Untuk yang ke-sekian kalinya, aku mendapati Rizki asyik berbincang dengan teleponnya, perbincangan yang membuat senyumannya merekah lebar. Membuatku merasa ingin tahu siapa di balik panggilan telepon di tengah malam itu. "Sampai berjumpa besok lagi, Sayang." Itulah ucapan terakhir yang aku dengar dari mulut Rizki saat aku sudah tepat berdiri di belakangnya. "Mas," ucapku. Rizki memutar badannya. Matanya membulat, sedang pupil matanya mengecil. "Sayang, kamu bangun." Rizki segera mendatangiku. "Mas kenapa belum tidur tengah malam gini?" tanyaku. "Em. Tadi sudah tidur, terus ad telepon dari staf kantor."Staf kantor kok pakek sayang? Apakah wajar bagi seorang staf menelpon CEO perusahaan tengah malam begini. "Staf? Malam-malam gini?" "I-iya, Sayang. Kan kamu tahu gimana keadaan perusahaan aku sekarang. Jadi, banyak banget yang harus diurusin. Sebaiknya sekarang kamu lanjut tidur lagi karena aku juga mau lanjutin tidurku." "Hwaaaa, ngantuk." Mulut Rizki menganga. Aku pun kembal
"Sepertinya, apa yang dikatakan Sarah ada benarnya. Aku harus mencari informasi Mas Adji. Memberitahunya kalau aku sedang mengandung anaknya." Sudah berapa lamakah aku mondar-mandir tak karuan di dalam kamar ini. Aku berusaha memikirkan bagaimana caranya aku memberitahu Mas Adji sedangkan aku saja tidak lagi mempunyai kontaknya yang bisa dihubungi. "Ha. Kak Andin bisa jadi masih punya nomernya Mas Adji." Aku teringat Kak Andin pernah menelepon Mas Adji waktu itu. Pikirku, mungkin saja Kak Andin masih menyimpan nomornya. Aku bersigera mengetik pada kolom chat. Baru saja tertulis dua kata, aku menghentikan gerakan jemariku secara tiba-tiba. "Tapi, Kak Andin masih marah nggak ya sama aku?" Kak Andin tipe orang yang pendendam, jika dia membenci seseorang maka dia mampu tidak menegur orang tersebut seumur hidupnya. Karena kejadian beberapa hari lalu, di mana aku tanpa sadar menampar Kak Andin secara terang-terangan itu tentunya membuatnya sangat marah kepadaku. "Apa salahnya dicoba dul
“Oh iya Jeng Ria. Katanya apa bener berita yang Jeng Ria bilang dulu itu kalau si Sinta itu kaya raya karena jualan obat terlarang, aku masih ingat loh waktu Jeng Ria cerita yang itu. Gimana Ibu-ibu juga masih ingat ga?” tanya salah seorang dari mereka, seketika yang lain ikut memberikan pernyataan yang sama jika mereka juga masih mengingat apa yang mereka maksud. "Apa, enak aja kalian, ngefitnah orang sembarangan. Orang tuaku orang baik-baik. Mereka ngasih makan anak-anaknya dengan uang yang halal.” Akhirnya emosiku meluap, tanpa pikir panjang aku majuu ke depan membela nama baik kedua orang tuaku. “Naya, berani-beraninya kamu membentak tamu saya.” Suaraku semakin meninggi daripada tingginya suara Mama Rizki. “Eh Tante Ria si penyebaran fitnah. Diam kamu!” ancamku balik. “Ibu-ibu dengerin ya, asal kalian tahu waktu dulu Ria ini masih di bawah, yang ngebantu keluarganya siapa? Orang tuaku. Yang biayain modal bisnis siapa? Ayahku. Kalian tahu? Tidak akan mungkin, karena yang diceri
“Rizki. Ngapain kamu merhatiin dia?” teriak Tante Ria. Rizki naik pitam, dia merebahkan aku dengan pelan. “Ma, Mama kelewatan, keterlaluan. Mama sangat bej**, ini sudah melampaui batas, Ma. Kenapa sih Mama benci banget sama Naya, Naya ini isteri aku Ma, menantu Mama.”“Lewat batas? Andai kamu tahu apa yang sudah dia lakuin ke Mama, Riz. Pasti kamu juga akan jauh lebih marah daripada Mama.”“Rizki sudah tahu. Mama bener-bener kelewatan. Mama mau jadi pembunuh?” Rizki menodongkan wajahnya.“Mama ga bermaksud membunuhnya. Mama hanya ingin memberinya efek jera.” Bibir Tante Ria bergetar.“Memberi efek jera bukan begitu Ma, itu pembunuhan berencana. Sudah, Mama sebaiknya istirahat di kamar! Sarah, anterin Nyonya ke kamarnya!”Rizki kembali duduk di sampingku. Aku tidak menutup mataku, masih berusaha terjaga agar tidak terjadi hal yang sangat tidak aku inginkan. Rizki membuka kotak P3K lalu membersihkan lukaku dengan kapas, dia mengoleskan salep pada luka di tanganku, aku sesekali mengere
“Tuan. Ada Kakek di depan.” Sarah membawa berita. “Apa? Astaga. Ya sudah, kamu jagain Naya!” titah Rizki pada Astuti. “Sayang, kamu jangan ke luar dari sini!” Rizki bergegas pergi ke luar menemui kakeknya. Tinggalah aku berdua lagi dengan Sarah. Sarah menutup pintu. Dia memijati kakiku dan menanyakan apa mauku. Aku mulai penasaran dengan keadaan di luar setelah melihat ekspresi Rizki. “Sarah, kenapa tadi waktu kamu bilang ke Rizki kalau kakeknya dateng tiba-tiba ekspresi Rizki langsung berubah cemas gitu?” tanyaku. “Sarah juga ndak tau, Mbak Naya.” Aku tidak percaya dengan jawaban Sarah. Sarah tidak pandai berbohong, aku pun mendesaknya sampai dia mau memberitahuku. “Jadi begini, Mbak. Kakek adalah pemilik seluruh harta yang ada di keluarga ini, termasuk rumah ini dan segala pernak-perniknya. Kakek sudah lama minta pewaris, seorang buyut dari Tuan Rizki. Tapi, sampai sekarang masih belum diberi.” Akhirnya Astuti mau bicara. “Sampai sekarang, maksudmu cucu-cucunya belum ada ya
Kami telah tiba di rumah sakit yang dituju. Rizki tidak membiarkan aku berjalan sendiri, dia menggendongku lagi sampai ke dalam rumah sakit dan disambut para suster yang memberikan kursi roda untukku.Dokter memeriksa bekas cambukan di tubuhku. Aku hanya diam dan Tante Ria siap melancarkan cerita bohongnya untuk melindungi diri. Jika saja aku mau, aku bisa saja memberitahukan dokter tentang apa yang terjadi dan membuat Rizki dengan ibunya terjerat pasal KDRT.“Gimana, Dok?” tanya Rizki.“Bisa kita bicara di luar?” tanya Dokter yang langsung dijawab Rizki dengan angggukan setuju. Mereka berdua pun ke luar dari ruangan, meninggalkan aku dengan Tante Ria.Mata Tante Ria memerah dan sembab. “Ya ampun, Naya. Maafkan Mama ya. Ternyata separah itu,” lirihnya langsung memelukku. Bekas cambukan itu masih terasa sangat sakit, aku tidak akan bisa melupakan apa yang telah dia lakukan kepadaku meski sampai rasa sakit cambukan ini sembuh. Apalagi rasa sakitku saat dia menghina dan memfitnah orang t
Suara itu adalah milik Pritta, teman satu kantorku dulu. Aku sangat yakin itu. Aku memperbaiki sikapku pada Rizki dan Tante Ria agar aku dapat mengetahui apa hal yang ada di balik semua ini. Hari ini Rizki tidak pergi bekerja karena dia ingin bertemu kakeknya. Dia juga memintaku untuk ikut dengannya dan mengenalkan aku kepada kakeknya. Awalnya aku ragu, namun inilah kesempatan bagiku untuk mengoyak fakta yang balum aku ketahui. “Sayang, nanti di rumah Kakek kalau Kakek nanya yang macem-macem jangan dijawab ya. Satu lagi, apapun yang aku katakan kamu harus mengiyakan!” “Iya Mas, kan sudah dikasih tahu. Aku ga lupa kok.” Aku tidak merubah sikapku seratus persen, aku takut jika Rizki mencurigai akan ketahuanku tentang hal mengenai rencana busuknya. Bersama dengan Rizki, kami berdua pergi ke rumah kakeknya Rizki, sesampainya di sana aku dikejutkan dengan megahnya istana tempat tinggal bak istana seorang raja. Pernak-pernik rumah yang mewah nan indah memanjakan mata. Kami menyusuri ru
Kakek hanya menggeleng melihat tingkah Rizki. Setelahnya, dia kembali mempertanyakan nama ayahku kepadaku, dia masih menunggu jawaban dengan kerutan di dahinya. Rizki yang asyik makan itu pun menyentuh kakiku dengan kakinya. ‘Sepertinya aku harus berbohong,” gumamku dalam hati. “Jadi, siapa nama ayahmu?” tanya Kakek lagi. “Iwan, Kek.” Aku berbohong. “Iwan? Wah, ga tau Kakek.” Rizki menurunkan tangannya dari meja, tanpa sepengetahuan Kakek, Rizki mengacungkan jari jempolnya kepadaku. Berarti kebohonganku dibenarkan olehnya. Aku menarik napas lega. Siang harinya, aku bersama Rizki memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Rizki. Sesampainya di rumah Rizki, dia memintaku untuk langsung masuk ke dalam kemar. Entah apa motifnya mengurungku di kamar. Sesampainya aku di kamar, Tante Ria menghampiriku dan langsung menanyakan keadaanku. Motif aslinya pastinya bukan mempertanyakan kondisiku, melainkan bagaimana keadaan di rumah Kakeknya Rizki, apa saja yang dikatakan Kakek dan sebagainya.
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua