“Ah ... lu gila, Bro! Bisa-bisanya bawa nama kakek buat alasan.” Roki menggeleng sambil melihat Reynand yang tengah duduk santai makan mi ayam. Sore itu sekolah sudah sepi. Mereka duduk di samping warung Sarjo. Reynand yang wajahnya masih lebam-lebam mengedikkan bahu. Di depannya ada Roki dan Dedy. Sebenarnya, dia bisa saja mengatakan kalau sekretaris sang kakek datang menyelamatkannya, tetapi entah kenapa dia merasa enggan bicara soal wanita itu.
“Terpaksa. Itu guru tiba-tiba nongol di depan gue. Ya alasan yang kepikir cuma Kakek.”
“Ckckck. Pantesan lu dapat hukuman dobel. Udah lari, nyapu halaman pula.” Dedy menimpali.
“Udah, jangan ingetin gue lagi. Sebenarnya cewek yang mereka bela itu yang mana orangnya?” Reynand bertanya pada Roki yang duduk di depannya.
“Udah gue cari tahu. Si Sherly itu yang cewek kelas 2. Centil, rambut cokelat sebahu.” Dedy memberi tanda di bahunya.
“Si centil dari gua hantu.” Jawaban Reynand membuat Roki dan Dedy tertawa ngakak.
“Emang bener. Tiap kali lihat gue langsung ngedip-ngedipin mata. Gue bingung dia itu kelilipan atau apa.”
“Naksir itu, Bro.” Roki tertawa menimpali.
“Peduli setan! Semua cewek sama aja.” Reynand mengambil gelas dan minum langsung dalam sekali teguk.
“Lu harusnya bilang aja ada macet atau kecelakaan gitu. Jadi alasan masuk akal dikit.” Dedy mengusulkan, tangannya mencomot krupuk pangsit dari mangkuk Reynand.
“Uh, nggak kepikiran. Entar malam lihat gimana. Yang gue nggak habis pikir bisa-bisanya itu sekretaris Kakek gue bilang kalau gue layak dapat hukuman berat.” Reynand meletakkan sumpitnya. Mi ayam kali ini rasanya nggak keruan.
“Lu nggak tahu aja, sekretaris itu biasanya emak-emak dan mereka emang resek.” Roki berkata sambil mengelus rambutnya yang seperti rambut jagung. Kata-katanya diamini oleh Dedy.
Perkataan mereka disangkal Reynand dalam hati. Karena sekretaris kakeknya jauh dari gambaran emak-emak. Kalau dilihat secara objektif, justru sangat cantik dan seksi. Sikapnya yang sok ngatur membuat dia tidak menyukai wanita itu.
“Bodo amat. Gue pulang sekarang. Paling juga diomelin.” Reynand bangkit dari duduknya, lalu mengemasi tas dan mengambil helm.
“Lu nggak mau ikut kita? Ada Anjas sama Topan mau datang!” teriak Dedy.
Mereka selalu berlima, dari kelas satu sudah berkawan akrab.
“Males gue. Palingan juga main biliar.” Reynand menstarter motor, memakai helm lalu melaju pelan keluar sekolah menuju jalanan besar.
Sore hari menjelang jam sibuk orang pulang kantor, jalanan penuh asap dan mobil yang berjalan pelan karena macet. Sepanjang jalan Reynand memperhatikan wajah-wajah lelah dan terburu-buru hingga nyaris ada kecelakaaan karena menerobos lampu merah. Pada nggak sayang ama nyawa. Reynand menggumam melihat kekacaun di depannya.
Rumah tampak sepi dari luar, kemegahannya terasa mencekam. Reynand membawa motornya memasuki halaman dan melihat mobil kakeknya sudah ada di parkiran. Dia bergerak sepelan mungkin tanpa menimbulkan suara. Dalam hati berharap, sang kakek tidak memergokinya pulang. Dengan mengendap-endap, dia masuk dan terburu-buru naik ke loteng.
“Dari mana kamu? Kakek sudah menunggu dari tadi.”
Suara teguran membuat langkah Reynand di dasar tangga terhenti. Membalikkan badan dan melihat kakeknya berdiri di sudut ruang tamu. Cerutu ada di tangan kanan sang kakek. “Kakek, kata dokter nggak boleh mengisap cerutu lagi.”
“Mulai kapan kamu perhatian sama Kakek? Sini mendekat!”
Dengan enggan Reynand mendekati kakeknya. Dirga langsung mengernyit melihat luka-luka di wajah Reynand.
“Bagus sekali kamu. Kakek sekolahin cuma buat tawuran.”
“Rey nggak ngajak tawuran, Kakek. Mereka yang mulai lebih dulu. Masa' Rey nggak ngelawan kalau dikeroyok?”
“Hah, banyak alasan saja! Lain kali tawuran lagi, Kakek akan masukin kamu ke penjara. Sini dompetnya!”
“Jangan, Kakek.” Reynand meringis dengan wajah memelas.
“Sini kata Kakek!”
Dengan terpaksa Reynand menyerahkan dompet pada kakeknya. Dirga membuka dan mengambil kartu kredit beserta ATM.
“Kali ini Kakek tahan seminggu. Kalau kamu berulah lagi, akan Kakek buang ini dua kartu.”
“Kartu kredit ambil nggak apa-apa, tapi ATM, Kek? Reynand gimana bisa hidup?” Rasanya ngeri membayangkan bahwa dia tidak memegang uang sepeser pun.
“Kakek akan jatah kamu uang tunai, tiap pagi kamu ambil dari Bibi!”
“Kek, gini amat hukumannya, sih! Pasti sekretaris resek itu bilang macam-macam soal aku!” Reynand memprotes keras. Benaknya berpikir jika semua sikap kakeknya pasti karena ulah wanita yang datang ke sekolahnya siang tadi.
Dirga mengernyit. “Kenapa kamu bawa-bawa Elea?” Sejurus kemudian dia batuk-batuk kecil. Sebelum mendengar Reynand mengomel, dia matikan cerutu. “Sudah bagus Elea mau bantu kamu. Kalau aku, sudah pasti aku suruh kamu dipenjara!”
Reynand mendengkus tak percaya mendengar perkataan sang kakek. “Kenapa Kakek makin hari makin sadis, sih?”
“Biar saja, siapa suruh kamu makin susah diatur!”
“Tapi--”
Tanpa banyak kata, Dirga langsung berjalan meninggalkan Reynand yang mengacak-acak rambutnya
dan memaki dalam hati.***
Malam ini suasana rumah tampak damai. Sementara papa dan mamanya tengah asyik nonton tayangan TV. Eleanor merapikan tempat tidur. Pikirannya penuh dengan rencana kerja besok, juga catatan yang harus dirapikan. Terdengar ketukan di pintu, menyadarkan Eleanor dari pikirannya yang ruwet.
“Masuk!”
Pintu didorong terbuka dan tampaklah sesosok anak laki-laki berumur sepuluh tahunan duduk di atas kursi roda. Mengayuh kursi roda menggunakan kedua tangannya, anak laki-laki itu tersenyum cerah. Wajahnya yang tampan terlihat bercahaya.
“Kak Elea belum tidur, 'kan? Andro mau bilang sesuatu.”
“Ada apa?” Eleanor duduk di ranjang, mengawasi adiknya yang membawa sesuatu di tangannya dan menyerahkan ke tangan Eleanor.
“Bagus nggak, Kak? Lukisanku.”
Eleanor mangamati lukisan di tangannya dengan terperangah. Ini bagus banget! teriaknya dalam hati.
“Wah ... hebat sekali, Sayang. Luar biasa indah.” Eleanor memuji, mengelus dengan sayang rambut adiknya.
Aleandro adik Eleanor semata wayang. Dulu dia anak yang periang sampai kecelakaan merenggut kakinya. Sekarang kaki itu bagaikan mati, harus ditopang oleh kursi roda. Aleandro yang periang berubah menjadi pendiam dan tertutup.
“Mau kamu apakan lukisan ini? Dipajang di dinding sekolah?”
“Nggak, Kak. Itu cuma iseng saja.” Aleandro menjawab lirih.
Eleanor mengembuskan napas panjang dan mendongakkan wajah adiknya yang tertunduk. “Jangan malu. Lukisanmu ini bagus sekali. Tidak banyak orang bisa membuat seperti ini.”
“Ah, itu Kakak saja yang bilang. Orang lain belum tentu.”
“Tapi ini beneran hebat. Kuda dalam lukisan ini seperti hidup dan nyata.”
“Ya udah terserah Kakak. Ambil kalau mau. Aku mau kembali ke kamar.” Mengayuh kursi roda dengan kedua tangannya, Aleandro kembali ke kamar dengan muram.
Eleanor sedikit kecewa dengan adiknya. Dia berpikir sang adik harusnya bisa sedikit lebih percaya diri.
“Elea, apa kamu sibuk?” Mamanya muncul dari balik pintu yang terbuka.
“Nggak, Ma. Ada apa?”
“Itu ... besok ada terapi, dan obat Aleandro sudah habis, Sayang.” Mamanya berkata dengan nada sedikit malu.
Eleanor berjalan menuju meja dan meraih dompet yang ada di dalam tas. Mengambil uang dan menyerahkan kepada mamanya. “Ini, Ma. Lain kali Mama hitung aja butuh berapa biar Elea ngasihnya sekalian.”
“Mama sebenarnya nggak mau juga, Sayang. Tapi usaha Papamu akhir-akhir ini agak sepi.”
Eleanor memikirkan usaha keluarga mereka, toko roti kecil yang dulu sangat digemari di daerah sini. Namun, seiring kemajuan zaman dan banyak bermunculannya produk roti di minimarket membuat usaha mereka meredup.
“Iya, Mama. Elea paham. Nggak apa-apa.”
Mama tersenyum dan meninggalkan Eleanor sendiri.
Tabunganku makin menipis. Mudah-mudahan cukup bila Aleandro harus melakukan operasi. Elenaor menatap langit-langit kamar dengan sedih.
Namun, nyatanya semua berjalan di luar perkiraan Eleanor. Toko roti papanya semakin lama semakin sepi hingga akhirnya harus sering tutup karena tidak ada pembeli. Praktis seluruh biaya hidup keluarga ditanggung oleh Eleanor seorang diri. Papanya pernah mengusulkan ide untuk mencari kerja, tetapi ditolak. Dengan kondisi sang papa yang sering batuk, lebih baik kalau Eleanor saja yang bekerja.
Mendesah resah, Eleanor tenggelam dalam pekerjaannya yang dibawa ke rumah menemani malam-malamnya.
***
Suasana sekolah sangat riuh. Murid-murid berhamburan keluar untuk istirahat siang. Sepanjang lorong di depan kelas penuh tawa mereka. Di kantin luar biasa ramai, semua berebut memesan makanan atau sekadar minum es untuk menyegarkan tenggorokan.
“Bro, cewek itu nglihatin lu.” Topan menyenggol lengan Reynand yang tengah memegang gelas berisi es kopi. Reynand menoleh untuk melihat siapa cewek yang dimaksud Topan. Mereka berlima, seperti biasanya duduk mengelilingi meja panjang.
“Skala 1 sampai 10, nilai 7.” Roki bergumam.
“Ehm, kulit putih tapi kurang suka dengan style rambutnya. Nilai 5.” Anjas berkata tak setuju.
“Ah, lu selalu lihat style. Sesekali lihat betapa bohay dia.”
Ketika teman-temannya sibuk berargumentasi, Reynand diam-diam memperhatikan cewek itu. Kulit putih, mata bulat, rambut berombak, dan bodi seksi. Cewek itu akan jadi tangkapan lumayan untuknya.
“Siapa dia?” Reynand bertanya pada Dedy.
“Temen sekelas gue, namanya Renata. Top five di kelas.” Dedy menjelaskan dengan bangga.
“Kayak gitu top five berarti cewek kelas lu parah semua!” Anjas mencela Dedy.
“Eh lu, kita semua tahu selera lu kayak gimana. Yang manis, lembut, tubuh aduhai. Jangan-jangan lu hombreng lagi.” Dedy berkata dengan sinis ke arah Anjas.
“Sialan lu!” Anjas menggebuk Dedy. Kemudian, Dedy balas menggebuk.
Suasana meja mereka ribut sekali. Seluruh sekolah tahu kelompok Reynand terkenal karena mereka semua berparas lumayan cakep. Reynand yang terkenal playboy dengan wajah ganteng sinis dan rambutnya agak panjang, mata tajam dan tindikan di kuping kiri. Seluruh sekolah tahu, Reynand suka memakai anting di luar jam sekolah. Lalu ada Anjas dengan wajah luar biasa tampan bahkan bisa dibilang nyaris cantik untuk ukuran laki-laki. Roki yang berbadan kekar seperti binaragawan karena hobi ke gym. Dedy dengan tubuh tinggi tegap adalah andalan sekolah untuk atlet basket. Dan Topan sang maestro musik, tidak akan ada gadis yang tidak meleleh bila mendengar Topan bernyanyi sambil main musik.
“Gue mau deketin dia. Pastiin dia bukan cewek anak sekolahan mana atau pacar siapa. Gue nggak mau ribet.” Reynand bangkit dari duduknya dan menunjuk Dedy.
“Eih, tapi lu kan lagi jalan sama Joyce?” Anjas mengingatkan Reynand.
“Trus?”
“Yah, bakalan ada perang.” Roki menimpali.
“Persetan. Mereka yang menyodorkan diri dan gue kagak maksa. Kagak pernah juga bilang kalau mau pacaran.” Reynand berjalan menjauh dengan langkah malas. Banyak cewek yang melihat dia terkikik geli, mencuri-curi pandang. Dan Reynand seperti biasanya berjalan cuek seakan-akan neraka membeku pun dia tidak peduli.
“Halo, gue Reynand.” Cewek yang disapa olehnya langsung terperangah dengan wajah memerah.
“Aku Renata,” sahutnya malu-malu.
“Ini nomor HP gue. SMS kalau kamu ada waktu buat jalan.” Reynand menulis nomor HP-nya di selembar tisu yang dia cabut dari atas meja.
“Bye, Ladies.” Berkata terakhir kali sambil mengedipkan mata ke arah cewek-cewek lain yang duduk semeja dengan Renata, dia berjalan menjauh diikuti oleh temannya yang lain.
“Oh My God, Reynand ganteng sekali.” Salah seorang teman Renata yang berambut keriting memandang Reynand dengan memuja.
“Aku lebih suka Anjas, imut.” Temannya yang berkacamata menimpali.
“Ah, mereka semua oke, tapi aku bakalan bahagia kayak Renata kalau bisa kencan dengan Reynand.”
Dan bisik-bisik para gadis sampai pada telinga Renata yang hatinya berdebar dan wajahnya memerah bahagia.
Di sudut kantin, sekelompok murid laki-laki memandang Reynand dengan tatapan tidak suka. Bukan hanya tidak suka, tetapi benci.
“Lihat, Renata pun kena ama dia.” Salah seorang di antara mereka menyenggol cowok dengan badan besar yang menatap Renata dengan marah.
“Lu lama sih!” timpal cowok yang lain.
“Tahu kalau si berengsek itu beraksi kayak gimana.”
“Diam lu pade! Berisik!” Cowok yang badannya tinggi dengan tato kecil tersembul dari lengannya yang tertutup seragam sekolah itu menggertak marah. “Sialan dia! Kalau sampai dia berani sentuh Renata, gue habisin dia!” Menggebrak meja dan memecahkan gelas, cowok bertato itu melangkah pergi dengan geram diikuti oleh anggota gengnya yang lain.
***
Suasana meja tempat mereka makan siang dan meeting hari ini sangat tegang. Berkali-kali proposal yang diajukan oleh Dirga ditolak mentah-mentah. Ada beberapa kesepakatan yang dianggap kurang menguntungkan buat mereka dan ingin merevisinya. Semakin lama negosiasi berjalan semakin alot.
“Kita sudah lama saling mengenal, Pak Haris. Tidak bisakah sedikit lebih bijak dengan saya? Hanya ingin sedikit revisi di poin ke-5.”
“Kami paham, Pak Dirga. Tapi kalau kami merevisi, maka keuntungan kami berkurang dan risiko akan menjadi lebih besar.”
Mendengar jawaban Haris, Dirga menghela napas panjang dan memandang Eleanor.
“Boleh saya bicara, Bapak Direktur semua yang terhormat?” Suara merdu Eleanor mengagetkan mereka.
“Tentu, silakan.”
Eleanor memperhatikan rombongan yang dibawa Haris hari ini. Selain dia sendiri ada sekretaris dia. Seorang lelaki tampan dalam balutan jas mewah yang gaya. Berumur sekitar awal tiga puluhan. Dan adik Haris yang sedari tadi hanya makan terlihat tidak peduli. Namun, saat-saat tertentu Eleanor memperhatikan mata Haris yang seakan-akan meminta persetujuan adiknya itu. Dia orang penting, tapi berlagak tidak penting. Diam-diam Eleanor mengamati.
“Kalau memang poin 5 tidak bisa direvisi dengan asumsi yang Bapak kemukakan, bagaimana kalau kita buat penambahan pasal?”
“Maksudnya?” tanya Haris.
Eleanor tersenyum dan membuka dokumen yang dipegangnya di atas meja. “Kita tetap berpatok pada poin 5 dengan penambahan catatan, jika dalam 5 tahun sesuai perjanjian, keuntungan menjadi lebih tinggi 50% dari perkiraan semula, maka otomatis pembagian laba akan meningkat sebanyak 20% dari yang tertera di poin 5. Ingat, dalam jangka 5 tahun ke depan.” Eleanor menjabarkan dengan teliti, semua mendengarkan dan menyimak. “Bagaimana, Bapak Direktur semua? Ini hanya usulan yang saya harap akan menguntungkan kedua belah pihak.”
“Ehm, usulan bagus. Layak dipertimbangkan.” Saudara Haris yang sedari tadi hanya makan tiba-tiba menghentikan aktivitasnya mengupas udang. Mengelap tangannya dengan tisu dan mengambil berkas yang terbuka di atas meja. “Saya suka dengan penambahan pasal ini. Deal kalau begitu, Pak Dirga.” Tangannya menyalami Dirga yang tersenyum senang. “Selamat atas revisi kerja sama kita yang baru. Saya tunggu kontraknya di kantor saya lusa jam satu siang.”
“Baik, Pak.” Haris bangkit diikuti oleh sekretarisnya dan juga laki-laki yang ternyata adalah saudara tuq Haris yang otomatis bernama Haris juga.
“Kami pamit dulu, Pak. Masih banyak yang harus kami kerjakan. Dan jika suatu saat Bapak hendak memecat nona cantik yang cerdas ini, tolong biarkan dia bekerja dengan saya.”
Semua tertawa mendengar kata-kata Haris.
“Tanpa dia saya tidak bisa apa-apa, Pak.” Dirga menjawab dengan tertawa.
Para direktur saling tukar tawa, sekretaris Haris mendekati Eleanor dan menyodorkan kartu nama. “Nama saya Ferdinand. Panggil saja Ferdi. Dan untuk selanjutnya silakan kontak saya.”
Eleanor tersenyum dan menyerahkan kartu namanya ke tangan Ferdinand. “Baik, terima kasih. Saya Eleanor.”
“Kerja yang bagus, Eleanor. Kamu hebat.” Ferdinand menatap Eleanor dengan mata berbinar.
“Ah, sudah tanggung jawab saya, Pak Ferdi.”
“Panggil nama saja, biar tidak kelihatan terlalu tua dipanggil pak.”
Eleanor tertawa. Matanya bersinar dan deretan gigi putihnya memikat Ferdinand.
“Jika ada pertanyaan apa pun, jangan sungkan untuk bertanya. Kapan saja.”
“Baiklah, terima kasih.” Eleanor mengangguk sopan.
“Sampai jumpa.” Ferdinand berpamitan dan mengiringi langkah Haris bersaudara. Matanya terakhir kali menatap Eleanor dengan pandangan tertarik.
“Kamu hebat, Elea Sayang.” Dirga duduk kembali di kursinya dan minum air putih dari gelas di depannya.
“Bapak yang mengajari saya selama ini.” Eleanor mulai merapikan berkas yang sedikit berserakan di atas meja. Dimasukkan dalam tasnya dan mulai duduk kembali menikmati makan siangnya yang tertunda. Lumayan, hari ini negosiasi berjalan sukses.
Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.&ldq
Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.“Upz,Miss Universedatang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, ngg
Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Dirga akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Dirga mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan.Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakeknya akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.“Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?” Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihanbandjadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.“Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan mala
Malam yang ramai, jalanan masih sibuk meski jam pulang kerja telah lewat. Pekerjaan yang menumpuk membuat Eleanor terpaksa menunda jam pertemuan. Lebih lambat dua jam dari waktu yang disepakati, setelah pemberitahuan sebelumnya Ferdinand setuju waktu diundurkan.“Kak, apa aku sudah kelihatan cantik?” Juwita mengedipkan mata ke arah Eleanor yang tengah menyetir. Wajahnya yang bulat montok sangat menggemaskan.“Sangat, seperti boneka. Inimeetingbiasa bukan ikut kontes kecantikan. Santai saja, Juwita.” Eleanor menenangkan Juwita yang sepertinya sangat gelisah.“Aku juga maunya begitu, Kak. Dirimu enak. Langsing, cantik, tirus, mau pakaimake-upatau nggak tetap saja cantik.”“Hahaha! Dan kamu montok menggemaskan. Banyak yang bilang padaku melihatmu seperti melihat boneka lucu dan ingin dimiliki.”“Benarkah? Siapa yang bilang begitu, Kak? Pegawai dari bagian m
Setelah peristiwa malam itu, Reynand lebih banyak mengurung diri di kamar sampai waktu pemberangkatan kakeknya ke Eropa. Dia tahu semua orang di perusahaan tengah sibuk, tetapi itu bukan urusannya. Terlebih setelah pertemuannya dengan Eleanor dan berakhir dengan dia mencium wanita itu. Sampai sekarang dia tak habis pikir kenapa melakukan perbuatan seperti itu. Eleanor memang meremehkannya, tetapi bukan berarti dia harus mencium wanita itu. Terkadang, dia merasa gila karena berbuat nekat.Seperti biasa, pulang sekolah dan selesai makan malam, Reynand mengutak-atik komputernya atau bermain gitar. Pikirannya mengembara pada perkenalannya dengan Cindy, yang seperti perkiraannya nyaris tanpa halangan. Dibandingkan Renata, Cindy memang kalah cantik, tetapi dia punya sesuatu yang manis dalam dirinya. Caranya tertawa membuat orang lain betah mengobrol lama-lama dengannya.“Menurut lu Cindy gimana?” Dedy bertanya penasaran karena dilihatnya Reynand tenang-tenang saj
Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan,gerutunya dalam hati.Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat.Headsetterpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.“Selamat pagi, Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana denganmeetinghari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon
Benar dugaannya, gerbang sekolah sudah tutup. Reynand mengeluh dalam hati, mencari akal, dia memarkir motor di dekat warung samping sekolahan.“Mang, gue nitip dulu, ya.”“Mau ngapain lu lewat belakang? Tadi gue lihat ada yang ketangkap lewat sana.” Sarjo pemilik warung memberitahu dengan waswas.“Itu urusan entar. Gue jalan dulu.” Dia berlari secepat kilat meninggalkan Sarjo, menuju halaman belakang sekolah. Melemparkan tas lebih dulu, selanjutnya memakai ranting pohon yang menjorok keluar dari pohon di dalam halaman, Reynand memanjat pelan. Dengan lompatan ringan dia mendarat selamat di halaman belakang sekolah. Dia terperangah kaget melihat Hadi berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa senyum. Guru olahraga yang terkenal angker saat ini tengah memegang penggaris besi di tangannya.Aduh, mati gue!“Bagus sekali ya, Reynand. Sangat teladan kamu.” Hadi menegurnya dengan pelan.“Maa
Setelah peristiwa malam itu, Reynand lebih banyak mengurung diri di kamar sampai waktu pemberangkatan kakeknya ke Eropa. Dia tahu semua orang di perusahaan tengah sibuk, tetapi itu bukan urusannya. Terlebih setelah pertemuannya dengan Eleanor dan berakhir dengan dia mencium wanita itu. Sampai sekarang dia tak habis pikir kenapa melakukan perbuatan seperti itu. Eleanor memang meremehkannya, tetapi bukan berarti dia harus mencium wanita itu. Terkadang, dia merasa gila karena berbuat nekat.Seperti biasa, pulang sekolah dan selesai makan malam, Reynand mengutak-atik komputernya atau bermain gitar. Pikirannya mengembara pada perkenalannya dengan Cindy, yang seperti perkiraannya nyaris tanpa halangan. Dibandingkan Renata, Cindy memang kalah cantik, tetapi dia punya sesuatu yang manis dalam dirinya. Caranya tertawa membuat orang lain betah mengobrol lama-lama dengannya.“Menurut lu Cindy gimana?” Dedy bertanya penasaran karena dilihatnya Reynand tenang-tenang saj
Malam yang ramai, jalanan masih sibuk meski jam pulang kerja telah lewat. Pekerjaan yang menumpuk membuat Eleanor terpaksa menunda jam pertemuan. Lebih lambat dua jam dari waktu yang disepakati, setelah pemberitahuan sebelumnya Ferdinand setuju waktu diundurkan.“Kak, apa aku sudah kelihatan cantik?” Juwita mengedipkan mata ke arah Eleanor yang tengah menyetir. Wajahnya yang bulat montok sangat menggemaskan.“Sangat, seperti boneka. Inimeetingbiasa bukan ikut kontes kecantikan. Santai saja, Juwita.” Eleanor menenangkan Juwita yang sepertinya sangat gelisah.“Aku juga maunya begitu, Kak. Dirimu enak. Langsing, cantik, tirus, mau pakaimake-upatau nggak tetap saja cantik.”“Hahaha! Dan kamu montok menggemaskan. Banyak yang bilang padaku melihatmu seperti melihat boneka lucu dan ingin dimiliki.”“Benarkah? Siapa yang bilang begitu, Kak? Pegawai dari bagian m
Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Dirga akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Dirga mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan.Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakeknya akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.“Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?” Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihanbandjadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.“Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan mala
Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.“Upz,Miss Universedatang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, ngg
Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.&ldq
“Ah ... lu gila, Bro! Bisa-bisanya bawa nama kakek buat alasan.” Roki menggeleng sambil melihat Reynand yang tengah duduk santai makan mi ayam. Sore itu sekolah sudah sepi. Mereka duduk di samping warung Sarjo. Reynand yang wajahnya masih lebam-lebam mengedikkan bahu. Di depannya ada Roki dan Dedy. Sebenarnya, dia bisa saja mengatakan kalau sekretaris sang kakek datang menyelamatkannya, tetapi entah kenapa dia merasa enggan bicara soal wanita itu.“Terpaksa. Itu guru tiba-tiba nongol di depan gue. Ya alasan yang kepikir cuma Kakek.”“Ckckck. Pantesan lu dapat hukuman dobel. Udah lari, nyapu halaman pula.” Dedy menimpali.“Udah, jangan ingetin gue lagi. Sebenarnya cewek yang mereka bela itu yang mana orangnya?” Reynand bertanya pada Roki yang duduk di depannya.“Udah gue cari tahu. Si Sherly itu yang cewek kelas 2. Centil, rambut cokelat sebahu.” Dedy memberi tanda di bahunya.“Si cen
Benar dugaannya, gerbang sekolah sudah tutup. Reynand mengeluh dalam hati, mencari akal, dia memarkir motor di dekat warung samping sekolahan.“Mang, gue nitip dulu, ya.”“Mau ngapain lu lewat belakang? Tadi gue lihat ada yang ketangkap lewat sana.” Sarjo pemilik warung memberitahu dengan waswas.“Itu urusan entar. Gue jalan dulu.” Dia berlari secepat kilat meninggalkan Sarjo, menuju halaman belakang sekolah. Melemparkan tas lebih dulu, selanjutnya memakai ranting pohon yang menjorok keluar dari pohon di dalam halaman, Reynand memanjat pelan. Dengan lompatan ringan dia mendarat selamat di halaman belakang sekolah. Dia terperangah kaget melihat Hadi berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa senyum. Guru olahraga yang terkenal angker saat ini tengah memegang penggaris besi di tangannya.Aduh, mati gue!“Bagus sekali ya, Reynand. Sangat teladan kamu.” Hadi menegurnya dengan pelan.“Maa
Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan,gerutunya dalam hati.Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat.Headsetterpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.“Selamat pagi, Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana denganmeetinghari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon