Share

Suami dan Anakku Menyesal Setelah Kepergianku
Suami dan Anakku Menyesal Setelah Kepergianku
Penulis: Fathia Rara Adinda

Bab 2

Sejak awal, aku sudah tahu Lukas tidak mencintaiku.

Selama empat tahun kuliah, semua orang tahu bahwa aku menyukainya.

Sayangnya, dia sudah punya kekasih. Jadi, tentu saja dia tidak pernah peduli padaku.

Menjelang kelulusan, Lisa, wanita yang dia cintai menerima tawaran keluarganya untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

Pada hari kepergian Lisa, Lukas datang kepadaku dalam keadaan mabuk.

Dia memelukku dengan mata sayu karena mabuk, tetapi yang dia panggil adalah nama Lisa.

Aku terlalu mencintainya. Meskipun tahu dia salah orang, aku tetap membiarkan dirinya terhanyut dalam gairah sesaat.

Namun itu tetaplah sebuah kesalahan. Keesokan paginya, dia menatapku dengan dingin, melemparkan pakaian ke kakiku dan mengusirku.

Kupikir itu hanya sebuah hubungan sesaat, tapi tak kusangka, aku malah hamil.

Lukas memberiku sebuah pernikahan agar aku bisa melahirkan anak kami dan memberi nama Kendrik.

Mungkin karena dia benar-benar tidak mencintaiku, jadi saat Lisa kembali, dia membiarkan wanita itu terus-menerus menantangku, bahkan membiarkannya datang ke rumahku untuk menjemput Kendrik.

Saat aku histeris mempertanyakan hal ini pada Lukas, bahkan anakku sendiri berpihak padanya.

Dia berkata,

“Ibu, kamu nggak secantik Tante Lisa, juga nggak sebaik dia. Kenapa ibu nggak pergi saja?”

“Kalau ibu pergi, ayah bisa bersama Tante Lisa dan dia bisa menjadi ibuku.”

Kondisiku semakin lemah, mataku hampir tak bisa terbuka.

Aku terkulai lemas di lantai, bahkan tak punya kekuatan untuk berdiri.

Di tengah asap tebal yang mencekik, aku melihat kepala kecil mengintip dari luar pintu.

Anak kecil itu dengan ragu bertanya,

“Tante, kamu butuh bantuan?”

Aku berusaha membuka mata dan melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira seusia dengan anakku.

Wajahnya kotor, tetapi matanya bersinar terang di tengah asap.

Tubuhnya kecil, tetapi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membantuku berdiri dan memapahku keluar perlahan-lahan.

Jalan yang kami tempuh sangat sulit, beberapa kali aku hampir menyerah.

Namun, anak kecil itu terus menyeretku, tak melepaskannya.

Saat kami berhasil keluar dari kobaran api, dia jatuh tersungkur karena kelelahan, tetapi tetap memanggil dokter untukku.

Aku memeluknya dan menangis tak tertahankan.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, barulah aku tahu dia sudah tidak punya orang tua, bahkan kakeknya juga meninggal dalam sebuah kebakaran.

Di dalam ambulans, dia menutupi wajah dengan kedua tangannya.

Dia bahkan menangis dalam diam, berusaha keras agar tidak mengganggu orang lain.

Hatiku terasa perih, aku menggenggam tangannya dan bertanya apakah dia mau jika aku mengadopsinya.

Matanya bersinar bahagia, tetapi dia tetap menahan diri dan menggeleng, berkata bahwa dia tidak mau merepotkanku.

Aku tersenyum pahit dan memberitahunya bahwa aku sendiri adalah sebuah masalah besar, jadi tak perlu khawatir merepotkanku.

Kami membuat janji, setelah keluar dari rumah sakit, aku akan mengurus proses adopsinya.

Aku terbaring di rumah sakit selama tiga hari. Karena terlalu banyak menghirup asap, aku kehilangan anak dalam kandunganku.

Selama tiga hari itu, Lukas dan anakku tak pernah sekali pun datang menjengukku, bahkan tak ada satu pun telepon.

Padahal mereka ada di kamar sebelah, sibuk merawat Lisa yang bahkan tidak terluka.

Satu-satunya yang menemaniku adalah anak kecil yang menyelamatkanku.

Namanya adalah Charles, itu nama yang diberikan oleh ayahnya. Jika aku bersedia mengadopsinya, dia bersedia untuk mengganti nama.

Aku mengelus kepalanya dan menolak dengan lembut,

“Aku akan mengadopsimu, tapi kamu nggak perlu mengganti namamu. Kamu bisa bebas melakukan apa pun yang kamu suka, nggak perlu memaksakan diri, ya?”

Charles tersenyum lebar, matanya melengkung bahagia. Dengan manja, dia menggesekkan kepalanya ke lenganku dan dengan suara manis mengucapkan, “Terima kasih.”

Dua kata terima kasih itu sudah lama sekali tidak kudengar.

Dulu, Lukas dan anakku hanya selalu mengeluh dan menganggapku merepotkan, mereka tak pernah mengucapkan terima kasih padaku.

Aku tersentuh dan memeluk Charles. Akhirnya aku bisa tersenyum lagi setelah sekian lama.

Aku bertemu dengan Lukas dan anakku di koridor.

Baru saja selesai menjalani prosudur aborsi, Charles dengan hati-hati memapahku berjalan kembali ke kamar.

Saat kami berbelok di sudut, kami bertemu Lukas dan anakku yang sedang memapah Lisa.

Mereka terlihat begitu akrab, seperti keluarga yang bahagia.

Kupikir aku akan sangat terluka, tetapi ternyata aku merasa biasa saja.

Aku hanya berjalan melewati mereka dengan tenang.

Namun, Lukas tak bisa menahan diri dan memanggilku.

Aku menoleh dan melihat secercah kekhawatiran di matanya.

Dia bertanya,

“Erni, kami nggak terluka, ‘kan?”

Aku hampir tertawa.

Tentu saja tidak, hanya saja asmaku kambuh dan aku hampir mati tercekik asap.

Kepalaku juga terluka dan dijahit, sekarang masih dibalut perban, tapi entah kenapa dia seakan buta dan tidak menyadarinya.

Dan satu hal lagi, aku kehilangan bayi dalam kandunganku. Tapi mungkin itu justru lebih baik, karena anak itu akan punya ayah dan kakak yang begitu dingin. Mungkin ini adalah sebuah keberuntungan.

Melihat aku tak menjawab, tatapan Lukas perlahan beralih ke perutku.

Melihat perutku yang kini rata, dia tersenyum mengejek.

“Erni, aku mengira kamu benar-benar hamil. Ternyata Kendrik benar, kamu hanya egois dan ingin menipuku agak menyelamatkanmu dulu.”

Kendirk juga ada di sana, menatapku dengan penuh kebencian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status