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Si ibu lucu pake pingsan segala hahahaha
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Suamiku Bukan Manusia   Delivery Order

    “Mas, ibu pingsan, Mas!”Aku panik dan langsung menyuruh Mas Burhan membawa ibu ke kamarnya. Kugunakan kesempatan ini untuk meminta Mas Burhan mengurungkan niatnya menyuruh ibu mertua pulang, aku masih ingin ditemani karena sosok suamiku masih jadi teka-teki.“Kasihan ibu, Mas. Lebih baik kita izinkan ibu tinggal di sini beberapa bulan lagi, mungkin dia masih kangen cucunya dan gak mau jauh, makanya pingsan.”Saat tiba di kamar kucoba meyakinkan suamiku, padahal aku tahu ibu mertua pingsan karena dia terlalu merasa aneh dengan perubahan Mas Burhan, apalagi kata-katanya yang terakhir itu memang lebay.“Bukan, aku tahu ibu pingsan karena takut padaku,” jawab Mas Burhan, di luar dugaanku. Kukira dia tidak menyadari itu.“Ya apapun alasannya, tolong izinkan ibu tinggal di sini ya.”Mas Burhan akhirnya menyetujui permintaanku lalu dia berangkat jualan.*Menjelang duhur aku menyelinap ke kamar belakang tempat Mas Burhan biasa menghabiskan waktu sendirian jika sedang mencari ketenangan. Pad

    Last Updated : 2023-04-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Kepergok

    “Karena wanita itu aurat, hampir semua bagian tubuhnya aurat. Jadi, mending kamu di rumah,” jawab Mas Burhan.Aku semakin melongo, benar-benar melongo. “Masa aku gak boleh ketemu orang?”“Bukan gak boleh, tapi dibatasi, diminimalisir kalau tidak perlu. Apalagi di pasar banyak laki-laki ... tukang ojeg, tukang becak, yang jualan pinggir jalan, pedagang, kuli pasar ... Mas gak mau kamu dilihat laki-laki lain.”“Ya ampun ... kan kalaupun aku dilihat orang lain juga mungkin sebatas lihat aja, bukan yang macem-macem. Lagipula ke pasar, ke warung, itu kan kebutuhan ... keperluan. Bukan mau main-main. Mas jangan berlebihan, dong. Aku gak nyaman,” protesku. “Kalau begini, aku bisa jadi kuper. Lagian, kenapa kamu jadi aneh begini sih, Mas? Biasanya juga kamu masa bodo amat sama aku. Sejak pulang kamu jadi berbanding terbalik.”Tanpa sengaja aku keceplosan mengungkapkan rasa anehku padanya. Namun untung saja sepertinya Mas Burhan tidak begitu peka akan hal itu, dia malah mengomentari protesku y

    Last Updated : 2023-04-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Gemoy

    Bukannya menenangkan, Mas Burhan malah menjawab dengan lebih menyakitkan. “Lihat dirimu, ambil cermin sana! Pikirkan kenapa aku bisa berpaling,“ katanya sinis.Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. “Tapi aku kan sedang mengandung anakmu, ini anak pertama kita. Makanku tidak selera, badanku sering terasa tidak enak. Kamu harusnya mengerti kondisiku, harusnya kamu mendukung dan membantuku … bukannya malah pelarian ke wanita lain.”Bodohnya aku waktu itu berharap Mas Burhan jadi suami yang baik, padahal jelas dia lelaki egois.“Di luar sana banyak wanita hamil, tapi mereka pandai merawat diri tidak seperti kamu yang banyak alasan,” jawabnya lagi.“Mereka bisa terawatt karena suaminya tanggungjawab lahir batin, Mas! Istrinya dijagain, disayangin, diperhatiin. Sedangkan aku? Kamu lihat dong sikapmu ke aku bagaimana, pagi-pagi baru aja aku bangun tidur belum sempat cuci muka udah nyuruh ke pasar lah, ke warung beli kopi dan rokokmu lah! Mending kamu ngasih uangnya cukup, ini buat rokokmu

    Last Updated : 2023-04-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Sakti

