Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Dirga akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Dirga mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.
Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan. Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakeknya akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.
“Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?” Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihan band jadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.
“Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan malam.” Reynand menyahut dengan malas.
“Lu yakin mau hadir?” Anjas melihat Reynand yang kurang antusias.
“Harus. Kakek bisa marah kalau gue nggak ada.” Reynand mengedikkan bahu. Setelah barangnya rapi, dia berjalan menuju pintu keluar. Teman-temannya berpandangan melihat dia keluar tanpa gairah.
“Pasti ada perang malam ini.” Roki berkata pelan.
“Selalu seperti itu dan besoknya pasti ada yang dihajar sama Reynand.” Anjas menggelengkan kepala.
Sepanjang jalan menuju rumah, pikiran Reynand mengembara, sama sekali tidak fokus pada ramainya jalanan. Makan malam keluarga selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan untuknya. Di acara itu segala dosa dan aibnya akan ditelanjangi, diumbar, dan dicaci maki. “Damn!”
Di halaman rumah sudah ada dua mobil terparkir. Mobil kakeknya juga sudah ada. Reynand memperhatikan deretan mobil mewah yang ada di garasi rumahnya. Membawa motornya melewati lorong samping halaman menuju parkiran motor. Sedikit berlama-lama di sana, melepas helm dan jaketnya, menyampirkan ke dinding garasi. Setelahnya membuka pintu kecil yang langsung menuju dapur.
Aroma masakan yang wangi menggiurkan menguar dari dapur. Sarni terlihat sibuk memasak ditemani beberapa koki yang sepertinya didatangkan khusus dari restoran untuk acara malam ini. Reynand melepas sepatu dan berjingkat menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dari dalam kamarnya suara tawa mereka terdengar nyaring. Reynand masuk kamar mandi untuk menyegarkan badan. Selesai berganti baju terdengar ketukan di pintu.
“Kak Rey, ini Ferina. Aku boleh masuk?” Suara anak perempuan melengking menembus pintu kamar.
“Iya, masuk aja.” Pintu didorong terbuka, tampak seorang anak perempuan cantik berumur dua belas tahun dengan pakaian modis yang terdiri atas gaun indah berwarna pink dan rambut yang ditata dengan gaya. Anak itu berjalan pelan memasuki kamar. Begitu melihat Reynand tengah berdiri di depan cermin menyisir rambut, dia langsung menubruknya dan memeluk dari belakang.
“Kak Rey, Erin kangen banget. Katanya Kak Rey mau ngajak Erin jalan-jalan, mana? Ditunggu-tunggu nggak ada kabar sama sekali.” Anak perempuan itu menyemburkan banyak kata yang hanya diangguki oleh Reynand.
“Iya nanti. Kakak masih sibuk.”
“Sibuk apa? Pacaran? Ferina yakin Kakak pasti gonta-ganti pacar terus. Iya, 'kan? Udah berapa kali dalam bulan ini?”
Reynand menggelengkan kepala tidak percaya dirinya dimarahi oleh anak kecil. “Kamu anak kecil mau tahu aja urusan orang.”
Reynand berbalik dan melepas rangkulan anak itu di pinggangnya. Ferina cemberut menatap Reynand. Dia selalu menyukai kakak sepupunya ini. Cool. Hanya itu kata yang cocok untuk menggambarkannya.
“Wah, kamu seperti princess malam ini. Udah dua belas tahun, ya? Sebentar lagi masuk SMP.” Reynand menjawil pipinya dan berjalan menuju meja untuk meletakkan sisir, memakai antingnya kembali.
“Iyalah, aku udah besar sekarang.” Gadis kecil itu bergaya di depannya, membuatnya tersenyum. Mata yang bulat besar menatapnya dengan gaya anggun congkak untuk ukuran anak baru besar. Menggelengkan kepalanya Reynand mengandeng tangan Ferina untuk membawanya turun.
“Jangan terlalu cepat besar, nanti Kakak jadi tua. Aku lebih suka kalau tetap muda dan ganteng. Jadi kamu terus saja jadi anak kecil, ya?” Kata-kata Reynand membuat Ferina cemberut.
"Muda dan ganteng? Maksudnya biar banyak yang naksir?"
“Nah termasuk itu, hahaha.” Reynand tertawa melihat wajah sepupu kecilnya cemberut tidak senang. Gadis kecil ini selalu menyukainya dan dia juga menyukai Ferina yang centil dan kekanak-kanakan. “Sudah, jangan cemberut. Dua minggu lagi Kakak selesai ujian. Kakak akan bawa kamu makan es krim. Deal?”
Mendadak wajah Ferina kembali ceria. “Beneran?”
“Iya.” Reynand mengangguk untuk meyakinkan. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki ruang makan. Di sana sudah hadir semua anggota keluarga lainnya.
“Wah ... ini dia tuan muda yang selalu datang terlambat.” Suara tantenya menegur dengan halus, membuat Reynand melengoskan wajahnya tidak suka.
“Yanara.” Suara teguran pelan membuat tantenya tertawa.
“Apa salahku bicara begitu? Dia memang selalu datang terlambat.”
“Sudahlah, yang penting dia ada sekarang. Gimana kabarmu, Rey?” Om Yosi menegurnya, entah untuk membelanya atau agar tampak baik di hadapan Dirga.
Reynand tidak peduli. Dia hanya ingin duduk makan dan selesai melewati neraka ini. “Baik, Om.”
“Gimana dengan sekolahmu? Apa nilai-nilaimu ada kemajuan?”
“Nggak, biasa saja.” Reynand menjawab pelan, mengambil minuman dan meneguknya.
“Oh ya? Kamu harus banyak belajar dari Farid. Nilainya sangat bagus.” Om Yosi menepuk punggung anak laki-lakinya yang duduk tepat di sebelahnya dengan bangga.
Reynand memperhatikan Farid Kakak Ferina dalam-dalam. Sepupunya itu seumuran dengannya, tetapi mereka jarang sekali bicara. Farid adalah jenis orang yang dijauhi oleh Reynand dan kawan-kawannya. Pendiam, berkacamata, dan selalu sibuk belajar.
“Tapi Kak Reynand lebih keren dari Kak Farid yang membosankan.” Ferina menyahut lantang untuk membela Reynand.
“Ferina, bisa kamu bilang begitu sama Kakakmu?” Melina, mamanya Ferina dan Farid tampak marah. Wajah cantiknya yang angkuh mendelik marah pada anak perempuannya.
“Hahaha! Keren saja nggak cukup kalau nggak bisa belajar.”
Suara Yanara bagaikan pisau tajam di kuping Reynand. Dia menghela napas mengambil salad di depannya dan mulai mengunyah. Bukan karena lapar, tetapi sekadar untuk melakukan sesuatu. Reynand memperhatikan Adam anak Yanara terlihat duduk makan dengan diam tak peduli mamanya. Di sampingnya papa Adam, yaitu Gilbert yang merupakan warga negara asing. Sebenarnya dia orang yang asyik, hanya saja begitu penurut pada istrinya.
“Apa semua sudah berkumpul?” Dirga datang memasuki ruang makan, langsung duduk di ujung meja makan. “Bagus, kalau sudah ada semua. Bisa kita mulai makannya sekarang? Malam ini sengaja Kakek masak kesukaan cucu-cucu Kakek semua.”
Dari dalam dapur para pelayan menghidangkan berbagai makanan, spageti, rendang daging juga udang besar-besar yang disajikan di atas piring besar. Reynand makan yang hanya terjangkau oleh tangannya. Ferina yang duduk di sampingnya sibuk menambahkan makanan di piring Reynand. Memperhatikan tingkah Ferina membuat mamanya geregetan, tetapi tidak bisa apa-apa karena Dirga memperhatikan.
“Pa, apakah persiapan sudah selesai semua? Dokumen yang akan dibawa ke Italia?” Yosi bertanya pada Dirga.
“Sudah, ada Eleanor yang mengurus.”
“Kenapa Papa begitu percaya pada sekretaris kecil itu?” Yanara menjawab dengan nada tidak suka.
“Sekretaris itu bernama Eleanor dan ya, Papa percaya seratus persen padanya. Rasanya hal ini tidak perlu kita perdebatkan lagi.”
Yanara masih tidak puas dengan jawaban papanya, tetapi menutup mulut setelah melihat kode yang diberikan kakaknya untuk tidak membantah. Mendengar nama Eleanor disebut, pikiran Reynand tertuju pada wanita cantik dengan sikap angkuh yang sudah dua kali dia temui.
“Ferina, kamu tidak makan udangnya, Sayang?” Dirga menawarkan udang pada cucu perempuannya.
“Iya Kakek, tunggu. Erin masih sibuk.”
Dirga tersenyum melihat tingkah cucu perempuannya yang lebih sibuk memberikan makanan pada Reynand daripada makan untuk dirinya sendiri.
“Adam? Bagaimana sekolahmu? Apakah lancar?”
Adam seorang anak laki-laki bertampang kurus, tetapi ganteng. Dikarenakan darah campuran dengan papanya yang seorang bule Belanda.
“Baik, Kek. Adam dapat juara dua di kelas.”
Yanara terlihat bangga dengan anak laki-lakinya. Matanya sinis melirik pada Reynand yang tengah asyik makan udang yang dikupaskan Ferina untuknya. Bersikap seakan-akan tidak ada di ruang makan itu.
“Farid juga nilainya bagus. Tahun ini dapat peringkat tiga di seluruh sekolah untuk satu tingkatan dengannya.”
“Wah, cucu Kakek memang hebat semua. Dan bagaimana denganmu, Ferina? Dapat juara berapa kamu?” Dirga bertanya pada cucu perempuan satu-satunya yang sangat dia sayangi.
“Oh, Ferina dapat ranking lumayan, Kakek. Nggak buruklah, cuma buat Ferina yang penting itu bukan nilai di sekolah tapi kepribadian.”
“Wah, maksudnya bagaimana?” Dirga bertanya dengan tertarik. Papa Ferina memandang putrinya tajam agar tidak mengatakan hal yang macam-macam.
“Maksudnya, nilai tinggi tapi kalau kepribadian nggak bagus, nggak ada teman yang suka, buat apa? Ferina lebih suka jadi seperti Kak Rey, nilai standar tapi idol.” pungkas Ferina. Membuat papanya terbatuk karena kaget dan Reynand tertawa kecil. Dirga tertawa keras.
“Luar biasa. Memang kepribadian itu penting.”
Ferina tersenyum dan meneruskan pekerjaannya mengupas udang untuk Reynand.
“Ferina, mau sampai kapan kamu mengupas udang?” Melina membentak Ferina tidak sabar.
“Bentar lagi, Ma. Kak Rey belum banyak makan.”
“Udah cukup. Kakak udah kenyang. Kamu makan untuk dirimu sendiri.” Reynand berusaha menghentikan Ferina untuk menyuapinya.
“Seharusnya dari tadi. Jadi kamu tidak menyusahkan anak kecil.” Melina menghardik marah.
“Sudahlah, Melina. Ferina sendiri yang menginginkan. Masalah kecil kamu besar-besarkan.” Dirga menegur pelan. Reynand yang mulai kehilangan selera makan, merapikan piringnya dan mengambil gelas minum. Di sebelahnya Ferina mulai meletakkan buah-buahan pada piring kecil di hadapan Reynand.
“Sudah, Erin. Kakak bisa sendiri.” Reynand memegang tangan Ferina untuk menghentikannya. Ferina mengangguk senang.
“Jadi, di Italia nanti Papa mau berapa lama?” Yosi bertanya sambil memperhatikan putri semata wayangnya yang terus menempel pada Reynand.
“Entahlah. Bisa jadi seminggu atau sebulan, tergantung situasi.”
“Trus Reynand gimana? Tinggal dengan siapa dia nanti?” Yanara berkata sambil mengedikkan wajahnya ke arah Reynand.
“Rey bisa hidup sendiri, Tante.”
Jawaban dari Reynand dibalas dengan dengkusan tak percaya.
“Bisa sendiri? Untuk membuat masalah dan mengacau maksudnya?”
“Yanara!” Suara Dirga tajam mengingatkan.
“Kenapa Papa membelanya? Bukannya memang sudah sifatnya pengacau, persis seperti Mamanya.”
Klang!
Suara sendok jatuh mengagetkan semua orang yang tengah asyik menyantap makanan. Reynand berdiri dengan amarah berkobar di wajahnya.
“Tolong Tante jaga kata-kata. Jangan bawa Mama saya dalam setiap masalah.” Suara Reynand bergetar menahan kesal.
“Apa masalahnya? Memang Mamamu biang onar!” Yanara menyahut dengan ketus.
“Yanara, stop! Reynand, duduk lagi dan tenang.” Suara Dirga berusaha meredakan situasi. Namun, rasa kesal sudah telanjur berkobar di dada Reynand.
“Sudahlah, Yanara. Bagaimanapun dia anak Kakak kita.” Yosi berusaha menenangkan adiknya.
“Memang Yuwan Papanya adalah Kakakku, tapi Mamanya bukan. Dan sepertinya dia lebih banyak mirip Mamanya.”
Tidak lagi mampu menahan diri, Reynand menggebrak meja makan, membuat semua terlonjak kaget. Setelahnya dengan terburu-buru meninggalkan ruangan menuju tempat parkir.
“Reynand, mau ke mana kamu?” Suara Dirga tak mampu menghentikan langkah Reynand.
Dia mengambil kunci motor, lalu memakai jaket dan helm. Memacu motornya meninggalkan rumah besar yang membuatnya sesak karena marah. Suara Ferina memanggilnya samar-samar terdengar di antara deru suara mesin. Selalu saja mereka menganggapku pecundang, dan menganggap mereka lebih hebat daripada aku.
Dalam kemarahan dan kesedihan, Reynand memacu motor dengan kencang menembus jalanan.
Malam yang ramai, jalanan masih sibuk meski jam pulang kerja telah lewat. Pekerjaan yang menumpuk membuat Eleanor terpaksa menunda jam pertemuan. Lebih lambat dua jam dari waktu yang disepakati, setelah pemberitahuan sebelumnya Ferdinand setuju waktu diundurkan.“Kak, apa aku sudah kelihatan cantik?” Juwita mengedipkan mata ke arah Eleanor yang tengah menyetir. Wajahnya yang bulat montok sangat menggemaskan.“Sangat, seperti boneka. Inimeetingbiasa bukan ikut kontes kecantikan. Santai saja, Juwita.” Eleanor menenangkan Juwita yang sepertinya sangat gelisah.“Aku juga maunya begitu, Kak. Dirimu enak. Langsing, cantik, tirus, mau pakaimake-upatau nggak tetap saja cantik.”“Hahaha! Dan kamu montok menggemaskan. Banyak yang bilang padaku melihatmu seperti melihat boneka lucu dan ingin dimiliki.”“Benarkah? Siapa yang bilang begitu, Kak? Pegawai dari bagian m
Setelah peristiwa malam itu, Reynand lebih banyak mengurung diri di kamar sampai waktu pemberangkatan kakeknya ke Eropa. Dia tahu semua orang di perusahaan tengah sibuk, tetapi itu bukan urusannya. Terlebih setelah pertemuannya dengan Eleanor dan berakhir dengan dia mencium wanita itu. Sampai sekarang dia tak habis pikir kenapa melakukan perbuatan seperti itu. Eleanor memang meremehkannya, tetapi bukan berarti dia harus mencium wanita itu. Terkadang, dia merasa gila karena berbuat nekat.Seperti biasa, pulang sekolah dan selesai makan malam, Reynand mengutak-atik komputernya atau bermain gitar. Pikirannya mengembara pada perkenalannya dengan Cindy, yang seperti perkiraannya nyaris tanpa halangan. Dibandingkan Renata, Cindy memang kalah cantik, tetapi dia punya sesuatu yang manis dalam dirinya. Caranya tertawa membuat orang lain betah mengobrol lama-lama dengannya.“Menurut lu Cindy gimana?” Dedy bertanya penasaran karena dilihatnya Reynand tenang-tenang saj
Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan,gerutunya dalam hati.Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat.Headsetterpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.“Selamat pagi, Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana denganmeetinghari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon
Benar dugaannya, gerbang sekolah sudah tutup. Reynand mengeluh dalam hati, mencari akal, dia memarkir motor di dekat warung samping sekolahan.“Mang, gue nitip dulu, ya.”“Mau ngapain lu lewat belakang? Tadi gue lihat ada yang ketangkap lewat sana.” Sarjo pemilik warung memberitahu dengan waswas.“Itu urusan entar. Gue jalan dulu.” Dia berlari secepat kilat meninggalkan Sarjo, menuju halaman belakang sekolah. Melemparkan tas lebih dulu, selanjutnya memakai ranting pohon yang menjorok keluar dari pohon di dalam halaman, Reynand memanjat pelan. Dengan lompatan ringan dia mendarat selamat di halaman belakang sekolah. Dia terperangah kaget melihat Hadi berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa senyum. Guru olahraga yang terkenal angker saat ini tengah memegang penggaris besi di tangannya.Aduh, mati gue!“Bagus sekali ya, Reynand. Sangat teladan kamu.” Hadi menegurnya dengan pelan.“Maa
“Ah ... lu gila, Bro! Bisa-bisanya bawa nama kakek buat alasan.” Roki menggeleng sambil melihat Reynand yang tengah duduk santai makan mi ayam. Sore itu sekolah sudah sepi. Mereka duduk di samping warung Sarjo. Reynand yang wajahnya masih lebam-lebam mengedikkan bahu. Di depannya ada Roki dan Dedy. Sebenarnya, dia bisa saja mengatakan kalau sekretaris sang kakek datang menyelamatkannya, tetapi entah kenapa dia merasa enggan bicara soal wanita itu.“Terpaksa. Itu guru tiba-tiba nongol di depan gue. Ya alasan yang kepikir cuma Kakek.”“Ckckck. Pantesan lu dapat hukuman dobel. Udah lari, nyapu halaman pula.” Dedy menimpali.“Udah, jangan ingetin gue lagi. Sebenarnya cewek yang mereka bela itu yang mana orangnya?” Reynand bertanya pada Roki yang duduk di depannya.“Udah gue cari tahu. Si Sherly itu yang cewek kelas 2. Centil, rambut cokelat sebahu.” Dedy memberi tanda di bahunya.“Si cen
Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.&ldq
Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.“Upz,Miss Universedatang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, ngg
Setelah peristiwa malam itu, Reynand lebih banyak mengurung diri di kamar sampai waktu pemberangkatan kakeknya ke Eropa. Dia tahu semua orang di perusahaan tengah sibuk, tetapi itu bukan urusannya. Terlebih setelah pertemuannya dengan Eleanor dan berakhir dengan dia mencium wanita itu. Sampai sekarang dia tak habis pikir kenapa melakukan perbuatan seperti itu. Eleanor memang meremehkannya, tetapi bukan berarti dia harus mencium wanita itu. Terkadang, dia merasa gila karena berbuat nekat.Seperti biasa, pulang sekolah dan selesai makan malam, Reynand mengutak-atik komputernya atau bermain gitar. Pikirannya mengembara pada perkenalannya dengan Cindy, yang seperti perkiraannya nyaris tanpa halangan. Dibandingkan Renata, Cindy memang kalah cantik, tetapi dia punya sesuatu yang manis dalam dirinya. Caranya tertawa membuat orang lain betah mengobrol lama-lama dengannya.“Menurut lu Cindy gimana?” Dedy bertanya penasaran karena dilihatnya Reynand tenang-tenang saj
Malam yang ramai, jalanan masih sibuk meski jam pulang kerja telah lewat. Pekerjaan yang menumpuk membuat Eleanor terpaksa menunda jam pertemuan. Lebih lambat dua jam dari waktu yang disepakati, setelah pemberitahuan sebelumnya Ferdinand setuju waktu diundurkan.“Kak, apa aku sudah kelihatan cantik?” Juwita mengedipkan mata ke arah Eleanor yang tengah menyetir. Wajahnya yang bulat montok sangat menggemaskan.“Sangat, seperti boneka. Inimeetingbiasa bukan ikut kontes kecantikan. Santai saja, Juwita.” Eleanor menenangkan Juwita yang sepertinya sangat gelisah.“Aku juga maunya begitu, Kak. Dirimu enak. Langsing, cantik, tirus, mau pakaimake-upatau nggak tetap saja cantik.”“Hahaha! Dan kamu montok menggemaskan. Banyak yang bilang padaku melihatmu seperti melihat boneka lucu dan ingin dimiliki.”“Benarkah? Siapa yang bilang begitu, Kak? Pegawai dari bagian m
Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Dirga akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Dirga mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan.Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakeknya akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.“Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?” Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihanbandjadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.“Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan mala
Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.“Upz,Miss Universedatang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, ngg
Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.&ldq
“Ah ... lu gila, Bro! Bisa-bisanya bawa nama kakek buat alasan.” Roki menggeleng sambil melihat Reynand yang tengah duduk santai makan mi ayam. Sore itu sekolah sudah sepi. Mereka duduk di samping warung Sarjo. Reynand yang wajahnya masih lebam-lebam mengedikkan bahu. Di depannya ada Roki dan Dedy. Sebenarnya, dia bisa saja mengatakan kalau sekretaris sang kakek datang menyelamatkannya, tetapi entah kenapa dia merasa enggan bicara soal wanita itu.“Terpaksa. Itu guru tiba-tiba nongol di depan gue. Ya alasan yang kepikir cuma Kakek.”“Ckckck. Pantesan lu dapat hukuman dobel. Udah lari, nyapu halaman pula.” Dedy menimpali.“Udah, jangan ingetin gue lagi. Sebenarnya cewek yang mereka bela itu yang mana orangnya?” Reynand bertanya pada Roki yang duduk di depannya.“Udah gue cari tahu. Si Sherly itu yang cewek kelas 2. Centil, rambut cokelat sebahu.” Dedy memberi tanda di bahunya.“Si cen
Benar dugaannya, gerbang sekolah sudah tutup. Reynand mengeluh dalam hati, mencari akal, dia memarkir motor di dekat warung samping sekolahan.“Mang, gue nitip dulu, ya.”“Mau ngapain lu lewat belakang? Tadi gue lihat ada yang ketangkap lewat sana.” Sarjo pemilik warung memberitahu dengan waswas.“Itu urusan entar. Gue jalan dulu.” Dia berlari secepat kilat meninggalkan Sarjo, menuju halaman belakang sekolah. Melemparkan tas lebih dulu, selanjutnya memakai ranting pohon yang menjorok keluar dari pohon di dalam halaman, Reynand memanjat pelan. Dengan lompatan ringan dia mendarat selamat di halaman belakang sekolah. Dia terperangah kaget melihat Hadi berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa senyum. Guru olahraga yang terkenal angker saat ini tengah memegang penggaris besi di tangannya.Aduh, mati gue!“Bagus sekali ya, Reynand. Sangat teladan kamu.” Hadi menegurnya dengan pelan.“Maa
Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan,gerutunya dalam hati.Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat.Headsetterpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.“Selamat pagi, Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana denganmeetinghari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon