Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
“Nay, Mas mau keliling ya,” ucap lelaki yang menyebut dirinya sebagai suamiku. Dengan pakaian yang sangat lusuh serta handuk kecil yang selalu tergantung di bahunya, bau keringat sepulang keliling berjualan sangat khas di badannya. Sedangkan aku, yang selalu berpakaian rapi serta bersih yang bekerja dalam ruangan ber-AC, pergi wangi dan saat pulang pun masih tetap wangi.“Kapan sih, Mas. Kamu tuh cari kerja yang jauh lebih layak, yang di atas dari pekerjaanku? Aku capek, Mas. Dicemooh tetangga. Aku capek!” hardikku dengan kencang.Mas Adji hanya tertunduk tak memberikan tanggapan. Mungkin dia malu, karna setiap hari aku mencelanya sedemikian rupa. Betapa bodohnya aku dulu yang pernah jatuh cinta padanya. Bodoh sekali. Tak bisa dipungkiri, ternyata dia malah seperti ini, menjadi pedagang sayur keliling yang gajinya kadang tak cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi memenuhi keperluan skincare serta belanjaannku.“Sabar, Nay. Mas juga lagi usaha,” tuturnya lembut.
“Iya, Pak. Saya akan usahakan secepatnya!” ujarku dari sudut ponsel.Setelah selesai berbincang dengan atasan perusahaan. Aku mendesah pelan lalu duduk di kursi dengan lemas. Apa yang harus aku lakukan? Argh, ini suatu kesialan yang sangat berarti.“Assalamu’alaikum,” ucapan dari pintu.Suara Mas Adji yang baru saja pulang berjualan. Males banget deh liat dia pulang kerja, apalagi bau badannya yang semerbak memenuhi ruangan, rasanya ingin muntah.Jegleg..Pintu kamar dibuka oleh Mas Adji. Seperti biasanya, aku menutup hidungku dengan tangan. Tak ingin aku menghirup sedikit pun bau badannya yang kecut dan pastinya sangat menyiksa pernapasan. Apalagi peluhnya yang terkucur membasahi pelipis sampai pakaiannya dan tidak lupa daki yang terlihat mengggumpal di sekitaran lehernya. Iyuu, nggak banget untukku yang selalu cantik memesona dan harum ini.“Sayang, alhamdulillah hari ini dagangan sayur Mas laku semua.” Mas Adji memegangi pundakku.Ku tatap penampilannya pada pantulan cermin yang be
'Nay, ke kantor sekarang! Ada yang mau saya bicarakan!’ pesan singkat yang tertera pada notifikasi di ponselku membuatku harus menghentikan pencarian orang yang baru Saja bertabrakan denganku tadi.Dengan cekatan jariku mengetik balasan dengan cepat, terlambat lima menit saja maka akan sangat membahayakan nasibku. ‘Baik, Pak. Naya segera ke sana.’ Balasan pesan terkirim hanya dengan hitungan detik saja. Bergegas aku menyudahi dan mengurungkan niat shoopingku sekarang juga.Aku menuju parkiran mall dengan tergesa-gesa. Saat itu pula aku melihat lelaki yang sangat mirip dengan Mas Adji masuk ke dalam mobil yang sangat mewah, mobil keluaran terbaru yang hanya terdapat beberapa unit saja di dunia, dan dia punya. Mengkilap sempurna, mobil yang terkena cahaya sinar matahari lewat di depan mataku. Aku terpaku. “Wow, kapan aku punya yang kayak gitu?” gumamku kagum.“Astaga, aku harus segera ke kantor. Aduh, mampus kalau kelamaan.”“Permisi, Pak.” Aku mengetuk pintu ruangan yang sedang terbuka
Kutatap wajah Mas Adji lekat-lekat, dia sekarang tertidur pulas di atas ranjang,memiringkan badannya ke arahku yang berada di sampingnya. Rasanya tidak ada celah antara dua orang ini, antara Mas Adji dengan pengusaha viral itu. Apakah mungkin, mereka orang yang sama? Argh, bodohnya aku menyamakan pengusaha terkenal dengan suamiku yang hanya bekerja sebagai pedagang sayur keliling ini.Aku bangkit dari ranjang, lalu duduk di bangku kerjaku. Berusaha berpikir matang untuk merencanakan tugas yang baru diberikan atasan tadi sore. Kubuka situs laman pada google, mencari berita tentang pengusaha yang baru saja viral. Kuketik pada pencarian “Kusuma Adjipto Saherza” dan seketika pula munculah foto pengusaha yang sedang viral itu. Ku screenshoot beberapa gambar yang tertera. Dengan cekatan tanganku menggoreskan tinta pulpen pada kertas, mencatat semua informasi yang tertera pada web.“Aduh, laper!” Aku memegangi perutku yang berbunyi tanda meminta jatahnya. Arlojiku telah menunjukkan pukul sat
Dia tersenyum tipis ke arahku dan mengulurkan tangannya. Apakah ini nyata? Wah kamu adalah uangku dalam wujud manusia. "Kusuma," ujarnya memperkenalkan diri saat aku menjabat tangannya."Naya," jawabku ikut memperkenalkan diri."Naya, nama yang bagus," pujinya. Aku tersenyum malu malu. Bagaimana pun, aku harus bersikap baik padanya, tidak boleh sampai ada kecacatan apa pun perilakuanku dengannya. Pelayan datang menghampiri kami, pria yang berada diseberang mejaku itu kembali menutup sebagian wajahnya dengan topi. Pelayan restoran mengeluarkan catatan kecil serta pena untuk mencatat pesanan setiap orang yang berkunjung ke restoran."Makanan sama minuman yang paling spesial di resto ini dua porsi, ya!""Siap, Pak," jawab pelayan lalu kembali ke dapur restotan.Aku yang tadinya hanya diam kini angkat suara. "Dua? Banyak banget makannya," ujarku."Buat kamu satu porsi, Naya.""Buat saya, wah ga usah, Pak. Saya juga sudah kenyang," tolakku yang sebenarnya perutku teramat lapar."Sudah,
“Nay, bangun! Kamu ga kerja.” Suara yang masih samar pada indera pendengarku. Aku mengumpulkan nyawa yang masih belum lima puluh persen terkumpul. Kubuka mataku perlahan melebar, tampak bayangan samar berbaju putih tengah berada di depan mataku. Ku kucek mataku pelan. “Mas Adji,” ucapku langsung terperanjat.“Kamu ga kerja? Aku sudah mau berangkat dagang, Nay,” tutur lelaki berbaju kaos lusuh berwarna putih dengan handuk yang menggantung di bahunya. Tidak lupa topi yang sudah hampir tak layak pakai nangkring di kepalanya."Sudah jam berapa, Mas?" tanyaku sembari mengikat rambutku."Mau jam tujuh, Nay," jawab Mas Adji dengan senyumannya. "Oh," jawabku singkat.Tunggu, perasaan ada yaang hilang dariku. Iya, mana semua pakaian dan perhiasan itu? “Apa? Perasaan. Eh mana belanjaan ku?” Aku menoleh ke kiri dan ke kanan.“Kamu nyari apa, Nay?” tanya Mas Adji yang melihatku semakin panik.“Mana gaunku, emas, sama pakaian-pakaian mahalku?” teriakku.“Pakaian mahal darimana? Kamu kemarin kan
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua