"Nikah sama Anabel? Yang bener aja, Mah!" Tanggapan Sadam tampak tak suka. Terkejut, menyugar rambut kesal.
"Gak bener kenapa? Anabel itu anak yang baik, cantik, menarik lagi. Kurang apa coba? Udahlah, Dam ... lupain Juwita. Move on ...." Salsa tak henti, membujuk anak semata wayangnya agar mau menikah dengan Anna Isabella. Gadis yang selama ini menjadi sekretarisnya. "Aku belum pengen nikah, Mah. Dah ya, aku mau tidur dulu. Night, Mah." Belum sempat Salsa menanggapi ucapan Sadam, lelaki itu langsung menutup pintu kamar. Salsa hanya menghela napas berat. Meninggalkan pintu kamar Sadam, berjalan menghampiri sang suami yang menunggu di dalam kamarnya. Damian yang tengah menonton berita tanah air di televisi kamar menoleh. Salsa masuk kamar, bibirnya cemberut, terlihat kesal. "Bibirmu manyun gitu, pengen aku sosor?" Damian justru menggoda istrinya. Salsa memutar bola mata malas. Menajuhkan bibir Damian yang hendak meng3cup bibirnya. "Aku kesel sama Sadam. Masa dia belum mau nikah sekarang-sekarang, Mas?" ungkap Salsa penuh kekesalan. Damian menghela napas, merangkul pundak wanita yang telah lama menemaninya. Wanita yang banyak memberikan perubahan dalam hidupnya. Perubahan ke arah lebih baik. "Udahlah, Sayang. Sadam nikah sekarang atau nanti, harta warisan ini akan jatuh ke tangan dia." Sontak, Salsa menoleh, menatap lekat suaminya. "Kok jadi harta warisan? Kita lagi ngomong pernikahan bukan warisan, Mas." tandas Salsa kesal pada sang suami yang tak mengerti keinginan sang istri. "Iya aku tau. Maksudku gini, dulu aku kan nikahin kamu karena Opa dan Oma ngancem, kalau aku gak mau nikah dalam waktu dekat, harta warisannya jatuh ke tangan si Ferdi. Kalau aku nikah, aku dapat lebih besar dari pada si Ferdi." Ferdi adalah adik tiri Damian. Ferdi, istrinya dan ibunya entah sekarang tinggal di mana. Sejak papanya Damian kembali rujuk pada ibu kandungnya, mereka pergi tanpa ada yang tahu keberadaannya. "Oh iya ya. Tapi, kalau sekarang bukan itu maksudku. Mas, aku kok jadi penasaran ya sama orang tuanya Anna. Wajah dia tuh kayak orang Jepang tau." Damian tampak berpikir. Tidak dapat dipungkiri kalau Damian juga merasa tak asing dengan wajah Anna. Seperti mirip seseorang. "Aku malah ngerasa udah gak asing lagi sama wajahnya si Anna itu. Seperti mirip siapa gitu." "Masa sih? Mirip siapa?" "Enggak tau. Gak inget aku. Udah ah, aku ngantuk. Aku mau itu! Jangan ditutup kalau aku belum terlelap ya?" pinta Damian, tangannya mulai membuka yang melekat pada tubuh istrinya. Mereka pun naik ke atas tempat tidur. _ Usai salat Subuh, Anna bergegas, mematut diri. Semalam Salsa sudah mewanti-wanti jangan sampai kesiangan. Belanja ke pasar tradisional. Anna keluar kamar, menyelempangkan tas ke atas pundak. Berjalan cepat ke arah dapur. Terdengar suara denting piring. Anna berpikir kalau Salsa, Damian dan Sadam udah bangun. "Duh, Bos Sadam pasti bakalan ngomel nih! Bodo amat ah. Lagian aku gak kesiangan kok," gumam Anna sebelum melangkah kembali menuju ruang makan. Melewati ruang makan, ternyata masih kosong. Anna tersenyum lega. Ia kemudian ke dapur, membantu dua asisten rumah tangga keluarga Adiwilaga. "Non Anna udah bangun?" sapa Bi Sanah ketika gadis itu berdiri di sampingnya. "Udah, Bi. Semalam Tante Salsa bilang, katanya pagi ini mau ngajakin aku ke pasar tradisional." Jawaban Anna membuat Bi Sananh mengulum senyum. Ia mengerti, kalau Salsa mau ke pasar tradisional, paling juga belanja jengkol. Tidak berselang lama, suara Salsa terdengar samar-samar. Benar saja, Salsa dan Damian sudah keluar kamar lebih dulu. "Wah kamu udah rapi, Na?" tanya Salsa melihat Anna menata menu sarapan ke atas meja makan. "Iya, Tante. Anna takut telat." "Bagus ini. Pantas saja Sadam ngejadiin kamu sekretarisnya. Orang kamu on time. Sadam belum keluar dari kamarnya?" Pandangan Salsa mengitari sekeliling. Anna menoleh pada kedua asisten rumah tangga keluarga Adiwilaga. "Belum kayaknya, Tan." "Anna, tolong kamu bangunin Sadam, ya? Kalau jam segini dia masih tidur, nanti ke pasarnya kita telat." Perintah Salsa membuat Anna jadi bingung dan serba salah. Diturutin perintah Salsa, Anna risih ke kamar Sadam. Tidak diturutin, Anna gak enak. "Ba-baik, Tante." Senyum Salsa mengembang mendengar jawaban Anna. "Makasih ya, An. Kamarnya di lantai dua paling ujung kanan." Anna memaksa bibirnya tersenyum sambil mengatakan iya. Dengan hati berdebar, Anna menapaki anak tangga yang menghubungkan ke kamar Sadam. Di depan pintu kamar Sadam, Anna menelan saliva. Agak ragu, ia mengetuk pintu. Satu ketukan, tidak ada jawaban. Pintu diketuk lagi, tetap tidak ada yang buka. Kemudian, Anna membuka pintu tersebut, ternyata tidak dikunci. "Bos, Bos Sadam ...." Panggilan Anna menggema. Pandnagannya mengitari kamar pribadi Sadam. Tampak sepi. Di atas tempat tidur pun tidak ada lelaki itu. "Kemana dia?" gumam Anna pada diri sendiri. "Bos ... Bos Sadam ...." Anna memberanikan diri masu ke dalam kamar. Pintu kamar sengaja ia buka lebar supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Bos ... Bos Sadam ...." Tidak ada panggilan. Namun, terdengar suara kucuran air dari bilik toilet. "Kayaknya si Bos lagi mandi. Ya udahlah, aku bilang ke tante Salsa kalau anaknya masih mandi." Anna hendak keluar kamar Sadam namun langkah kakinya terhenti saat mendengar suara dering handphone yang tergeletak di atas meja kerja. Handphone itu berdering berulang kali. Anna awalnya mengabaikan namun pandangannya tertuju pada foto wallpaper ketika panggilan telepon itu berhenti. Kedua mata Anna memicing melihat foto yang terdapat di layar handphone Sadam. "Astaghfirullah, fotoku kok ada di ....?" Anna menutup mulut sendiri melihat fotonya dijadikan wallpaper oleh bos galaknya. "Anabel!" Anna terkejut mendengar panggilan Sadam dari belakang. Gadis itu membalikkan badan, melihat penampilan Sadam yang hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. Dada bidangnya terekspos jelas. "Astaghfirullah ... Bos, kenapa pake handuk doang? Kenapa gak pake baju?" Anna belingsatan, membalikkan badan, membelakangi Sadam yang tampak bingung melihat keberadaaan Anna di kamarnya. "Kenapa, kenapa? Karena aku baru beres mandi! Harusnya aku yang tanya, ngapain kamu masuk ke dalam kamar ini tanpa izinku? Kenapa, Annabel?" sentak Sadam seperti biasa. Anna memejamkan kedua mata. Berusaha tetap tenang, tidak terpancing emosi. "A-aku ke kamar ini disuruh Tante Salsa. Takut Bos belum bangun. Ya udah, a-aku keluar kamar dulu!" "Eh berhenti! Enak saja, masuk tanpa izin, sekarang main keluar kamarku saja! Ambilkan bajuku di lemari itu! Cepat!" Kedua pundak Anna menurun, mendapat perintah dari atasannya. Melewati Sadam, Anna memejamkan kedua mata. Tidak mau melihat tubuh Sadam yang hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. Membuka lemari pakaian Sadam, ternyata pakaiannya sangat banyak. Anna meringis, bingung mencari pakaian yang cocok untuk Sadam. "Mamahku jadi ke pasar gak?" tanya Sadam yang sudah berdiri di belakang Anna. Gadis itu mendadak salah tingkah. Apalagi kucuran air dari rambut Sadam, menetes mengenai wajahnya. "Katanya ja-jadi, Bos." Dengan gerakan cepat, Anna mengambil kaos dan celana jeans untuk Sadam. "Ini Bos pakaiannya." Dahi Sadam mengernyit, melihat pakaian yang dipilihkan Anna. Pakaian itu diletakkan di atas tempat tidur. "Sa-saya permisi." "Eh tunggu!" "Apalagi, Bos?" Sadam menghampiri pakaian itu, menyibak, seperti mencari sesuatu. "Celana dalamnya mana? Ambilin sekalian! Cepat!" "Hah?"Anna terkejut mendapat perintah Sadam. Dia bingung, mau mengambilkan celana d4lam Sadam atau gak. "B-Bos ... yang bener aja, cuma cel4na dalam saya yang ngambilin?" Anna meringis, garuk-garuk kepalanya yang tak gatal."Ya sudah kalau gak mau. Keluar sana!"Anna bernapas lega. Sadam tidak memaksa seperti biasa. Gadis itu melenggang keluar kamar, berjalan ke ruang makan. Di sana Salsa dan Damian sedang menyantap sarapan. "An, Sadam susah dibanguninnya ya?" tanya Salsa melihat Anna sudah datang ke ruang makan. Anna menarik kursi, duduk dan tersenyum simpul. "Bos Sadam udah bangun, Tante.""Kok kamu sampe lama?""Itu ... Bos Sadam pengen disiapin pakaiannya.""Oohh ...." Salsa menanggapi sambil melirik suaminya yang tampak menggelengkan kepala. Tidak berselang lama, Sadam datang. Lelaki itu duduk di kursi samping Anna. Sadam mengambil roti tawar yang sudah diberi selai Kacang oleh Anna. "Sadam, nanti di pasarnya kamu nungguin di mobil aja. Gak usah ikut masuk pasar," tukas Salsa mena
Baru kali ini Salsa sangat menikmati masakan sendiri. Makan masakan favorit tidak sendirian, ada temannya. Sepertinya Anna harus, wajib, mesti, jadi istrinya Sadam. Cewek kayak gini tuh sulit dicari apalagi multitalenta. Anna bukan hanya pandai memasak masakan kampung, tetapi dia juga gadis yang cerdas. Mampu bekerja di perusahaan besar. "An, kamu mau gak jadi mantu, Tante?" Salsa sudah tak tahan ingin bertanya masalah itu pada Anna. "Hah? Mantu, Tante? Gak salah?"Gadis itu kayaknya masih gak percaya kalau Sadam jatuh hati padanya. Salsa yakin, Sadam sebenarnya sangat menyukai Anna. Kalau gak suka, mana berani Sadam bawa cewek ke rumah. Dulu, waktu pacaran sama Juwita, dia gak pernah bawa Juwita ke rumah. Salsa dan Damian hanya dikenalkan di restoran waktu Sadam ingin makan malam bersama mereka. Tapi, Salsa gak suka pada Juwita. Menurut Salsa, Juwita orangnya sombong. Memang dia lebih cantik jika dibandingkan Anna, tetapi sama sekali tidak ramah. Dia ramah saat ada Sadam saja. Kala
"Maaf, Nak. Papa gak bisa melarang mamamu pergi dengan Anna," jawab Damian lesu. Menoleh ke dalam kamar, melihat istrinya sedang mematut diri di depan cermin rias. "Ya elah, Pa ... kenapa gak bisa? Aku beneran lagi banyak kerjaan. Butuh Annabel aku, Pah. Ck, mama tuh ada-ada aja."Sadam mulai frustasi jika mengingat kembali kelakuan wanita yang telah melahirkannya. Sejak mengenal Anna, Salsa jadi sering mengganggu pekerjaan sekretaris Sadam itu. "Kamu kayak gak tau mamamu saja, Nak. Gini aja, sekarang Papa ke kantor. Papa bantuin kerjaanmu.""Enggak usah, Pa. Aku butuhnya Annabel bukan Papa." Sangat tegas, Sadam mengucapkan kalimat tersebut. Damian tidak tersinggung, ia sudah tahu betul sifat anaknya. Sadam suka ceplas-ceplos. Kadang tak peduli, apakah perasaan orang lain akan tersinggung atau tidak. Damian justru tersenyum, mengingat kembali masa mudanya ketika awal mula menikah dengan Salsa. Dia pun sama. Selalu ketus pada Salsa, selalu menghina dan mengejek Salsa. Namun, seiring
Anna sangat terkejut mendengar ajakan Sadam. Selama ini memang dia beberapa kali diajak makan di restoran, entah siang atau malam. Tapi, biasanya bersama klien atau sedang bertemu dengan klien. Kalau hanya berdua makan malam, hanya baru kali ini. "Bos, enggak salah ngomong kan?" Anna memastikan yang didengarnya. Sadam membuka kedua mata, menatap lekat gadis yang duduk bersimpuh di bawah kakinya. "Kamu pikir saya cowok plinplan?" sentak Sadam tampak marah. Anna meringis, menggelengkan kepala. Bukan maksud Anna menganggap Sadam plinplan, tapi biasanya lelaki itu sering marah-marah terus. Sekarang tiba-tiba mengajak dinner, maksudnya apa?'Apa mungkin benar, yang dikatakan tante Salsa? Kalau Bos Sadam sebenarnya suka sama aku?' Tanpa disadari, Anna tersenyum manis sambil merunduk."Kamu kenapa senyam-senyum begitu? Senyummu pahit, gak ada manis-manisnya!" Sangat ketus, Sadam mengatakan kalimat itu. Sadam bangkit dari tempat duduk, bersiap merapikan berkas-berkas dan hendak pulang. A
Salsa bergegas masuk ke dalam kamar, membuka salah satu goodie bag hasilnya belanjaannya bersama Anna. Damian masuk ke dalam kamar, mengikuti sang istri. Dahi Damian mengkerut melihat gerakan Salsa yang tampak sedang mencari sesuatu. "Sayang, kamu lagi cari apaan?" Damian menghampiri, berdiri di sampingnya. "Nyari gaun yang aku beli buat Anna."Salsa menjawab tanpa menoleh pada suaminya. Ia membongkar satu persatu goodie bag. Lalu bibirnya tersenyum ketika barang yang dimaksud, sudah ditemukan. "Eh, kamu mau ngapain?" Damian menarik lengan Salsa. "Mau nitipin gaun ke Sadam buat Anna. Aku pengen, Anna mengenakan gaun ini pas dinner nanti malam."Wajah Salsa terlihat sangat sumringah. Cekalan tangan Damian melepas, diiringi embusan napas agak kesal. "Sayang, aku kan tadi udah bilang. Kamu harus pura-pura gak tau kalau malam ini Sadam dan Anna mau dinner," jelas Damian menurunkan kedua pundaknya. Senyum yang sempat terlukis di bibir Salsa, seketika memudar. Ia baru ingat, sudah berj
Sepanjang jalan menuju restoran, diam-diam Sadam melirik Anna yang tengah memandang lurus ke depan. Anna tidak menyadari kalau si bos galak sedang menganggumi kecantikannya malam ini. Bibir Sadam tersenyum, hatinya bahagia mengingat kembali kenangan bersama seorang gadis yang kerap kali ia panggi Annabel. Entah kapan persisnya, Sadam mulai jatuh cinta pada gadis itu. Bahkan foto Anna dijadikan wallpaper handphone. Tiba di area parkir restoran, Anna membuka seat bealt. Saat Anna hendak membuka pintu mobil, Sadam mencegah. Sadam langsung keluar mobil, membukakan pintu untuk gadis yang merasa heran melihat tingkah Sadam yang tak biasa. "Ngapain bengong? Cepetan turun!" Lagi, pikiran Anna buyar oleh bentakan Sadam. "Makasih," ucap Anna ketika sudah keluar dari dalam mobil. Sadam menutup pintu mobil, lalu menyuruh Anna menyelipkan tangan pada lengannya. "Malah bengong lagi?Cepetan selipin tangan kamu ke sini!" Sadam menarik tangan Anna agar menggamit lengannya. Anna menelan saliva. Tak
Kedua mata Anna membeliak sempurna mendengar kalimat yang baru saja Sadam ucapkan. "Malah bengong ... kamu mau aku nikahin gak? Mau terima lamaranku gak?" Dua pertanyaan Sadam membuat Anna tersentak kaget. Sikapnya berubah salah tingkah, ia menelan saliva, dan memejamkan kedua mata sejenak, memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak?"B-Bos ... Bos me-me-melamar saya?" Bukan hanya sikap Anna yang gugup, suaranya juga terdengar sangat gugup."Iya ... mana jarimu!"Dengan gemetar, Anna menyodorkan jari manisnya. Namun, Sadam menarik kursi, bangkit dan berjalan ke samping Anna. Kepala Anna yang mendongak, mengikuti gerakan Sadam yang ke berdiri di sisinya. Dan ... tanpa diduga lagi, Sadam justru bersimpuh, sembari menyodorkan kotak cincin berbentuk hati. "Anna Isabella, will you marry me?" Sangat lembut, Sadam mengucapkan kalimat indah itu. Seketika tubuh Anna merasa lemas, ia menelan saliva, menarik napas, berusaha menahan tubuhnya yang ingin jatuh pingsan. Sebulir air mata ber
'Astaghfirullahalazhim ... mungkin sudah nasibku punya bos dan calon suami yang galak.'"Kalau aku gak galak sama kamu, bisa-bisa kamu ngelunjak. Kalau kamu mau jadi istriku, kamu harus mau menerimaku apa adanya. Kalau kamu gak mau, anggap saja malam ini aku gak pernah melamarmu." Ucapan Sadam membuat Anna menoleh cepat. Kedua matanya mengerjap berulang kali, menatap lekat lelaki yang duduk di balik kemudi dengan intens. Sekian menit, Anna tak menanggapi ucapan Sadam. Ia tengah berpikir. Khawatir ucapannya nanti salah. Sadam memang benar, kalau dirinya mau menerima lamaran dan mau menjadi istri Sadam, ia harus menerima perilaku dan kondisi Sadam. Seperti halnya Sadam, tidak menyuruhnya merubah apapun. "Bos, sa-saya minta maaf."Akhirnya Anna menyadari kesalahannya. Sadam selama ini selalu bersikap galak padanya meski sering kali juga Sadam menunjukkan perhatian dan baik. Selama bekerja menjadi sekretarisnya, Sadam tidak pernah melakukan hal-hal yang tak senonoh bahkan bonus bulanan
Sindiran Salsa membuat Sadam tercengang, sikapnya berubah salah tingkah. Tidak setenang seperti sebelumnya. Dia benar-benar gugup. Anna melirik lelaki yang duduk di sisi. Sadam meneguk segelas air hingga tandas. "Annabel, kita berangkat sekarang!""Baik."Tanpa ingin lebih beralama-lama lagi dan penasaran akan ucapan Salsa, Sadam memutuskan segera berangkat. "Kalian mau ke kantor sekarang?" tanya Salsa menunjukkan ekspresi wajah tak berdosa ketika Sadam dan Anna mencium punggung tangannya. "I-iya, Ma," jawab Anna sembari meringis. Setelah Sadam dan anak menantunya hilang dari hadapan mata, Salsa melepaskan gamitan tangan pada lengan Damian. Damian menoleh, melihat tangan Salsa yang dilepaskan dari lengannya. "Kenapa dilepasin, Sayang?" tanya Damian menatap penuh cinta wajah wanita yang telah dinikahinya bertahun-tahun. "Sadam dan Anna udah pergi," jawab Salsa sesantai mungkin. Damian menghela napas berat, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Jadi tadi cuma pura-pura mesra?" Da
Sepanjang malam, Anna tak bisa memejamkan kedua mata. Perutnya lapar, kedua mata tak juga terpejam. Anna menoleh pada lelaki yang tertidur memunggungi. Ingin sekali Anna memeluk tubuh Sadam, tetapi ia tak berani. Akhirnya Anna pun memiringkan tubuh, memunggungi Sadam. Bukankah harusnya Anna yang marah? Bukankah harusnya Sadam yang merasa bersalah? Kenapa mesti sebaliknya. Sebulir air mata membasahi wajah Anna. Ia menghela napas berat, berusaha sekuat hati agar tidak meneteskan air mata. Anna menarik selimut sebatas dada, namun lagi-lagi tidak bisa tertidur. Anna menyibak selimut, duduk, menoleh pada Sadam yang enggan bergemang. Kemudian, ia beranjak dari dalam kamar. Keluar, mencari makanan di dapur. Perut Anna lapar. Dia tidak mau asam lambungnya kumat. Kalau sampai itu terjadi, pekerjaan kantor akan terbengkalai. "Kamu baru makan?"Suapan Anna terhenti mendengar pertanyaan dari suara yang amat dikenali. Anna mendongak, melihat Sadam yang berdiri di sampingnya. Anna kembali meru
"Insya Allah aku sanggup, Ma. Tetapi, apa kesepakatan itu enggak akan menyinggung perasaan Sadam?" Anna tidak mau kalau suaminya berpikir bahwa ia tidak mempercayainya. Namun, sisi lain, Anna juga khawatir kalau Sadam ternyata kembali lagi menemui Juwita. "Mungkin tersinggung, tapi seenggaknya dia belajar memegang komitmen. Jujur saja, Mama kecewa denger Sadam masih menemui Juwita."Pandangan Salsa lurus ke depan. Teringat kembali sikap Juwita dahulu ketika ketahuan selingkuh oleh Salsa. Di depan Salsa, Juwita begitu pongah dan sombong mengenalkan Jagat pada dirinya. Saat itu, Salsa sangat marah dan menyuruh Sadam agar melepas Juwita. Awalnya Sadam tidak mau bahkan sempat ribut dengan Salsa. Sadam lebih membela wanita yang telah berkhianat padanya. Ternyata, Sadam mengetahui kebusukan Juwita satu Minggu setelah pertengkaran itu. Sadam menangis, meminta maaf pada Salsa karena sempat tidak percaya dan sempat lebih membela Juwita ketimbang wanita yang telah melahirkannya. Anna melihat
Anna masuk lagi ke dalam taksi. Menyuruh supir taksi melajukan kendaraannya. Kali ini Anna ingin pulang ke rumah, bisa jadi Sadam sebenarnya sudah di rumah. Tiba di halaman rumah keluarga Adiwilaga, tidak ada kendaraan pribadi suaminya. Anna turun dari taksi setelah membayar ongkos. Ia tak langsung masuk ke dalam rumah, berjalan sambil menenteng tas kerja ke bagasi. Memastikan, apakah mobil suaminya ada di bagasi atau tidak? Ternyata tidak ada. Berarti Sadam belum pulang. "Sadam kemana sih? Pergi kemana-mana kenapa enggak bilang?" gerutu Anna kesal. Menghentakkan kedua kakinya. "Anna!"Sebuah panggilan membuatnya membalikan badan. "Mama," pekik Anna tertahan. "Kamu ngapain di bagasi?" selidik Salsa, menghampiri menantunya yang berdiri di depan deretan mobil mewah. Sikap Anna salah tingkah namun ia berusaha tetap tenang. "Euu ... itu, Ma ... hm ...." Anna tidak ingin Salsa menaruh curiga kalau dirinya sedang ada masalah dengan Sadam. Anna menggigit bibir bawah, bingung menjawab.
Setelah meyakinkan Anna, Sadam kembali melajukan kendaraannya. Meski belum sepenuhnya yakin, tetapi Anna tak lagi emosi, berusaha percaya akan ucapan Sadam. Sampai di kantor, keduanya berjalan beriringan. Anna menolak menggamit lengan Sadam, memilih berjalan lebih dulu. Sadam berusaha tidak tersinggung, hanya menghela napas berat, menggelengkan kepala berulang kali. Di dalam ruangan, Anna langsung duduk di kursi meja kerja. Menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sadam memerhatikan Anna cukup lama. Perasaan bersalah menyusupi hati. Sadam memejamkan kedua mata, memijat pelipis lalu berusaha fokus melakukan pekerjaannya. "Mau makan siang dulu enggak?" tanya Sadam ketika waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Lepas salat Dzuhur tadi, Anna kembali bekerja, tidak mengajak Sadam makan siang seperti biasa. "Kalau kamu mau makan siang, makan duluan saja. Pekerjaan saya belum selesai," jawab Anna tanpa menoleh pada lelaki yang berdiri di sampingnya.Sadam tak menanggapi, berjalan
Tiba di rumah sakit jiwa, Sadam langsung berjalan menuju kamar pasien bernama Juwita Rahayu, mantan kekasih Sadam dulu. "Sadaaaaammmmm ... lepasin! Lepasin tangakuuuu ... aku pengen Sadaaaamm ... Huhuhu ... Hahahahahaha ...."Lengkingan suara tangisan dan gelak tawa keluar bergantian dari mulut wanita yang telah lama menghuni rumah sakit jiwa. Sadam menelan air liur. Tubuhnya kaku di depan jendela kaca ruangan Juwita. Tiga perawat yang berusaha menenangkan Juwita sudah kewalahan. Pandangan dokter Indira beralih pada sosok lelaki yang tinggi tegap berdiri di ambang pintu. "Juwita, Juwita, Mas Sadam sudah datang. Itu dia ... Kamu lihat ke sana!" dokter Indira memalingkan pelan wajah pasiennya ke arah pintu. Bibir pucat itu seketika melengkung, kedua mata yang mencekung membeliak lebar. "Sa-Sadam ... Sadaaaam ... Sayang ... Sadam sayangkuuu ...."Kondisi Juwita terlihat tenang. Tiga perawat mengikat kedua tangan Juwita dan juga kedua kakinya. Mereka khawatir kalau tindakan Juwita me
"Bukan urusanmu! Kerja lagi sana!"Hati Anna sangat sakit dan tersinggung akan ucapan Sadam. Seolah Anna bukanlah istrinya. Anna terdiam, tak menimpali. Seketika Anna mulai ragu akan cinta Sadam. Apa mungkin pernikahan ini hanya terpaksa?Anna membatin sepanjang melakukan pekerjaannya. Mati-matian ia menahan air mata agar tangisannya tidak pecah. Belum satu jam lalu, mereka melakukan hubungan selayak dua pasang manusia yang saling mencintai dan menyayangi. Perlakuan lembut Sadam ketika berhubungan, sangatlah berbeda dengan keseharian. Jika keseharian Sadam sering membentak dan marah-marah, ketika sedang berhubungan suaranya begitu lembut dan penuh cinta. 'Apa semua itu palsu? Apa aku hanya dijadikan pemuas n4fsunya belaka? Astaghfirullah ....' Anna mengusap wajah dengan kasar. Menarik napas panjang, lalu beranjak keluar ruangan. "Annabel kamu mau kemana?" Sadam bertanya, namun pertanyaannya tak mendapat jawaban. Anna keluar ruangan dengan wajah ditekuk. Hatinya ingin marah tapi t
Dug, dug, dug!"Sadam, Anna ... buka pintunya! Sadam ... dug, dug. dug!"Anna dan Sadam yang baru saja selesai melakukan hubungan suami istri terkejut. Bergegas turun dari tempat tidur, lalu masuk ke dalam toilet. "Bos, gak mandi dulu?" tanya Anna saat Sadam hendak membuka pintu usai mengenakan pakaian lengkap. "Kalau aku mandi dulu, nanti Papa curiga. Kamu duluan saja!" Anna tak berani membantah lagi. Dia masuk ke dalam toilet, mandi besar. Sadam mematut diri di depan cermin. Lalu keluar kamar, berjalan tenang ke pintu ruangan. "Ada apa, Pa?" tanya Sadam setelah mengenakan jas rapi. Damian menelisik penampilan anak semata wayangnya. "Kenapa pintu dikunci?""Emang dikunci?" Sadam pura-pura pilon. Mengecek handle pintu. "Pake nanya. Anna mana?"Sadam terkejut, mendapati pertanyaan papanya. Namun, Sadam berusaha tetap tenang. "Annabel ... Annabel aku suruh ke kantin. Papa ada apa ke sini? Harusnya Papa enggak usah ke kantor. Sekarang kan ada aku dan Annabel. Papa diam-diam saja
"Video apaan ini?" tanya Anna memicingkan kedua mata, menatap video yang diputar suaminya di layar laptop. "Ini sih bukan video, tapi film. Film Jepang?" Anna menoleh, menatap wajah Sadam yang berada di belakang tubuhnya. "Iya. Aku lebih suka film Jepang kayak gini. Mafia-mafia-an, driver-driver-an. Dari pada film di bioskop tadi." Sadam mengeratkan rengkuhan pada pinggang Anna. Wanita itu tak bisa berkutik, pasrah akan perlakuan Sadam yang mulai bergerilya. "Bos, tangannya bisa diem dulu gak?" "Emang kenapa?""Geli tau ...."Sadam tak peduli, meneruskan aksinya. Usai nonton film, keduanya mandi bersama. Di dalam sana, Sadam kembali memberikan nafkah batin yang entah sudah berapa kali. ***"Sayang, Sadam kenapa udah pulang dari hotel ya? Apa mereka bertengkar?" tanya Salsa ingin tahu penyebab anak tunggalnya dan menantunya pulang lebih cepat. "Kayaknya enggak. Sadam cuma kepikiran masalah kerjaan aja.""Emang kamu nyeritain masalah kerjaan kantor ke dia?" tanya Salsa sewot. Me