Share

Kepergok

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-13 21:58:01

“Karena wanita itu aurat, hampir semua bagian tubuhnya aurat. Jadi, mending kamu di rumah,” jawab Mas Burhan.

Aku semakin melongo, benar-benar melongo. “Masa aku gak boleh ketemu orang?”

“Bukan gak boleh, tapi dibatasi, diminimalisir kalau tidak perlu. Apalagi di pasar banyak laki-laki ... tukang ojeg, tukang becak, yang jualan pinggir jalan, pedagang, kuli pasar ... Mas gak mau kamu dilihat laki-laki lain.”

“Ya ampun ... kan kalaupun aku dilihat orang lain juga mungkin sebatas lihat aja, bukan yang macem-macem. Lagipula ke pasar, ke warung, itu kan kebutuhan ... keperluan. Bukan mau main-main. Mas jangan berlebihan, dong. Aku gak nyaman,” protesku. “Kalau begini, aku bisa jadi kuper. Lagian, kenapa kamu jadi aneh begini sih, Mas? Biasanya juga kamu masa bodo amat sama aku. Sejak pulang kamu jadi berbanding terbalik.”

Tanpa sengaja aku keceplosan mengungkapkan rasa anehku padanya. Namun untung saja sepertinya Mas Burhan tidak begitu peka akan hal itu, dia malah mengomentari protesku yang keberatan jika dilarang keluar rumah.

“Kamu kan istriku, kalau bukan istriku mana mau aku peduli sama kamu. Aku ini bertanggungjawab dunia akhirat atas dirimu. Jadi, jelas aku harus protektif. Mau overprotektif juga aku tidak salah selama itu demi keselamatanmu,” tegasnya. “Ingat ya, perempuan betah di rumah itu sunah, bukan kuper!”

“Mas kan tahu sendiri aku tidak betah di rumah? Aku mesti keluar rumah untuk sekedar belanja atau jalan-jalan gendong Syifa, sumpek.” Aku mulai merajuk.

“Nanti akan kubikin supaya kamu betah di rumah.”

“Terus, kalau belanja delivery order ntar mahal di ongkir,” protesku lagi. Sebagai ibu rumah tangga, jiwa kalkulatorku bergelora saat mengingat ongkos kirim yang harus dikeluarkan.

“Tenang aja, kalau aku sempat, aku sendiri yang akan pergi belanja, gak usah delivery. Yang penting kamu tetap diam di rumah, ya sayang.”

Mas Burhan mengedipkan mata kanannya, genit. Dia selesai meracik saus untuk bumbu pentol lalu menghampiriku, mengusap kepalaku dan mencium keningku.

“Aku berangkat lagi, doakan jualanku habis. Kamu baik-baik di rumah, itu bumbu pentol yang barusan diantar Bi Dwi jangan diapa-apain, biar aku nanti yang mengerjakan. Kamu urusin pekerjaan rumahtangga aja,” katanya.

Refleks, tanganku salim ke Mas Burhan, aku mencium punggung tangannya, hal yang baru dua kali aku lakukan yaitu pada saat akad nikah dan sekarang. Mendadak aku merasa jadi istri salehah. Bagaimana tidak ... dulu sebelum kejadian Mas Burhan kabur, aku paling malas lihat wajahnya. Jangankan salim, sekedar memandang wajahnya pun aku gak mau saking jengkel dan kecewaku atas kelakuannya yang seenaknya, sering melupakan tanggungjawabnya pada keluarga. Tapi sekarang ... dia menjadi suami idaman.

*

Sejak Mas Burhan pulang duhur tadi, ibu mertua hanya berdiam diri di kamar. Dia tidak mau menunjukkan batang hidungnya di hadapan Mas Burhan karena merasa takut. Ibu memang selalu jaga jarak dari anaknya itu.

“Ibu tahu betul siapa Burhan, dan dia bukan Burhan. Ibu yakin, karena ibu sendiri yang melahirkan dan membesarkan dia, jadi ibu hatam betul wataknya. Dan Burhan bukan dia!” kata ibu mertua siang tadi, sesaat sebelum Mas Burhan pulang. Dan lagi-lagi ibu mertua mengatakan hal serupa jika sedang ketakutan.

Ini sudah hampir empat jam sejak ibu mertua mengurung diri di kamarnya. Aku pun cepat menghampirinya karena teringat dia belum makan nasi sejak pingsan tadi pagi.

“Bu, makan dulu ayo,” kataku sambil membuka pintu kamar.

Terlihat ibu mertua sedang rebahan di kasur sambil memainkan ponselnya. “Ibu sudah makan, tadi pas Burhan berangkat lagi dan kamu salat duhur, ibu keluar ambil nasi,” katanya sambil terus asyik scroll ponsel di layar.

“Kirain ibu gak berani keluar kamar. Ya sudah, aku simpan lagi aja nasinya,” kataku.

Baru selangkah aku memabalikkan badan hendak ke dapur, ibu mertua memanggilku. “Lita, tolong ini ibu mau checkout daster tapi kok ongkirnya mahal banget ini dari Bali,” katanya.

“Pakai voucher gratis ongkirnya dong, Bu.” Aku geleng-geleng kepala dengan hobi belanjanya yang masih membara meski di usia hampir lima puluh-an. Mertuaku selalu tidak pernah ketinggalan mode.

“Iya tapi gak ada vouchernya ini, biasanya kan otomatis terpotong ongkir,” balasnya ngotot.

“Klaim dulu voucher-nya Bu, baru nanti bisa dapat potongan ongkir.” Aku masih berdiri di ambang pintu kamar dan mengajarinya. “Kalau voucher-nya tetap tidak bisa di-klaim, ya berarti harus nunggu besok sampai tersedia lagi. Ibu belanja terus sih, pantas aja voucher-nya habis.”

“Iya gak apa-apa kan ibu sudah bosan pakai model daster yang itu-itu aja. Sekarang ibu lagi mau nyoba daster Bali yang model kimono biar terlihat lebih muda gitu lho, Lit. Apalagi wajah ibu ini kan ada Jepang-nya dikit, jadi pasti cocok lah,” jawabnya, membuatku geleng-geleng kepala lagi.

Aku pun membantu ibu mertua klaim voucher gratis ongkir demi checkout daster impiannya, dia menginstruksikan agar pembayarannya secara COD.

“Nanti kalau barangnya datang, bayar pakai uangmu dulu ya. Pasti ibu ganti deh, tenang aja sebentar lagi bapak panen singkong di kebun,” katanya dengan senyum khas merayu sambil mengusap pundakku.

Kurang asem memang, kebiasaan. Selalu saja kalau COD ujung-ujungnya pakai uangku, dan akhirnya dibayar dengan ucapan ‘maaf, uangnya kepake, ikhlasin aja.’

Untungnya, aku selalu ingat kembali pada kebaikannya. Jika kondisi keuangan mertuaku membaik, mereka selalu memberi sembako atau makanan untukku dan Mas Burhan. Bahkan, modal dagang pun awalnya diberi oleh mertua.

“Tahu gak, Lit ... ibu tuh belanja-belanja kayak gini untuk mengalihkan rasa takut ibu pada Burhan yang sekarang. Lumayan, otak ibu yang tadinya tegang jadi kembali rileks setelah checkout,” katanya setelah pesananya berhasil dibuat.

“Ah, emang dasar ibu doyan belanja aja. Dari dulu sebelum Mas Burhan kabur juga gercep belanja tiap ada model baru,” balasku.

Ibu mertua hanya nyengir lalu dia menunjukkan parfum yang dijual di marketplace Lazatta itu, katanya dia mengincar parfum itu untuk pergi ke kondangan sahabatnya bulan depan.

Mendadak rasanya dejavu saat melihat parfum di layar ponsel, karena kejadiannya sama persis dengan waktu itu saat detik-detik perselingkuhan Mas Burhan dan Risma—sahabatku—terendus.

Hari itu aku hendak meminta uang belanja pada Mas Burhan yang tengah nongkrong sambil merokok di teras rumah. Namun aku malah mendapati suamiku itu tengah asyik dengan ponselnya dan mataku menangkap percakapan haram di sana. Sontak aku menegurnya, apalagi setelah membaca nama perempuan yang kukenal baik yang jadi lawan chatting suamiku.

“Itu Risma mana yang lagi chattingan sama kamu, Mas?” tanyaku spontan saat mengintip aktivitas Mas Burhan dengan ponselnya.

Saat itu Mas Burhan tengah chatting dengan seorang wanita yang bernama Risma di kontaknya, dan dengan jelas mataku menangkap nama itu.

Terlihat Mas Burhan mengirimkan gambar parfum wanita bermerk dalam chat-nya, disertai kalimat yang tidak pantas diucapkan pada wanita yang bukan istrinya. Tampaknya mereka sedang merencanakan pertemuan untuk kencan, sekaligus suamiku berniat membelikan parfum itu untuk Risma.

Sontak Mas Burhan menyembunyikan ponselnya di balik kaus yang dia kenakan setelah kupergoki, mematikan rokok di tangan kirinya, lalu bangkit dari duduknya. “Ngapain ngintip? Bukan urusan kamu! Sana!” usirnya kaget, namun seperti biasa dia sama sekali tidak merasa bersalah atas sikapnya.

Waktu itu usia kandunganku baru satu bulan—kurang lebih—dan sejak hamil, semakin kelihatan sikap Mas Burhan yang bosan padaku.

“Jawab dulu, itu Risma siapa? Kamu selingkuh ya!” kataku sambil menghalanginya yang hendak pergi.

“Udah sana, mending masak aja kamu di dapur!” suruhnya, mengalihkan topik.

Aku coba meraih ponsel di tangan kananya, meski gagal namun sekilas dapat kulihat foto profil wanita itu adalah Risma sahabat karibku.

Firasat seorang istri memang tidak pernah salah. Sudah sangat lama aku mencurigai mereka berdua dan hari itu kecurigaanku terbukti.

“Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan dia, Mas?” tanyaku penuh amarah. 

Bab terkait

  • Suamiku Bukan Manusia   Gemoy

    Bukannya menenangkan, Mas Burhan malah menjawab dengan lebih menyakitkan. “Lihat dirimu, ambil cermin sana! Pikirkan kenapa aku bisa berpaling,“ katanya sinis.Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. “Tapi aku kan sedang mengandung anakmu, ini anak pertama kita. Makanku tidak selera, badanku sering terasa tidak enak. Kamu harusnya mengerti kondisiku, harusnya kamu mendukung dan membantuku … bukannya malah pelarian ke wanita lain.”Bodohnya aku waktu itu berharap Mas Burhan jadi suami yang baik, padahal jelas dia lelaki egois.“Di luar sana banyak wanita hamil, tapi mereka pandai merawat diri tidak seperti kamu yang banyak alasan,” jawabnya lagi.“Mereka bisa terawatt karena suaminya tanggungjawab lahir batin, Mas! Istrinya dijagain, disayangin, diperhatiin. Sedangkan aku? Kamu lihat dong sikapmu ke aku bagaimana, pagi-pagi baru aja aku bangun tidur belum sempat cuci muka udah nyuruh ke pasar lah, ke warung beli kopi dan rokokmu lah! Mending kamu ngasih uangnya cukup, ini buat rokokmu

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Sakti

    “Kamu lupa itu kamar apa, Mas?” Aku balik bertanya sambil ketakutan. Mas Burhan menggelengkan kepalanya, terlihat dia keheranan. “Aku baru lihat ada kamar ini di rumah. Aneh, kamar kok kecil begini hanya cukup dimasuki satu orang. Apa fungsinya?” “Kamar itu sudah ada sejak rumah ini dibangun, Mas ....” Bingung menjelaskan, aku memilih pamit tidur dan membiarkan Mas Burhan dengan pertanyaannya sendiri. * Aku bangun kesiangan pagi ini, jam enam. Biasanya sebelum subuh aku sudah bangun. Namun karena malam tadi menemani Mas Burhan menghitung uang dan Syifa anteng terus sampai jam sebelas malam, akhirnya aku baru sempat tidur tengah malam dan baru bangun sekarang. Ditambah lagi, rasa penasaranku akan Mas Burhan yang bertanya tentang kamar pribadinya membuatku semakin sulit memejamkan mata. Setelah salat subuh yang kesiangan, aku langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara ibu mertua bercakap dengan Mas Burhan. Ternyata mereka sedang mengerumuni Syifa—bayiku. “Syifa sayang ...

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Merinding

    “Apa?” Ibu mertua heran.“Iya, Bu. Katanya biar aku gak dilirik lelaki lain.”“Lebay banget.” Terlihat ekspresi geli dari wajah ibu mertua. “Gak ada itu Burhan begitu sikapnya, so so romantis bicara manis. Yakin deh itu bukan anak ibu.”“Masalahnya, firasatku merasa dia beneran suamiku. Bisa jadi kan, selama menghilang dia terdampar di suatu tempat lalu karena keadaan dia berubah jadi pribadi yang baik. Feeling istri itu kan gak pernah salah, Bu.”Kucoba memberikan alasan yang masuk akal pada ibu mertua tentang alasan Mas Burhan bisa berubah, meskipun mau dipikir bolak-balik berapa kali pun rasanya tidak mungkin lelaki egois dan keras kepala seperti Mas Burhan bisa berubah.“Dalam waktu satu tahun? Burhan yang sekarang berbeda sekali, baik semua karakternya. Orang kalau berubah itu pasti minimal ada sedikit karakter sebelumnya yang masih nempel. Burhan anak ibu itu keras kepala, dinasehatin dibilangin sama orangtua gak pernah nurut, makanya ibu nikahkan sama kamu yang penyabar banget

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Suamiku Bukan Manusia   Flashback

    “Burhan, kamar itu bersih dan tidak ada apa-apa selain kasur lantai,” kata ibu mertua. Dia memberanikan diri berbicara. “Kamu jangan bikin kami takut. Sikapmu aneh, yang gak ada kamu bilang ada. Sejak rumah ini dibangun, tidak ada makhluk seperti itu di sini. Ibu dari dulu sering bolak-balik nginap di sini, dan tidak pernah merasakan hal yang aneh-aneh. Baru kali ini aja ibu nemu ada yang aneh, yaitu kamu.”Aku menoleh ke arah ibu mertua. Dia berani juga bicara seperti itu. Dari dahulu, sikap dan gaya bicara ibu mertua terhadap Mas Burhan memang begitu, terkesan galak. Namun bukan berarti tidak sayang, mertuaku hanya tidak ingin menunjukkannya karena Mas Burhan anak yang manja. Takutnya, malah akan membuat Mas Burhan semakin manja.“Kalian tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa,” bela Mas Burhan.“Lagian itu kan kamarmu, kamar pribadimu. Apa kamu tidak ingat dulu kamu yang ngotot minta dibuatkan kamar khusus untukmu. Meski ibu sudah melarang karena kurang cocok di dapur ada kamar kecil,

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-16
  • Suamiku Bukan Manusia   Pertanyaan

    Hening dan tak ada jawaban kuterima, Mas Burhan mendadak memejamkan matanya begitu kutanya demikian. Rupanya dia ingin menghindar dari pertanyaanku itu.*“Katanya sudah bersih, tidak ada gangguan lagi. Nanti kita pakai untuk nyimpan peralatan dapur yang sudah numpuk di lemari piring aja.”Pagi hari aku ngobrol dengan ibu mertua di dapur sambil mencuci piring. Aku menyampaikan kembali apa yang disampaikan Mas Burhan tadi malam tentang kamar keramat yang sudah bersih itu.“Bagus lah, suka-suka dia mau ngomong apa,” responnya. Ibu mertua tengah mengiris bawang untuk masak pagi ini. “Nanti kita pakai lemari plastik yang nganggur di gudang aja untuk tempat nyimpan perabotnya. Ibu juga sekalian lagi pesan rak bumbu via online, harganya lebih murah ketimbang beli di toko. Lihat tuh, garam dan gula cuma kamu taruh begitu aja di plastiknya, enggak rapi.”Aku memang tidak suka yang terlalu mengoleksi banyak barang, bagiku cukup membeli barang yang dibutuhkan saja. Berbeda dengan ibu mertua, di

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-20
  • Suamiku Bukan Manusia   Saling

    Mas Burhan langsung menarik tanganku, mencari tempat berteduh.Lagi-lagi, pertanyaanku tak mendapat jawaban. Jika bukan Mas Burhan yang menghindar, pasti alam semesta seakan tak mendukung.Akhirnya kami berteduh di depan sebuah toko yang tutup. Kutunggu barangkali Mas Burhan akan menjawab pertanyaanku namun rupanya dia malah memperhatikan sepasang suami istri yang tengah jalan kaki berdua di bawah rintik hujan sambil membawa gerobak sampah. Suaminya berjalan di depan menarik gerobak, istrinya di belakang membantu mendorong gerobak. Sepertinya mereka seorang pemulung.Mas Burhan kelihatannya sangat tertarik dengan pasangan suami-istri itu.“Mereka sangat bahagia,” gumamnya.“Kata siapa, Mas? Kita gak tahu yang sebenarnya,” responku.“Jangan salah, orang yang hidup sederhana seperti mereka ... juga bisa berbahagia sama dengan yang hidupnya penuh kemewahan. Lihat saja, mereka kompak saling mengisi satu sama lain.”“Tapi, aku lihat orang yang bergelimang kemewahan pun bahagia, Mas. Aku da

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-26
  • Suamiku Bukan Manusia   Jasad

    Cepat aku menghampiri mereka, sedangkan Mas Burhan masuk rumah lewat pintu belakang yang terhubung langsung ke dapur. Katanya risih kalau lewat pintu depan, ada lawan jenis yang tidak dikenalinya dan dia merasa tidak perlu bertemu.“Ada apa, Bu?” tanyaku begitu sampai di antara ibu mertua dan tamu perempuan yang tak kukenal siapa.Perempuan itu malah langsung pamit pulang begitu aku sampai. Sementara ibu mertua menunjukkan rasa tak nyaman, dia belum juga mau menjawab pertanyaanku dan malah menyuruhku cepat masuk ke rumah sambil tergesa.Ibu langsung mendorong tubuhku ke kamarnya, antara cemas dan panik itulah ekspresinya sedari tadi. “Burhan mana?” katanya.“Tadi dia masuk lewat pintu belakang,” jawabku sambil menaruh barang belanjaan di kasur. “Ada apa sih ini?”“Itu barusan dari orang pesisir—“Jawaban ibu mertua terpotong karena ada lagi tamu yang mengetuk pintu rumah. Sengaja kami mendiamkannya beberapa saat untuk memastikan apakah ketukan pintu itu berasal dari depan rumahku atau

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-11
  • Suamiku Bukan Manusia   Kemungkinan

    “Enggak, Lita. Perempuan itu bilang jasad mereka sudah ditemukan. Ibu dengar, kok,” tegas ibu mertua.Mendadak suasana menjadi genting. Aku pun tidak bisa berpikir dengan jernih.“Kalau itu benar, terus yang tidur denganku beberapa malam ini siapa, Bu?”Tangisku pecah mengingat bagaimana rasanya tidur dengan sosok lain yang menyerupai suamiku. Seandainya kabar itu benar, jantungku pasti copot betulan.Kujatuhkan diri ke lantai, menggeser posisi duduk dekat dinding kamar lalu bersandar. Napas ini begitu terasa panas saat diembuskan, terlalu syok dan takut hingga dadaku sesak dan jantung pun amat kencang berdetak. Hal serupa dilakukan ibu mertua, bahkan dia tak hanya memikirkan Mas Burhan tapi juga pasti memikirkan anaknya yang lain. Dapat kumengerti betapa mumet dan kacaunya pikiran ibu mertua saat ini.“Lita, apa yang harus kita lakukan dengan kabar ini?” tanya ibu mertua pasrah, kami memang pasrah karena situasi ini sungguh mengejutkan.“Bu, aku tidak bisa berpikir. Tapi kalau memang

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-12

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Manusia   Lastri (TAMAT)

    “Apa maksudmu? Jangan bilang kamu suka sama gadis itu. Huh, gak kapok ya lirik-lirik perempuan terus,” kataku panas hati.“Jangan dulu cemburu. Aku biasa aja sama Lastri, tertarik bukan berarti suka.” Mas Burhan membela diri.“Udah lah, Mas. Kupikir setelah kejadian kemarin kamu akan berubah tapi ternyata sama aja. Aku gak nyangka kamu macam-macam selama keliling jualan, aku yakin kamu pasti suka main ke rumah Lastri, kan.”“Astaghfirullah. Dengar dulu—”“Capek ah, Mas!”Langsung kutinggalkan Mas Burhan sendirian, kugendong Syifa dan pindah menidurkannya di kamar. Cerita ibu-ibu pelanggan tadi siang membuatku kepikiran dan mumet, entah mungkin aku yang berlebihan meresponnya tapi perasaan cemburu ini tak dapat kuhindari. Bagaimana pun baiknya seorang suami terhadap istrinya, tidak jadi jaminan dia tidak akan tergoda perempuan lain di luar sana. Apalagi Mas Burhan ganteng, siapapun bisa terpikat meski profesinya hanya penjual pentol.Sengaja tak kututup pintu kamar, agar aku bisa mengi

  • Suamiku Bukan Manusia   Lastri

    “Mas Burhaaan!”Dari kejauhan mereka melambaikan tangan seraya memanggil nama suamiku. Tentu saja aku semakin penasaran dengan maksud kedatangan mereka.“Ada apa ya, Mas. Kok mereka ngumpul di depan rumah kita terus manggil-manggil nama kamu dengan antusias seperti itu?” tanyaku pada Mas Burhan.“Hadeuuhh …” gumam Mas Burhan sambil geleng-geleng kepala.“Siapa sih, Mas?”Mas Burhan hanya diam saja ketika kutanya karena fokusnya hanya tertuju pada ibu-ibu di depan sana yang terus-terusan memanggil namanya.Awalnya kupikir sekumpulan ibu-ibu itu adalah para tetanggaku yang menunggu kedatangan kami, mengingat kabar sakit non medis-ku beberapa hari kemarin ternyata sudah menyebar dan menjadi bahan perbincangan warga sekitar, kupikir mereka datang hendak menjenguk atau sekedar kepo dengan apa yang terjadi padaku. Tapi, setelah aku sampai di halaman rumah dan tepat berada di hadapan mereka … ternyata mereka bukan tetanggaku, aku sama sekali tidak mengenali mereka. “Mas, jawab dong, mereka

  • Suamiku Bukan Manusia   Dukun Taubat

    Akhirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Karena dunia ini Tuhan-lah yang mengatur, bukan manusia. Kita tidak bisa tahu setiap misteri yang terjadi dalam hidup ini,” jawab Mbah Aki dengan tenang. Rupanya, tadi itu dia hanya menggertak saja. “Singkirkan berbagai macam pertanyaan dalam pikiranmu, itu hanya akan menyulitkanmu saja. Mulailah ber-aksi, ikuti nasihat-nasihat yang tadi kuberikan. Dan kalau kamu merasa tidak adil, hidup ini kadang memang tidak adil. Tapi gak apa-apa, tetap hidup saja hadapi setiap keadaan. Tak perlu banyak bertanya lagi. Paham?”Aku mengangguk. Sampai sini pemahamanku mulai bisa mencerna semuanya. “Di sini masyaraktnya hidup makmur semua,” celetuk Dimas menyela peribncanganku dengan Mbah Aki. Dimas melihat melalui jendela sekelompok orang yang beraktivitas d luar sana. “Pakaian dan kendaraan mereka mahal semua.”“Apa pekerjaan warga sini, Mbah?” Mas Burhan ikut bertanya.Kini topik pembicaraan beralih tentang Desa Kabut dan keseharian warganya.“Pe

  • Suamiku Bukan Manusia   Sumpah Pembawa Petaka

    “Aku merasa jadi korban, kenapa disalahkan?” tanyaku. “Ingat-ingat lagi apa yang kamu lakukan ketika tahu suamimu selingkuh dan apa yang kamu ucapkan!” perintah Mbah Aki.“Sumpah serapah?”“Itulah kesalahanmu!”“Di mana letak salahnya? Aku hanya merasa perlu mendapat keadilan dari sakit hati yang kuderita. Suamiku selingkuh dengan sahabatku sendiri, apa aku harus bahagia? Tentu saja aku merasa sakit hati, dan karena itu aku spontan mengucapkan sumpah itu.”“Dan sumpahmu itu menjadi kenyataan.”“Pasti lah. Karena doa istri yang terdzalimi kemungkinan besar akan dikabulkan.”“Itu menurutmu.”“Lalu menurut Mbah?”“Tanpa kamu sadari, sebenarnya sumpah yang kamu ucapkan itu juga berbalik pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, dan ingat-ingat lagi kejadian dari mulai kamu dengar kabar suamimu tenggelam hingga kini kamu berada di sini meminta pertolonganku agar terlepas dari karma. Kamu juga ikut menderita, bukan?”Aku termenung lagi, tertampar lagi dengan pernyataan Mbah Aki. Sejauh ini hid

  • Suamiku Bukan Manusia   Nyai Sabtu

    Mas Burhan dan Kak Rudi sontak menoleh padaku, ada perasaan khawatir yang terpancar dari ekspresi Kak Rudi, sedangkan Mas Burhan menggenggam tanganku lebih erat meski dia terlihat cukup tenang saat mendengar pernyataan Mbah Aki.“Kenapa takut?” Mbah Aki langsung mengarahkan pertanyaan itu padaku. Tentu saja dia dapat membaca pikiran dan isi hatiku yang memang tengah ketakutan. “Aku tidak sedang menakutimu. Yang kukatakan barusan itu memang suatu hal yang mutlak,” lanjutnya dengan warna suara yang khas.. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajahku yang mendadak kaku dan segan jika harus berhadapan langsung dengan Mbah Aki. Tak kurespon sepatah kata pun apa yang dinyatakannya.“Semua yang hidup pasti akan mati. Artinya, kita semua memang diikuti oleh ajal. Itu hal yang mutlak.” Dimas lah yang akhirnya menjawab dengan lantang, membutat Mbah Aki manggut-manggut saat mendengarnya.“Kamu memang bukan orang biasa,” ucap Mbah Aki pada Dimas. Sudah pasti dia mengetahui bahwa Dimas mempunyai

  • Suamiku Bukan Manusia   Diikuti Ajal

    “Tempatnya angker. Maklum, penghuninya rata-rata penganut ilmu hitam yang pasti berkawan dengan setan dan jin,” jelas Kak Rudi.“Apa kalau kita ke sana nanti bakal celaka?” tanya Mas Burhan.“Bisa jadi, mereka jahil.”Terlintas keraguan dalam benakku untuk pergi ke sana. Bagiku, mendatangi tempat itu sangat beresiko. Setelah kejadian kemarin Mas Burhan tenggelam di lautan dan kejadian-kejadian mistis yang kualami setelahnya, aku tidak ingin lagi bergelut dengan hal-hal semacam itu. Sudah terbayang bagaimana jadinya nanti ketika tiba di Desa Kabut yang katanya angker itu, takut terjadi apa-apa. Belum lagi nanti ketika pulang pasti ada satu atau dua makhluk halus yang ikut dengan kami.“Jangan terlalu takut. Kita tidak berniat jahat datang ke sana,” ucap Kak Rudi padaku. Rupanya dia paham tentang apa yang kupikirkan. “Tujuan kita hanya untuk mencari kalung pusaka, untuk dikembalikan pada Risma agar kutukan kalung itu terhenti.”“Tetap saja hasilnya belum pasti. Daripada nanti malah dapa

  • Suamiku Bukan Manusia   Desa Kabut

    “Di sini Lita sudah sembuh, baru saja aku merasa bersyukur dan lega … sekarang langsung mendapat kabar duka Kak Titi meninggal dunia,” lanjut Mas Burhan.Aku juga ikut kaget sekaligus sedih mendengarnya.“Ini salah Ibu, Burhan. Harusnya Ibu dari kemarin ke sini untuk mengurus Titi, di sini Titi gak ada yang mengurus jadinya dia tidak tertolong,” isak ibu mertua di telepon.“Sudah takdirnya, Bu. Memang sudah waktunya Kak Titi berpulang. Tidak ada yang perlu disesalkan,” balas Mas Burhan.Tangisan ibu mertua semakin kencang terdengar. Memori di masa lalu kembali terkenang dalam benakku, saat di mana ibu dan Kak Titi selalu berselisih paham hingga berdebat hebat. Hubungan mereka bagai air dan minyak, sulit untuk menyatu meski dalam satu wadah yang sama. Melihat bagaimana sekarang mertuaku itu begitu terpukul kehilangan Kak Titi … membuatku terharu dan tak menyangka reaksi ibu mertua akan sesedih ini.Memang seburuk apapun anggota keluarga kita, mereka tetaplah saudara yang tidak mungkin

  • Suamiku Bukan Manusia   Kabar Duka

    “Ibu ke rumah Kak Titi saja, Lita biar aku yang jaga. Jangan khawatir,” jawab Mas Burhan. “Tapi kan kamu besok harus kerja, terus nanti Syifa siapa yang jagain? Kamu gak akan bisa ngurus bayi,” tolak Ibu. Mas Burhan terus meyakinkan ibu mertua hingga akhirnya ibu pun dengan terpaksa berangkat menuju rumah Kak Titi dan Kak Rudi. “Aku bisa mengurus semuanya, Bu,” ucap Mas Burhan saat mengantar ibunya hingga pintu depan rumah. Aku dapat mendengar karena suaranya lumayan nyaring terdengar hingga ke kamar. *Mungkin ada dua jam ini aku mendengar Mas Burhan menelepon orang-orang yang dikenalnya dulu saat masih nongkrong di belakang pasar. Suamiku itu menanyakan alamat rumah orang pintar yang dicurigainya membeli kalung pusaka itu dari Kak Titi. Namun tidak membuahkan hasil. “Gak ada yang tahu,” ucapnya kesal. “Padahal aku yakin sekali Kak Titi jual kalungnya pada orang ini.” Mas Burhan menunjukkan sebuah foto yang tampil di layar ponselnya padaku. Seorang wanita dalam foto itu, dia mo

  • Suamiku Bukan Manusia   Kesombongan Lita

    “Kamu selalu merasa dirimu baik, Lita! Menganggap dirimu adalah orang yang ramah, sopan, dan lembut pada setiap orang. Lama-lama muncul lah kesombongan dalam hati kecilmu,” jawabnya sinis, suaranya seperti suara nenek-nenek.Risma kemudian menghilang namun ular itu masih melilit leherku. Kini tidak terlalu mencekik, hanya saja tenggorokanku masih terasa panas.Aku masih terus terpikir apa dosaku pada Risma di masa lalu. Sejauh yang kuingat, aku tak pernah menyakiti orang lain. Selalu kujaga ucapan dan tingkah laku, bahkan orang-orang mengenalku sebagai anak yang sopan.Ah … selain karena menahan rasa sakit, aku pun jadi tidak bisa tidur karena kepikiran hal itu terus. Aku dan Risma berteman selama masa SMA, tiga tahun kami jadi teman sebangku. Selama itu pula tidak ada permasalahan yang membuat kami ribut, semua teman di sekolah mengenal kami sebagai bestie forever.*Dua hari berlalu namun sakitku tak kunjung sembuh, ular ini terus mencekik leherku. Tak ada yang dapat melihat ular in

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status