    “Kamu lupa itu kamar apa, Mas?” Aku balik bertanya sambil ketakutan. Mas Burhan menggelengkan kepalanya, terlihat dia keheranan. “Aku baru lihat ada kamar ini di rumah. Aneh, kamar kok kecil begini hanya cukup dimasuki satu orang. Apa fungsinya?” “Kamar itu sudah ada sejak rumah ini dibangun, Mas ....” Bingung menjelaskan, aku memilih pamit tidur dan membiarkan Mas Burhan dengan pertanyaannya sendiri. * Aku bangun kesiangan pagi ini, jam enam. Biasanya sebelum subuh aku sudah bangun. Namun karena malam tadi menemani Mas Burhan menghitung uang dan Syifa anteng terus sampai jam sebelas malam, akhirnya aku baru sempat tidur tengah malam dan baru bangun sekarang. Ditambah lagi, rasa penasaranku akan Mas Burhan yang bertanya tentang kamar pribadinya membuatku semakin sulit memejamkan mata. Setelah salat subuh yang kesiangan, aku langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara ibu mertua bercakap dengan Mas Burhan. Ternyata mereka sedang mengerumuni Syifa—bayiku. “Syifa sayang ...

    Last Updated : 2023-04-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Merinding

    “Apa?” Ibu mertua heran.“Iya, Bu. Katanya biar aku gak dilirik lelaki lain.”“Lebay banget.” Terlihat ekspresi geli dari wajah ibu mertua. “Gak ada itu Burhan begitu sikapnya, so so romantis bicara manis. Yakin deh itu bukan anak ibu.”“Masalahnya, firasatku merasa dia beneran suamiku. Bisa jadi kan, selama menghilang dia terdampar di suatu tempat lalu karena keadaan dia berubah jadi pribadi yang baik. Feeling istri itu kan gak pernah salah, Bu.”Kucoba memberikan alasan yang masuk akal pada ibu mertua tentang alasan Mas Burhan bisa berubah, meskipun mau dipikir bolak-balik berapa kali pun rasanya tidak mungkin lelaki egois dan keras kepala seperti Mas Burhan bisa berubah.“Dalam waktu satu tahun? Burhan yang sekarang berbeda sekali, baik semua karakternya. Orang kalau berubah itu pasti minimal ada sedikit karakter sebelumnya yang masih nempel. Burhan anak ibu itu keras kepala, dinasehatin dibilangin sama orangtua gak pernah nurut, makanya ibu nikahkan sama kamu yang penyabar banget

    Last Updated : 2023-07-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Flashback

    “Burhan, kamar itu bersih dan tidak ada apa-apa selain kasur lantai,” kata ibu mertua. Dia memberanikan diri berbicara. “Kamu jangan bikin kami takut. Sikapmu aneh, yang gak ada kamu bilang ada. Sejak rumah ini dibangun, tidak ada makhluk seperti itu di sini. Ibu dari dulu sering bolak-balik nginap di sini, dan tidak pernah merasakan hal yang aneh-aneh. Baru kali ini aja ibu nemu ada yang aneh, yaitu kamu.”Aku menoleh ke arah ibu mertua. Dia berani juga bicara seperti itu. Dari dahulu, sikap dan gaya bicara ibu mertua terhadap Mas Burhan memang begitu, terkesan galak. Namun bukan berarti tidak sayang, mertuaku hanya tidak ingin menunjukkannya karena Mas Burhan anak yang manja. Takutnya, malah akan membuat Mas Burhan semakin manja.“Kalian tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa,” bela Mas Burhan.“Lagian itu kan kamarmu, kamar pribadimu. Apa kamu tidak ingat dulu kamu yang ngotot minta dibuatkan kamar khusus untukmu. Meski ibu sudah melarang karena kurang cocok di dapur ada kamar kecil,

    Last Updated : 2023-07-16
  • Suamiku Bukan Manusia   Pertanyaan

    Hening dan tak ada jawaban kuterima, Mas Burhan mendadak memejamkan matanya begitu kutanya demikian. Rupanya dia ingin menghindar dari pertanyaanku itu.*“Katanya sudah bersih, tidak ada gangguan lagi. Nanti kita pakai untuk nyimpan peralatan dapur yang sudah numpuk di lemari piring aja.”Pagi hari aku ngobrol dengan ibu mertua di dapur sambil mencuci piring. Aku menyampaikan kembali apa yang disampaikan Mas Burhan tadi malam tentang kamar keramat yang sudah bersih itu.“Bagus lah, suka-suka dia mau ngomong apa,” responnya. Ibu mertua tengah mengiris bawang untuk masak pagi ini. “Nanti kita pakai lemari plastik yang nganggur di gudang aja untuk tempat nyimpan perabotnya. Ibu juga sekalian lagi pesan rak bumbu via online, harganya lebih murah ketimbang beli di toko. Lihat tuh, garam dan gula cuma kamu taruh begitu aja di plastiknya, enggak rapi.”Aku memang tidak suka yang terlalu mengoleksi banyak barang, bagiku cukup membeli barang yang dibutuhkan saja. Berbeda dengan ibu mertua, di

    Last Updated : 2023-07-20
  • Suamiku Bukan Manusia   Saling

    Mas Burhan langsung menarik tanganku, mencari tempat berteduh.Lagi-lagi, pertanyaanku tak mendapat jawaban. Jika bukan Mas Burhan yang menghindar, pasti alam semesta seakan tak mendukung.Akhirnya kami berteduh di depan sebuah toko yang tutup. Kutunggu barangkali Mas Burhan akan menjawab pertanyaanku namun rupanya dia malah memperhatikan sepasang suami istri yang tengah jalan kaki berdua di bawah rintik hujan sambil membawa gerobak sampah. Suaminya berjalan di depan menarik gerobak, istrinya di belakang membantu mendorong gerobak. Sepertinya mereka seorang pemulung.Mas Burhan kelihatannya sangat tertarik dengan pasangan suami-istri itu.“Mereka sangat bahagia,” gumamnya.“Kata siapa, Mas? Kita gak tahu yang sebenarnya,” responku.“Jangan salah, orang yang hidup sederhana seperti mereka ... juga bisa berbahagia sama dengan yang hidupnya penuh kemewahan. Lihat saja, mereka kompak saling mengisi satu sama lain.”“Tapi, aku lihat orang yang bergelimang kemewahan pun bahagia, Mas. Aku da

    Last Updated : 2023-07-26

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Manusia   Lastri (TAMAT)

    “Apa maksudmu? Jangan bilang kamu suka sama gadis itu. Huh, gak kapok ya lirik-lirik perempuan terus,” kataku panas hati.“Jangan dulu cemburu. Aku biasa aja sama Lastri, tertarik bukan berarti suka.” Mas Burhan membela diri.“Udah lah, Mas. Kupikir setelah kejadian kemarin kamu akan berubah tapi ternyata sama aja. Aku gak nyangka kamu macam-macam selama keliling jualan, aku yakin kamu pasti suka main ke rumah Lastri, kan.”“Astaghfirullah. Dengar dulu—”“Capek ah, Mas!”Langsung kutinggalkan Mas Burhan sendirian, kugendong Syifa dan pindah menidurkannya di kamar. Cerita ibu-ibu pelanggan tadi siang membuatku kepikiran dan mumet, entah mungkin aku yang berlebihan meresponnya tapi perasaan cemburu ini tak dapat kuhindari. Bagaimana pun baiknya seorang suami terhadap istrinya, tidak jadi jaminan dia tidak akan tergoda perempuan lain di luar sana. Apalagi Mas Burhan ganteng, siapapun bisa terpikat meski profesinya hanya penjual pentol.Sengaja tak kututup pintu kamar, agar aku bisa mengi

  • Suamiku Bukan Manusia   Lastri

    “Mas Burhaaan!”Dari kejauhan mereka melambaikan tangan seraya memanggil nama suamiku. Tentu saja aku semakin penasaran dengan maksud kedatangan mereka.“Ada apa ya, Mas. Kok mereka ngumpul di depan rumah kita terus manggil-manggil nama kamu dengan antusias seperti itu?” tanyaku pada Mas Burhan.“Hadeuuhh …” gumam Mas Burhan sambil geleng-geleng kepala.“Siapa sih, Mas?”Mas Burhan hanya diam saja ketika kutanya karena fokusnya hanya tertuju pada ibu-ibu di depan sana yang terus-terusan memanggil namanya.Awalnya kupikir sekumpulan ibu-ibu itu adalah para tetanggaku yang menunggu kedatangan kami, mengingat kabar sakit non medis-ku beberapa hari kemarin ternyata sudah menyebar dan menjadi bahan perbincangan warga sekitar, kupikir mereka datang hendak menjenguk atau sekedar kepo dengan apa yang terjadi padaku. Tapi, setelah aku sampai di halaman rumah dan tepat berada di hadapan mereka … ternyata mereka bukan tetanggaku, aku sama sekali tidak mengenali mereka. “Mas, jawab dong, mereka

  • Suamiku Bukan Manusia   Dukun Taubat

    Akhirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Karena dunia ini Tuhan-lah yang mengatur, bukan manusia. Kita tidak bisa tahu setiap misteri yang terjadi dalam hidup ini,” jawab Mbah Aki dengan tenang. Rupanya, tadi itu dia hanya menggertak saja. “Singkirkan berbagai macam pertanyaan dalam pikiranmu, itu hanya akan menyulitkanmu saja. Mulailah ber-aksi, ikuti nasihat-nasihat yang tadi kuberikan. Dan kalau kamu merasa tidak adil, hidup ini kadang memang tidak adil. Tapi gak apa-apa, tetap hidup saja hadapi setiap keadaan. Tak perlu banyak bertanya lagi. Paham?”Aku mengangguk. Sampai sini pemahamanku mulai bisa mencerna semuanya. “Di sini masyaraktnya hidup makmur semua,” celetuk Dimas menyela peribncanganku dengan Mbah Aki. Dimas melihat melalui jendela sekelompok orang yang beraktivitas d luar sana. “Pakaian dan kendaraan mereka mahal semua.”“Apa pekerjaan warga sini, Mbah?” Mas Burhan ikut bertanya.Kini topik pembicaraan beralih tentang Desa Kabut dan keseharian warganya.“Pe

  • Suamiku Bukan Manusia   Sumpah Pembawa Petaka

    “Aku merasa jadi korban, kenapa disalahkan?” tanyaku. “Ingat-ingat lagi apa yang kamu lakukan ketika tahu suamimu selingkuh dan apa yang kamu ucapkan!” perintah Mbah Aki.“Sumpah serapah?”“Itulah kesalahanmu!”“Di mana letak salahnya? Aku hanya merasa perlu mendapat keadilan dari sakit hati yang kuderita. Suamiku selingkuh dengan sahabatku sendiri, apa aku harus bahagia? Tentu saja aku merasa sakit hati, dan karena itu aku spontan mengucapkan sumpah itu.”“Dan sumpahmu itu menjadi kenyataan.”“Pasti lah. Karena doa istri yang terdzalimi kemungkinan besar akan dikabulkan.”“Itu menurutmu.”“Lalu menurut Mbah?”“Tanpa kamu sadari, sebenarnya sumpah yang kamu ucapkan itu juga berbalik pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, dan ingat-ingat lagi kejadian dari mulai kamu dengar kabar suamimu tenggelam hingga kini kamu berada di sini meminta pertolonganku agar terlepas dari karma. Kamu juga ikut menderita, bukan?”Aku termenung lagi, tertampar lagi dengan pernyataan Mbah Aki. Sejauh ini hid

  • Suamiku Bukan Manusia   Nyai Sabtu

    Mas Burhan dan Kak Rudi sontak menoleh padaku, ada perasaan khawatir yang terpancar dari ekspresi Kak Rudi, sedangkan Mas Burhan menggenggam tanganku lebih erat meski dia terlihat cukup tenang saat mendengar pernyataan Mbah Aki.“Kenapa takut?” Mbah Aki langsung mengarahkan pertanyaan itu padaku. Tentu saja dia dapat membaca pikiran dan isi hatiku yang memang tengah ketakutan. “Aku tidak sedang menakutimu. Yang kukatakan barusan itu memang suatu hal yang mutlak,” lanjutnya dengan warna suara yang khas.. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajahku yang mendadak kaku dan segan jika harus berhadapan langsung dengan Mbah Aki. Tak kurespon sepatah kata pun apa yang dinyatakannya.“Semua yang hidup pasti akan mati. Artinya, kita semua memang diikuti oleh ajal. Itu hal yang mutlak.” Dimas lah yang akhirnya menjawab dengan lantang, membutat Mbah Aki manggut-manggut saat mendengarnya.“Kamu memang bukan orang biasa,” ucap Mbah Aki pada Dimas. Sudah pasti dia mengetahui bahwa Dimas mempunyai

  • Suamiku Bukan Manusia   Diikuti Ajal

    “Tempatnya angker. Maklum, penghuninya rata-rata penganut ilmu hitam yang pasti berkawan dengan setan dan jin,” jelas Kak Rudi.“Apa kalau kita ke sana nanti bakal celaka?” tanya Mas Burhan.“Bisa jadi, mereka jahil.”Terlintas keraguan dalam benakku untuk pergi ke sana. Bagiku, mendatangi tempat itu sangat beresiko. Setelah kejadian kemarin Mas Burhan tenggelam di lautan dan kejadian-kejadian mistis yang kualami setelahnya, aku tidak ingin lagi bergelut dengan hal-hal semacam itu. Sudah terbayang bagaimana jadinya nanti ketika tiba di Desa Kabut yang katanya angker itu, takut terjadi apa-apa. Belum lagi nanti ketika pulang pasti ada satu atau dua makhluk halus yang ikut dengan kami.“Jangan terlalu takut. Kita tidak berniat jahat datang ke sana,” ucap Kak Rudi padaku. Rupanya dia paham tentang apa yang kupikirkan. “Tujuan kita hanya untuk mencari kalung pusaka, untuk dikembalikan pada Risma agar kutukan kalung itu terhenti.”“Tetap saja hasilnya belum pasti. Daripada nanti malah dapa

  • Suamiku Bukan Manusia   Desa Kabut

    “Di sini Lita sudah sembuh, baru saja aku merasa bersyukur dan lega … sekarang langsung mendapat kabar duka Kak Titi meninggal dunia,” lanjut Mas Burhan.Aku juga ikut kaget sekaligus sedih mendengarnya.“Ini salah Ibu, Burhan. Harusnya Ibu dari kemarin ke sini untuk mengurus Titi, di sini Titi gak ada yang mengurus jadinya dia tidak tertolong,” isak ibu mertua di telepon.“Sudah takdirnya, Bu. Memang sudah waktunya Kak Titi berpulang. Tidak ada yang perlu disesalkan,” balas Mas Burhan.Tangisan ibu mertua semakin kencang terdengar. Memori di masa lalu kembali terkenang dalam benakku, saat di mana ibu dan Kak Titi selalu berselisih paham hingga berdebat hebat. Hubungan mereka bagai air dan minyak, sulit untuk menyatu meski dalam satu wadah yang sama. Melihat bagaimana sekarang mertuaku itu begitu terpukul kehilangan Kak Titi … membuatku terharu dan tak menyangka reaksi ibu mertua akan sesedih ini.Memang seburuk apapun anggota keluarga kita, mereka tetaplah saudara yang tidak mungkin

  • Suamiku Bukan Manusia   Kabar Duka

    “Ibu ke rumah Kak Titi saja, Lita biar aku yang jaga. Jangan khawatir,” jawab Mas Burhan. “Tapi kan kamu besok harus kerja, terus nanti Syifa siapa yang jagain? Kamu gak akan bisa ngurus bayi,” tolak Ibu. Mas Burhan terus meyakinkan ibu mertua hingga akhirnya ibu pun dengan terpaksa berangkat menuju rumah Kak Titi dan Kak Rudi. “Aku bisa mengurus semuanya, Bu,” ucap Mas Burhan saat mengantar ibunya hingga pintu depan rumah. Aku dapat mendengar karena suaranya lumayan nyaring terdengar hingga ke kamar. *Mungkin ada dua jam ini aku mendengar Mas Burhan menelepon orang-orang yang dikenalnya dulu saat masih nongkrong di belakang pasar. Suamiku itu menanyakan alamat rumah orang pintar yang dicurigainya membeli kalung pusaka itu dari Kak Titi. Namun tidak membuahkan hasil. “Gak ada yang tahu,” ucapnya kesal. “Padahal aku yakin sekali Kak Titi jual kalungnya pada orang ini.” Mas Burhan menunjukkan sebuah foto yang tampil di layar ponselnya padaku. Seorang wanita dalam foto itu, dia mo

  • Suamiku Bukan Manusia   Kesombongan Lita

    “Kamu selalu merasa dirimu baik, Lita! Menganggap dirimu adalah orang yang ramah, sopan, dan lembut pada setiap orang. Lama-lama muncul lah kesombongan dalam hati kecilmu,” jawabnya sinis, suaranya seperti suara nenek-nenek.Risma kemudian menghilang namun ular itu masih melilit leherku. Kini tidak terlalu mencekik, hanya saja tenggorokanku masih terasa panas.Aku masih terus terpikir apa dosaku pada Risma di masa lalu. Sejauh yang kuingat, aku tak pernah menyakiti orang lain. Selalu kujaga ucapan dan tingkah laku, bahkan orang-orang mengenalku sebagai anak yang sopan.Ah … selain karena menahan rasa sakit, aku pun jadi tidak bisa tidur karena kepikiran hal itu terus. Aku dan Risma berteman selama masa SMA, tiga tahun kami jadi teman sebangku. Selama itu pula tidak ada permasalahan yang membuat kami ribut, semua teman di sekolah mengenal kami sebagai bestie forever.*Dua hari berlalu namun sakitku tak kunjung sembuh, ular ini terus mencekik leherku. Tak ada yang dapat melihat ular in

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status