Dony membuka pintu kamar kost-nya dan terkejut melihat Sania duduk bersimpuh di depan televisi. Lembaran tisu yang telah terpakai berserakan di sekitarnya. Bahu gadis yang sekarang mengenakan kaus bergaris putih biru itu sesekali bergetar. “Apa yang terjadi? Ada yang menyakiti mu? Kamu terluka? Coba mana yang sakit?” tanya Dony seraya berlari tergopoh-gopoh menghampiri satu-satunya saudara sedarah yang ia miliki. “Sania, katakan, siapa yang menyakiti mu?” bentak Dony tak sabar mengguncang-guncang bahu adiknya kencang. “Hentikan!” pekik Sania mendorong mundur Dony, dan menatap garang kakaknya. “Abang yang menyakitiku, tahu!” “Ah, maaf,” kata Dony pelan menyadari bahwa ia tidak mengontrol tenaganya karena terlalu panik tadi.”Aku terlalu ketakutan tadi, kamu tahu kan sekarang sangat banyak orang jahat berkeliaran dimana-mana. Aku jelas terkejut pulang melihat kamu menangis tersedu-sedu seperti itu.” Sania memicingkan mata menatap Dony geram, kedua lubang hidungnya kembang kempis. J
Helen masih ingat senyuman bahagia yang terpancar di mata Dony. Seluruh sinar matahari seakan berkumpul di sana. "Aku...aku sungguh bahagia, Helen!" ucap Dony seraya meraih Helen ke dalam pelukannya. Helen balas memeluk Dony, membaui aroma feromon pria itu. Kali itu, semua rasa sakitnya terbalaskan semua. Tidak ada lagi luka, semua dendam telah musnah. Seakan dunia telah mengatakan bahwa di sinilah tempat Helen yang sesungguhnya. Dalam dekapan Dony, bersama pria yang ia cintai dan juga amat mencintainya lebih dari apapun. Namun sayang, dewi keberuntungan sepertinya membenci Helen. Baru saja sedetik Helen merasakan kebahagiaan yang amat sangat dalam hidupnya, detik berikutnya kebahagiaan itu terccerabut hilang sampai ke akar. Dony tiba-tiba memutar tubuhnya dan melemparkan Helen ke trotoar. Hal berikutnya yang Helen lihat adalah raut kesakitan yang disertai percikan darah di balik punggung pria itu. Tidak ada bunyi letusan, tidak ada teriakan atau pekik kesakitan. Tubuh Dony dalam s
Sudah lebih dari lima puluh tahun berlalu, tetapi kejadian mengerikan itu masih sering menghantui mimpi malam Helen. Perlahan, bukan lagi rasa kehilangan yang mendatangi Helen melainkan perasaan menyesal, rasa bersalah. Seandainya saja Helen tidak menyeret Dony ke dalam masalahnya dengan keluarga Sukma Jaya, Dony mungkin saat ini masih ada, menikmati masa tuanya dengan nyaman, selayaknya orang-orang baik lainnya. Dony, sama halnya dengan Hanum, ibu kandung Elang. Kedua orang itu tidak sepantasnya mati muda mengenaskan karena ketamakan keluarga Sukma Jaya.Karena itu, saat melihat Atika, Helen seakan melihat cerminan Dony dan Hanum dalam satu sosok. Kepolosan serta kenaifan yang perempuan itu miliki membuat trauma yang Helen miliki bangun tanpa permisi. Helen tidak ingin ada lagi pertumpahan darah di keluarga ini, karena itu sebelum semuanya terlambat hanya ada dua cara untuk memastikannya. Ibarat sedang menyemai bibit tanaman, perkuat benih yang baik atau singkirkan bibit yang bermasa
"Berapa lama kamu akan ada di Jerman?" tanya Atika seraya merapikan ikatan dasi Elang."Kenapa? Belum juga aku pergi, kamu sudah mulai merindukan aku?"Atika mencubit kecil lemak di pinggang Elang membuat suaminya itu mengaduh tertahan. Atika lalu berbalik meraih jas hitam Armany dan memberikannya pada Elang yang kini tersenyum usil padanya."Aku hanya pergi paling lama satu minggu. Jangan khawatir, secepat mungkin aku akan menyelesaikan urusan di sana dan kembali lebih awal dari perkiraan.""Syukurlah, aku hanya gak betah terus diikuti oleh asistenya nenek. Diawasi oleh Bi Rika dan dikuntit olehnya sangat jauh berbeda," kata Atika bergidik ngeri. "Kamu tahu rasanya masuk ke dalam toko barang mewah dan diikuti terus menerus oleh pelayan tokonya seakan kita seorang pencuri? Seperti itulah rasanya berada di sekitar Bu Ratih. Sebenarnya aku gak begitu harus diawasi seketat itu, kan. Sudah ada Bi Rika dan pelayan-pelayan lainnya di sini yang menemaniku. Hany juga sering datang berkunjung,
Bunyi ketukan pintu menghentak Atika. Tak lama terdengar suara Ratih dari balik daun pintu."Nona, Nyonya Helen ingin bertemu. Beliau menunggu di ruang keluarga.""Ya Tuhan...gak bisakah aku tenang sebentar saja?" gerutu Atika seraya bangkit dan menilai penampilannya sendiri di dalam cermin.Jangan sampai Helen menemukan cela dalam pemilihan busana yang Atika kenakan kali ini. Kemarin sore, habis telinga Atika diceramahi sepanjang waktu hanya karena ia mengenakan celana jeans. Atika merasa untuk usia kandungannya yang sekarang, ia masih belum perlu mengenakan baju khusus ibu hamil. Protes dari Helen sungguh mengada-ada."Mulai hari ini, aku akan menemanimu di sini. Sampai Elang pulang dari perjalanan bisnisnya," kata Helen yang bagi Atika bagai sambitan pedang tajam di lehernya."Gak perlu repot-repot, Nek. Aku bisa menjaga diri sendiri, ada Bu Ratih di sini juga sudah lebih dari cukup.""Bahkan kalau bisa bawa saja ajudanmu ini sekalian!" lanjut Atika dalam hati tidak berani menyuara
"Mas Daffa, kita bisa pulang sekarang!"Daffa tertegun dan memutar tubuh berbalik ke arah sumber suara. Keyla sedang memberengut memandang kesal pada pria itu."Aku sudah memanggil Mas Daffa lebih dari sepuluh kali mungkin!" gerutu Keyla, lalu mengangsurkan tas kertas ke arah Daffa. "Orangnya gak ketemu, jadi besok kita kesini lagi.""Oh, ya sudah. Tapi besok kamu datang ke sini sendirian saja, ya. Aku ada rapat gak bisa antar kamu."Keyla memicingkan mata curiga. "Kalau gitu aku akan titipkan saja produk penggantinya ke satpam!" ucap Keyla segera berjalan cepat meninggalkan Daffa menuju pos keamanan."Tunggu! Jangan, kita harus memberikannya langsung ke orangnya!" susul Daffa menahan lengan Keyla.Tapi gadis itu tetap keras kepala, membuat Daffa akhirnya menyerah. "Baiklah, aku akan mengantarkanmu lagi besok. Tapi satu jam lebih awal!"Keyla tersenyum riang, dan berjalan ringan menuju mobil Daffa. "Setuju! Kalau sudah memulai dari awal, Mas Daffa harus menyelesaikannya sampai akhir!"
Di tangannya Keyla menggenggam amplop putih. Bukan surat peringatan –lagi tapi uang pesangon yang jumlahnya sama dengan gaji Keyla selama satu bulan. Keyla menatap sendu loker tempat Keyla menyimpan tasnya. Meski tidak begitu menyukai bekerja di Easy Del. Keyla tak menyangka kepergiannya dari sini dikarenakan PHK, ia sempat membayangkan ia akan melangkah keluar dari sini dengan kepala terangkat dan tatapan penuh harapan, karena Keyla mengundurkan diri dan telah menyusun rencana lebih baik untuk masa depannya. Tapi inilah kenyataanya, Keyla dipecat. Ia tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya di depan mantan rekan kerja nya, dan Keyla sama sekali belum menyusun rencana masa depannya setelah keluar dari Easy Del. “Key, saya akui kinerja kamu cukup baik. Tapi akhir-akhir ini saya melihat kamu kurang responsif menanggapi pelanggan. Seharusnya di bagian pelayanan publik, kamu bisa lebih sabar. Selain itu, keterlambatan kamu sudah tidak bisa ditolerir lagi, saya takut in
Buru-buru Keyla menghapus air matanya, terlambat dua orang di depannya sudah melihat Keyla menangis. Keyla membenci dirinya sendiri, kenapa saat ia mengatakan ia baru saja dipecat, Keyla sama sekali tidak menangis atau meraung-raung pada kedua sahabatnya. Justru hanya dengan mendengar nama Lexi disebut secara langsung – bukan lagi sebatas dengungan samar dalam kepala Keyla, membuat Keyla menangis."Ternyata benar, aku tahu ini akan terjadi," desah Thea menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.Keyla menunduk merasa bersalah tak mau melihat Thea dan Aya. Benar, tujuh tahun lalu Thea –yang Aya curigai memiliki bakat menjadi cenayang- memperingati Keyla untuk tidak terlalu dekat dengan Lexi. Keyla tidak mengindahkannyaTujuh tahun lalu, semuanya berawal dari SMAN Prestasi. Jika saja hari itu, Aya tak meninggalkan buku tugas sejarah di kolong meja sekolah mungkin Keyla tak akan mengenal Lexi Origo. Jam sekolah usai hampir dua jam yang lalu dan seperti seharusnya, sekolah sudah sepi h