"Berapa lama kamu akan ada di Jerman?" tanya Atika seraya merapikan ikatan dasi Elang."Kenapa? Belum juga aku pergi, kamu sudah mulai merindukan aku?"Atika mencubit kecil lemak di pinggang Elang membuat suaminya itu mengaduh tertahan. Atika lalu berbalik meraih jas hitam Armany dan memberikannya pada Elang yang kini tersenyum usil padanya."Aku hanya pergi paling lama satu minggu. Jangan khawatir, secepat mungkin aku akan menyelesaikan urusan di sana dan kembali lebih awal dari perkiraan.""Syukurlah, aku hanya gak betah terus diikuti oleh asistenya nenek. Diawasi oleh Bi Rika dan dikuntit olehnya sangat jauh berbeda," kata Atika bergidik ngeri. "Kamu tahu rasanya masuk ke dalam toko barang mewah dan diikuti terus menerus oleh pelayan tokonya seakan kita seorang pencuri? Seperti itulah rasanya berada di sekitar Bu Ratih. Sebenarnya aku gak begitu harus diawasi seketat itu, kan. Sudah ada Bi Rika dan pelayan-pelayan lainnya di sini yang menemaniku. Hany juga sering datang berkunjung,
Bunyi ketukan pintu menghentak Atika. Tak lama terdengar suara Ratih dari balik daun pintu."Nona, Nyonya Helen ingin bertemu. Beliau menunggu di ruang keluarga.""Ya Tuhan...gak bisakah aku tenang sebentar saja?" gerutu Atika seraya bangkit dan menilai penampilannya sendiri di dalam cermin.Jangan sampai Helen menemukan cela dalam pemilihan busana yang Atika kenakan kali ini. Kemarin sore, habis telinga Atika diceramahi sepanjang waktu hanya karena ia mengenakan celana jeans. Atika merasa untuk usia kandungannya yang sekarang, ia masih belum perlu mengenakan baju khusus ibu hamil. Protes dari Helen sungguh mengada-ada."Mulai hari ini, aku akan menemanimu di sini. Sampai Elang pulang dari perjalanan bisnisnya," kata Helen yang bagi Atika bagai sambitan pedang tajam di lehernya."Gak perlu repot-repot, Nek. Aku bisa menjaga diri sendiri, ada Bu Ratih di sini juga sudah lebih dari cukup.""Bahkan kalau bisa bawa saja ajudanmu ini sekalian!" lanjut Atika dalam hati tidak berani menyuara
"Mas Daffa, kita bisa pulang sekarang!"Daffa tertegun dan memutar tubuh berbalik ke arah sumber suara. Keyla sedang memberengut memandang kesal pada pria itu."Aku sudah memanggil Mas Daffa lebih dari sepuluh kali mungkin!" gerutu Keyla, lalu mengangsurkan tas kertas ke arah Daffa. "Orangnya gak ketemu, jadi besok kita kesini lagi.""Oh, ya sudah. Tapi besok kamu datang ke sini sendirian saja, ya. Aku ada rapat gak bisa antar kamu."Keyla memicingkan mata curiga. "Kalau gitu aku akan titipkan saja produk penggantinya ke satpam!" ucap Keyla segera berjalan cepat meninggalkan Daffa menuju pos keamanan."Tunggu! Jangan, kita harus memberikannya langsung ke orangnya!" susul Daffa menahan lengan Keyla.Tapi gadis itu tetap keras kepala, membuat Daffa akhirnya menyerah. "Baiklah, aku akan mengantarkanmu lagi besok. Tapi satu jam lebih awal!"Keyla tersenyum riang, dan berjalan ringan menuju mobil Daffa. "Setuju! Kalau sudah memulai dari awal, Mas Daffa harus menyelesaikannya sampai akhir!"
Di tangannya Keyla menggenggam amplop putih. Bukan surat peringatan –lagi tapi uang pesangon yang jumlahnya sama dengan gaji Keyla selama satu bulan. Keyla menatap sendu loker tempat Keyla menyimpan tasnya. Meski tidak begitu menyukai bekerja di Easy Del. Keyla tak menyangka kepergiannya dari sini dikarenakan PHK, ia sempat membayangkan ia akan melangkah keluar dari sini dengan kepala terangkat dan tatapan penuh harapan, karena Keyla mengundurkan diri dan telah menyusun rencana lebih baik untuk masa depannya. Tapi inilah kenyataanya, Keyla dipecat. Ia tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya di depan mantan rekan kerja nya, dan Keyla sama sekali belum menyusun rencana masa depannya setelah keluar dari Easy Del. “Key, saya akui kinerja kamu cukup baik. Tapi akhir-akhir ini saya melihat kamu kurang responsif menanggapi pelanggan. Seharusnya di bagian pelayanan publik, kamu bisa lebih sabar. Selain itu, keterlambatan kamu sudah tidak bisa ditolerir lagi, saya takut in
Buru-buru Keyla menghapus air matanya, terlambat dua orang di depannya sudah melihat Keyla menangis. Keyla membenci dirinya sendiri, kenapa saat ia mengatakan ia baru saja dipecat, Keyla sama sekali tidak menangis atau meraung-raung pada kedua sahabatnya. Justru hanya dengan mendengar nama Lexi disebut secara langsung – bukan lagi sebatas dengungan samar dalam kepala Keyla, membuat Keyla menangis."Ternyata benar, aku tahu ini akan terjadi," desah Thea menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.Keyla menunduk merasa bersalah tak mau melihat Thea dan Aya. Benar, tujuh tahun lalu Thea –yang Aya curigai memiliki bakat menjadi cenayang- memperingati Keyla untuk tidak terlalu dekat dengan Lexi. Keyla tidak mengindahkannyaTujuh tahun lalu, semuanya berawal dari SMAN Prestasi. Jika saja hari itu, Aya tak meninggalkan buku tugas sejarah di kolong meja sekolah mungkin Keyla tak akan mengenal Lexi Origo. Jam sekolah usai hampir dua jam yang lalu dan seperti seharusnya, sekolah sudah sepi h
“Cola ini Lexi yang kasih?” pekik Thea.Keyla menundukkan wajahnya sehingga sejajar dengan meja kantin. Siang ini ia sangat berharap ia menjadi meja kantin sekolah saja, karena pekikan Thea barusan membuat semua penghuni kantin memperhatikan mereka. Mungkin tidak semuanya secara terang-terangan memperlihatkan ketertarikan pada perbincangan Cola pemberian Lexi Origo, namun Keyla yakin akibat kehisterisan sahabatnya ini siswa SMAN Prestasi tengah menghidupkan radar penangkap gosip mereka. Permasalahanya adalah, jika saja siswi yang mengatakan ia diberi sesuatu oleh Lexi itu siswi populer, atau setidaknya pintar mungkin tidak akan terlalu menarik tapi karena Keyla yang terbiasa dianggap siswi tak menarik justru akan memberikan bumbu baru.“The biasa aja ekspresinya,” bisik Keyla dari balik lengannya.Aya hanya menggeleng frustasi melihat pemandangan di depannya, “Kamu yang biasa aja Key, kenapa harus membungkuk gitu coba?”Benar juga, Keyla menegakkan punggung dan sayangnya saat ia mena
“Key, gimana wawancara tadi?” Suara Aya mengalun melalui earpieces di telinga Keyla. Keyla berjalan tergesa di jalan Kepatihan, ia mendecak kesal saat orang yang berada di depannya berjalan teramat santai dan tak jarang berhenti beberapa detik di depan etalase toko. Orang ini sangat mengganggu, apa ia tidak tahu setiap detik yang ia habiskan untuk melihat pajangan toko membuat antrian semakin panjang. “Bisa agak cepetan ga sih jalannya, manusia apa keong?” desis Keyla. “Apa, Key?” “Eh, sori bukan ke kamu, Ay. Ini orang di depanku tingkat dewa ngeselinnya jalan kaki serasa jalan di panggung catwalk.” Keyla sengaja menaikkan nada suaranya agar orang di depannya mendengar, namun sepertinya harapan Keyla hanya berbuah sia-sia. Ia masih tetap berjalan dalam kecepatan siput. Dengan sedikit menghentakkan kaki Keyla berjalan melewati orang itu meski harus memaksakan badannya masuk di antara celah arus pejalan kaki. Setelah sedikit berlari Keyla akhirnya sampai di halte bis di depan menar
“Sumpah Lex, aku gak pernah ngirim CV ke tempat kamu! Kayaknya Dinda yang salah kirim.” Ketiga kalinya Keyla berusaha meyakinkan Lexi. Rasa sabarnya habis karena rasa malu pada Lexi, saat ini mereka sedang makan siang di pelataran Food Court Manglayang Indah Mall. Dan kesempatan interview tadi mereka habiskan untuk mengenang masa lalu. Membicarakan kabar beberapa teman SMA mereka, menggosipkan guru-guru dan mengenang rasa makanan-makanan yang dijual di kantin sekolah dulu. Tetapi pada akhirnya, Lexi selalu mengungkit kembali berkas lamarannya yang tersesat masuk ke dalam kotak surel pria itu, membuat Keyla kembali merasa wajahnya terbakar karena malu. “Dinda hanya melakukan apa yang kamu bilang, Dear. Dia minta kamu kirim CV ke alamat yang kamu tulis, iya Dinda kirim.” Lexi menyipitkan mata, lalu melanjutkan. “Jadi, apa yang membuatmu menyimpan alamat email biro penyewaan pasangan pesta?” Keyla mengaduk jus alpukatnya dengan kekuatan penuh agar susu coklat yang menempel di dinding