Kepalaku rasanya sedikit sakit, sampai aku menyadari kalau ini berada di rumah sakit. Aku memegangi kepalaku yang sepertinya diperban. 'Apa yang terjadi?'"Kamu sudah sadar, Lisa?" tanya Serin padaku. Seketika aku teringat dengan kejadian waktu aku tertabrak oleh mobil, aku tidak menyangka kalau akan jadi seperti ini. "Berapa lama aku di sini?" tanyaku pada Serin. "Baru sekitar 9 jam. Kamu tertabrak mobil, beruntung tidak terjadi hal yang buruk. Pelakunya sampai sekarang belum tertangkap, tim kepolisian tengah menyelidiki plat nomor mobil orang tersebut," terang Serin memberitahuku. Aku hendak akan bangun, tetapi Serin mencegahku sekarang. "Kamu masih sakit, Lisa. Lebih baik kamu diam dulu di sini.""Aku ingin pulang," kataku dengan nada yang masih kesal.Mengingat Mas Giora berbohong padaku, membuat aku malah semakin kecewa dengan dia. Harusnya Mas Giora mengatakan saja kalau Nia itu bukan Iparnya tetapi istri dari Adrian. "Lisa, kamu harus menjaga kondisi kesehatan kamu sekara
Serin memelukku dan dia berusaha untuk membuat aku merasa tenang sekarang. Dia tahu kalau aku tengah bersedih sekarang. "Ada apa sebenarnya Lisa?" tanya Serin yang sepertinya merasa penasaran dengan kejadian ini. Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Sejujurnya aku sendiri pun tidak tahu harus jadi seperti ini. Bahkan tidak mungkin melakukan kesalahan. "Rumahku terbakar, aku tidak tahu harus tinggal di mana lagi sekarang," kataku sambil menangis dalam pelukan Serin. Serin nampak terkejut dengan semuanya. Bahkan aku sendiri pun tidak tahu harus melakukan apalagi setelah ini. "Terbakar? Bagaimana bisa?" tanya Serin yang sedikit marah. "Aku juga tidak tahu, Serin. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini.""Yaudah kalau begitu, kamu tenang dulu okeh, lebih baik kamu fokus kepada kesehatanmu sekarang. Aku akan berusaha untuk menyelidiki semuanya," kata Serin. "Kamu yakin Serin?" tanyaku pada Serin. "Aku akan menyuruh anak buahnya Tomas menyelidiki ini," ujar Serin. Aku hanya
Aku senang karena Tomas sudah berhasil kabur dari ibunya yang jahat itu. Semoga saja Tomas tidak akan tidak akan tertangkap lagi nanti. "Lisa, ngapain kamu senyum-senyum?"Aku baru menyadari kalau Serin baru saja masuk ke dalam ruanganku, aku tersenyum sambil melirik kearah dirinya. Dia mau datang ke tempat ini saja sudah membuat aku merasa senang. "Ada berita bagus. Tadi Tomas menghubungimu dan aku yang mengangkat teleponnya," kataku membuat Serin terkejut. "Tomas sudah sadar?" kata Serin yang kini terlihat bahagia. Terlebih kalau sampai Tomas bisa selamat, ini akan sangat menguntungkan untuk dirinya. "Iya, dia sedang bersembunyi dan ingin memberimu kabar tadi.""Terus dia di mana sekarang?" "Tadi bilangnya di jalan mustika lagi bersembunyi dari ibunya. Pas aku bilang butuh bantuan biar kita ke sana, tetapi Tomas menolaknya, dia bilang akan menghadapinya nanti bersama dengan para anak buahnya," terangku. "Kamu sudah memberitahu tentang keadaan suamimu yang masuk penjara itu?" t
Aku berkeliling melihat bekas kebakaran ini, beruntung aku dan Mas Giora sedang tidak ada di rumah, jadi tidak ada korban. "Aduh kasian sekali gubuknya terbakar." Hani mengatakan itu sambil tertawa dengan puas. Dia paling senang kalau melihat aku yang menderita seperti ini. "Diam kamu," balasku. "Sekarang kamu tidak punya rumah lagi," hina Hani sambil melihat kearahku. Memang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi sekarang. Apa yang dikatakan oleh Hani memang benar, sebelum akhirnya Serin merangkulku. "Kata siapa Lisa tidak punya rumah lagi? Giora punya rumah banyak asal kamu tahu," ujar Serin. Hani yang mendengar itu pun malah tertawa. "Memangnya aku tidak tahu kalau dia hanya penjual ikan saja. Mana mungkin kalau dia punya rumah banyak. Jangan mimpi!" Benar juga yang dikatakan oleh Hani, Serin sampai mau berbohong hanya untuk membelaku. "Terserah kalau tidak percaya, ayo Lisa kita pergi dari sini," ajak Serin. Aku hanya mengangguk saja, kita berdua akhir
Aku sudah melaporkan semua kejahatan beserta bukti tentang suaminya Hani yang membakar rumahku. Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Bahkan aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku juga awalnya tidak menyangka sama sekali. "Sudah selesai?" ujar Serin menghampiri aku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, aku senang karena semuanya sudah selesai. Tidak ada yang dikhawatirkan lagi untuk sekarang.""Syukurlah kalau begitu.""Sekarang kita temui suami kamu," ajak Serin. Aku tersenyum ketika mendengar hal tersebut. Terlebih semuanya sudah berjalan dengan baik. Leon tidak tahu harus berbuat apalagi setelah ini. Dia memang melakukan semuanya dengan baik. Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. "Tunggu dulu.""Kenapa?" tanya Serin sambil melirik kearah diriku. "Semua laporan tentang suaminya Hani tengah di proses. Tapi bagaimana aku memberitahu Mas Giora.""Kamu takut memberitahu Mas Giora kalau rumah kamu t
Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Mas Giora, aku dan Serin memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dalam perjalanan, suasana terasa canggung, banyak pikiran mengganggu benak kami. Sesampainya di apartemen, Serin membuka pintu. “Ayo masuk,” ujarnya, tetapi ada nada cemas dalam suaranya. Aku melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang aneh. Begitu pintu tertutup, kami segera menyadari sesuatu yang tidak beres. Lampu di ruang tamu menyala terang, padahal kami yakin sudah mematikannya sebelum pergi. Kami saling pandang, bingung. “Apakah kamu menghidupkannya?” tanyaku, suara bergetar. Serin menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Tidak. Kita pasti sudah mematikannya.” Kami melangkah perlahan ke ruang tamu, perasaan tegang menjalari setiap langkah. Bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, dan suara berisik dari dalam apartemen seolah memanggil kami. “Apa yang terjadi?” Serin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Di antara keraguan dan rasa takut, kami tahu kami harus me
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibu, pikiran melayang ke kenangan-kenangan masa lalu. Angin berhembus lembut, namun suasana hatiku terasa berat. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok yang membuatku terhenti sejenak. Martin, teman lama yang selalu bisa mengusik ketenanganku."Lisa, kamu masih ingat yah dengan ibuku?" tanyanya, nada suaranya mengandung kepalsuan yang kutangkap dengan cepat."Bukan urusan kamu, Martin!" balasku, berusaha menahan nada sinis yang tak bisa kuhindari. Keberadaannya selalu mengingatkanku pada masa-masa sulit, saat hubungan keluargaku masih rumit. Dia terus mendekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.Martin tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di sepanjang jalan sepi itu. Tawa itu bukan hanya konyol, tetapi penuh penghinaan. "Hahaha, kamu masih saja sombong. Suamimu sudah masuk penjara sekarang. Jadi aku bisa bebas mendekati," katanya, dengan senyum yang semakin memperlihatkan niat jahatnya.Ketika dia
