Helen jatuh terduduk di samping mesin penjual minuman. Helen berpegangan pada pinggiran mesin untuk bangun, kakinya lemas tak ada tenaga seperti agar-agar. Bayangan yang melintas tadi terjadi beberapa minggu yang lalu, dan Helen melihatnya hanya dalam kilasan detik. Sangat cepat namun membuat Helen mengerti kenapa Arya dingin padanya. Jika mencintai ada batas kadaluwarsanya mungkin itu yang terjadi pada Helen dan Arya, masa berlaku hubungan mereka telah habis. Helen tersenyum sinis, sejak kapan Arya berhenti mencintainya? Sepertinya Helen membutakan dirinya sendiri sehingga tidak sadar perubahan yang terjadi pada Arya.“Cecilia, jangan berlari. Nanti ja-“ Teriakan seorang perempuan di belakang Helen terpotong bersamaan dengan tubuh Helen yang oleng ditabrak gadis kecil.Helen jatuh dengan posisi setengah berlutut, tapi gadis bernama Cecilia itu menangis karena minumannya tumpah, sebagian membasahi badannya sendiri sebagian mengenai kaki Helen.“Kau tak apa?” Helen berusaha menghentika
“Kakak!” teriak Sania lalu menghambur memeluk Helen begitu Helen membuka pintu kamar kost-nya.“Aku benci gadis itu! kenapa ia selalu merebut apa yang kumiliki?” Jerit Sania.Helen menepuk nepuk punggunng Sania sambil melihat ke lorong apartemennya berharap menemukan Dony di sana. Kosong, tidak ada siapa-siapa.“Masuk dulu, lalu ceritakan apa yang terjadi.”Sania mengangguk lalu masuk lebih dulu meninggalkan Helen yang sekali lagi menjulurkan kepala ke lorong mencari Dony.“Abang sedang menemani gadis cengeng itu belanja. Aish! Memikirkannya aku bisa gila.”Setelah menutup pintu, Helen tersenyum berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya.“Sepertinya kau sangat tidak menyukainya, padahal kelihatannya dia gadis yang manis.”“Eung...Kakak sudah melihat Hera?”“Sekilas. Ah tunggu di sini aku ambilkan coklat panas untukmu.” Helen berusaha menghindari menjelaskan lebih langsung dan berlalu menuju dapur.Sania tahu Helen menghindari nya karena itu Sania mengikuti Helen dan menunggu Helen sel
Setelah seharian berkeliling kota menghabiskan waktu agar orang tua mereka percaya tentang hubungan mereka, kedua orang itu akhirnya mengenyakan diri di bangku bis. Hera mengangkat tangan kirinya lemas melihat jarum jam tangannya yang mengarah pada angka sembilan lalu menoleh pada pria yang menyandarkan kepala pada tiang halte.“Hei, apa ini cukup? Aku lelah.” Dagu Hera menunjuk pada tas-tas belanjaan yang ia letakkan begitu saja di samping kakinya.Dony membuka matanya lalu menutupnya lagi.“Hmm, kita pulang tapi tunggu lima menit lagi aku terlalu lelah untuk menyetir.”“Dasar! Kemarikan kuncinya biar aku yang menyetir.” Hera memasukan tangannya ke setiap saku jaket Dony dan segera Dony menepisnya.“Kau, tunggu saja lima menit lagi. Aku tak mungkin membiarkanmu menyetir.”Hera mendengus kesal dan mengeluarkan ponselnya membuka game Angry Bird kebiasaannya membunuh rasa bosan. Sebenarnya menghabiskan waktu seharian dengan Dony sebelumnya tak pernah terasa semembosankan ini. Dony adala
Dony membuka pintu kamar kost-nya dan terkejut melihat Sania duduk bersimpuh di depan televisi. Lembaran tisu yang telah terpakai berserakan di sekitarnya. Bahu gadis yang sekarang mengenakan kaus bergaris putih biru itu sesekali bergetar. “Apa yang terjadi? Ada yang menyakiti mu? Kamu terluka? Coba mana yang sakit?” tanya Dony seraya berlari tergopoh-gopoh menghampiri satu-satunya saudara sedarah yang ia miliki. “Sania, katakan, siapa yang menyakiti mu?” bentak Dony tak sabar mengguncang-guncang bahu adiknya kencang. “Hentikan!” pekik Sania mendorong mundur Dony, dan menatap garang kakaknya. “Abang yang menyakitiku, tahu!” “Ah, maaf,” kata Dony pelan menyadari bahwa ia tidak mengontrol tenaganya karena terlalu panik tadi.”Aku terlalu ketakutan tadi, kamu tahu kan sekarang sangat banyak orang jahat berkeliaran dimana-mana. Aku jelas terkejut pulang melihat kamu menangis tersedu-sedu seperti itu.” Sania memicingkan mata menatap Dony geram, kedua lubang hidungnya kembang kempis. J
Helen masih ingat senyuman bahagia yang terpancar di mata Dony. Seluruh sinar matahari seakan berkumpul di sana. "Aku...aku sungguh bahagia, Helen!" ucap Dony seraya meraih Helen ke dalam pelukannya. Helen balas memeluk Dony, membaui aroma feromon pria itu. Kali itu, semua rasa sakitnya terbalaskan semua. Tidak ada lagi luka, semua dendam telah musnah. Seakan dunia telah mengatakan bahwa di sinilah tempat Helen yang sesungguhnya. Dalam dekapan Dony, bersama pria yang ia cintai dan juga amat mencintainya lebih dari apapun. Namun sayang, dewi keberuntungan sepertinya membenci Helen. Baru saja sedetik Helen merasakan kebahagiaan yang amat sangat dalam hidupnya, detik berikutnya kebahagiaan itu terccerabut hilang sampai ke akar. Dony tiba-tiba memutar tubuhnya dan melemparkan Helen ke trotoar. Hal berikutnya yang Helen lihat adalah raut kesakitan yang disertai percikan darah di balik punggung pria itu. Tidak ada bunyi letusan, tidak ada teriakan atau pekik kesakitan. Tubuh Dony dalam s
Sudah lebih dari lima puluh tahun berlalu, tetapi kejadian mengerikan itu masih sering menghantui mimpi malam Helen. Perlahan, bukan lagi rasa kehilangan yang mendatangi Helen melainkan perasaan menyesal, rasa bersalah. Seandainya saja Helen tidak menyeret Dony ke dalam masalahnya dengan keluarga Sukma Jaya, Dony mungkin saat ini masih ada, menikmati masa tuanya dengan nyaman, selayaknya orang-orang baik lainnya. Dony, sama halnya dengan Hanum, ibu kandung Elang. Kedua orang itu tidak sepantasnya mati muda mengenaskan karena ketamakan keluarga Sukma Jaya.Karena itu, saat melihat Atika, Helen seakan melihat cerminan Dony dan Hanum dalam satu sosok. Kepolosan serta kenaifan yang perempuan itu miliki membuat trauma yang Helen miliki bangun tanpa permisi. Helen tidak ingin ada lagi pertumpahan darah di keluarga ini, karena itu sebelum semuanya terlambat hanya ada dua cara untuk memastikannya. Ibarat sedang menyemai bibit tanaman, perkuat benih yang baik atau singkirkan bibit yang bermasa
"Berapa lama kamu akan ada di Jerman?" tanya Atika seraya merapikan ikatan dasi Elang."Kenapa? Belum juga aku pergi, kamu sudah mulai merindukan aku?"Atika mencubit kecil lemak di pinggang Elang membuat suaminya itu mengaduh tertahan. Atika lalu berbalik meraih jas hitam Armany dan memberikannya pada Elang yang kini tersenyum usil padanya."Aku hanya pergi paling lama satu minggu. Jangan khawatir, secepat mungkin aku akan menyelesaikan urusan di sana dan kembali lebih awal dari perkiraan.""Syukurlah, aku hanya gak betah terus diikuti oleh asistenya nenek. Diawasi oleh Bi Rika dan dikuntit olehnya sangat jauh berbeda," kata Atika bergidik ngeri. "Kamu tahu rasanya masuk ke dalam toko barang mewah dan diikuti terus menerus oleh pelayan tokonya seakan kita seorang pencuri? Seperti itulah rasanya berada di sekitar Bu Ratih. Sebenarnya aku gak begitu harus diawasi seketat itu, kan. Sudah ada Bi Rika dan pelayan-pelayan lainnya di sini yang menemaniku. Hany juga sering datang berkunjung,
Bunyi ketukan pintu menghentak Atika. Tak lama terdengar suara Ratih dari balik daun pintu."Nona, Nyonya Helen ingin bertemu. Beliau menunggu di ruang keluarga.""Ya Tuhan...gak bisakah aku tenang sebentar saja?" gerutu Atika seraya bangkit dan menilai penampilannya sendiri di dalam cermin.Jangan sampai Helen menemukan cela dalam pemilihan busana yang Atika kenakan kali ini. Kemarin sore, habis telinga Atika diceramahi sepanjang waktu hanya karena ia mengenakan celana jeans. Atika merasa untuk usia kandungannya yang sekarang, ia masih belum perlu mengenakan baju khusus ibu hamil. Protes dari Helen sungguh mengada-ada."Mulai hari ini, aku akan menemanimu di sini. Sampai Elang pulang dari perjalanan bisnisnya," kata Helen yang bagi Atika bagai sambitan pedang tajam di lehernya."Gak perlu repot-repot, Nek. Aku bisa menjaga diri sendiri, ada Bu Ratih di sini juga sudah lebih dari cukup.""Bahkan kalau bisa bawa saja ajudanmu ini sekalian!" lanjut Atika dalam hati tidak berani menyuara
"Neng, jangan lupa nanti tanggal dua belas kontrakannya dilunasi, ya. Sekalian sama tunggakan dua bulan kemarin!"Atika yang baru saja membuang bungkusan popok kotor sekali pakai ke tong sampah tersentak kaget. "Eh, maaf bukan maksud ibu bikin si Neng kaget!" ujar ibu pemilik rumah petak tempat Atika mengontrak satu tahu terakhir. "Tapi, ibu gak tega kalau datang ke kamar si Neng langsung, takut bangunin adek Dian."Atika tersenyum singkat dan mengangguk paham. "Iya, Bu gak apa-apa. Kebetulan saya lagi agak melamun tadi. Uang kontrakannya akan saya usahakan, ya Bu. Saya minta maaf sekaligus terima kasih, ibu mengijinkan saya tetap tinggal padahal saya bukan penyewa yang baik.""Aduh, si Neng. Jangan bilang gitu, ibu malah tambah gak enak. Neng Tika biar telat bayar kontrakan tapi sering bantu bersihkan rumput-rumput liar, pilah-pilah sampah, bantu kebersihan lingkungan kontrakan ini. Ibu sebetulnya mau gaji Neng untuk itu, tapi tahu sendiri kalau ibu juga punya uang dari mana." Ibu p
“Key, baju nya ganti ah jangan yang itu terus.” Mama mengomentari penampilanku. Sontak aku berhenti di ambang pintu dan melihat penampilanku sendiri di kaca jendela. Tidak ada yang aneh, biasa saja hanya celana bahan berwarna hitam dan kemeja merah bata.“Kenapa diganti, yang ini juga bagus.”Aku berputar-putar di depan mama memperlihatkan penampilanku dari depan lalu ke belakang.“Warnanya sudah kusam, lebih baik yang lain. Terus kamu gak dibedak?”Aku menyentuh wajahku, sedikit berminyak. Aku berlari ke depan cermin mematut bayanganku. Tanpa sengaja tatapanku jatuh pada foto Kim Jae Hee yang kutaruh di samping cermin. Aku mengusap lembut foto itu, foto yang kudapat setelah bersusah payah, berdesak-desakkan dengan ratusan penggemar lainnya.Kuyakini aku sanggup bertahan meski kau tak pernah di sampingku. Waktu yang membuatku bertahan. Aku berhasil menguasai kembali apa yang kumau, sama seperti sebelum aku sadar aku membutuhkan kehadiran mu, aku mampu bertahan sendiri. Kini aku percay
Hari ini, kegilaanku terus berlanjut. Karena semalam Ga Eun dan Hye Na tak sempat bertemu Kim Jae Hee mereka bersikeras agar aku mau kembali mengikuti jadwal Kim Jae Hee. Kali ini aku tidak memakai atribut apa pun yang berbau Kim Jae Hee, mereka kelihatan kecewa tapi aku tak mau mengambil resiko membuat Kim Jae Hee semakin muak padaku. Tapi sungguhkah Kim Jae Hee tidak suka melihatku, ekspresinya sulit dibaca. Aku hanya melihat kesedihan di matanya, mungkin ia sedih melihatku hancur.“kau juga harus menjaga kesehatanmu.” Setidaknya kalimat Kim Jae Hee semalam, membuatku yakin Kim Jae Hee masih mengkhawatirkan keadaanku.“Cha, Kita sudah sampai!” Kata Ga Eun, taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bergaya kontemporer. Setelah membayar ongkos taksi, aku ikut turun menyusul Ga Eun dan Hye Na. “Wah, kita beruntung, belum ada yang datang. Bebas pilih tempat!” Seru Hye Na, ia lalu mengeluarkan tikar tipis dari ranselnya.“Ini dimana?” Tanyaku.“Aish! Benar, kita belum bila
Aku merapikan ikatan rambutku saat hampir mendekati gerombolan fans Kim Jae Hee yang menunggu di depan gedung teater tempat Kim Jae Hee tampil hari ini. Lee Hye Na dan Jang Ga Eun, dua remaja yang baru kukenal tadi berjalan di depanku. Setelah sedikit mencari informasi, dua gadis itu akhirnya tahu jadwal keseluruhan Kim Jae Hee mulai hari ini hingga minggu depan. Dan kami, memutuskan untuk terus mengikuti Kim Jae Hee. Aku sadar aku bertindak terlalu jauh, tapi yang kulakukan kali ini karena hatiku yang mengatakannya. Aku hanya ingin melihat Kim Jae Hee, dan melihat bagaimana Kim Jae Hee saat melihatku. Setidaknya, aku ingin membuktikan bahwa waktu yang sempat kami habiskan cukup berarti untuk dipertahankan. “Onnie, kemari! Kita harus berbaris. Jangan sampai membuat fans lain marah.” Hye Na menarik lenganku dan memosisikanku di tengah di antara ia dan Ga Eun. Ga Eun lalu mengeluarkan kaus bergambar kartun Chibi Kim Jae Hee yang memenuhi seluruh bagian depan kaus dan menyodorkannya pad
“Jika tetap ingin pergi, maka pergilah! Kupastikan ini terakhir kalinya kita bertemu!” Teriak So Hee sebelum ia berlari pergi meninggalkan Kim Jae Hee sendirian di aula sekolah. Kim Jae Hee tak berniat sedikit pun mengejar So Hee. Bukan hanya Kim So Hee yang sedang kesal saat ini, Kim Jae Hee merasa ia yang lebih berhak kesal dibanding So Hee. Ia kesal pada Kim So Hee yang masih bersikap egois padahal usianya sudah menginjak 20. Acara reuni SMA mereka akar masalah pertengkaran mereka, sejak bulan lalu So Hee selalu melonjak kegirangan setiap membicarakan reuni SMA. So Hee bahkan bersedia menjadi sukarelawan agar acara itu bisa berjalan lancar. Sisa waktunya yang tidak digunakan untuk kuliah dihabiskan So Hee mengelilingi hampir seluruh penjuru Seoul, mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dalam acara itu. Bobot tubuh So Hee sempat turun drastis karenanya, namun Kim Jae Hee tak mampu mencegah So Hee, karena sama sepertinya, So Hee akan semakin membangkang saat dilarang.Sepanj
“Bagaimana kau bisa tahu aku sakit?” Tanya Kim Jae Hee setelah ia selesai makan bubur buatan Keyla. Keyla tidak segera menjawab, ia menaruh mangkuk dan mengambil segelas air lalu menyodorkannya tepat di depan wajah Kim Jae Hee. “Minum.”kata Keyla pelan, ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang rasanya sangat panas sejak kejadian beberapa menit yang lalu. Kim Jae Hee mengambil gelas di tangan Keyla, dan ia hampir saja tersedak saat menyadari alasan Keyla yang tiba-tiba pendiam.“Ya! Tak kusangka kau bisa malu.” Kata Kim Jae Hee, dan akhirnya tawanya meledak ketika melihat Keyla semakin menundukan kepala hingga dagunya hampir menyentuh dada.“Diamlah, apa kau tak mengerti ini baru bagiku.”“Benarkah? Jadi sebelumnya kau belum pernah berpacaran? jadi aku yang pertama.”Kim Jae Hee menepuk-nepuk dadanya sendiri, senyum bangga tercetak sangat jelas di wajahnya. “Aish! Tinggi sekali rasa percaya dirimu. Siapa bilang kau yang pertama, aku pernah pacaran sebelumnya!” Kata Keyla sengit, ia l
Kang Dong Jin tidak segera menjawab pertanyaan Keyla, ia menatap Keyla sejenak dengan alis bertaut lalu sedikit berdeham membersihkan tenggorokan.“Itu benar. Kim Jae Hee pernah mendorong seorang siswa dari lantai tiga. Tapi bukan karena siswa itu meminjam bukunya. Kim Jae Hee melakukannya karena ia lelah terus di bully. Semasa SMU Kim Jae Hee berbeda jauh dari Kim Jae Hee yang sekarang. Ia siswa dengan kacamata bulat tebal dengan buku yang selalu menempel di hidungnya. Lalu, anak-anak itu entah kesalahan apa yang dibuat Kim Jae Hee pada mereka, setiap hari Kim Jae Hee –kau tahu apa yang bisa mereka lakukan. Hingga hari itu, saat Kim Jae Hee sendirian di ruang seni di lantai tiga, mereka datang dan merobek buku yang sedang Kim Jae Hee baca. Mereka tidak tahu buku itu pemberian mendiang Kakek Kim Jae Hee. Akhirnya Kim Jae Hee berontak, ia berusaha mengambil kembali bukunya, salah satu siswa itu terus mengolok-olok Kim Jae Hee dan tak sadar ia sudah di ujung tangga. Anak itu jatuh, haru
“Bagaimana penampilanku?” Tanyaku pada Cellia, ia duduk di atas tempat tidurku. Sore ini, aku memintanya datang untuk membantuku berdandan ke pesta Girlband Dreams.“Baik, seperti Keyla biasanya.” Jawab Cellia sambil mengacungkan jempol kanannya, aku mendesah dan duduk di samping Cellia.“Aku merasa tak enak, seperti akan ada hal buruk. Apa mungkin aku salah kostum?” “Bagaimana mungkin, kamu bilang dress code nya casual. Tentu ini baik-baik saja.” Kata Cellia, ia menunjuk kaus putih dan celana jeans yang kupakai. “Ayolah, nyaman dengan dirimu sendiri. Ini resiko yang harus kamu hadapi karena bergaul dengan artis. Menghadiri pesta sudah makanan sehari-hari mereka.” Lanjut Cellia, ia lalu menyeringai jahil. “Apa penyanyi itu sudah menyatakan perasaanya?” Aku terkesiap dengan pertanyaan Cellia, “Apa maksudmu? Perasaan apa?”“Keyla, otakmu mungkin hanya diciptakan untuk membaca apa yang ditulis dalam buku. Baiklah kali ini aku akan berbaik hati menerangkannya, seorang laki-laki terlebi
Aneh sekali, jelas-jelas ia sendiri yang mengajak Keyla datang ke pesta ulang tahun ayahnya. Tapi kenapa hari ini Kim Jae Hee ingin menghindari gadis itu? memang, sejak awal pertemuan mereka Kim Jae Hee memang selalu bersikap dingin pada Keyla sama seperti pada gadis-gadis lain. Namun kali ini, Kim Jae Hee tak mampu mengambil sikapnya yang biasa. Ia seperti ada yang menyiramkan air dingin dalam hatinya saat bersama dengan Keyla. Kim Jae Hee merasa asing dengan rasa itu. Di tangannya, Kim Jae Hee memegang dua gelas cocktail. Minuman yang menjadi alasannya menghindar dari Keyla. Dan kini ia masih berdiri di tempatnya mengambil minuman. Apa yang selanjutnya ia lakukan? Memberikan minuman ini pada Keyla, mengobrol kemudian mengajak Keyla berdansa seperti yang tamu-tamu lain lakukan. Dan Kim Jae Hee yakin, keluarganya sedang mengamati gerak-geriknya.Ada sebuah suara yang berteriak meyakinkannya bahwa itu ide bagus. Apalagi yang dilakukan di pesta selain berdansa? Toh Kim Jae Hee tak meng