Aku senang karena Tomas sudah berhasil kabur dari ibunya yang jahat itu. Semoga saja Tomas tidak akan tidak akan tertangkap lagi nanti. "Lisa, ngapain kamu senyum-senyum?"Aku baru menyadari kalau Serin baru saja masuk ke dalam ruanganku, aku tersenyum sambil melirik kearah dirinya. Dia mau datang ke tempat ini saja sudah membuat aku merasa senang. "Ada berita bagus. Tadi Tomas menghubungimu dan aku yang mengangkat teleponnya," kataku membuat Serin terkejut. "Tomas sudah sadar?" kata Serin yang kini terlihat bahagia. Terlebih kalau sampai Tomas bisa selamat, ini akan sangat menguntungkan untuk dirinya. "Iya, dia sedang bersembunyi dan ingin memberimu kabar tadi.""Terus dia di mana sekarang?" "Tadi bilangnya di jalan mustika lagi bersembunyi dari ibunya. Pas aku bilang butuh bantuan biar kita ke sana, tetapi Tomas menolaknya, dia bilang akan menghadapinya nanti bersama dengan para anak buahnya," terangku. "Kamu sudah memberitahu tentang keadaan suamimu yang masuk penjara itu?" t
Aku berkeliling melihat bekas kebakaran ini, beruntung aku dan Mas Giora sedang tidak ada di rumah, jadi tidak ada korban. "Aduh kasian sekali gubuknya terbakar." Hani mengatakan itu sambil tertawa dengan puas. Dia paling senang kalau melihat aku yang menderita seperti ini. "Diam kamu," balasku. "Sekarang kamu tidak punya rumah lagi," hina Hani sambil melihat kearahku. Memang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi sekarang. Apa yang dikatakan oleh Hani memang benar, sebelum akhirnya Serin merangkulku. "Kata siapa Lisa tidak punya rumah lagi? Giora punya rumah banyak asal kamu tahu," ujar Serin. Hani yang mendengar itu pun malah tertawa. "Memangnya aku tidak tahu kalau dia hanya penjual ikan saja. Mana mungkin kalau dia punya rumah banyak. Jangan mimpi!" Benar juga yang dikatakan oleh Hani, Serin sampai mau berbohong hanya untuk membelaku. "Terserah kalau tidak percaya, ayo Lisa kita pergi dari sini," ajak Serin. Aku hanya mengangguk saja, kita berdua akhir
Aku sudah melaporkan semua kejahatan beserta bukti tentang suaminya Hani yang membakar rumahku. Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Bahkan aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku juga awalnya tidak menyangka sama sekali. "Sudah selesai?" ujar Serin menghampiri aku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, aku senang karena semuanya sudah selesai. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi untuk sekarang.""Syukurlah kalau begitu.""Sekarang kita temui suami kamu," ajak Serin. Aku tersenyum ketika mendengar hal tersebut. Terlebih semuanya sudah berjalan dengan baik. Leon tidak tahu harus berbuat apalagi setelah ini. Dia memang melakukan semuanya dengan baik. Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. "Tunggu dulu.""Kenapa?" tanya Serin sambil melirik kearah diriku. "Semua laporan tentang suaminya Hani tengah di proses. Tapi bagaimana aku memberitahu Mas Giora.""Kamu takut memberitahu Mas Giora kalau rumah kamu t
Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Mas Giora, aku dan Serin memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dalam perjalanan, suasana terasa canggung, banyak pikiran mengganggu benak kami. Sesampainya di apartemen, Serin membuka pintu. “Ayo masuk,” ujarnya, tetapi ada nada cemas dalam suaranya. Aku melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang aneh. Begitu pintu tertutup, kami segera menyadari sesuatu yang tidak beres. Lampu di ruang tamu menyala terang, padahal kami yakin sudah mematikannya sebelum pergi. Kami saling pandang, bingung. “Apakah kamu menghidupkannya?” tanyaku, suara bergetar. Serin menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Tidak. Kita pasti sudah mematikannya.” Kami melangkah perlahan ke ruang tamu, perasaan tegang menjalari setiap langkah. Bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, dan suara berisik dari dalam apartemen seolah memanggil kami. “Apa yang terjadi?” Serin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Di antara keraguan dan rasa takut, kami tahu kami harus me
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibu, pikiran melayang ke kenangan-kenangan masa lalu. Angin berhembus lembut, namun suasana hatiku terasa berat. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok yang membuatku terhenti sejenak. Martin, teman lama yang selalu bisa mengusik ketenanganku."Lisa, kamu masih ingat yah dengan ibuku?" tanyanya, nada suaranya mengandung kepalsuan yang kutangkap dengan cepat."Bukan urusan kamu, Martin!" balasku, berusaha menahan nada sinis yang tak bisa kuhindari. Keberadaannya selalu mengingatkanku pada masa-masa sulit, saat hubungan keluargaku masih rumit. Dia terus mendekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.Martin tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di sepanjang jalan sepi itu. Tawa itu bukan hanya konyol, tetapi penuh penghinaan. "Hahaha, kamu masih saja sombong. Suamimu sudah masuk penjara sekarang. Jadi aku bisa bebas mendekati," katanya, dengan senyum yang semakin memperlihatkan niat jahatnya.Ketika dia
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat
Aku tersenyum puas melihat Mas Giora berjalan mendekat. Rasanya seperti beban berat yang telah lama aku pikul akhirnya terlepas. Dia datang tepat pada waktunya, menyelamatkanku dari pernikahan yang tak pernah aku inginkan. Setidaknya kini aku bisa merasa sedikit lega. "Mas Giora..." aku menyebut namanya dengan suara yang bergetar, penuh harapan. Namun, sebelum Mas Giora bisa menjawab, suara keras Martin menyela. "Lisa dan keluarganya masih memiliki hutang padaku! Aku tidak akan membebaskan dia begitu saja!" Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku, membuatku sedikit terkejut dan merasa terjebak kembali dalam jaringnya. Dengan wajah tenang dan penuh keyakinan, Mas Giora berdiri di hadapanku. Tanpa ragu, dia menatap Martin dan berkata, "Aku akan membayarnya." Nada suaranya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Pernyataan itu bukan hanya tentang uang atau kewajiban. Ada sesuatu yang lebih, sebuah janji untuk membebaskan aku dari belenggu yang tak terlihat, dan aku bisa merasakan
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi tempa. Di balik gerbang itu, terbentang perumahan yang begitu sangat mewah, setiap rumah tampak seperti istana dengan halaman yang luas, tertata rapi, dan pepohonan tinggi yang menambah kesan anggun. Suasana begitu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sini. Aku terkejut, tak bisa menahan mata yang melirik ke segala arah."Ini rumah siapa?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tergetar saat melihat sebuah rumah megah di ujung jalan, berdiri tegak dengan desain modern yang dipadu dengan elemen klasik. Sekilas, rumah itu memancarkan kekayaan dan kemewahan yang luar biasa.Aku menoleh ke arah Mas Giora yang duduk di sampingku, sedikit bingung. Tidak mungkin ini rumah Mas Giora, kan? Aku selalu mengenalnya sebagai sosok yang sederhana, tidak pernah berbicara tentang rumah seperti ini. Hati aku berdebar-debar, perasaan ingin tahu menggebu.Mas Giora tersenyum tipis, tidak banyak bicara. Dia kemud
Aku menatap Mas Giora sekilas, bingung dan tercengang dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Tidak pernah aku bayangkan bahwa dia akan berpikir sejauh ini. Bahkan, aku sendiri masih merasa seperti ada yang salah dan sulit untuk memahaminya."Tomas, coba kamu jelaskan!" kataku, suaraku sedikit meninggi, tak bisa menyembunyikan kekesalan yang mulai mengalir dalam darahku.Namun, sebelum Tomas bisa merespon, Mas Giora mendekat dan menarik tanganku dengan lembut. Aku terdiam sejenak, merasa hangatnya pelukan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku."Maafkan aku, Lisa. Sebenernya semuanya ini adalah permintaanku. Aku tidak mau kalau sampai Tomas ketahuan kaki tanganku selama ini," ujar Mas Giora. "Jadi kamu juga ikut adil," kataku mendengus. Tomas juga ikut menjelaskan semuanya padaku. "sebenernya ini permintaan suamimu."Mas Giora melihat ke arah diriku kembali, dia terlihat meminta maaf padaku dengan sekilas. "Maafkan aku Lisa. Aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu.""B
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi tempa. Di balik gerbang itu, terbentang perumahan yang begitu sangat mewah, setiap rumah tampak seperti istana dengan halaman yang luas, tertata rapi, dan pepohonan tinggi yang menambah kesan anggun. Suasana begitu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sini. Aku terkejut, tak bisa menahan mata yang melirik ke segala arah."Ini rumah siapa?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tergetar saat melihat sebuah rumah megah di ujung jalan, berdiri tegak dengan desain modern yang dipadu dengan elemen klasik. Sekilas, rumah itu memancarkan kekayaan dan kemewahan yang luar biasa.Aku menoleh ke arah Mas Giora yang duduk di sampingku, sedikit bingung. Tidak mungkin ini rumah Mas Giora, kan? Aku selalu mengenalnya sebagai sosok yang sederhana, tidak pernah berbicara tentang rumah seperti ini. Hati aku berdebar-debar, perasaan ingin tahu menggebu.Mas Giora tersenyum tipis, tidak banyak bicara. Dia kemud
Aku tersenyum puas melihat Mas Giora berjalan mendekat. Rasanya seperti beban berat yang telah lama aku pikul akhirnya terlepas. Dia datang tepat pada waktunya, menyelamatkanku dari pernikahan yang tak pernah aku inginkan. Setidaknya kini aku bisa merasa sedikit lega. "Mas Giora..." aku menyebut namanya dengan suara yang bergetar, penuh harapan. Namun, sebelum Mas Giora bisa menjawab, suara keras Martin menyela. "Lisa dan keluarganya masih memiliki hutang padaku! Aku tidak akan membebaskan dia begitu saja!" Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku, membuatku sedikit terkejut dan merasa terjebak kembali dalam jaringnya. Dengan wajah tenang dan penuh keyakinan, Mas Giora berdiri di hadapanku. Tanpa ragu, dia menatap Martin dan berkata, "Aku akan membayarnya." Nada suaranya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Pernyataan itu bukan hanya tentang uang atau kewajiban. Ada sesuatu yang lebih, sebuah janji untuk membebaskan aku dari belenggu yang tak terlihat, dan aku bisa merasakan
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibu, pikiran melayang ke kenangan-kenangan masa lalu. Angin berhembus lembut, namun suasana hatiku terasa berat. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok yang membuatku terhenti sejenak. Martin, teman lama yang selalu bisa mengusik ketenanganku."Lisa, kamu masih ingat yah dengan ibuku?" tanyanya, nada suaranya mengandung kepalsuan yang kutangkap dengan cepat."Bukan urusan kamu, Martin!" balasku, berusaha menahan nada sinis yang tak bisa kuhindari. Keberadaannya selalu mengingatkanku pada masa-masa sulit, saat hubungan keluargaku masih rumit. Dia terus mendekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.Martin tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di sepanjang jalan sepi itu. Tawa itu bukan hanya konyol, tetapi penuh penghinaan. "Hahaha, kamu masih saja sombong. Suamimu sudah masuk penjara sekarang. Jadi aku bisa bebas mendekati," katanya, dengan senyum yang semakin memperlihatkan niat jahatnya.Ketika dia
Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Mas Giora, aku dan Serin memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dalam perjalanan, suasana terasa canggung, banyak pikiran mengganggu benak kami. Sesampainya di apartemen, Serin membuka pintu. “Ayo masuk,” ujarnya, tetapi ada nada cemas dalam suaranya. Aku melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang aneh. Begitu pintu tertutup, kami segera menyadari sesuatu yang tidak beres. Lampu di ruang tamu menyala terang, padahal kami yakin sudah mematikannya sebelum pergi. Kami saling pandang, bingung. “Apakah kamu menghidupkannya?” tanyaku, suara bergetar. Serin menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Tidak. Kita pasti sudah mematikannya.” Kami melangkah perlahan ke ruang tamu, perasaan tegang menjalari setiap langkah. Bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, dan suara berisik dari dalam apartemen seolah memanggil kami. “Apa yang terjadi?” Serin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Di antara keraguan dan rasa takut, kami tahu kami harus me
Aku sudah melaporkan semua kejahatan beserta bukti tentang suaminya Hani yang membakar rumahku. Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Bahkan aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku juga awalnya tidak menyangka sama sekali. "Sudah selesai?" ujar Serin menghampiri aku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, aku senang karena semuanya sudah selesai. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi untuk sekarang.""Syukurlah kalau begitu.""Sekarang kita temui suami kamu," ajak Serin. Aku tersenyum ketika mendengar hal tersebut. Terlebih semuanya sudah berjalan dengan baik. Leon tidak tahu harus berbuat apalagi setelah ini. Dia memang melakukan semuanya dengan baik. Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. "Tunggu dulu.""Kenapa?" tanya Serin sambil melirik kearah diriku. "Semua laporan tentang suaminya Hani tengah di proses. Tapi bagaimana aku memberitahu Mas Giora.""Kamu takut memberitahu Mas Giora kalau rumah kamu t
Aku berkeliling melihat bekas kebakaran ini, beruntung aku dan Mas Giora sedang tidak ada di rumah, jadi tidak ada korban. "Aduh kasian sekali gubuknya terbakar." Hani mengatakan itu sambil tertawa dengan puas. Dia paling senang kalau melihat aku yang menderita seperti ini. "Diam kamu," balasku. "Sekarang kamu tidak punya rumah lagi," hina Hani sambil melihat kearahku. Memang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi sekarang. Apa yang dikatakan oleh Hani memang benar, sebelum akhirnya Serin merangkulku. "Kata siapa Lisa tidak punya rumah lagi? Giora punya rumah banyak asal kamu tahu," ujar Serin. Hani yang mendengar itu pun malah tertawa. "Memangnya aku tidak tahu kalau dia hanya penjual ikan saja. Mana mungkin kalau dia punya rumah banyak. Jangan mimpi!" Benar juga yang dikatakan oleh Hani, Serin sampai mau berbohong hanya untuk membelaku. "Terserah kalau tidak percaya, ayo Lisa kita pergi dari sini," ajak Serin. Aku hanya mengangguk saja, kita berdua akhir
Aku senang karena Tomas sudah berhasil kabur dari ibunya yang jahat itu. Semoga saja Tomas tidak akan tidak akan tertangkap lagi nanti. "Lisa, ngapain kamu senyum-senyum?"Aku baru menyadari kalau Serin baru saja masuk ke dalam ruanganku, aku tersenyum sambil melirik kearah dirinya. Dia mau datang ke tempat ini saja sudah membuat aku merasa senang. "Ada berita bagus. Tadi Tomas menghubungimu dan aku yang mengangkat teleponnya," kataku membuat Serin terkejut. "Tomas sudah sadar?" kata Serin yang kini terlihat bahagia. Terlebih kalau sampai Tomas bisa selamat, ini akan sangat menguntungkan untuk dirinya. "Iya, dia sedang bersembunyi dan ingin memberimu kabar tadi.""Terus dia di mana sekarang?" "Tadi bilangnya di jalan mustika lagi bersembunyi dari ibunya. Pas aku bilang butuh bantuan biar kita ke sana, tetapi Tomas menolaknya, dia bilang akan menghadapinya nanti bersama dengan para anak buahnya," terangku. "Kamu sudah memberitahu tentang keadaan suamimu yang masuk penjara itu?" t