“Kakak!” teriak Sania lalu menghambur memeluk Helen begitu Helen membuka pintu kamar kost-nya.“Aku benci gadis itu! kenapa ia selalu merebut apa yang kumiliki?” Jerit Sania.Helen menepuk nepuk punggunng Sania sambil melihat ke lorong apartemennya berharap menemukan Dony di sana. Kosong, tidak ada siapa-siapa.“Masuk dulu, lalu ceritakan apa yang terjadi.”Sania mengangguk lalu masuk lebih dulu meninggalkan Helen yang sekali lagi menjulurkan kepala ke lorong mencari Dony.“Abang sedang menemani gadis cengeng itu belanja. Aish! Memikirkannya aku bisa gila.”Setelah menutup pintu, Helen tersenyum berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya.“Sepertinya kau sangat tidak menyukainya, padahal kelihatannya dia gadis yang manis.”“Eung...Kakak sudah melihat Hera?”“Sekilas. Ah tunggu di sini aku ambilkan coklat panas untukmu.” Helen berusaha menghindari menjelaskan lebih langsung dan berlalu menuju dapur.Sania tahu Helen menghindari nya karena itu Sania mengikuti Helen dan menunggu Helen sel
Setelah seharian berkeliling kota menghabiskan waktu agar orang tua mereka percaya tentang hubungan mereka, kedua orang itu akhirnya mengenyakan diri di bangku bis. Hera mengangkat tangan kirinya lemas melihat jarum jam tangannya yang mengarah pada angka sembilan lalu menoleh pada pria yang menyandarkan kepala pada tiang halte.“Hei, apa ini cukup? Aku lelah.” Dagu Hera menunjuk pada tas-tas belanjaan yang ia letakkan begitu saja di samping kakinya.Dony membuka matanya lalu menutupnya lagi.“Hmm, kita pulang tapi tunggu lima menit lagi aku terlalu lelah untuk menyetir.”“Dasar! Kemarikan kuncinya biar aku yang menyetir.” Hera memasukan tangannya ke setiap saku jaket Dony dan segera Dony menepisnya.“Kau, tunggu saja lima menit lagi. Aku tak mungkin membiarkanmu menyetir.”Hera mendengus kesal dan mengeluarkan ponselnya membuka game Angry Bird kebiasaannya membunuh rasa bosan. Sebenarnya menghabiskan waktu seharian dengan Dony sebelumnya tak pernah terasa semembosankan ini. Dony adala
Dony membuka pintu kamar kost-nya dan terkejut melihat Sania duduk bersimpuh di depan televisi. Lembaran tisu yang telah terpakai berserakan di sekitarnya. Bahu gadis yang sekarang mengenakan kaus bergaris putih biru itu sesekali bergetar. “Apa yang terjadi? Ada yang menyakiti mu? Kamu terluka? Coba mana yang sakit?” tanya Dony seraya berlari tergopoh-gopoh menghampiri satu-satunya saudara sedarah yang ia miliki. “Sania, katakan, siapa yang menyakiti mu?” bentak Dony tak sabar mengguncang-guncang bahu adiknya kencang. “Hentikan!” pekik Sania mendorong mundur Dony, dan menatap garang kakaknya. “Abang yang menyakitiku, tahu!” “Ah, maaf,” kata Dony pelan menyadari bahwa ia tidak mengontrol tenaganya karena terlalu panik tadi.”Aku terlalu ketakutan tadi, kamu tahu kan sekarang sangat banyak orang jahat berkeliaran dimana-mana. Aku jelas terkejut pulang melihat kamu menangis tersedu-sedu seperti itu.” Sania memicingkan mata menatap Dony geram, kedua lubang hidungnya kembang kempis. J
Helen masih ingat senyuman bahagia yang terpancar di mata Dony. Seluruh sinar matahari seakan berkumpul di sana. "Aku...aku sungguh bahagia, Helen!" ucap Dony seraya meraih Helen ke dalam pelukannya. Helen balas memeluk Dony, membaui aroma feromon pria itu. Kali itu, semua rasa sakitnya terbalaskan semua. Tidak ada lagi luka, semua dendam telah musnah. Seakan dunia telah mengatakan bahwa di sinilah tempat Helen yang sesungguhnya. Dalam dekapan Dony, bersama pria yang ia cintai dan juga amat mencintainya lebih dari apapun. Namun sayang, dewi keberuntungan sepertinya membenci Helen. Baru saja sedetik Helen merasakan kebahagiaan yang amat sangat dalam hidupnya, detik berikutnya kebahagiaan itu terccerabut hilang sampai ke akar. Dony tiba-tiba memutar tubuhnya dan melemparkan Helen ke trotoar. Hal berikutnya yang Helen lihat adalah raut kesakitan yang disertai percikan darah di balik punggung pria itu. Tidak ada bunyi letusan, tidak ada teriakan atau pekik kesakitan. Tubuh Dony dalam s
Sudah lebih dari lima puluh tahun berlalu, tetapi kejadian mengerikan itu masih sering menghantui mimpi malam Helen. Perlahan, bukan lagi rasa kehilangan yang mendatangi Helen melainkan perasaan menyesal, rasa bersalah. Seandainya saja Helen tidak menyeret Dony ke dalam masalahnya dengan keluarga Sukma Jaya, Dony mungkin saat ini masih ada, menikmati masa tuanya dengan nyaman, selayaknya orang-orang baik lainnya. Dony, sama halnya dengan Hanum, ibu kandung Elang. Kedua orang itu tidak sepantasnya mati muda mengenaskan karena ketamakan keluarga Sukma Jaya.Karena itu, saat melihat Atika, Helen seakan melihat cerminan Dony dan Hanum dalam satu sosok. Kepolosan serta kenaifan yang perempuan itu miliki membuat trauma yang Helen miliki bangun tanpa permisi. Helen tidak ingin ada lagi pertumpahan darah di keluarga ini, karena itu sebelum semuanya terlambat hanya ada dua cara untuk memastikannya. Ibarat sedang menyemai bibit tanaman, perkuat benih yang baik atau singkirkan bibit yang bermasa
"Berapa lama kamu akan ada di Jerman?" tanya Atika seraya merapikan ikatan dasi Elang."Kenapa? Belum juga aku pergi, kamu sudah mulai merindukan aku?"Atika mencubit kecil lemak di pinggang Elang membuat suaminya itu mengaduh tertahan. Atika lalu berbalik meraih jas hitam Armany dan memberikannya pada Elang yang kini tersenyum usil padanya."Aku hanya pergi paling lama satu minggu. Jangan khawatir, secepat mungkin aku akan menyelesaikan urusan di sana dan kembali lebih awal dari perkiraan.""Syukurlah, aku hanya gak betah terus diikuti oleh asistenya nenek. Diawasi oleh Bi Rika dan dikuntit olehnya sangat jauh berbeda," kata Atika bergidik ngeri. "Kamu tahu rasanya masuk ke dalam toko barang mewah dan diikuti terus menerus oleh pelayan tokonya seakan kita seorang pencuri? Seperti itulah rasanya berada di sekitar Bu Ratih. Sebenarnya aku gak begitu harus diawasi seketat itu, kan. Sudah ada Bi Rika dan pelayan-pelayan lainnya di sini yang menemaniku. Hany juga sering datang berkunjung,
Bunyi ketukan pintu menghentak Atika. Tak lama terdengar suara Ratih dari balik daun pintu."Nona, Nyonya Helen ingin bertemu. Beliau menunggu di ruang keluarga.""Ya Tuhan...gak bisakah aku tenang sebentar saja?" gerutu Atika seraya bangkit dan menilai penampilannya sendiri di dalam cermin.Jangan sampai Helen menemukan cela dalam pemilihan busana yang Atika kenakan kali ini. Kemarin sore, habis telinga Atika diceramahi sepanjang waktu hanya karena ia mengenakan celana jeans. Atika merasa untuk usia kandungannya yang sekarang, ia masih belum perlu mengenakan baju khusus ibu hamil. Protes dari Helen sungguh mengada-ada."Mulai hari ini, aku akan menemanimu di sini. Sampai Elang pulang dari perjalanan bisnisnya," kata Helen yang bagi Atika bagai sambitan pedang tajam di lehernya."Gak perlu repot-repot, Nek. Aku bisa menjaga diri sendiri, ada Bu Ratih di sini juga sudah lebih dari cukup.""Bahkan kalau bisa bawa saja ajudanmu ini sekalian!" lanjut Atika dalam hati tidak berani menyuara
"Mas Daffa, kita bisa pulang sekarang!"Daffa tertegun dan memutar tubuh berbalik ke arah sumber suara. Keyla sedang memberengut memandang kesal pada pria itu."Aku sudah memanggil Mas Daffa lebih dari sepuluh kali mungkin!" gerutu Keyla, lalu mengangsurkan tas kertas ke arah Daffa. "Orangnya gak ketemu, jadi besok kita kesini lagi.""Oh, ya sudah. Tapi besok kamu datang ke sini sendirian saja, ya. Aku ada rapat gak bisa antar kamu."Keyla memicingkan mata curiga. "Kalau gitu aku akan titipkan saja produk penggantinya ke satpam!" ucap Keyla segera berjalan cepat meninggalkan Daffa menuju pos keamanan."Tunggu! Jangan, kita harus memberikannya langsung ke orangnya!" susul Daffa menahan lengan Keyla.Tapi gadis itu tetap keras kepala, membuat Daffa akhirnya menyerah. "Baiklah, aku akan mengantarkanmu lagi besok. Tapi satu jam lebih awal!"Keyla tersenyum riang, dan berjalan ringan menuju mobil Daffa. "Setuju! Kalau sudah memulai dari awal, Mas Daffa harus menyelesaikannya sampai akhir!"