Hari berikutnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di dalam sebuah kamar. Berusaha untuk kabur pun tidak bisa. Aku hanya berharap Serin akan segara menemukan aku. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dan muncul dua orang wanita yang datang bersama dengan ibu. "Ibu."Aku terbangun dalam keadaan bingung, melihat pintu yang terbuka lebar. Kecemasan dan harapan bercampur aduk dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berusaha untuk melarikan diri. Namun, saat aku melangkah, tanganku tiba-tiba ditarik dengan kasar oleh ibuku."Jangan berusaha untuk kabur, di luar akan banyak orang," katanya dengan nada tegas.Pernyataan itu membuatku tertegun. "Apa maksudnya?" tanyaku, rasa ingin tahuku semakin membara. Aku menatapnya, mencari jawaban di wajahnya yang tampak cemas.Namun, ibuku hanya terdiam, matanya menghindar dari pandanganku. Dia tidak memberi penjelasan, dan semakin lama aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Kenapa ia begitu takut? Perasaan terjebak menghimpitku, membuat
Setelah acara pesta yang panjang, aku merasa lega dan sedikit lelah. Mas Giora menggenggam tanganku dengan lembut, mengajakku menuju kamar. Tidak ada kata-kata yang terucap antara kami, hanya tatapan penuh makna yang saling bertukar. Rasanya seperti dunia ini hanya milik kami berdua, jauh dari hiruk-pikuk pesta dan keramaian yang baru saja berlalu.Saat pintu kamar terbuka, mataku langsung tertuju pada sebuah kejutan. Bunga mawar merah muda, yang harum semerbak, terhampar dengan indah di atas ranjang. Kelopak-kelopak bunga itu tersebar rapi, memberi nuansa romantis yang begitu memukau. Aku terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang kulihat. Seluruh ruangan dipenuhi dengan cahaya lembut dari lampu kamar, menciptakan atmosfer yang begitu intim dan penuh kehangatan."Apa kamu yang menyiapkan ini semuanya?" tanyaku dengan nada tak percaya, mataku memandang ke arah Mas Giora yang berdiri di sampingku.Mas Giora hanya tersenyum tipis, mengangguk dengan penuh kepastian. "Tentu saja," jawab
Aku dan Mas Giora akhirnya memutuskan untuk berdansa. Musik mengalun lembut, mengisi ruang dengan suasana yang penuh kegembiraan. Rasa senang yang sudah lama tertahan akhirnya bisa terlepaskan. Nia sudah tertangkap, dan kini semuanya terasa lebih ringan."Kamu senang?" tanya Mas Giora, matanya menatapku dengan lembut, seolah ingin memastikan perasaanku."Iya, aku senang," jawabku, tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahku. Semua yang telah terjadi akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan.Mas Giora menoleh sekilas ke arahku, matanya menunjukkan rasa puas yang sama. "Kamu lihat sekarang? Tomas dan Serin terlihat mesra," bisiknya, matanya tertuju pada pasangan yang sedang berdansa di seberang. Serin dan Tomas tampak begitu dekat, seakan semuanya menjadi lebih indah. Aku tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, akhirnya mereka bisa menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing.Aku menoleh, melihat mereka berdua yang sedang tertawa dan menikmati momen itu. Ras
Aku terkejut saat melihat Serin datang mendekati kami dengan langkah cepat, matanya tajam menatap setiap orang di sekitar. Suasana jadi tegang seketika."Siapa dia?" tanya Raya, jelas kebingungannya.Sedangkan Nia, yang tadinya tenang, kini mematung. Aku bisa melihat ketakutan di wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Gak tahu dia siapa," jawab Ina, tampak sedikit ragu."Dia orang yang tadi bersama kamu kan?" tanya Yuna pelan, bisikannya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti.Aku hanya mengangguk, memberikan jawaban singkat. Memang, itu Serin. Wanita itu datang tepat pada waktunya, seperti tahu kapan harus muncul."Iya, dia temanku. Namanya Serin," kataku, menjelaskan kepada Yuna.Namun, suasana semakin aneh. Serin berdiri di sana, tak bergerak, menatap kami dengan tatapan yang sulit dibaca."Ayo cepat, Bu Nia. Buka isinya, kami penasaran," kata Raya, berusaha mencairkan suasana dengan ceria, meskipun ada ketegangan yang tak bisa dihi
Orang yang dihubungi oleh Ina akhirnya muncul. Dia adalah orang yang ahli dalam bidang perhiasan. Semua orang kini menatap kearah orang tersebut. "Selamat malam, Pak Ben.""Ada apa memanggilku?" tanya Ben pada Ina. "Sebenernya saya hanya ingin Pak Ben membuktikan sebuah kalung yang dipakai oleh Lisa. Itu kalung yang asli atau bukan," ujar Ina sambil menunjuk kearah kalung yang aku pakai. Raya langsung menatap kearah diriku dengan sinis. "Pasti itu adalah kalung yang palsu.""Boleh saya melihat kalung tersebut?" pintanya padaku dengan sopan. Pak Ben langsung menatap kearah diriku, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kalung ini dan memperlihatkan pada mereka semuanya. Semoga kali ini akan percaya. "Ini kalungnya," kataku sambil memperlihatkan dengan seksama. Ina yang melihat itu pun tersenyum dengan puas. Dia terlihat senang karena aku tahu niatnya untuk mempermalukan diriku. "Sebentar lagi kamu tidak akan bisa sombong," kata Ina. "Iya, Lisa. Kamu pasti akan menangg
Acara pesta yang diselenggarakan oleh Perusahaan keluarga Mas Giora. Semuanya digelar di salah satu gedung yang mewah yang terletak di pusat ibukota. Aku sudah bersiap dengan gaun yang memang sudah di pesan oleh Mas Giora. Aku memakainya dengan seksama. "Kamu terlihat cantik sayang."Mas Giora malah memelukku dari belakang, membuat aku sedikit gugup sekarang. Terlebih deru nafasnya masih bisa aku rasakan. Sangat nikmat sekali dan aku menikmati semuanya dengan baik. "Mas, kok belum berangkat?" kataku pada Mas Giora. Kita sudah merencanakan semuanya. Jadi nanti Mas Giora akan berangkat lebih dulu, sedangkan aku akan menyusul nanti. "Rasanya tidak rela ketika meninggalkan istriku berangkat sendirian. Aku ingin bareng bersama dengan kamu saja.""Sudah Mas, jangan manja seperti itu, ayo kita masih punya misi," kataku pada Mas Giora. "Baiklah, aku memang masih punya misi.""Makanya, kamu berangkat duluan. Nanti aku bersama dengan Serin datang ke sana. Kamu bersama dengan Tomas," saran
Aku kembali ke kantor dan semuanya terasa sangat aneh. Karyawan yang ada di sini malah justru terlihat heboh sekali. Diam-diam aku mendengar percakapan mereka karena memang penasaran. "Pak Bos mengupload foto bersama dengan istrinya.""Iya, tetapi sayang gak bisa melihatnya.""Pasti istrinya sangat cantik."Aku mendengar percakapan heboh mereka, rupanya mereka tengah tengah membicarakan tentang Mas Giora. Aku seketika yang mendengarnya pun merasa sedikit penasaran. "Jangan-jangan benar lagi fakta itu, kalau Pak Andreas punya hubungan gelap dengan Bu Nia," ujar karyawan yang lainnya. "Maksud kamu, ini adalah Bu Nia," ujar karyawan yang suka bergosip. Aku kesal mendengarnya, sudah jelas kalau memang itu adalah aku. Tetapi aku tidak bisa mengungkap semuanya sekarang. Bisa jadi masalah kalau aku mengungkap semuanya. "Wah, aku dengar juga Pak Andreas pernah dipenjara karena kasus ini, tetapi dia bebas dan tidak terbukti bersalah.""Iya namanya juga orang kaya, sudah jelas kalau punya
Nina menatap Hani dengan pandangan tajam, "Kamu masih belum paham dengan situasi ini rupanya. ingat yah Mas Irwan adalah suami saya.""Ah tidak mungkin," kata Hani. Aku dan Mas Giora hanya diam di sudut ruangan, menyaksikan drama yang sedang terjadi di depan mata kami. Kami berdua seperti menonton pertunjukan teater yang penuh ketegangan dan kejutan. Terlebih lagi, melihat Hani yang kini tengah dilabrak oleh istri sah Irawan, Nina. Aku tak pernah membayangkan akan berada di tengah-tengah situasi seperti ini.Irawan yang terpojok, berusaha membela dirinya, berkata dengan nada putus asa, "Sayang, kamu harus percaya, wanita itu yang menggodaku duluan," suaranya terdengar lemah, seolah ingin meyakinkan Nina agar tidak meninggalkannya.Nina, yang tampaknya sudah terlalu banyak menahan amarah, hanya menyeringai sinis. "Cih, kamu pikir aku bodoh, hah?" kata Nina, dengan nada yang tajam dan penuh penghinaan. "Kamu sengaja berselingkuh dengan wanita murahan ini. Mulai sekarang, kamu aku pecat
Aku membisikan sesuatu pada telinga Mas Giora setelah melihat Hani dan kekasih barunya, Irawan, berdiri dengan angkuh di tengah butik mewah itu."Sudah Mas, kita berikan saja. Biarkan mereka merasa menang.""Tidak, Lisa, kamu tenang saja." Mas Giora seolah menenangkan aku, suaranya lembut namun tegas. Meski tengah dikelilingi situasi yang memanas, dia terlihat begitu tenang, bahkan seperti tidak terpengaruh sedikit pun. Aku pun mulai merasa cemas, tak tahu apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Mas Giora.Hani, yang masih dengan tatapan penuh kecemasan namun berusaha menunjukkan keberaniannya, kini berkata, "Lebih baik kalian menyerah saja. Tidak ada yang bisa kalian lakukan."Tiba-tiba Mas Giora mengangkat dagu, tersenyum tipis, dan dengan nada penuh tantangan menjawab, "Memangnya kalian bisa membayar baju ini?" suaranya mengalir begitu sinis, menantang.Hani, yang merasa tersinggung, segera berbalik menghasut Irawan. "Wah, dia merendahkan kamu, Mas Irawan," ujar Hani, berusaha
Mas Giora menatapku dengan pandangan aneh, memangnya kenapa dengan dirinya? Kebetulan Serin dan Tomas sudah pulang sekarang. Jadi hanya tinggal kami berdua saja di sini, aku sendiri pun merasa heran dengan Mas Giora sekarang, tidak biasanya dia seperti ini. "Besok aku akan mengajak kamu ke mall dan kita akan beli baju untuk kamu," kata Mas Giora. Aku hanya tersenyum tipis ketika mendengar hal itu, ada rasa senang dalam diriku ketika mendengar usulan dari dirinya. "Benar yah, aku ingin datang ke sana.""Tentu saja, kamu boleh beli apapun yang kamu inginkan, semuanya pokonya."Mas Giora mengatakan itu dengan baik, aku hanya tersenyum tipis. Mungkin memang benar kalau pada akhirnya akan jadi seperti ini. Aku pun tidak tahu harus berbuat apalagi sekarang. "Mas Giora," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Iya, kenapa?" tanya Mas Giora sambil melirik kearah diriku dengan sekilas. "Aku kepikiran dengan ibuku, dia tidak datang ke sini untuk menjenguk ayah," kataku. Mas Giora menatapku den