Klausul kerja yang dirancang Staf Administrasi Pinto telah dipelajari oleh Mas Ondi dan Mas Gagan. Tiada satupun poin yang memberatkan. Semuanya adil bagi penerima kerja. Mereka menempelkan tanda tangan pada kontrak kerja yang dibuat Staf Adminstrasi Pinto. Duo sosiolog resmi berstatus TA tambahan Pinto.
Sekarang, pukul delapan pagi hadir di sekitar Mas Ondi dan Mas Gagan. Mereka berdua bersiap siaga. Bercokol di ruang kerja Pinto. Keduanya tengah menanti Pinto. Hendak menjabarkan salah satu rencana pekerjaan kepada tuan bos baru.
Saat sedang bertukar lisan, Mas Ondi dan Mas Gagan menangkap bunyi derap kaki. Semakin lama semakin terdengar jelas suara tersebut. Pandangan mereka serta-merta beralih ke luar ruangan. Dan mereka melihat Pinto berdiri di samping pintu.
“Lho, Mas Ondi sama Mas Gagan ada di sini?” Pinto menanya. Terperanjat dia menatap keberadaan Mas Ondi dan Mas Gagan. Pinto lalu menyalami kedua TA tambahannya.
“Kami ada keperluan penting yang harus dibicarakan dengan Pak Pinto,” jawab Mas Ondi sigap.
Mimik Pinto berlumuran kekhawatiran. Hela napasnya merefleksikan ketegangan.
Tergopoh-gopoh Pinto menuju kursinya.
“Kami ingin memaparkan desain penelitian tentang perilaku sosial dan kondisi sosial-ekonomi di Dapil Pak Pinto,” Mas Gagan mengartikan jawaban Mas Ondi.
“Oh … Desain penelitian ….” Rasa khawatir dan tegang Pinto berangsur memudar. Aliran darahnya kembali normal. “Saya kira Mas Ondi sama Mas Gagan mau pinjam duit ke saya.”
Mas Ondi dan Mas Gagan terpingkal habis-habisan.
Mas Ondi menyahut seenaknya, “Saya bakal pinjam duit ke Pak Pinto kalau saya nikah lagi.”
Gantian Pinto yang terpingkal.
“Saya mengira seperti itu karena saya nggak tahu keperluan penting Mas Ondi sama Mas Gagan. Apalagi, Mas Ondi sama Mas Gagan nggak kasih tahu saya kalau Mas Ondi sama Mas Gagan mau datang ke sini,” terang Pinto apa adanya.
“Maafkan kami, Pak Pinto. Kami tidak sempat memberi tahu Pak Pinto. Kami sibuk membuat desain penelitian.” Mas Gagan mengambil proposal penelitian dari dalam tasnya. “Desain penelitian tertulis di sini,” ujarnya seraya menunjuk gerombolan kertas yang baru dia ambil. Ia mendekatkannya ke jangkauan Pinto.
Pinto menggapai proposal penelitian dan menariknya. Memperhatikannya lekat-lekat. Jari Pinto menyibak bagian sampul.
“Jadi, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitiannya adalah studi kasus. Pengumpulan data pada penelitian ini melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung. Kami akan mewawancarai pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat di Dapil Pak Pinto secara mendalam. Kami juga akan mengamati kehidupan sosial masyarakat di sana secara langsung,” Mas Gagan mulai memaparkan desain penelitian.
Pinto bertanya, “Siapa aja pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat yang akan diwawancarai Mas Gagan sama Mas Ondi?” Dia membolak-balik halaman proposal penelitian.
Mas Gagan menyebut pihak walikota, bupati, pimpinan ormas berpengaruh, pemuka agama, dan sesepuh setempat.
“Bagaimana cara Mas Gagan sama Mas Ondi mengamati kehidupan sosial masyarakat di sana?” tanya Pinto lagi. Dia masih menjamah halaman proposal penelitian.
“Caranya adalah kami melibatkan diri kami ke dalam segala aktivitas sosial mereka. Berbaur dan berinteraksi dengan mereka. Dengan begitu, kami dapat mengamati kehidupan sosial mereka dalam jarak dekat,” urai Mas Gagan lancar.
Pinto mengangguk-angguk. Pertanyaan dia berikutnya tentang lama waktu pengumpulan data penelitian.
data penelitian.
“Lama waktunya sekitar tiga minggu,” ungkap Mas Gagan memprediksi. “Bisa lebih dari tiga minggu?” Pinto mengulik pengungkapan Mas Gagan. Mas Gagan mengatakan, pengumpulan data penelitian bisa memakan lima pekan. Terjadi bila dirinya dan Mas Ondi menjumpai kendala. “Supaya proses pengumpulan data berjalan lancar, kami menjadikan tim relawan Pak Pinto sebagai pemandu. Kami akan meminta petunjuk sekaligus arahan mengenai kegiatan wawancara dan pengamatan kepada mereka. Mereka pasti sanggup memberikan petunjuk sekaligus arahan karena mereka adalah warga setempat,” Mas Ondi ikut memaparkan desain penelitian. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Oh, iya. Pak Pinto udah menghubungi mereka?” Pinto melepas jasnya. “Saya udah menghubungi mereka. Saya utarakan bantuan yang Mas Ondi sama Mas Gagan butuhkan dari mereka. Reaksi mereka positif. Mereka bersedia memberikan bantuan yang Mas Ondi sama Mas Gagan butuhkan.” Mas Ondi berseri-seri. Cahaya keriangan tersembul dari wa
Celotehan Monik Okky memuat kerinduannya terhadap Pinto. Ingin sekali ia menemui Pinto. Saling berbagi buah tutur. Bertukar cerita menarik. Namun sayang, Monik Okky tersandera oleh jadwal padat. Kerinduan Monik Okky simetris dengan hasrat Pinto. Pinto terlalu ingin berada di sisi Monik Okky. Menikmati laku agung Monik Okky tanpa penghalang. Secara langsung merasakan kilau aura Monik Okky. Pinto enggan mengungkapkan hasratnya. Apabila Pinto mengungkapkan hasratnya, niscaya sangkaan keliru Monik Okky muncul. Dijamin, Pinto dilanda oleh kerepotan. Dia wajib mencurahkan isi perasaan sejatinya. Sudah tentu merembesi penawar kepahitan di sanubari Monik Okky. "Aku ada schedule di lokasi biasa hari Sabtu sore," Monik Okky mengabarkan rutinitasnya. "Kalau Kak Pinto pengin dateng, dateng aja." Pinto memahami kalimat terakhir Monik Okky. Monik Okky mengirimkan kode tersirat kepadanya. Jari tengah Pinto menggosok jidat. "Di situ ada wartawan, nggak? Kalau ada, wartawa
"Ngapain Kak Pinto pake topi sama kaca mata item?" tanya Monik Okky penasaran. "Biar orang-orang jadi nggak mengenal muka saya. Soalnya saya lagi malas meladeni mereka," kata Pinto ringan. Dia menukas, "Saya nggak mau privasi saya direcoki mereka." Monik Okky memaklumi penyamaran Pinto. Bahwasanya, penyamaran merupakan hak mutlak Pinto. "Akting aku bagus atau jelek?" Monik Okky menagih kesediaan Pinto. Tepuk tangan Pinto mengoceh. "Luar biasa bagus," sanjungnya. Dia memberondong alasan, "Ekspresi marah kamu natural. Teriakan kamu bernyawa. Pelototan kamu ganas. Gerak badan kamu lentur. Cara kamu naik motor balap sebelas dua belas dengan pembalap beneran." Ia mengimbuhkan, "Saking bagusnya akting kamu, saya jadi lupa dengan karakter asli kamu." Dada Monik Okky mundur dan menurun. "Ah, Kak Pinto bisa aja. Lebay. Aktingku nggak keren, kok," sanggahnya tersipu-sipu. Menurutnya, hasil pekerjaannya terkapar di bawah standar. Sanggahan Monik Okky ditepis ol
Rooftop yang menyandang konsep kafe sekaligus rumah kaca tersebut berselimut kemewahan. Lantainya terbuat dari granit. Meja-meja di dalamnya mengandung marmer. Di setiap sisinya banyak terdapat kursi buatan Italia. Sebuah sofa panjang bernilai puluhan juta rupiah dikuasai oleh sepasang kekasih. “Perpolitikan sekarang makin bobrok,” Saroh mengomentari berita politik yang baru dia baca. Arung menoleh ke arah Saroh. “Bobrok gimana?” “Parah separah-parahnya!” koar Saroh ketus. “Sebagian anggota DPR makin jago sandiwaranya. Di depan rakyat, mereka mentingin rakyat dan religius. Di belakang rakyat, mereka saling berangkulan sembari bagi-bagi duit. Itu anggota DPR apa pemain teater?” kritiknya keras. Kritik Saroh sangat mengena. Bahkan keruncingannya menembus benak Arung. Benak Arung menyetujui kritik Saroh. Entah mengapa, lidah Arung gatal. Ingin sekali menghubungkan kritik Saroh dengan Khalim Mansyur. “Untung Papa kamu nggak pernah jadi anggota DPR,” tuka
“Gimana kabar perusahaan private equity kamu?” Saroh mengenyahkan keheningan. “Wishlight Capital udah resmi menjalin kemitraan strategis dengan tiga perusahaan investasi dari Amerika Serikat. Wishlight Capital mengelola dana mereka. Ke depannya, Wishlight Capital menanamkan modal di perusahaan rintisan yang prospeknya cerah, perusahaan berkembang, dan perusahaan raksasa. Wishlight Capital fokus di region Asia Tenggara,” Arung menyibakkan perkembangan dan rencana bisnis perusahaannya. Saroh takjub akan pencapaian perusahaan Arung. Dia melambungkan kehebatan Arung. “Biasa aja,” Arung merendah. “Alasan yang bikin mereka mau bukan Wishlight Capital, tapi daya saing dan daya tawar Indonesia. Perekonomian Indonesia cukup bagus di tingkat dunia. Indonesia juga mendapat bonus demografi. Banyak industri yang maju pesat di Indonesia. Kondisi positif ini bakal semakin berkembang di masa depan,” jabarnya nyaring. Saroh menyelami penjabaran Arung. “Bisnis Wishlight Capital b
Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang. Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian
Mereka berdua lantas menentukan pilihan. Saroh menjatuhkan minatnya pada sebuah buku mengenai Corporate Social Responsibility. Arung menetapkan akhir pemburuannya pada tiga buku psikologi anak dan tiga buku pengasuhan anak. Saroh menghampiri Arung. Ia memerhatikan isi tote bag transparan yang dijinjing Arung. Decak lidah Saroh mengiringi perhatiannya. Menurut Saroh, jumlah buku yang hendak dibeli Arung banyak sekali. “Bukan banyak sekali, tapi bagus sekali,” tepis Arung. “Kalau bukunya bagus, aku pasti pilih,” dia menambahkan. “Pinjem bukunya, dong …. Aku penasaran.” Arung mengulurkan tote bag transparannya kepada Saroh. Saroh mengeluarkan satu per satu buku yang ada di dalam tote bag transparan Arung. Dia membaca judul setengah lusin buku tersebut. “Aku baru tahu kamu suka psikologi anak sama parenting,” komentarnya agak kaget. “Aku suka psikologi anak karena aku nggak mau tuntutan aku terhadap anak-anak kita kelak berlebihan. Aku harus memast
"HABIS INI KITA KE MANA?" ulang Saroh kesal. "Kalem sedikit, Say ...," sahut Arung pelan. Dia mengusulkan, “Bagaimana kalau kita ke Es Teler 77?” Tanpa berpikir panjang, Saroh menyetujui usul Arung. Arung menggenggam erat telapak tangan Saroh. Mereka berjalan menuju lantai pertama. Di atas tangga eskalator, keduanya bersepakat. Mereka berdua akan mengunjungi Toko Buku Gramedia ini pada hari-hari esok. Sesampainya di gerai Es Teler 77, Saroh dan Arung langsung memesan menu. Mereka menempati kursi di pojok ruangan. "Kapan kamu lanjut kuliah S2?" Arung memulai obrolan baru. Bahu Saroh terangkat. Saroh belum dapat menentukan tahun studi pasca sarjananya. Bisa tahun ini, bisa juga tahun berikutnya. Sebab keseharian Saroh dicengkeram oleh kesibukan pekerjaan. Konsentrasi Saroh tercurahkan untuk aktivitas di kantornya. "Kamu kuliah S2 di kampus aku aja," Arung menganjurkan. Dia mengutarakan alasan, "Kuliah di Stanford Graduate School of Business sanga