Share

Bab 5

Rooftop yang menyandang konsep kafe sekaligus rumah kaca tersebut berselimut kemewahan. Lantainya terbuat dari granit. Meja-meja di dalamnya mengandung marmer. Di setiap sisinya banyak terdapat kursi buatan Italia. Sebuah sofa panjang bernilai puluhan juta rupiah dikuasai oleh sepasang kekasih.

     “Perpolitikan sekarang makin bobrok,” Saroh mengomentari berita politik yang baru dia baca.

     Arung menoleh ke arah Saroh. “Bobrok gimana?”

     “Parah separah-parahnya!” koar Saroh ketus. “Sebagian anggota DPR makin jago sandiwaranya. Di depan rakyat, mereka mentingin rakyat dan religius. Di belakang rakyat, mereka saling berangkulan sembari bagi-bagi duit. Itu anggota DPR apa pemain teater?” kritiknya keras.

     Kritik Saroh sangat mengena. Bahkan keruncingannya menembus benak Arung. Benak Arung menyetujui kritik Saroh.

     Entah mengapa, lidah Arung gatal. Ingin sekali menghubungkan kritik Saroh dengan Khalim Mansyur.

     “Untung Papa kamu nggak pernah jadi anggota DPR,” tukas Arung.

     “Papa emang nggak pernah jadi anggota DPR. Tapi, intinya sama,” Saroh mulai mengulas Khalim Mansyur.

     Minat Arung terhadap ulasan Saroh menebal. Arung mengukuhkan perhatiannya.

     “Papa ngelakuin politik kartel. Kongkalikong sama politisi lain. Bikin keputusan yang ngerugiin rakyat kecil!” Saroh menyebutkan tindakan Khalim Mansyur.

     Arung menggigit bibir. Dahinya tampak berlipat-lipat. Ia terjangkiti oleh kengerian.

     “Pak Presiden apalagi. Dia nunjuk orang lain jadi Menteri kayak siswa nunjuk siswa lain jadi anggota kerja kelompok,” Woro Supriyanto juga menjadi sasaran tembak Saroh.

     “Maksudnya?”

     “Pak Presiden nunjuk orang lain jadi Menteri karena orang itu temen deketnya. Dia nggak liat kompetensi orang itu,” Saroh menjelaskan perumpamaannya.

     Ketidakpahaman Arung pupus. Dia mendambakan pembahasan hal lain. Ia mendesak Saroh untuk pemberian ulasan tentang oligarki.

     “Oligarki pada masuk ke kementrian-kementrian. Mereka jadi Staf Khusus Menteri. Jumlahnya banyak. Nggak keitung! Mereka intervensi kebijakan Menteri buat kepentingan bisnisnya. Bisnisnya jadi menggurita!” ulas Saroh sengit.

     “Oligarki adalah warisan lama. Udah ada sejak rezim pemerintahan yang dulu,” timpal Arung pelan.

     “Iya, emang. Warisan lama rezim pemerintahan yang dulu, terus diturunin ke sebagian pejabat sekarang," Saroh mengakui. "Salah satunya Papa. Papa juga oligarki politik. Papa pertahanin jabatannya di pemerintah pake cara kotor,” ia kembali menyentil perilaku menyimpang Khalim Mansyur.

     Arung bergidik. Kengerian menghinggapinya lagi. Dugaanya, sikap Saroh terhadap Khalim Mansyur berubah drastis.

     “Kamu sayang Papa kamu?” tanya Arung tegas.

     “Sayang, lah!”

     Kelegaan memadamkan api kecemasan Arung. Otot-ototnya mengendur. Menandakan bahwa rasa ngeri yang menimpanya hilang.

     Tubuh Arung bergeser. Duduk persis di sebelah Saroh. Ia mengelus topi beanie yang menudungi kepala Saroh.

     “Aku khawatir kamu benci Papa kamu. Soalnya omongan kamu tadi pedas di telinga aku,” ungkap Arung terbuka.

     “Nggak pedes, ah,” tepis Saroh serta-merta. Ia berdalih, “Telinga kamu aja yang halus abis.

     ”Elusan Arung pada topi beanie yang menudungi kepala Saroh usai. Digantikan oleh tatapan teduh Arung terhadap wajah Saroh yang mirip gadis Timur Tengah.

      “Aku kagum sama kamu. Kritik kamu selalu relevan. Argumentasi kamu selalu logis. Sulit untuk menyanggah analisis kamu. Kamu luar biasa,” pujian Arung terurai lancar.

     Seuntai senyum Saroh menampakkan diri. Berwujud cantik dan lebar. Berwarna cerah.

     “Kamu nggak nyoba masuk ke politik?”

     “Aku bakal masuk ke politik suatu saat nanti,” balas Saroh mantap. “Pas aku udah di politik, aku bakal fokus di bidang sosial. Aku pengin berkontribusi di masyarakat,” imbuhnya kuat. Dia melempar pertanyaan serupa, “Kamu sendiri nggak nyoba masuk ke politik?”

     Arung menggeleng. “Nggak mungkin aku masuk ke politik. Aku bukan ahli politik. Nggak paham politik.”

      Suasana hening kini hadir. Desau angin mengitari Saroh dan Arung. Ketika angin berembus pelan, pandangan mereka berjalan berkeliling di kejauhan. Keduanya memandang kemegahan Daswin Office Tower, Raffles Hotel, Menara Gama, Menara BCA, Keraton Private Residence, Wisma 46, Sinarmas MSIG Tower, Millennium Office Tower, Menara Astra, dan Treasury Tower. Kala angin bertiup cepat, Saroh dan Arung berdiri seraya merentangkan kedua tangan. Mereka berdua menikmati jilatan angin pada permukaan kulit. Meneguk semua itu sampai hanyut dalam kepuasan.

 sampai hanyut dalam kepuasan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status