Benar dugaannya, gerbang sekolah sudah tutup. Reynand mengeluh dalam hati, mencari akal, dia memarkir motor di dekat warung samping sekolahan.
“Mang, gue nitip dulu, ya.”
“Mau ngapain lu lewat belakang? Tadi gue lihat ada yang ketangkap lewat sana.” Sarjo pemilik warung memberitahu dengan waswas.
“Itu urusan entar. Gue jalan dulu.” Dia berlari secepat kilat meninggalkan Sarjo, menuju halaman belakang sekolah. Melemparkan tas lebih dulu, selanjutnya memakai ranting pohon yang menjorok keluar dari pohon di dalam halaman, Reynand memanjat pelan. Dengan lompatan ringan dia mendarat selamat di halaman belakang sekolah. Dia terperangah kaget melihat Hadi berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa senyum. Guru olahraga yang terkenal angker saat ini tengah memegang penggaris besi di tangannya. Aduh, mati gue!
“Bagus sekali ya, Reynand. Sangat teladan kamu.” Hadi menegurnya dengan pelan.
“Maaf, Pak. Ada urusan tadi di rumah sedikit.”
“Urusan apa?” Hadi bertanya sambil memperhatikan penampilan Reynand yang acak-acakan dengan wajah memar dan darah kering di ujung mulutnya.
“Kakek saya minta diantar ke rumah sakit. Jadi saya terlambat karena itu.” Reynand berkata dengan wajah memelas.
“Begitu?”
“Iya, Pak.”
“Baik. Kamu ikut ke kantor sekarang dan kita telepon Kakekmu.”
Reynand kaget tak bisa bicara. Dengan terpaksa mengikuti langkah Hadi menuju ruang guru. Untung pelajaran kedua sudah dimulai, jadi tidak ada murid di halaman. Ah, sial! Kakek pasti marah ini. Apes gue salah ngomong!
***
Jam menunjukan pukul sepuluh ketika Eleanor mengetuk pintu Dirga dan meletakkan map kuning di mejanya.
“Ini penawaran harga dari Pak Sandy Haris yang akan kita temui siang ini. Ingat Pak, poin ketujuh Bapak minta revisi karena Elea lihat itu kurang menguntungkan bagi kita.”
“Ehm, kamu benar. Poin ketujuh ini sangat tidak bagus. Baiklah, kita akan nego kembali masalah ini.” Dirga mengamati kertas di tangannya. “Kerja bagus, Sayang.” Dirga menepuk tangan Elea pelan.
Telepon di meja Dirga berbunyi, Eleanor mengangkatnya dan menyapa dengan ramah. “Selamat pagi. Dengan Elang Dirga Enterprise di sini.”
"...."
“Dari siapa? Sekolah? Baik, sebentar saya sambungkan.” Eleanor memberikan gagang telepon pada Dirga dan berbisik pelan, ”Ada masalah dengan cucu Bapak di sekolah.”
Dirga menarik napas panjang dan menerima teleponnya dengan berat. “Hallo.”
"...."
“Apa? Dia berkelahi?”
"...."
“Dan kalian bertanya hukuman apa yang layak buat dia? Masukkan saja ke penjara!” Dirga menjawab dengan marah dan meletakkan teleponnya buru-buru. Elea menangkap gagang telepon sebelum menutup dan melanjutkan pembicaraan dengan pihak sekolah yang terputus.
“Selamat pagi, Pak. Saya Eleanor sekretaris Pak Dirga. Maaf ya, sekarang atasan saya sedang tidak enak badan.” Eleanor terdiam sejenak mendengarkan pembicaraan pihak sekolah. “Baik, nanti akan saya sampaikan pada Pak Dirga. Iya, kami tidak keberatan jika cucunya diberi hukuman yang sedikit berat. Baik, terima kasih.”
“….”
Eleanor menghela napas berat, mendengarkan dengan saksama lawan bicaranya. Dia melirik ke arah atasannya yang terlihat muram. Wajah laki-laki tua itu memerah dan bernapas dengan sedikit tersengal. Dia harus bertindak sebelum hal buruk menimpa Dirga.
“Baiklah, saya yang akan mewakili keluarga untuk datang ke sekolahan sekarang.”
Selesai berbicara di telepon, Eleanor langsung menuju teko air, menuangkan segelas air putih dan menyodorkan obat kecil. “Ini diminum obat kolesterol dan jantung, jangan sampai karena masalah ini jadi pingsan. Tarik napas pelan-pelan, jangan marah, Pak.”
