“Sayang, ayok pulang ke rumah. Aku mau ngenalin kamu sama Mamaku!” ucap Rizki, suamiku. “Sekarang Mas? Tapi, penampilanku seperti ini,” ucapku sembari memperlihatkan pakaian yang kukenakan, baju kaos polos lengan panjang dengan celana kulot warna abu-abu ditambah sendal jepit yang kuanggap tidak pantas untuk bertemu mertuaku. “Gapapa, kamu tetap cantik kok. Ayok!” Rizki meraih lenganku. “Tapi, Mama,” elakku menilik pada hospital bed. “Sudah, Mama ada yang jagain kok.” Pada akhirnya aku pasrah, ikut dengan Rizki dengan penampilan seperti ini. Aku masuk ke mobil Rizki bersebelahan dengannya, dia memasangkan sabuk pengaman padaku sembari tersenyum manis. Hatiku dag-dig-dug tak menentu, bukan karena tatapan sorot mata Rizki terhadapku, melainkan memikirkan bagaimana respon Mamanya Rizki nanti saat melihat betapa buruknya aku . Sepanjang jalan aku berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Mobil sudah terparkir, rumah Rizki yang besar ini dijaga oleh satpm berbadan kekar. Aku meras
"Sayang. Kamu sudah selesai mandinya." Rizki mendatangiku dengan telanjang dada, kancinga bajunya sengaja dibuka menampilkan dada bidangnya. "Iya, Mas. Sekarang giliran kamu." Desiran darah mendesir tak nyaman. Aku merasa semakin gugup saat Rizki semakin mendekat ke arahku. "Iya, Sayang. Sebentar lagi, aku masih mau habisin waktuku sama kamu." Skak, Rizki tepat berada di depanku. Aku memundurkan badanku agar tercipta jarak dengannya namun Rizki malah menarikku jatuh ke dalam pelukannya. Aku ingin berontak, tak nyaman. Tetapi Rizki sudah sah menjadi suamiku, dia berhak untuk hal itu. "Sayang. Kita senang-senang malam ini ya!" bisik Rizki membuat tubuhku merinding. Aku mendorong badan Rizki dengan tenaga yang sedikit. "Maaf, Mas. Aku lagi halangan sekarang." Rizki menautkan kedua keningnya yang tebal itu. "Kamu halangan?" Akhirnya Rizki melepaskan aku. Aku mengangguk membenarkan. Senyuman tipis menghiasi wajah Rizki. "Ya sudah kalau gitu. Kamu istirahat sekarang!" Rizki melepas
Aku pergi ke rumah sakit lagi, menemui mama untuk mempersiapkan semua barang-barang mama. Dia sudah bisa pulang ke rumah. "Gimana, Sayang. Sudah semuanya?" tanya Rizki. "Kayaknya sudah, Mas." Aku masih mencoba mencari barang mama yang mungkin masih belum masuk ke dalam tas mama. "Ayok, sini biar aku yang bawa tasnya ke mobil. Kamu dorong kursi roda Mama ya!" titah Rizki. Aku mengangguk. Rizki lebih dulu melenggang pergi ke luar rumah sakit. Aku perlahan mendorong mama yang duduk di kursi roda. Mama bahagia melihat aku bersama Rizki datang menemuinya. Aku dan mama duduk di jok tengah. Rizki sibuk menyetir mobil seraya sibuk berbincang dengan teleponnya. Aku baru menyadari jika jalan yang kami tuju bukan ke jalan rumah Rizki melainkan jalan menuju rumahku yang kecil itu. Aku kebingungan, bukankah Rizki pernah bilang kalau mama dan Kak Andin juga akan tinggal bersama kami di rumah Rizki. Terus, ini kenapa kembali ke rumah?"Mas, ngapain ke rumahku?" tanyaku. Rizki menghentikan mob
Aku masih tertegun, mengapa tanganku begitu lancang kepada kakak kandungku sendiri. Tapi, bagaimana aku tidak marah dengan perkataannya yang sungguh tidak bermutu itu. Aku berkecak pinggang karena ada rasa sakit yang lumayan membuatku menjerit pelan. Kayak ada yang nendang dari dalam perutku. "Sayang. Mama sudah pulang. Sebentar lagi kamu bakalan ketemu sama mama." Rizki sudah datang, tepat waktu. Dia memintaku untuk pulang ke rumahnya lagi. Inginku menolak, entah mengapa rasanya agak gugup untuk bertemu dengan orang tua Rizki. Apakah dia akan sebaik Rizki atau malah seperti mertua di film sinetron tivi. Sebelum pulang, Rizki menjenguk mama terlebih dahulu dan meminta izin membawaku pulang ke rumahnya. Tetapi mama sudah tertidur. "Ayok, Sayang. Kita pulang!" Aku ikut saja. Bgaimana pun dia adalah suamiku sekarang ini. "Kenapa ganti baju, Sayang?" tanya Rizki yang baru saja menyadari tentang pakaianku. "Anu, Mas. Tadi Naya ganti baju di rumah karrna baju yang tadi siang Naya pa
Aku meremas perutku seraya berbaring di kasur dengan keadaan miring ke kanan. Air mataku mengalir tipis menahan rasa sakit ini. Sudah hampir satu jam aku dalam posisiku ini, lampu kamar redup dan Rizki sudah tertidur pulas di sampingku, lebih tepatnya di belakangku. Nada notifikasi pesan masuk di ponsel Rizki terdengar berderet tanpa jeda. Setelah berhenti berganti lah dengan suara dering panggilan telepon. Kasur terasa sedikit bergerak, mungkin Rizki yang terbangun karena suara panggilan telepon di ponselnya. Aku menyeka air mata lalu berusaha menutup mataku karena aku takut Rizki akan mengecek keadaanku. Aku tidak ingin dia tahu aku sedang menahan rasa sakit akibat perbuatan ibunya tadi. "Sayang," ucap Rizki setengah berbisik. Aku tidak menjawab. Aku menutup mataku rapat. Terasa dari gerakan pelan pada kasur, Rizki turun dan melenggang pergi namun tidak keluar dari kamar ini. "Hallo. Kenapa nelpon tengah malam gini?" Suara Rizki terdengar cukup berjarak dari kasur namun masih
Suara ketukan pintu yang nyaring mengusik tidurku yang singkat. Ditambah dengan suara teriakan memanggil namaku. “Heh perempuan nggak tahu diri. Bangun!” Suara itu tidak lain adalah milik Nyonya besar di rumah ini, mamanya Rizki atau biasa dikenal dengan Tante Ria. Aku bergegas turun dari kasur, setengah berlari menuju pintu. Pintu terbuka. Wajahnya yang masam tepat berada di hadapanku. Tangannya menyilang ke dada. “Bagus ya, enak banget tiduran di kamar mewah. Sekarang kamu pergi ke dapur, siapin aku sarapan!” Tante Ria menarik tanganku paksa, aku tak bisa menghindarinya. “Nah, siapin aku sarapan sandwich yang enak. Awas kalo nggak enak!” titahnya menatapku tajam. Aku mengangguk saja tak berani melawan. “Sarah, awasi dia!” “Baik, Nyonya.” Setelah Tante Ria beranjak. Aku pun duduk lesu di kursi. "Mbak. Muka Mbak Naya pucat sekali. Mbak Naya sakit?" Sarah menatapku penuh dengan kekhawatiran. "Enggak, Sar. Aku cuman rada pusing aja dikit. Sudahlah, aku mau buatin Mama sandwich."
Aku menggeliat di kasur, rasa sakit ini semakin membuatku mengerenyitkan dahi. "Sarah!" panggil Rizki nyaring. .Hanya hitungan detik, Sarah sudah berada di depan Rizki. "Iya, Tuan." "Bantu Naya jalan ke mobil. Kita ke rumah sakit." "Baik, Tuan." Sarah membantuku bangkit dari kasur. Perlahan turun. Rasa nyeri semakin merajalela kala ini yang membuatku terduduk di lantai. "Aku nggak kuat, Sar," lirihku. Peluh dingin mengucur membasahi tubuhku yang sangat lemah ini. "Sarah bilang sama Tuan dulu. Mbak tunggu di sini!" Sarah berlari meninggalkanku. "Ya Allah, ada apa denganku? Mengapa rasa sakit ini berulang kali terjadi." Suara sentakan kaki bisa aku rasakan berjalan menuju ke arahku. Aku memejamkan mata karena berusaha menahan rasa sakit ini. Rasanya badanku naik. Aku membuka mataku yang kudapati wajah Rizki dengan tatapan fokus ke depan. Dia menggendongku. Sesampainya di mobil, Rizki meminta Sarah untuk memangkuku. Dia merebahkan badanku dan kepalaku berada di atas paha Sara
Untuk yang ke-sekian kalinya, aku mendapati Rizki asyik berbincang dengan teleponnya, perbincangan yang membuat senyumannya merekah lebar. Membuatku merasa ingin tahu siapa di balik panggilan telepon di tengah malam itu. "Sampai berjumpa besok lagi, Sayang." Itulah ucapan terakhir yang aku dengar dari mulut Rizki saat aku sudah tepat berdiri di belakangnya. "Mas," ucapku. Rizki memutar badannya. Matanya membulat, sedang pupil matanya mengecil. "Sayang, kamu bangun." Rizki segera mendatangiku. "Mas kenapa belum tidur tengah malam gini?" tanyaku. "Em. Tadi sudah tidur, terus ad telepon dari staf kantor."Staf kantor kok pakek sayang? Apakah wajar bagi seorang staf menelpon CEO perusahaan tengah malam begini. "Staf? Malam-malam gini?" "I-iya, Sayang. Kan kamu tahu gimana keadaan perusahaan aku sekarang. Jadi, banyak banget yang harus diurusin. Sebaiknya sekarang kamu lanjut tidur lagi karena aku juga mau lanjutin tidurku." "Hwaaaa, ngantuk." Mulut Rizki menganga. Aku pun kembal
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua