Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, menandakan ada aktivitas di dalamnya. Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya menutupi tubuh bagian bawah. Otot seperti roti sobek itu terlihat sempurna dilihat dari sisi manapun.
Nero menatap tubuhnya di cermin lalu masuk ke ruang ganti, memilih kemeja dan setelan jas. Tampak semua baju tersusun rapi sesuai warna. Tapi mata Nero menangkap sesuatu yang mengganggunya.
“Ck, siapa yang meletakkan ini!” Nero menajamkan matanya, kesal saat melihat baju berwarna putih tercampur di antara baju berwarna hitam. Dia mengambil baju itu lalu meletakkannnya di tempat semestinya.
Kini pria itu sudah berpakaian lengkap dengan kemeja putih dan dasi abu-abu gelap. Jas serta celana senada dengan warna dasi dan sepatu berwarna hitam yang menyilaukan mata. Setelah siap dengan dengan semuanya, Nero keluar dari kamar menuju ruang makan.
“Kau mau ke mana? Ke kantor atau ke rumah gadis itu?” Alton melirik Nero sekilas yang menurutnya seperti akan pergi ke pertemuan resmi.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak punya rumah?” Nero menatap tajam Alton yang masih berada di rumahnya.
“Hei, semalaman aku bekerja, mencari informasi tentang gadis itu.” Alton protes, karena penyebab dia tidak pulang ke rumah adalah demi Nero.
“Lalu? Apa yang kau dapatkan?” Nero acuh, apa pun itu alasan dia menikah adalah perusahaan yang tidak boleh jatuh ke tangan ibu tiri. Dia tidak akan mengizinkan apa yang telah diperjuangkan ayahnya harus jatuh ke tangan yang salah.
“Nama gadis itu adalah Leah Andini, di sini tertulis dia adalah lulusan terbaik di universitas xx, ayahnya adalah seorang manager di salah satu e-commerce dan ibunya ....” Alton menghentikan bicaranya, dia menatap Nero yang terlihat tidak mendengarkan.
“Hei, apa kau mendengarkan aku?” Alton melambai-lambaikan tangannya pada Nero.
“Jauhkan tanganmu dariku.” Nero mengoleskan selai cokelat ke roti lapisnya.
Pria itu menggelengkan kepala, karena Nero mengoleskan selai pada roti lapisnya dengan sempurna, tidak ada sedikit pun selai yang keluar dari garis edar.
“Kau lihat apa?” Nero mendelik saat melihat Alton menatapnya dengan tatapan aneh.
“Aku tidak tahu apakah akan ada wanita yang sanggup menghadapimu, Nero.” Alton ikut mengoleskan selai, tapi tidak sesempurna seperti apa yang dilakukan Nero. Bahkan sedikit selai menempel di piring dan berantakan pada pisau.
“Mataku sakit melihatnya,” celetuk Nero.
Alton acuh, dia tidak menghiraukan tatapan tajam dari Nero. Dua pria itu sarapan dengan gaya mereka masing-masing.
***
Bel rumah Leah berbunyi dua kali. Tetapi belum ada tanda-tanda akan dibuka oleh penghuni rumah.
“Tekan lagi belnya!” perintah Nero pada Alton.
Alton ingin protes tapi diturutinya perintah Nero. Tidak lama kemudian seorang pria membuka pintu, pria paruh baya itu menatap Nero dan Alton dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Cari siapa?” tanya pria itu.
“Maaf kak, ini benar rumah Leah kan? Apakah Leahnya ada atau orangtuanya?” tanya Alton pada pria yang membukakan pintu.
“Jadi namanya Leah,” bathin Nero. Padahal dia sudah diberitahu sebelumnya oleh Alton, ternyata Nero benar-benar tidak mendengarkan tadi.
“Perasaan di sana tertulis bahwa Leah adalah anak tunggal dan belum menikah. Lalu siapa pria ini? Apa kami datang ke rumah yang salah?” tanya Alton dalam hati,. Dia celingukan tapi merasa benar saat melihat nomor rumah yang bertuliskan angka dua belas.
“Kenapa kalian mencari Leah? Siapa kalian?”
“Maaf tapi kakak ini siapanya Leah?” tanya Alton penasaran.
“Kakak? Aku ayahnya.” Pria yang tidak lain adalah ayah Leah itu tersenyum manis.
Alton terkejut, bagaimana bisa ayah dari seorang gadis 20an memiliki wajah semuda itu. Apa pria ini vampir yang masa tuanya berhenti di usia tertentu.
Nero tampak tidak peduli dengan percapakan antara Ayah Leah dan Alton. Dia malah sibuk memperhatikan sekeliling. Semua tampak rapi dan terlihat sempurna, bunga-bunga berjajar rapi sesuai warna. Tanpa Nero sadari dia tersenyum, satu hal yang sangat jarang terjadi. Ayah Leah seolah mengerti apa yang sedang Nero pikirkan.
“Itu susunan bunga istriku, dia tidak bisa diam saat pot-pot itu tidak tersusun sesuai warna, begitu juga bunganya. Dia tidak segan untuk menanam semua bunga itu agar pot berjajar sesuai warna,” ujar Ayah Leah.
Alton terkejut, jangan-jangan Ibu Leah juga mengidap syndrom yang sama seperti Nero.
“Maaf, aku tidak menyadari jika Ayah Leah masih sangat muda.” Alton tersenyum, karena menurut informasi pria di depannya ini sudah berusia lebih dari empat puluh tahun.
“Itu karena kami menikah muda.” Ayah Leah menangkap maksud dari ucapan Alton.
“Kalau begitu apakah Leah ada di rumah?” tanya Alton.
“Leah sedang membantu ibunya memasak di dapur. Ayo masuk.” Ayah Leah mempersilahkan dua pria itu masuk tanpa ada rasa curiga sedikit pun. Tapi Nero tak serta merta menuruti, lagi-lagi dia melihat sekeliling ruang tamu. Sofa minimalis berwarna dongker tampak serasi dengan taplak meja warna senada.
Setelah mempersilahkan mereka duduk, Ayah Leah masuk ke dalam untuk menghampiri istri dan anaknya. “Bu, ada dua pria mencari Leah,” bisiknya pada sang istri.
“Kalian kenapa bisik-bisik begitu, sih?” Leah berusaha menajamkan indra pendengarannya namun dia tidak bisa mendengar apa pun.
Sudah lebih dari setahun Leah sendiri, ini kali pertama ada pria yang datang ke rumah. Bukan karena tidak ada yang mencoba datang, tapi Leah melarang siapapun untuk datang setelah dia gagal menikah. Alasannya sederhana, selain tidak enak dengan tetangga, alasan lainnya adalah karena Ayah Leah yang posesif terkadang membuat peraturan yang membuat calon pacar kabur sebelum berperang. Hanya Kevin yang mampu bertahan dengan semua peraturan itu tapi pada akhirnya pernikahan itu tetap gagal.
“Leah, apa kau diam-diam punya pacar? Hayo, ngaku.” Ayah serius bertanya dengan nada menggoda.
“Tidak.” Leah menjawab tegas pertanyaan ayahnya. Hari-harinya hanya disibukkan dengan bekerja dan menghabiskan waktu di rumah, sesekali dia membantu katering ibu. Leah trauma dengan pernikahan dan tidak percaya dengan pria manapun kecuali ayahnya.
“Lalu siapa dua pria di luar?” tanya ayah.
“Siapa?” Leah malah balik bertanya.
“Ada dua pria tampan di luar yang mencarimu.” Ayah mematikan kompor, lalu menggandeng istri dan anaknya ke ruang tamu. Sekarang mereka mengintip di balik gorden.
“Aku tidak kenal mereka,” ucap Leah ketus.
“Ayah jangan sembarangan mengizinkan orang masuk dong. Mana tahu mereka berniat jahat,” kata Leah lagi.
“Firasat ayah mengatakan kalau mereka oreng baik.” Ayah berbicara sambil berbisik.
“Lihat jasnya, sepertinya dia bukan orang biasa,” Ibu menimpali.
“Ibu, modus penipuan bisa apa saja. Berpura-pura menjadi orang kaya juga bisa jadi salah satu modus penipuan.” Leah melihat kedua orang tuanya yang malah tampak terpesona saat melihat dua pria yang tidak dikenal itu.
Akhirnya ayah keluar dari persembunyian setelah sepakat untuk membiarkan Leah dan ibunya tetap mengintip di balik gorden.
“Maaf sebelumnya, sebagai kepala keluarga di rumah ini saya mau bertanya, apa maksud dari kedatangan kalian ke sini?” Ayah bertanya dengan serius.
“Saya hendak melamar Leah.” Nero tanpa basa-basi berbicara dengan nada tak kalah serius.
Ibu dan Leah yang masih menguping di balik gorden tampak syok. Dilihatnya sekali lagi Nero yang menatap ayahnya dengan wajah serius, sorot matanya tidak mengatakan kalau dia sedang main-main.“Leah, kau yakin tidak mengenalnya?” bisik ibu yang juga tampak tercengang dengan apa yang dia dengar. Mereka tidak salah dengar kan. Leah menatap Nero lekat, meski dari kejauhan dia yakin jika dia tidak mengenal Nero. Sekali lagi dia berusaha mengingat tetapi berkali-kali juga dia yakin bahwa tidak ada sosok Nero dalam memori ingatannya.“Aku berani bersumpah, Bu! Aku tidak mengenalnya.” Leah menjawab pertanyaan ibu tapi sepertinya terlalu keras. Terbukti saat Nero menatap lurus gorden tempat mereka bersembunyi. Pandangan mereka bertemu, terlihat Nero tersenyum ramah. Entah itu hanya akting atau Nero yang sesungguhnya, tidak ada yang tahu.“Leah, kemarilah, Nak.” Ayah memanggil karena merasa persembunyian Leah telah diketahui Nero.
Setelah dua hari, Nero menepati janjinya untuk datang kembali ke rumah Leah. Apapun yang terjadi dia harus menikah. Meski tidak mengenal Leah tapi entah kenapa seperti ada ikatan antara dia dengan gadis itu. Namun karena banyak sekali pekerjaan di perusahaan membuat Nero harus datang pada malam hari.Leah sedang di kamar saat Nero datang, awalnya dia cukup kesal karena merasa Nero tidak menepati janji. “Mana? Katanya mau datang. Semua pria memang sama saja, kecuali ayah sih karena ayah selalu menepati janji.” Leah berbicara sendiri. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun Nero belum juga datang.“Mikirin apa sih aku? Hei Leah, dia itu hanya orang iseng yang mau mempermainkan kamu. Sudah, tidak usah sedih.” Leah menyemangati dirinya sendiri.“Tapi dia ganteng,” gumam Leah.“Hei hati, sebenarnya kau itu punya siapa? Kenapa kau berdebar hanya dengan membayangkan wajahnya. Sudahlah, dia
Mobil hitam yang membawa Leah tiba di sebuah restoran mewah dekat komplek perkantoran elit."Silahkan, Nona." Seorang pengawal membuka pintu untuk Leah."Ah, iya." Leah turun sambil menatap sekitar, dia pernah melihat restoran ini di media sosial. Tetapi tidak pernah mencoba untuk datang ke sana. Karena Leah pikir, mereka hanya menjual tempat, untuk rasa makanannya paling juga lebih enak masakan ibunya."Tuan Nero sudah menunggu." Pria itu mempersilahkan Leah untuk mengikutinya."Kok jantungku berdebar sih, aku tidak akan dieksekusi di sini kan. Ayah, selamatkan aku. Kenapa calon suamiku sepertinya menakutkan." Leah berbicara dalam hati.Setelah beberapa saat mereka tiba di sebuah private room, dan hanya orang dari kalangan tertentu yang boleh masuk. Terlihat dari tulisan VVIP yang membuat mata Leah silau saat melihatnya.Pintu itu digeser perlahan oleh pengawal yang membawa Leah ke sini. "Silahkan, Nona.""Iya, terima kasih."
Nero melirik Leah yang fokus pada makan siangnya. Tapi sebelum gadis itu sadar jika dia mencuri pandang, Nero dengan cepat mengalihkan pandangannya."Dia memang cantik sih." Nero seolah membenarkan ucapan Alton waktu itu."Aku sudah selesai, apakah aku boleh kembali ke kantor?" tanya Leah sesaat setelah menghambiskan makanannya."Kau lapar?" Nero melihat piring Leah yang kosong, tak ada satu makanan pun yang tersisa."Kata Ibu tidak boleh mubazir pada makanan, kau harus menghargainya walaupun makanan itu tidak enak sekali pun." Leah mengulangi apa yang pernah dikatakan oleh ibunya."Kan memang aku membayar makanan ini." Sikap Nero acuh, baginya jika makanan sudah dibayar maka dia bebas melakukan apapun."Jadi, aku sekarang bisa kembali ke kantor kan?" Leah mengulang pertanyannya. Karena sepertinya urusannya dengan Nero sudah selesai."Tidak, kita akan memilih gaun untukmu." Nero masih melanjutkan acara makannya."Cincin?" tanya
Akhirnya Leah tidak kembali ke kantornya. Setelah dibuat kesal oleh Nero, Leah diantar pulang oleh sopir dan seorang pengawal. Tanpa Nero tentu saja karena pria sibuk itu harus kembali bekerja."Nona, ini." Pengawal menyerahkan sebuah paper bag berwarna biru muda."Apa ini?" tanya Leah."Tuan Nero hanya meminta saya untuk memberikannya pada anda, Nona.""Terima kasih." Leah menerima paper bag yang cukup berat itu."Kalau begitu kami permisi, Nona." Pengawal itu mengganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam mobil.Leah masuk ke dalam rumah, dilihatnya mobil ayah sudah terparkir, tanda bahwa ayah sudah pulang. Setelah masuk ke rumah Leah melihat orangtuanya berada di ruang tengah. Ayah sedang mengecek grup pesan berlogo hijau, sementara ibu sedang berkutat dengan catatan, ponsel dan kalkulator kesayangannya."Ada-ada saja." Ayah menghela nafas pelan."Kenapa?" tanya ibu."Biasa, ada kesalahan internal pada tim In-Bound." 
Pagi ini adalah pagi yang cerah, burung-burung berkicauan dengan merdu, terdengar dari balik jendela kamar gadis yang sebentar lagi akan melepas status singlenya."Leah." Suara ibu terdengar memanggil anak semata wayangnya."Iya, Bu. Ini juga sudah bangun." Tapi gadis itu masih nyaman di dalam selimutnya."Segera mandi, Leah," perintah ibu."Iya."Akhirnya gadis itu beranjak dari kasurnya, mengerjapkan mata dan mencoba mengumpulnya nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Leah berencana tidur tadi malam, tetapi drama on-going yang dia tunggu selama seminggu ternyata tayang malam itu. Bahkan tayang tiga episode sekaligus. Hal itu membuat Leah melupakan janjinya untuk beristirahat, dia justru begadang."Hah, aku masih ngantuk." Leah menguap tapi dia ingat jika hari ini Nero akan datang. Dengan cepat gadis itu meraih lulur dan masker rambut. Dia harus melakukan sedikit perawatan agar terlihat baik saat bertemu Nero nanti."Leah!" Ter
Nero masuk ke dalam mobil, meninggalkan Leah yang masih berdiri dengan wajah merah."Suamiku sayang. Hih! Apa-apaan itu." Leah memegang tengkuknya yang merinding. Bukan panggilan yang disebutkan Nero yang membuat Leah malu, tapi berada sedekat itu dengan Nero membuat jantung Leah berirama tidak karuan."Aku ini kenapa sih? Dengan Kevin dulu saja aku tidak pernah seperti ini." Leah masuk ke dalam rumah. Lalu menghela nafas saat melihat hadiah pernikahan yang berjajar memenuhi rumah.***Nero menatap gedung-gedung tinggi dari dalam mobil. Dia menghela nafas pelan."Ada apa, Tuan. Anda terlihat tidak senang." Ken menatap Nero dari kaca mobil."Tidak."Mereka tiba di gedung utama Aditama Group. Semua pegawai yang melihat kehadiran Nero dan asistennya tampak menundukkan kepala."Silahkan, Tuan." Ken mempersilahkan Nero masuk ke dalam lift khusus, lift yang hanya menuju satu lantai saja, tempat Nero menghabiskan harinya."Ruan
Nero merasakan angin berhembus dari jendela yang di buka lebar, saat ini dia sedang merilekskan tubuh dan pikirannya di sebuah ruangan yang atapnya terbuat dari kaca transparan. Melihat langit pekat tanpa dihiasi bintang membuatnya sedikit tenang.Tadi dia mencoba menahan semua rasa takutnya, mencoba menjadi pria kuat saat bertemu Veronica. Tapi Nero hanyalah manusia yang pasti memiliki rasa takut. Dan rasa takut terbesarnya adalah ibu tiri yang tidak pernah dipanggilnya ibu."Aku harus menghindari wanita itu mulai sekarang. Jangan sampai dia bertemu dengan gadis itu nanti." Nero bergumam, dia bertekad tidak akan membuat Leah atau pun Veronica bersinggungan. Tidak akan ada hubungan mertua dan menantu antara dua orang itu.Nero mengambil ponselnya yang ada di meja bundar di samping tempat dia duduk sekarang. "Sedang apa dia? Kenapa tidak ada basa-basinya, padahal sebentar lagi menikah." Nero meletakkan lagi ponselnya yang tidak ada notifikasi dari Leah, mengurung
"Ken.""Ya, Tuan?""Isi ruang kerja dengan buku baru." Nero menatap sekretarisnya."Buku? Buku seperti apa yang anda inginkan, Tuan?" tanya Ken."Isi dengan novel yang pernah kau bawa waktu itu.""Novel? Apa anda yakin?" tanya Ken bingung."Hmm." "Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkannya." Ken berlalu meninggalkan Nero dengan raut wajah penuh tanya.***Vero berjalan melintasi beberapa ruangan, dia menuju ruang private yang sudah disiapkan seseorang yang menghubunginya.Tepat di depan ruangan yang dimaksud, dua orang berbadan besar berdiri."Saya Veronika," ucap wanita itu.Salah satu dari pria itu membukakan pintu. Vero melihat seseorang tengah duduk membelakanginya."Duduklah," ucap pria itu dengan nada serius.Seketika Vero duduk di depan pria itu, dilihatnya pria itu ternyata masih muda. Pria yang terlihat gagah dengan setelan jasnya."Sebelumnya perkenalkan, nama saya Kevin. Ah, tidak perlu dikenalkan, ya. Kau sudah tahu siapa aku," ucap pria itu sambil menyeruput teh hijaunya
Nero terbangun, kaget saat mendapati kaki Leah menjadi bantalan tidurnya. Dilihatnya Leah yang masih tertidur meski dalam posisi duduk."Apa aku sudah gila sehingga aku tertidur dipangkuan seorang gadis," batin Nero."Kamu sudah bangun?" Leah meregangkan seluruh ototnya, lehernya sedekit sakit karena posisi tidur yang tidak benar."Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidur di pangkuanmu?" tanya Nero penasaran, raut wajahnya terlihat malu."Kamu tidak ingat? Semalam kamu bermimpi buruk, aku sudah mencoba membangunkanmu namun tidak bisa. Setelah itu kamu tertidur di sini." Leah menepuk kakinya yang dijadikan bantalan oleh Nero.Nero menggeleng, dia tidak ingat apapun."Aku mau mandi," ucap Leah. Namun kaki Leah mati rasa, dia terjatuh saat akan berdiri."Kaki ku kram," ucap Leah.Nero mengampiri Leah, menggendongnya lalu merebahkan tubuh gadis itu di kasur."Hari ini kau tidak usah bekerja. Besok saja.""Kenapa?" tany
Sesuai janji Leon, dia menemani Leah berkeliling rumah. Rumah yang ternyata memiliki satu rumah lagi di bagian belakang, khusus untuk para pelayan. Tampak pelayan yang tanpa sengaja berpapasan dengan mereka terlihat menundukkan kepala hormat. Leah merasa canggung meski dia tahu jika dia adalah nyonya rumah ini. Setelah selesai Leah dan Leon duduk di kursi yang berada dekat kolam setelah berkeliling rumah, hari ini bintang-bintang tidak diselimuti awan membuat pemandangan langit dari sana sungguh sangat indah."Kak, bolehkah aku bertanya?" tanya Leon membuka perbicaraan."Boleh." Leah kini menatap Leon."Apakah kakak mencintai kakakku? Aku tahu kakak terpaksa kan menikah dengan Kak Nero? Aku tidak tahu apa alasan di balik kakak menyetujui pernikahan ini. Tapi, aku tahu kakak orang baik. Kakak tidak akan menyakitinya kan?" ucap Leon."Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku tidak akan meninggalkannya, aku akan jadi istri yang baik seperti ibu
Leon menatap kakaknya dengan mata memicing, banyak sekali pertanyaan yang harus dia tanyakan. Dia melihat kakaknya yang sedang duduk di kursi malah sedang santai makan aneka buah-buahan."Katakan, Kak!" Leon bersuara dengan nada yang lumayan tinggi.Nero menatap adiknya sekilas, lalu kembali fokus pada buah kiwi yang segar dan dingin."Kakak." Kali ini suara Leon merengek."Kau ini kenapa?" Nero tampak acuh menjawab adiknya."Kenapa kakak ipar memakai baju yang kakak ambil di rak?""Kenapa? Apa ada yang salah dengan itu?""Tidak, tidak ada," ucap Leon. Kakaknya adalah suami Leah, tentu saja bisa melakukan apapun. Pantas saja Leon dilarang masuk ke kamar, ternyata benar jika kakak iparnya tidak memakai baju. Seketika wajah Leon memerah lalu dia menatap kakaknya lagi yang wajahnya masih terlihat tenang."Bagaimana rasanya, Kak?" tanya Leon yang kini duduk mensejajari kakaknya."Apa?" Yang ditanya malah balik bertanya
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Nero keluar dari dalam kamar. Sebelum keluar, sekali lagi dia menoleh ke belakang, memastikan Leah tidak mengikutinya.Nero menatap Ken seolah memberi isyarat jika keadaan sudah aman dan mereka bisa meletakkan barang-barang itu ke dalam kamar.“Satukan saja dengan pakaianku,” perintah Nero yang ditanggapi dengan tatapan bingung Ken. Namun, pria bertubuh tinggi itu menganggukkan kepalanya, menuruti apapun yang tuannya inginkan.Hanya seorang karyawan laki-laki yang berstatus sebagai menager di galeri tersebut dan Ken beserta kepala pelayan yang masuk untuk menyusun semua barang-barang yang akan menjadi milik nyonya rumah. Leon yang mencoba untuk ikut masuk ditahan oleh Nero di depan pintu.“Mau apa kau masuk?” Nero menatap sinis adiknya.“Aku mau bertemu kakak ipar,” kata Leon, pria itu melirik ke arah kamar yang pintunya terbuka.“Aku akan memanggilnya na
"Kakak ipar?" Nero duduk di sofa, memandang adiknya dengan tatapan menyelidik."Iya, dia kan istrinya kakak tentu saja harus aku panggil kakak ipar. Bukankah begitu?" Leon ikut duduk di sofa mensejajari kakaknya."Aku sudah cuci tangan." Leon seolah mengerti arti tatapan kakaknya."Di mana kakak ipar?" tanya Leon."Di kamar." Nero menjawab singkat."Kenapa di kamar?" Kini tatapan Leon yang menyelidik, dia tersenyum seolah mengerti apa yang telah terjadi dan apa yang membuat kakak iparnya berada di dalam kamar."Jadi bagaimana?" Leon mendekati kakaknya, meminta review atas malam pertama semalam."Apa?" Nero manatap sinis."Itu," jawab Leon."Itu apa? Bicara yang benar." Nero berkata ketus."Malam pertamanya lah, Kak." Leon menyerah, dia baru sadar jika kakaknya adalah manusia paling kaku di dunia."Ya, begitulah." Nero tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi, karena memang tidak ada yang terjadi diantara me
"Apa?" Vero bingung dengan apa yang dikatakan anaknya."Penulis, Bu. Penulis novel. Aku ingin jadi penulis sekaligus editor." Leon memandang taman yang ada di belakang ibunya.Vero tak menjawab, dia kini menatap tajam anak kandungnya. Selama ini dia mengupayakam segala usaha untuk membuat Leon menjadi ahli waris utama tapi sekarang anaknya hanya ingin jadi penulis novel. Sangat tidak bisa dibiarkan."Aku harap ibu mendukungku." Leon menghela napas, pria itu bahkan sudah diam-diam menjadi penulis dan editor di salah satu platfrom yang lumayan terkenal. Tanpa diketahui ibunya tentu saja, jika ibunya tahu pasti dia akan dipanggang hidup-hidup.Semua itu terjadi karena kecintaan Leon pada buku dan membaca. Dia akan marah saat sebuah tulisan terutama buku atau novel dibuat dengan kalimat yang salah dan tidak tersusun dengan rapi.Bagi Leon mengedit naskah atau buku itu adalah hal yang menyenangkan karena membaca adalah hobinya sejak dulu. Tugasnya bukan
Leah sudah memegang handle pintu sebelum membaca tulisan 'Dilarang Masuk Tanpa Izin'."Eh, pintunya menggunakan password," Leah akhirnya mengetuk pintu itu. Tak lama Nero keluar."Ada apa?" tanya Nero dingin."Ya aku mau masuk." Leah masuk ke kamar itu tanpa persetujuan Nero.Leah tampak memperhatikan sekeliling, desain interior kamar tersebut sangat elegan meskipun beberapa perabotan terlihat sederhana tapi pasti sangat mahal, di sisi sebelah kanan ranjang terdapat sebuah pintu lagi."Ada apa di sana?" tanya Leah penasaran."Ruang kerjaku," jawab Nero singkat."Bolehkah aku masuk?" tanya gadis itu.Nero tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan.Leah membuka pintu, ruangan itu sama seperti ruangan kerja pada umumnya. Terdapat meja dengan setumpuk buku dan berkas serta laptop, ada kursi kerja yang nyaman dan perpustakaan mini dengan deretan buku yang rapi berjajar.Di dalam ruangan itu juga terdapat sebuah sofa b
Setelah acara sarapan dalam diam selesai, kini Nero sudah mengganti pakaiannya. Setelan jas berwarna abu-abu dengan kaos berwarna putih di dalamnya, membuat Nero terlihat menawan."Apa yang kau lihat?" tanya Nero saat melihat Leah tidak berkedip saat memandangnya."Tidak." Leah menggeleng dengan cepat."Silakan tuan dan nona." Ken mempersilahkan Leah dan Nero masuk ke dalam lift."Kita mau ke mana?" tanya Leah."Ke rumah," jawab Nero singkat."Rumah siapa?" tanya gadis itu lagi."Kau ini kenapa berisik sekali. Tidak bisakah kau kau hanya diam dan ikut saja," kata Nero yang tampak kesal."Aku kan hanya bertanya." Leah protes karena sejak tadi dia disuruh diam.Kali ini Nero tidak menanggapi istrinya. Dia hanya menggelengkan kepala. Lift terbuka dan beberapa orang yang kenal dengan Nero nampak memberi hormat."Sebenarnya dia sehebat dan sekaya apa sih?" batin Leah."Kita tidak pisah mobil lagi kan?" Lea