Dirga meminum obat yang disodorkan, mengelap keringat di wajah tuanya dan mulai bernapas tenang. “Cucuku itu semenjak ibunya meninggal jadi banyak tingkah, Elea. Aku jadi bingung mau aku apakan dia. Kamu yakin mau pergi menemui pihak sekolah?”
Eleanor mengangguk kecil dan membayangkan cucu laki-laki Pak Dirga yang belum pernah ditemuinya. Dia mendengar kalau sang cucu sebagai anak laki-laki pemberontak dan bermasalah. Anak ABG angkuh dan tukang berantem, itulah bayangan yang tertanam di otaknya. “Sabar, Pak. Namanya juga ABG. Jiwanya labil. Nanti seiring berjalannya waktu, semua akan membaik. Saya akan ke sana untuk menjelaskan duduk persoalannya.”
“Baiklah, kalau itu maumu. Aku minta tolong, Elea.”
“Jangan khawatir, Pak Direktur. Saya akan berusaha membantu sebisa mungkin.”
Eleanor merapikan berkas di meja, menaruh kembali gelas kosong di tempatnya dan sebelum berjalan keluar berkata pelan, “Kita akan berangkat sebentar lagi untuk meeting dengan Pak Sandy, segera setelah saya kembali.Tenangkan hati Bapak dulu, ya.”
Dirga tersenyum mengangguk.
Dasar anak nggak tahu diri! Kalau gue punya adik kayak dia udah aku injak-injak. Eleanor mengomel dalam hati tentang Reynand. Dia mengutuk anak laki-laki itu karena sudah membuat sang kakek jatuh sakit.
Juwita--asisten sekretaris--yang melihat Eleanor mengomel sendiri, bertanya heran, “Ada masalah apa, Kak?”
“Oh, nggak. Itu cucu berandal Pak Direktur hari ini bikin masalah lagi di sekolah.”
“Oh ... kirain apa. Sepertinya itu anak suka bikin keributan, ya.” Juwita berkomentar heran.
“Iya. Seandainya adikku besar nanti, aku nggak mau jadi kayak cucunya Pak Dirga.” Eleanor membayangkan adiknya yang berumur sepuluh tahun. Gimana mungkin Andro akan jadi seperti dia? Berdiri saja dia tidak mampu.
Teringat keadaan adiknya membuat Eleanor sedih. Mengabaikan perasaan sedihnya dengan cepat, Eleanor merapikan riasan wajah dan memoles lipstik, lalu mengambil dokumen yang sudah disiapkan Juwita. “Aku akan pergi ke sekolah bocah tengik itu sekarang. Untuk mengurus hukumannya. Tolong, kamu handle dulu kantor, ya?”
“Hah, harus gitu, ya?”
“Demi Pak Dirga.”
“Iya, Kak. Pak Hendrik bagian marketing katanya ingin bicara dengan Pak Dirga dan Kakak. Bagaimana, mau dijadwalin kapan?”
“Nanti sore jam empat kosong, 'kan? Aku sudah kembali dari sekolah.”
“Iya kosong.”
“Ya sudah, jam empat saja.”
Juwita mengangguk dan mencatat lalu memencet telepon di hadapannya. Eleanor meninggalkan ruangan menuju lift. Melajukan mobil kecil miliknya ke alamat sekolah Reynand. Jalanan padat saat pagi dan dia terjebak dalam kemacetan. Dua jam kemudian dia baru sampai sekolah.
Halaman sekolah sepi, para murud sepertinya sedang belajar. Setelah bertanya pada penjaga sekolah tentang ruang BP, dia melangkah ke sana dengan langkah cepat. Sesaat, Eleanor termangu di depan pintu sebelum mengetuk pelan.
“Masuk!”
Teriakan dari dalam terdengar nyaring. Dia membuka pintu, mengedarkan pandangan dan tatapannya seketika tertuju pada dua orang yang duduk berhadapan. Seorang laki-laki setengah baya dengan rambut klimis yang disisir rapi ke belakang. Laki-laki itu memakai kacamata bingkai putih. Di depannya, terhalang oleh meja ada seorang murid. Eleanor menduga murid laki-laki itu adalah Reynand, dilihat dari rambutnya yang agak gondrong dengan gelang hitam di lengan kanan. Cara duduk anak laki-laki itu tergolong santai meski berada di ruang BP.
Sebelum dia membuka suara, anak laki-laki itu mengangkat wajah. Untuk sesaat mereka berpandangan. Eleanor sedikit kaget saat tahu kalau anak laki-laki itu tergolong rupawan. Reynand menatapnya heran. Mereka baru pertama bertemu meski dia sudah bekerja hampir empat tahun di perusahaan Dirga. Memalingkan wajah dari anak laki-laki itu, dia menatap guru BP.
“Selamat siang, Pak. Saya Eleanor, sekretaris Pak Dirga.” Dia memperkenalkan diri dengan sopan.
Laki-laki berkacamata menatapnya heran. “Saya meminta perwakilan dari keluarga untuk mengurus Reynand. Karena kenakalan anak ini sudah di luar nalar. Bukan kakeknya yang datang malah sekretaris yang sama sekali tidak ada hubungannya.”
Eleanor tersenyum. “Maaf sebelumnya. Beliau sudah berusaha datang, tapi kondisinya tidak memungkinkan.”
“Kenapa?”
“Jantung, Pak. Beliau memang ada penyakit jantung.”
“Jadi, apa yang dikatakan Reynand tentang kakeknya itu benar?”
Reynand mendadak mengangkat wajah dan menatap Eleanor penuh harap. Dari sinar matanya, Eleanor tahu kalau pemuda itu mengharapkan dia berkata bohong. Dia memalingkan wajah lalu berdeham.
“Soal penyakit jantungnya benar, tapi hal lain beliau menyangkal.”
“Hei!” Reynand berteriak tanpa sadar. “Apa-apaan kamu?”
Eleanor mengabaikannya. Kembali bicara dengan guru BP. “Ada pesan dari bos saya. Sekiranya sudi memberi hukuman, silakan. Namun, mohon dipertimbangkan hal lain tentang kondisi keluarga anak ini.”
Mengabaikan Reynand yang menatapnya dengan mata melotot, Eleanor menebar senyum pada guru BP di hadapannya. Dia mendengarkan dengan tekun dan mengangguk patuh saat sang guru memberikan hukuman pada Reynand. Pada akhirnya disepakati, kalau hukuman dikurangi sesuai permintaan Eleanor.
Sepuluh menit kemudian, Eleanor dan Reynand melangkah beriringan menyusuri koridor sekolah yang sepi. Keduanya saling berdiam diri dan seolah-olah tahu Eleanor hendak menuju ke mana, Reynand mengikutinya. Tiba di tempat parkir mobil, pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Lu siapa? Datang-datang ke sekolah dan sok ngatur-ngatur gue!”
Eleanor mengabaikannya. Dia mengulurkan tangan, berniat membuka pintu mobil.
“Hei, lu budek, ya!” Kali ini, tangan Reynand mencengkeram pergelangan tangannya dan membuat Eleanor berjengit kaget.
“Kamu, jadi anak nggak ada sopannya! Harusnya bilang makasih, aku sudah bantu kamu. Malah bentak-bentak!”
“Apa lu bilang? Makasih?” Reynand meringis, merengsek maju dan menghimpit tubuh Eleanor di badan mobil. “Gue nggak minta lu bersikap sok pahlawan.”
“Itu karena perintah Kakekmu. Beliau hampir kena serangan jantung karena telepon dari sekolah!”
Reynand mengangkat tangannya, memberi tanda agar Eleanor diam. “Ssst … mending lu balik ke kantor sekarang. Jangan bikin gue tambah emosi. Kedatangan lu kemari sama sekali nggak ngebantu. Yang ada malah bikin susah!”
Menahan geram, Eleanor mengatupkan mulut dengan tangan mengepal di sisi tubuh. Dia sudah menyiapkan dirinya akan menghadapi pemuda kurang ajar. Namun, tidak dia sangka akan separah ini.
“Dasar nggak tahu terima kasih!” makinya kesal.
Reynand meringis. “Oh, lu mau diucapin terima kasih?” Dengan pandangan kurang ajar, pemuda itu mengamati tubuhnya dari atas ke bawah. “Lu cantik, badan lu seksi. Gimana kalau terima kasihnya dengan berciuman? Gue nggak akan nolak!”
Dengan sekuat tenaga, Eleanor mendorong tubuh Reynand hingga mundur ke belakang. Dia buru-buru membuka pintu dan menutup dengan keras. Tanpa melihat lagi ke arah Reynad, dia menghidupkan mesin dan membawa mobilnya melaju meninggalkan tempat parkir. Dia mengamati sosok Reynand yang masih berdiri di tempat semula melalui kaca spion. Berharap dalam hati agar di masa depan tidak lagi menemui pemuda itu.
Sesampainya di kantor, dia berusaha menepiskan emosi. Dirga tidak boleh melihatnya marah. Setelah menenangkan diri, dia mengetuk pintu ruang direktur dan mulai menceritakan kejadian yang dialami tadi di sekolah. Tentu saja, menyembunyikan bagian Reynand yang mengancam.
“Terima kasih, Elea. Kamu sudah membantuku,” ucap Dirga tulus.
“Sudah seharusnya, Pak.”
“Ah, karena kebaikanmu, izinkan aku menraktirmu makan siang.”
“Eh, nggak perlu, Pak.” Eleanor menggeleng.
Dirga bangkit dari kursi dan menghampiri Eleanor. "Kamu lupa, kalau kita ada meeting? Sekalian makan sambil bahas urusan kerjaan."
“Oh, benar. Baiklah, kita pergi sekarang.”
Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu. Di ruangan besar yang menghubungkan ruangan direktur dan lift terdapat ruangan karyawan HRD. Semua berdiri mengangguk melihat direktur keluar. Para pegawai wanita menyipitkan mata, melihat Eleanor tampak cantik memukau dan berjalan akrab di samping direktur.
“Restoran yang Elea pilih menyediakan menu makanan sehat, Pak. Ingat, jangan memesan yang berkolesterol tinggi, ya.” Kata-kata Eleanor membuat Dirga tertawa keras.
“Kamu persis dengan almarhum istriku, Elea. Banyak aturan.”
Semua yang melihat adegan itu terkesiap kaget. Dirga direktur mereka yang terkenal galak, tertawa gembira di samping sekretaris cantiknya. Eleanor yakin, mereka pasti bertanya-tanya hubungannya dengan sang bos yang berstatus duda. Sudah banyak rumor yang dia dengar dan memilih untuk mengabaikan.
***
Nyatanya, meski berkedok makan siang tetap saja pekerjaan, menurut Eleanor. Di restoran, dia dan Dirga terlibat pembicaraan serius dengan tim marketing yang sengaja dipanggil untuk rapat.
“Produk ini bisa kita promosikan segera, Pak. Dengan belanja iklan yang besar untuk event olahraga yang melibatkan para perempuan, saya yakin akan mendongkrak produk ini.” Hendrik menunjukkan produk yang dia bicarakan, sebuah sabun mandi.
“Tapi itu produk lama kita, dulu andalan kita. Makanya kamu cari tahu apa masalahnya dan kenapa akhir-akhir ini penjualannya merosot tajam.” Dirga mengamati kepala marketing-nya yang terlihat bingung. “Bagaimana menurutmu, Eleanor? Apakah kita perlu belanja iklan lebih banyak untuk produk ini?” Eleanor yang tengah merapikan dokumen di meja, mendongak dan tersenyum menghampiri mereka berdua yang tengah duduk di sofa.
“Sabun ini wangi, andalan bagi generasi sebelum saya, Pak. Saran saya, bagaimana kalau kita ganti kemasan dan iklan dengan model baru yang masih fresh? Jadi kesannya seperti produk lama yang terlahir kembali. Harus dicantumkan juga komposisi masih tetap yang lama hanya saja kemasan baru.”
“Bagaimana dengan saran Eleanor, Pak Hendrik?” Dirga bertanya serius ke arah Hendrik yang kebingungan.
“Hal itu pernah terpikir, Pak. Memang daripada belanja iklan dengan uang besar, akan lebih mudah bila mengganti kemasan. Tapi tetap saja desainnya belum ada yang bagus.”
“Bagaimana kalau kita adakan lomba desain, Pak? Selain untuk mencari desain produk yang bagus, sekaligus promosi buat produk ini.” Eleanor memberi usul.
“Ah, iya. Anda benar, Bu.” Hendrik menjawab gembira.
“Ya sudah, deal kalau begitu.”
Mereka sepakat mengganti kemasan dan mengadakan lomba desain. Hendrik keluar ruangan dengan hati lega. Menganggukkan kepala tanda terima kasih pada Eleanor dan melangkah keluar. Pantas saja Pak Direktur menyukainya. Dia memang sekretaris yang cerdas.
“Hari ini aku pulang cepat, Eleanor. Mau memberi pelajaran pada cucu kesayanganku."
“Iya, Pak. Kontrol emosi, jangan marah-marah. Ingat besok masih banyak meeting.”
“Iya, Sekretarisku Tersayang.” Dirga tersenyum mengerti.
“Ah ... lu gila, Bro! Bisa-bisanya bawa nama kakek buat alasan.” Roki menggeleng sambil melihat Reynand yang tengah duduk santai makan mi ayam. Sore itu sekolah sudah sepi. Mereka duduk di samping warung Sarjo. Reynand yang wajahnya masih lebam-lebam mengedikkan bahu. Di depannya ada Roki dan Dedy. Sebenarnya, dia bisa saja mengatakan kalau sekretaris sang kakek datang menyelamatkannya, tetapi entah kenapa dia merasa enggan bicara soal wanita itu.“Terpaksa. Itu guru tiba-tiba nongol di depan gue. Ya alasan yang kepikir cuma Kakek.”“Ckckck. Pantesan lu dapat hukuman dobel. Udah lari, nyapu halaman pula.” Dedy menimpali.“Udah, jangan ingetin gue lagi. Sebenarnya cewek yang mereka bela itu yang mana orangnya?” Reynand bertanya pada Roki yang duduk di depannya.“Udah gue cari tahu. Si Sherly itu yang cewek kelas 2. Centil, rambut cokelat sebahu.” Dedy memberi tanda di bahunya.“Si cen
Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.&ldq
Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.“Upz,Miss Universedatang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, ngg
Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Dirga akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Dirga mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan.Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakeknya akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.“Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?” Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihanbandjadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.“Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan mala
Malam yang ramai, jalanan masih sibuk meski jam pulang kerja telah lewat. Pekerjaan yang menumpuk membuat Eleanor terpaksa menunda jam pertemuan. Lebih lambat dua jam dari waktu yang disepakati, setelah pemberitahuan sebelumnya Ferdinand setuju waktu diundurkan.“Kak, apa aku sudah kelihatan cantik?” Juwita mengedipkan mata ke arah Eleanor yang tengah menyetir. Wajahnya yang bulat montok sangat menggemaskan.“Sangat, seperti boneka. Inimeetingbiasa bukan ikut kontes kecantikan. Santai saja, Juwita.” Eleanor menenangkan Juwita yang sepertinya sangat gelisah.“Aku juga maunya begitu, Kak. Dirimu enak. Langsing, cantik, tirus, mau pakaimake-upatau nggak tetap saja cantik.”“Hahaha! Dan kamu montok menggemaskan. Banyak yang bilang padaku melihatmu seperti melihat boneka lucu dan ingin dimiliki.”“Benarkah? Siapa yang bilang begitu, Kak? Pegawai dari bagian m
Setelah peristiwa malam itu, Reynand lebih banyak mengurung diri di kamar sampai waktu pemberangkatan kakeknya ke Eropa. Dia tahu semua orang di perusahaan tengah sibuk, tetapi itu bukan urusannya. Terlebih setelah pertemuannya dengan Eleanor dan berakhir dengan dia mencium wanita itu. Sampai sekarang dia tak habis pikir kenapa melakukan perbuatan seperti itu. Eleanor memang meremehkannya, tetapi bukan berarti dia harus mencium wanita itu. Terkadang, dia merasa gila karena berbuat nekat.Seperti biasa, pulang sekolah dan selesai makan malam, Reynand mengutak-atik komputernya atau bermain gitar. Pikirannya mengembara pada perkenalannya dengan Cindy, yang seperti perkiraannya nyaris tanpa halangan. Dibandingkan Renata, Cindy memang kalah cantik, tetapi dia punya sesuatu yang manis dalam dirinya. Caranya tertawa membuat orang lain betah mengobrol lama-lama dengannya.“Menurut lu Cindy gimana?” Dedy bertanya penasaran karena dilihatnya Reynand tenang-tenang saj
Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan,gerutunya dalam hati.Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat.Headsetterpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.“Selamat pagi, Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana denganmeetinghari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon
Setelah peristiwa malam itu, Reynand lebih banyak mengurung diri di kamar sampai waktu pemberangkatan kakeknya ke Eropa. Dia tahu semua orang di perusahaan tengah sibuk, tetapi itu bukan urusannya. Terlebih setelah pertemuannya dengan Eleanor dan berakhir dengan dia mencium wanita itu. Sampai sekarang dia tak habis pikir kenapa melakukan perbuatan seperti itu. Eleanor memang meremehkannya, tetapi bukan berarti dia harus mencium wanita itu. Terkadang, dia merasa gila karena berbuat nekat.Seperti biasa, pulang sekolah dan selesai makan malam, Reynand mengutak-atik komputernya atau bermain gitar. Pikirannya mengembara pada perkenalannya dengan Cindy, yang seperti perkiraannya nyaris tanpa halangan. Dibandingkan Renata, Cindy memang kalah cantik, tetapi dia punya sesuatu yang manis dalam dirinya. Caranya tertawa membuat orang lain betah mengobrol lama-lama dengannya.“Menurut lu Cindy gimana?” Dedy bertanya penasaran karena dilihatnya Reynand tenang-tenang saj
Malam yang ramai, jalanan masih sibuk meski jam pulang kerja telah lewat. Pekerjaan yang menumpuk membuat Eleanor terpaksa menunda jam pertemuan. Lebih lambat dua jam dari waktu yang disepakati, setelah pemberitahuan sebelumnya Ferdinand setuju waktu diundurkan.“Kak, apa aku sudah kelihatan cantik?” Juwita mengedipkan mata ke arah Eleanor yang tengah menyetir. Wajahnya yang bulat montok sangat menggemaskan.“Sangat, seperti boneka. Inimeetingbiasa bukan ikut kontes kecantikan. Santai saja, Juwita.” Eleanor menenangkan Juwita yang sepertinya sangat gelisah.“Aku juga maunya begitu, Kak. Dirimu enak. Langsing, cantik, tirus, mau pakaimake-upatau nggak tetap saja cantik.”“Hahaha! Dan kamu montok menggemaskan. Banyak yang bilang padaku melihatmu seperti melihat boneka lucu dan ingin dimiliki.”“Benarkah? Siapa yang bilang begitu, Kak? Pegawai dari bagian m
Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Dirga akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Dirga mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan.Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakeknya akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.“Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?” Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihanbandjadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.“Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan mala
Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.“Upz,Miss Universedatang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, ngg
Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.&ldq
“Ah ... lu gila, Bro! Bisa-bisanya bawa nama kakek buat alasan.” Roki menggeleng sambil melihat Reynand yang tengah duduk santai makan mi ayam. Sore itu sekolah sudah sepi. Mereka duduk di samping warung Sarjo. Reynand yang wajahnya masih lebam-lebam mengedikkan bahu. Di depannya ada Roki dan Dedy. Sebenarnya, dia bisa saja mengatakan kalau sekretaris sang kakek datang menyelamatkannya, tetapi entah kenapa dia merasa enggan bicara soal wanita itu.“Terpaksa. Itu guru tiba-tiba nongol di depan gue. Ya alasan yang kepikir cuma Kakek.”“Ckckck. Pantesan lu dapat hukuman dobel. Udah lari, nyapu halaman pula.” Dedy menimpali.“Udah, jangan ingetin gue lagi. Sebenarnya cewek yang mereka bela itu yang mana orangnya?” Reynand bertanya pada Roki yang duduk di depannya.“Udah gue cari tahu. Si Sherly itu yang cewek kelas 2. Centil, rambut cokelat sebahu.” Dedy memberi tanda di bahunya.“Si cen
Benar dugaannya, gerbang sekolah sudah tutup. Reynand mengeluh dalam hati, mencari akal, dia memarkir motor di dekat warung samping sekolahan.“Mang, gue nitip dulu, ya.”“Mau ngapain lu lewat belakang? Tadi gue lihat ada yang ketangkap lewat sana.” Sarjo pemilik warung memberitahu dengan waswas.“Itu urusan entar. Gue jalan dulu.” Dia berlari secepat kilat meninggalkan Sarjo, menuju halaman belakang sekolah. Melemparkan tas lebih dulu, selanjutnya memakai ranting pohon yang menjorok keluar dari pohon di dalam halaman, Reynand memanjat pelan. Dengan lompatan ringan dia mendarat selamat di halaman belakang sekolah. Dia terperangah kaget melihat Hadi berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa senyum. Guru olahraga yang terkenal angker saat ini tengah memegang penggaris besi di tangannya.Aduh, mati gue!“Bagus sekali ya, Reynand. Sangat teladan kamu.” Hadi menegurnya dengan pelan.“Maa
Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan,gerutunya dalam hati.Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat.Headsetterpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.“Selamat pagi, Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana denganmeetinghari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon