“Mas, ibu pingsan, Mas!”
Aku panik dan langsung menyuruh Mas Burhan membawa ibu ke kamarnya. Kugunakan kesempatan ini untuk meminta Mas Burhan mengurungkan niatnya menyuruh ibu mertua pulang, aku masih ingin ditemani karena sosok suamiku masih jadi teka-teki.
“Kasihan ibu, Mas. Lebih baik kita izinkan ibu tinggal di sini beberapa bulan lagi, mungkin dia masih kangen cucunya dan gak mau jauh, makanya pingsan.”
Saat tiba di kamar kucoba meyakinkan suamiku, padahal aku tahu ibu mertua pingsan karena dia terlalu merasa aneh dengan perubahan Mas Burhan, apalagi kata-katanya yang terakhir itu memang lebay.
“Bukan, aku tahu ibu pingsan karena takut padaku,” jawab Mas Burhan, di luar dugaanku. Kukira dia tidak menyadari itu.
“Ya apapun alasannya, tolong izinkan ibu tinggal di sini ya.”
Mas Burhan akhirnya menyetujui permintaanku lalu dia berangkat jualan.
*
Menjelang duhur aku menyelinap ke kamar belakang tempat Mas Burhan biasa menghabiskan waktu sendirian jika sedang mencari ketenangan. Pada saat membangun rumah ini, Mas Burhan minta dibuatkan satu kamar khusus untuknya yang letaknya di dapur. Sebuah kamar kecil yang hanya boleh dimasuki olehnya.
Mertuaku cukup berada, sehingga kami langsung dibuatkan rumah setelah menikah. Meski bukan rumah besar, namun bisa untuk berteduh.
Pernah ada selentingan kabar yang sampai ke telingaku, bahwa Mas Burhan mempelajari ilmu tertentu sehingga dia minta dibuatkan kamar khusus ini untuk tempat memperdalam ilmunya. Namun aku tidak percaya. Suamiku bukan orang yang percaya takhayul atau hal mistis.
Kamar ini gelap, sengaja tidak dipasangi lampu. Entahlah kenapa. Apalagi tidak dipasang jendela, hanya satu kotak glassblock terpasang di dinding yang menghadap halaman belakang. Dari situlah cahaya matahari masuk sebagai satu-satunya sumber penerangan. Dan hanya satu buah kasur lantai kecil yang tergeletak di lantai, tidak ada apa-apa lagi selain itu.
Anehnya, kamar ini bersih, licin, dan wangi padahal aku sama sekali tidak pernah membersihkannya, Mas Burhan pun tidak mungkin melakukannya karena dia tidak pernah memegang sapu maupun lap pel. Auranya bikin merinding meski tempatnya bersih dan wangi.
Apa yang suamiku lakukan di kamar ini?
Mataku mengitari ruangan, mencari barangkali ada satu atau dua hal yang bisa menjadi petunjuk akan teka-teki Mas Burhan. Jujur, aku takut ketahuan memasuki kamar ini sampai-sampai kakiku gemetaran saat menapaki lantai.
Tak ada satu pun yang kutemukan. Aku mengambil tangga portabel dari gudang untuk naik meraba-raba seluruh bagian dinding kamar, barangkali ada satu celah yang tersembunyi. Begitupun dengan lantai, aku meraba seluruh bagian namun tak ada celah rahasia yang kutemukan. Lantas kenapa kamar ini begitu misterius dan sangat sakral bagi Mas Burhan?
“Lita?”
Aku hampir terpeleset saat mendengar suara Mas Burhan memanggil namaku, mendadak lantai jadi licin. Tak lama pintu kamar dibuka dan betapa terkejutnya aku karena yang datang ternyata ibu mertua, bukan Mas Burhan. Padahal jelas-jelas tadi yang memanggilku adalah suara Mas Burhan.
“Sedang apa kamu, cepat keluar!” katanya dengan buru-buru serta ekspresi cemas. Kali ini yang kudengar adalah suara ibu mertua yang sebenarnya.
“Berani banget kamu masak kamar ini, gimana kalau Burhan tahu?”
“Maaf, Bu. Aku penasaran dengan kamar ini, barangkali aja ada jawaban atas teka-teki Mas Burhan di sini.”
“Aduh, ya jangan kamar ini juga, kamu nyari gara-gara aja! Udah cepet keluarin itu tangganya, tutup lagi pintunya! Burhan bisa marah besar kalau tahu ada yang berani masuk!”
Ibu mertua jadi ikut marah padaku. Aku sedikit curiga juga mungkinkah dia tahu seluk-beluk atau alasan kenapa kamar ini dibuat?
“Kenapa kita gak boleh masuk kamar ini, Bu?” tanyaku setelah menyimpan kembali tangga ke gudang.
“Ibu juga gak tahu, tapi jangan coba-coba masuk kamar itu. Ibu tahu betul Burhan, bagaimana ngamuknya dia kalau larangannya dilanggar!”
“Dan anehnya, kamar itu bersih, rapi, wangi sekali. Padahal gak ada yang bersihkan. Apalagi Mas Burhan juga tidak pernah masuk kamar itu lagi sejak dia kabur dari rumah, dan setelah dia pulang seminggu yang lalu pun dia tidak masuk kamar itu. Meskipun begitu, auranya tetep serem. Di dalam sana bikin merinding, tadi waktu Ibu manggil namaku malah kukira Mas Burhan, karena yang terdengar ke dalam itu jelas sekali suaranya Mas Burhan.”
“Makanya, ibu bilang juga apa ... jangan berani masuk ke sana! Itu kamar keramat!” balas ibu mertua cepat sambil ketakutan.
“Keramat?” tanyaku penasaran. “Apa benar yang orang-orang bilang kalau Mas Burhan itu mendalami ilmu tertentu, semisal ilmu hitam?”
“Ibu gak tahu, tapi menurut ibu gak mungkin Burhan melakukannya. Dia tidak percaya yang begituan. Yang ibu maksud keramat itu ya itu kamar cuma milik Burhan, ibu ingat sekali dulu waktu dia minta dibuatkan kamar itu, dia ngotot pengen kamar khusus,” jawabnya. “Makanya ibu bilang itu kamar keramat!”
Azan duhur berkumandang, cepat kuajak ibu menjauh dari dapur karena di waktu ini biasanya Mas Burhan akan pulang dulu untuk istirahat, dan pasti dia akan masuk lewat pintu dapur.
Kudengar suara perempuan mengucap salam dari pintu depan rumah, aku pun langsung menghampiri.
“Neng Lita ... ini belanjaannya!” ucapnya, dari suaranya itu pasti Bi Dwi—penjual bumbu dapur dan sayuran di pasar. Dia juga tetanggaku.
Cepat aku menghampiri, sambil membawa rasa penasaran di hati. Hari ini aku tidak ke pasar dan bahkan lupa kalau harus membeli bumbu pentol yang sudah habis, kenapa tiba-tiba Bi Dwi datang membawa belanjaan seolah ada yang memesan?
“Itu apa?” tanyaku begitu bertatap muka dengan Bi Dwi.
“Biasa,” jawabnya sambil menyerahkan satu keresek besar warna hitam. Kulihat isinya ada bawang merah, bawang putih, lada, cabai rawit, dan bumbu dapur lainnya. Ada juga beberapa sayuran dan daging ayam. Ini adalah bahan dan bumbu membuat pentol untuk jualan suamiku.
“Kok diantarkan, aku kan gak pesan? Malah, tadinya aku lupa dan mau belanja siang ini aja ke pasar. Eh, tahunya malah dianterin,” kataku setelah mengecek isi keresek.
“Burhan yang pesan, tadi pagi sebelum dia berangkat jualan dia mampir ke jongkoku di pasar, minta diantar pesanannya siang ini. Katanya biar kamu gak usah keluar rumah, jadi mulai sekarang semua kebutuhan jualannya akan diantar ke rumah alias delivery order,” jelas Bi Dwi.
“Hah?” Aku kurang paham dengan maksudnya.
“Saya gak boleh keluar rumah? Kata Mas Burhan?” tanyaku memastikan.
Bi Dwi mengangguk lalu menyerahkan nota belanjaan. “Ini notanya, sudah dibayar lunas sama Burhan, termasuk ongkos kirimnya.”
“Hah? Ada ongkos kirimnya? Kan deket dari sana ke sini,” protesku sambil menunjuk ke arah rumah Bi Dwi lalu ke rumahku yang jaraknya hanya tujuh langkah.
“Ya ada dong, namanya juga delivery order. Aku kan ngambil barangnya dari pasar, sampai ke sini pakai bensin. Lagian, kalau jalan kaki pun pakai tenaga, kan,” jawabnya lalu pamit pergi.
Haduh, ada-ada aja. Kalau aku gak boleh belanja ke pasar dan semua kebutuhan diantar ke rumah, harus pakai ongkos kirim nanti boros jatuhnya. Padahal untung jualan pentol ojeg tidak seberapa banyaknya.
Mas Burhan kenapa semakin aneh. Dahulu sebelum menghilang, dia yang selalu memaksaku belanja ini-itu ke pasar dan mengerjakan semuanya sendiri, dia hanya tinggal berangkat jualan saja. Tapi kenapa sekarang berbanding terbalik? Jangan-jangan benar kecurigaan ibu mertua bahwa dia bukan Mas Burhan yang asli?
Semakin pusing dengan teka-teki Mas Burhan, aku pun lebih memilih tak memikirkannya dan langsung ke dapur untuk menyimpan belanjaan. Tak kusangka rupanya Mas Burhan sudah pulang dan tengah asyik membuat saus pentol.
“Sausnya habis, ini Mas lagi bikin lagi,” katanya tanpa kutanya sambil melihat padaku. Tatapan matanya sesejuk salju, seteduh bayangan pohon beringin yang rindang.
Aku jadi terpana. “Iya, Mas,” jawabku bagai terhipnotis.
“Bi Dwi sudah antarkan belanjaan pesanan Mas? Taruh cepat jangan dipegangi terus, itu berat, nanti tanganmu pegal. Mulai sekarang, kamu tidak usah repot-repot belanja, semua akan pakai sistem delivery order. Mas gak mau kamu keluar rumah dan dilihat lelaki lain!” katanya dengan begitu yakin dan penuh perhatian.
“Hah?” Rasanya aku tak percaya dengan yang barusan kudengar. Seingatku, dulu Mas Burhan sangat cuek dan bahkan tidak peduli aku mau pergi ke mana dan pulang jam berapa, tapi sekarang .... “Ke—kenapa?”
“Karena wanita itu aurat, hampir semua bagian tubuhnya aurat. Jadi, mending kamu di rumah,” jawab Mas Burhan.Aku semakin melongo, benar-benar melongo. “Masa aku gak boleh ketemu orang?”“Bukan gak boleh, tapi dibatasi, diminimalisir kalau tidak perlu. Apalagi di pasar banyak laki-laki ... tukang ojeg, tukang becak, yang jualan pinggir jalan, pedagang, kuli pasar ... Mas gak mau kamu dilihat laki-laki lain.”“Ya ampun ... kan kalaupun aku dilihat orang lain juga mungkin sebatas lihat aja, bukan yang macem-macem. Lagipula ke pasar, ke warung, itu kan kebutuhan ... keperluan. Bukan mau main-main. Mas jangan berlebihan, dong. Aku gak nyaman,” protesku. “Kalau begini, aku bisa jadi kuper. Lagian, kenapa kamu jadi aneh begini sih, Mas? Biasanya juga kamu masa bodo amat sama aku. Sejak pulang kamu jadi berbanding terbalik.”Tanpa sengaja aku keceplosan mengungkapkan rasa anehku padanya. Namun untung saja sepertinya Mas Burhan tidak begitu peka akan hal itu, dia malah mengomentari protesku y
Bukannya menenangkan, Mas Burhan malah menjawab dengan lebih menyakitkan. “Lihat dirimu, ambil cermin sana! Pikirkan kenapa aku bisa berpaling,“ katanya sinis.Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. “Tapi aku kan sedang mengandung anakmu, ini anak pertama kita. Makanku tidak selera, badanku sering terasa tidak enak. Kamu harusnya mengerti kondisiku, harusnya kamu mendukung dan membantuku … bukannya malah pelarian ke wanita lain.”Bodohnya aku waktu itu berharap Mas Burhan jadi suami yang baik, padahal jelas dia lelaki egois.“Di luar sana banyak wanita hamil, tapi mereka pandai merawat diri tidak seperti kamu yang banyak alasan,” jawabnya lagi.“Mereka bisa terawatt karena suaminya tanggungjawab lahir batin, Mas! Istrinya dijagain, disayangin, diperhatiin. Sedangkan aku? Kamu lihat dong sikapmu ke aku bagaimana, pagi-pagi baru aja aku bangun tidur belum sempat cuci muka udah nyuruh ke pasar lah, ke warung beli kopi dan rokokmu lah! Mending kamu ngasih uangnya cukup, ini buat rokokmu
“Kamu lupa itu kamar apa, Mas?” Aku balik bertanya sambil ketakutan. Mas Burhan menggelengkan kepalanya, terlihat dia keheranan. “Aku baru lihat ada kamar ini di rumah. Aneh, kamar kok kecil begini hanya cukup dimasuki satu orang. Apa fungsinya?” “Kamar itu sudah ada sejak rumah ini dibangun, Mas ....” Bingung menjelaskan, aku memilih pamit tidur dan membiarkan Mas Burhan dengan pertanyaannya sendiri. * Aku bangun kesiangan pagi ini, jam enam. Biasanya sebelum subuh aku sudah bangun. Namun karena malam tadi menemani Mas Burhan menghitung uang dan Syifa anteng terus sampai jam sebelas malam, akhirnya aku baru sempat tidur tengah malam dan baru bangun sekarang. Ditambah lagi, rasa penasaranku akan Mas Burhan yang bertanya tentang kamar pribadinya membuatku semakin sulit memejamkan mata. Setelah salat subuh yang kesiangan, aku langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara ibu mertua bercakap dengan Mas Burhan. Ternyata mereka sedang mengerumuni Syifa—bayiku. “Syifa sayang ...
“Apa?” Ibu mertua heran.“Iya, Bu. Katanya biar aku gak dilirik lelaki lain.”“Lebay banget.” Terlihat ekspresi geli dari wajah ibu mertua. “Gak ada itu Burhan begitu sikapnya, so so romantis bicara manis. Yakin deh itu bukan anak ibu.”“Masalahnya, firasatku merasa dia beneran suamiku. Bisa jadi kan, selama menghilang dia terdampar di suatu tempat lalu karena keadaan dia berubah jadi pribadi yang baik. Feeling istri itu kan gak pernah salah, Bu.”Kucoba memberikan alasan yang masuk akal pada ibu mertua tentang alasan Mas Burhan bisa berubah, meskipun mau dipikir bolak-balik berapa kali pun rasanya tidak mungkin lelaki egois dan keras kepala seperti Mas Burhan bisa berubah.“Dalam waktu satu tahun? Burhan yang sekarang berbeda sekali, baik semua karakternya. Orang kalau berubah itu pasti minimal ada sedikit karakter sebelumnya yang masih nempel. Burhan anak ibu itu keras kepala, dinasehatin dibilangin sama orangtua gak pernah nurut, makanya ibu nikahkan sama kamu yang penyabar banget
“Burhan, kamar itu bersih dan tidak ada apa-apa selain kasur lantai,” kata ibu mertua. Dia memberanikan diri berbicara. “Kamu jangan bikin kami takut. Sikapmu aneh, yang gak ada kamu bilang ada. Sejak rumah ini dibangun, tidak ada makhluk seperti itu di sini. Ibu dari dulu sering bolak-balik nginap di sini, dan tidak pernah merasakan hal yang aneh-aneh. Baru kali ini aja ibu nemu ada yang aneh, yaitu kamu.”Aku menoleh ke arah ibu mertua. Dia berani juga bicara seperti itu. Dari dahulu, sikap dan gaya bicara ibu mertua terhadap Mas Burhan memang begitu, terkesan galak. Namun bukan berarti tidak sayang, mertuaku hanya tidak ingin menunjukkannya karena Mas Burhan anak yang manja. Takutnya, malah akan membuat Mas Burhan semakin manja.“Kalian tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa,” bela Mas Burhan.“Lagian itu kan kamarmu, kamar pribadimu. Apa kamu tidak ingat dulu kamu yang ngotot minta dibuatkan kamar khusus untukmu. Meski ibu sudah melarang karena kurang cocok di dapur ada kamar kecil,
Hening dan tak ada jawaban kuterima, Mas Burhan mendadak memejamkan matanya begitu kutanya demikian. Rupanya dia ingin menghindar dari pertanyaanku itu.*“Katanya sudah bersih, tidak ada gangguan lagi. Nanti kita pakai untuk nyimpan peralatan dapur yang sudah numpuk di lemari piring aja.”Pagi hari aku ngobrol dengan ibu mertua di dapur sambil mencuci piring. Aku menyampaikan kembali apa yang disampaikan Mas Burhan tadi malam tentang kamar keramat yang sudah bersih itu.“Bagus lah, suka-suka dia mau ngomong apa,” responnya. Ibu mertua tengah mengiris bawang untuk masak pagi ini. “Nanti kita pakai lemari plastik yang nganggur di gudang aja untuk tempat nyimpan perabotnya. Ibu juga sekalian lagi pesan rak bumbu via online, harganya lebih murah ketimbang beli di toko. Lihat tuh, garam dan gula cuma kamu taruh begitu aja di plastiknya, enggak rapi.”Aku memang tidak suka yang terlalu mengoleksi banyak barang, bagiku cukup membeli barang yang dibutuhkan saja. Berbeda dengan ibu mertua, di
Mas Burhan langsung menarik tanganku, mencari tempat berteduh.Lagi-lagi, pertanyaanku tak mendapat jawaban. Jika bukan Mas Burhan yang menghindar, pasti alam semesta seakan tak mendukung.Akhirnya kami berteduh di depan sebuah toko yang tutup. Kutunggu barangkali Mas Burhan akan menjawab pertanyaanku namun rupanya dia malah memperhatikan sepasang suami istri yang tengah jalan kaki berdua di bawah rintik hujan sambil membawa gerobak sampah. Suaminya berjalan di depan menarik gerobak, istrinya di belakang membantu mendorong gerobak. Sepertinya mereka seorang pemulung.Mas Burhan kelihatannya sangat tertarik dengan pasangan suami-istri itu.“Mereka sangat bahagia,” gumamnya.“Kata siapa, Mas? Kita gak tahu yang sebenarnya,” responku.“Jangan salah, orang yang hidup sederhana seperti mereka ... juga bisa berbahagia sama dengan yang hidupnya penuh kemewahan. Lihat saja, mereka kompak saling mengisi satu sama lain.”“Tapi, aku lihat orang yang bergelimang kemewahan pun bahagia, Mas. Aku da
Cepat aku menghampiri mereka, sedangkan Mas Burhan masuk rumah lewat pintu belakang yang terhubung langsung ke dapur. Katanya risih kalau lewat pintu depan, ada lawan jenis yang tidak dikenalinya dan dia merasa tidak perlu bertemu.“Ada apa, Bu?” tanyaku begitu sampai di antara ibu mertua dan tamu perempuan yang tak kukenal siapa.Perempuan itu malah langsung pamit pulang begitu aku sampai. Sementara ibu mertua menunjukkan rasa tak nyaman, dia belum juga mau menjawab pertanyaanku dan malah menyuruhku cepat masuk ke rumah sambil tergesa.Ibu langsung mendorong tubuhku ke kamarnya, antara cemas dan panik itulah ekspresinya sedari tadi. “Burhan mana?” katanya.“Tadi dia masuk lewat pintu belakang,” jawabku sambil menaruh barang belanjaan di kasur. “Ada apa sih ini?”“Itu barusan dari orang pesisir—“Jawaban ibu mertua terpotong karena ada lagi tamu yang mengetuk pintu rumah. Sengaja kami mendiamkannya beberapa saat untuk memastikan apakah ketukan pintu itu berasal dari depan rumahku atau
“Apa maksudmu? Jangan bilang kamu suka sama gadis itu. Huh, gak kapok ya lirik-lirik perempuan terus,” kataku panas hati.“Jangan dulu cemburu. Aku biasa aja sama Lastri, tertarik bukan berarti suka.” Mas Burhan membela diri.“Udah lah, Mas. Kupikir setelah kejadian kemarin kamu akan berubah tapi ternyata sama aja. Aku gak nyangka kamu macam-macam selama keliling jualan, aku yakin kamu pasti suka main ke rumah Lastri, kan.”“Astaghfirullah. Dengar dulu—”“Capek ah, Mas!”Langsung kutinggalkan Mas Burhan sendirian, kugendong Syifa dan pindah menidurkannya di kamar. Cerita ibu-ibu pelanggan tadi siang membuatku kepikiran dan mumet, entah mungkin aku yang berlebihan meresponnya tapi perasaan cemburu ini tak dapat kuhindari. Bagaimana pun baiknya seorang suami terhadap istrinya, tidak jadi jaminan dia tidak akan tergoda perempuan lain di luar sana. Apalagi Mas Burhan ganteng, siapapun bisa terpikat meski profesinya hanya penjual pentol.Sengaja tak kututup pintu kamar, agar aku bisa mengi
“Mas Burhaaan!”Dari kejauhan mereka melambaikan tangan seraya memanggil nama suamiku. Tentu saja aku semakin penasaran dengan maksud kedatangan mereka.“Ada apa ya, Mas. Kok mereka ngumpul di depan rumah kita terus manggil-manggil nama kamu dengan antusias seperti itu?” tanyaku pada Mas Burhan.“Hadeuuhh …” gumam Mas Burhan sambil geleng-geleng kepala.“Siapa sih, Mas?”Mas Burhan hanya diam saja ketika kutanya karena fokusnya hanya tertuju pada ibu-ibu di depan sana yang terus-terusan memanggil namanya.Awalnya kupikir sekumpulan ibu-ibu itu adalah para tetanggaku yang menunggu kedatangan kami, mengingat kabar sakit non medis-ku beberapa hari kemarin ternyata sudah menyebar dan menjadi bahan perbincangan warga sekitar, kupikir mereka datang hendak menjenguk atau sekedar kepo dengan apa yang terjadi padaku. Tapi, setelah aku sampai di halaman rumah dan tepat berada di hadapan mereka … ternyata mereka bukan tetanggaku, aku sama sekali tidak mengenali mereka. “Mas, jawab dong, mereka
Akhirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Karena dunia ini Tuhan-lah yang mengatur, bukan manusia. Kita tidak bisa tahu setiap misteri yang terjadi dalam hidup ini,” jawab Mbah Aki dengan tenang. Rupanya, tadi itu dia hanya menggertak saja. “Singkirkan berbagai macam pertanyaan dalam pikiranmu, itu hanya akan menyulitkanmu saja. Mulailah ber-aksi, ikuti nasihat-nasihat yang tadi kuberikan. Dan kalau kamu merasa tidak adil, hidup ini kadang memang tidak adil. Tapi gak apa-apa, tetap hidup saja hadapi setiap keadaan. Tak perlu banyak bertanya lagi. Paham?”Aku mengangguk. Sampai sini pemahamanku mulai bisa mencerna semuanya. “Di sini masyaraktnya hidup makmur semua,” celetuk Dimas menyela peribncanganku dengan Mbah Aki. Dimas melihat melalui jendela sekelompok orang yang beraktivitas d luar sana. “Pakaian dan kendaraan mereka mahal semua.”“Apa pekerjaan warga sini, Mbah?” Mas Burhan ikut bertanya.Kini topik pembicaraan beralih tentang Desa Kabut dan keseharian warganya.“Pe
“Aku merasa jadi korban, kenapa disalahkan?” tanyaku. “Ingat-ingat lagi apa yang kamu lakukan ketika tahu suamimu selingkuh dan apa yang kamu ucapkan!” perintah Mbah Aki.“Sumpah serapah?”“Itulah kesalahanmu!”“Di mana letak salahnya? Aku hanya merasa perlu mendapat keadilan dari sakit hati yang kuderita. Suamiku selingkuh dengan sahabatku sendiri, apa aku harus bahagia? Tentu saja aku merasa sakit hati, dan karena itu aku spontan mengucapkan sumpah itu.”“Dan sumpahmu itu menjadi kenyataan.”“Pasti lah. Karena doa istri yang terdzalimi kemungkinan besar akan dikabulkan.”“Itu menurutmu.”“Lalu menurut Mbah?”“Tanpa kamu sadari, sebenarnya sumpah yang kamu ucapkan itu juga berbalik pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, dan ingat-ingat lagi kejadian dari mulai kamu dengar kabar suamimu tenggelam hingga kini kamu berada di sini meminta pertolonganku agar terlepas dari karma. Kamu juga ikut menderita, bukan?”Aku termenung lagi, tertampar lagi dengan pernyataan Mbah Aki. Sejauh ini hid
Mas Burhan dan Kak Rudi sontak menoleh padaku, ada perasaan khawatir yang terpancar dari ekspresi Kak Rudi, sedangkan Mas Burhan menggenggam tanganku lebih erat meski dia terlihat cukup tenang saat mendengar pernyataan Mbah Aki.“Kenapa takut?” Mbah Aki langsung mengarahkan pertanyaan itu padaku. Tentu saja dia dapat membaca pikiran dan isi hatiku yang memang tengah ketakutan. “Aku tidak sedang menakutimu. Yang kukatakan barusan itu memang suatu hal yang mutlak,” lanjutnya dengan warna suara yang khas.. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajahku yang mendadak kaku dan segan jika harus berhadapan langsung dengan Mbah Aki. Tak kurespon sepatah kata pun apa yang dinyatakannya.“Semua yang hidup pasti akan mati. Artinya, kita semua memang diikuti oleh ajal. Itu hal yang mutlak.” Dimas lah yang akhirnya menjawab dengan lantang, membutat Mbah Aki manggut-manggut saat mendengarnya.“Kamu memang bukan orang biasa,” ucap Mbah Aki pada Dimas. Sudah pasti dia mengetahui bahwa Dimas mempunyai
“Tempatnya angker. Maklum, penghuninya rata-rata penganut ilmu hitam yang pasti berkawan dengan setan dan jin,” jelas Kak Rudi.“Apa kalau kita ke sana nanti bakal celaka?” tanya Mas Burhan.“Bisa jadi, mereka jahil.”Terlintas keraguan dalam benakku untuk pergi ke sana. Bagiku, mendatangi tempat itu sangat beresiko. Setelah kejadian kemarin Mas Burhan tenggelam di lautan dan kejadian-kejadian mistis yang kualami setelahnya, aku tidak ingin lagi bergelut dengan hal-hal semacam itu. Sudah terbayang bagaimana jadinya nanti ketika tiba di Desa Kabut yang katanya angker itu, takut terjadi apa-apa. Belum lagi nanti ketika pulang pasti ada satu atau dua makhluk halus yang ikut dengan kami.“Jangan terlalu takut. Kita tidak berniat jahat datang ke sana,” ucap Kak Rudi padaku. Rupanya dia paham tentang apa yang kupikirkan. “Tujuan kita hanya untuk mencari kalung pusaka, untuk dikembalikan pada Risma agar kutukan kalung itu terhenti.”“Tetap saja hasilnya belum pasti. Daripada nanti malah dapa
“Di sini Lita sudah sembuh, baru saja aku merasa bersyukur dan lega … sekarang langsung mendapat kabar duka Kak Titi meninggal dunia,” lanjut Mas Burhan.Aku juga ikut kaget sekaligus sedih mendengarnya.“Ini salah Ibu, Burhan. Harusnya Ibu dari kemarin ke sini untuk mengurus Titi, di sini Titi gak ada yang mengurus jadinya dia tidak tertolong,” isak ibu mertua di telepon.“Sudah takdirnya, Bu. Memang sudah waktunya Kak Titi berpulang. Tidak ada yang perlu disesalkan,” balas Mas Burhan.Tangisan ibu mertua semakin kencang terdengar. Memori di masa lalu kembali terkenang dalam benakku, saat di mana ibu dan Kak Titi selalu berselisih paham hingga berdebat hebat. Hubungan mereka bagai air dan minyak, sulit untuk menyatu meski dalam satu wadah yang sama. Melihat bagaimana sekarang mertuaku itu begitu terpukul kehilangan Kak Titi … membuatku terharu dan tak menyangka reaksi ibu mertua akan sesedih ini.Memang seburuk apapun anggota keluarga kita, mereka tetaplah saudara yang tidak mungkin
“Ibu ke rumah Kak Titi saja, Lita biar aku yang jaga. Jangan khawatir,” jawab Mas Burhan. “Tapi kan kamu besok harus kerja, terus nanti Syifa siapa yang jagain? Kamu gak akan bisa ngurus bayi,” tolak Ibu. Mas Burhan terus meyakinkan ibu mertua hingga akhirnya ibu pun dengan terpaksa berangkat menuju rumah Kak Titi dan Kak Rudi. “Aku bisa mengurus semuanya, Bu,” ucap Mas Burhan saat mengantar ibunya hingga pintu depan rumah. Aku dapat mendengar karena suaranya lumayan nyaring terdengar hingga ke kamar. *Mungkin ada dua jam ini aku mendengar Mas Burhan menelepon orang-orang yang dikenalnya dulu saat masih nongkrong di belakang pasar. Suamiku itu menanyakan alamat rumah orang pintar yang dicurigainya membeli kalung pusaka itu dari Kak Titi. Namun tidak membuahkan hasil. “Gak ada yang tahu,” ucapnya kesal. “Padahal aku yakin sekali Kak Titi jual kalungnya pada orang ini.” Mas Burhan menunjukkan sebuah foto yang tampil di layar ponselnya padaku. Seorang wanita dalam foto itu, dia mo
“Kamu selalu merasa dirimu baik, Lita! Menganggap dirimu adalah orang yang ramah, sopan, dan lembut pada setiap orang. Lama-lama muncul lah kesombongan dalam hati kecilmu,” jawabnya sinis, suaranya seperti suara nenek-nenek.Risma kemudian menghilang namun ular itu masih melilit leherku. Kini tidak terlalu mencekik, hanya saja tenggorokanku masih terasa panas.Aku masih terus terpikir apa dosaku pada Risma di masa lalu. Sejauh yang kuingat, aku tak pernah menyakiti orang lain. Selalu kujaga ucapan dan tingkah laku, bahkan orang-orang mengenalku sebagai anak yang sopan.Ah … selain karena menahan rasa sakit, aku pun jadi tidak bisa tidur karena kepikiran hal itu terus. Aku dan Risma berteman selama masa SMA, tiga tahun kami jadi teman sebangku. Selama itu pula tidak ada permasalahan yang membuat kami ribut, semua teman di sekolah mengenal kami sebagai bestie forever.*Dua hari berlalu namun sakitku tak kunjung sembuh, ular ini terus mencekik leherku. Tak ada yang dapat melihat ular in