Serin memelukku dan dia berusaha untuk membuat aku merasa tenang sekarang. Dia tahu kalau aku tengah bersedih sekarang. "Ada apa sebenarnya Lisa?" tanya Serin yang sepertinya merasa penasaran dengan kejadian ini. Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Sejujurnya aku sendiri pun tidak tahu harus jadi seperti ini. Bahkan tidak mungkin melakukan kesalahan. "Rumahku terbakar, aku tidak tahu harus tinggal di mana lagi sekarang," kataku sambil menangis dalam pelukan Serin. Serin nampak terkejut dengan semuanya. Bahkan aku sendiri pun tidak tahu harus melakukan apalagi setelah ini. "Terbakar? Bagaimana bisa?" tanya Serin yang sedikit marah. "Aku juga tidak tahu, Serin. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini.""Yaudah kalau begitu, kamu tenang dulu okeh, lebih baik kamu fokus kepada kesehatanmu sekarang. Aku akan berusaha untuk menyelidiki semuanya," kata Serin. "Kamu yakin Serin?" tanyaku pada Serin. "Aku akan menyuruh anak buahnya Tomas menyelidiki ini," ujar Serin. Aku hanya
Aku senang karena Tomas sudah berhasil kabur dari ibunya yang jahat itu. Semoga saja Tomas tidak akan tidak akan tertangkap lagi nanti. "Lisa, ngapain kamu senyum-senyum?"Aku baru menyadari kalau Serin baru saja masuk ke dalam ruanganku, aku tersenyum sambil melirik kearah dirinya. Dia mau datang ke tempat ini saja sudah membuat aku merasa senang. "Ada berita bagus. Tadi Tomas menghubungimu dan aku yang mengangkat teleponnya," kataku membuat Serin terkejut. "Tomas sudah sadar?" kata Serin yang kini terlihat bahagia. Terlebih kalau sampai Tomas bisa selamat, ini akan sangat menguntungkan untuk dirinya. "Iya, dia sedang bersembunyi dan ingin memberimu kabar tadi.""Terus dia di mana sekarang?" "Tadi bilangnya di jalan mustika lagi bersembunyi dari ibunya. Pas aku bilang butuh bantuan biar kita ke sana, tetapi Tomas menolaknya, dia bilang akan menghadapinya nanti bersama dengan para anak buahnya," terangku. "Kamu sudah memberitahu tentang keadaan suamimu yang masuk penjara itu?" t
Aku berkeliling melihat bekas kebakaran ini, beruntung aku dan Mas Giora sedang tidak ada di rumah, jadi tidak ada korban. "Aduh kasian sekali gubuknya terbakar." Hani mengatakan itu sambil tertawa dengan puas. Dia paling senang kalau melihat aku yang menderita seperti ini. "Diam kamu," balasku. "Sekarang kamu tidak punya rumah lagi," hina Hani sambil melihat kearahku. Memang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi sekarang. Apa yang dikatakan oleh Hani memang benar, sebelum akhirnya Serin merangkulku. "Kata siapa Lisa tidak punya rumah lagi? Giora punya rumah banyak asal kamu tahu," ujar Serin. Hani yang mendengar itu pun malah tertawa. "Memangnya aku tidak tahu kalau dia hanya penjual ikan saja. Mana mungkin kalau dia punya rumah banyak. Jangan mimpi!" Benar juga yang dikatakan oleh Hani, Serin sampai mau berbohong hanya untuk membelaku. "Terserah kalau tidak percaya, ayo Lisa kita pergi dari sini," ajak Serin. Aku hanya mengangguk saja, kita berdua akhir
Aku sudah melaporkan semua kejahatan beserta bukti tentang suaminya Hani yang membakar rumahku. Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Bahkan aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku juga awalnya tidak menyangka sama sekali. "Sudah selesai?" ujar Serin menghampiri aku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, aku senang karena semuanya sudah selesai. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi untuk sekarang.""Syukurlah kalau begitu.""Sekarang kita temui suami kamu," ajak Serin. Aku tersenyum ketika mendengar hal tersebut. Terlebih semuanya sudah berjalan dengan baik. Leon tidak tahu harus berbuat apalagi setelah ini. Dia memang melakukan semuanya dengan baik. Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. "Tunggu dulu.""Kenapa?" tanya Serin sambil melirik kearah diriku. "Semua laporan tentang suaminya Hani tengah di proses. Tapi bagaimana aku memberitahu Mas Giora.""Kamu takut memberitahu Mas Giora kalau rumah kamu t
Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Mas Giora, aku dan Serin memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dalam perjalanan, suasana terasa canggung, banyak pikiran mengganggu benak kami. Sesampainya di apartemen, Serin membuka pintu. “Ayo masuk,” ujarnya, tetapi ada nada cemas dalam suaranya. Aku melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang aneh. Begitu pintu tertutup, kami segera menyadari sesuatu yang tidak beres. Lampu di ruang tamu menyala terang, padahal kami yakin sudah mematikannya sebelum pergi. Kami saling pandang, bingung. “Apakah kamu menghidupkannya?” tanyaku, suara bergetar. Serin menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Tidak. Kita pasti sudah mematikannya.” Kami melangkah perlahan ke ruang tamu, perasaan tegang menjalari setiap langkah. Bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, dan suara berisik dari dalam apartemen seolah memanggil kami. “Apa yang terjadi?” Serin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Di antara keraguan dan rasa takut, kami tahu kami harus me
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibu, pikiran melayang ke kenangan-kenangan masa lalu. Angin berhembus lembut, namun suasana hatiku terasa berat. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok yang membuatku terhenti sejenak. Martin, teman lama yang selalu bisa mengusik ketenanganku."Lisa, kamu masih ingat yah dengan ibuku?" tanyanya, nada suaranya mengandung kepalsuan yang kutangkap dengan cepat."Bukan urusan kamu, Martin!" balasku, berusaha menahan nada sinis yang tak bisa kuhindari. Keberadaannya selalu mengingatkanku pada masa-masa sulit, saat hubungan keluargaku masih rumit. Dia terus mendekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.Martin tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di sepanjang jalan sepi itu. Tawa itu bukan hanya konyol, tetapi penuh penghinaan. "Hahaha, kamu masih saja sombong. Suamimu sudah masuk penjara sekarang. Jadi aku bisa bebas mendekati," katanya, dengan senyum yang semakin memperlihatkan niat jahatnya.Ketika dia
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat
"Lisa! Suamimu cuma tukang ikan di pasar! Dia tidak berguna sama sekali, lebih baik mulai sekarang kamu tinggalkan saja dia!" "Iya benar. Laki-laki seperti itu lebih baik tidak usah diurus." Aku memutar bola mataku jengah ketika banyak orang yang bergosip tentang suamiku. Dalam hati, aku jelas tidak terima dengan hinaan-hinaan untuk suamiku dari mereka. Namun, aku tidak bisa membalasnya, karena bagaimanapun, itu adalah pekerjaan suamiku. Selain itu, aku segan memberi makan ego orang-orang di sekitarku, sehingga aku tetap memilih untuk diam. "Kenapa diam, Lisa? Jangan anggap ucapan kami ini angin lalu, lho!" teriak salah satu tetanggaku mendekat. Lelah dengan ucapan mereka, aku pun mengepalkan tanganku dengan kuat. "Diam kalian semuanya, jangan membahas tentang suamiku! Kalian bicara kayak gitu ke suamiku, kayak suami kalian konglomerat saja!" umpatku dengan kesal. "Lah? Meskipun suamiku bukan konglomerat, dia sudah membelikan aku kalung emas ini lho, Lisa. Dia sangat baik da