Rooftop yang menyandang konsep kafe sekaligus rumah kaca tersebut berselimut kemewahan. Lantainya terbuat dari granit. Meja-meja di dalamnya mengandung marmer. Di setiap sisinya banyak terdapat kursi buatan Italia. Sebuah sofa panjang bernilai puluhan juta rupiah dikuasai oleh sepasang kekasih.
“Perpolitikan sekarang makin bobrok,” Saroh mengomentari berita politik yang baru dia baca.
Arung menoleh ke arah Saroh. “Bobrok gimana?”
“Parah separah-parahnya!” koar Saroh ketus. “Sebagian anggota DPR makin jago sandiwaranya. Di depan rakyat, mereka mentingin rakyat dan religius. Di belakang rakyat, mereka saling berangkulan sembari bagi-bagi duit. Itu anggota DPR apa pemain teater?” kritiknya keras.
Kritik Saroh sangat mengena. Bahkan keruncingannya menembus benak Arung. Benak Arung menyetujui kritik Saroh.
Entah mengapa, lidah Arung gatal. Ingin sekali menghubungkan kritik Saroh dengan Khalim Mansyur.
“Untung Papa kamu nggak pernah jadi anggota DPR,” tukas Arung.
“Papa emang nggak pernah jadi anggota DPR. Tapi, intinya sama,” Saroh mulai mengulas Khalim Mansyur.
Minat Arung terhadap ulasan Saroh menebal. Arung mengukuhkan perhatiannya.
“Papa ngelakuin politik kartel. Kongkalikong sama politisi lain. Bikin keputusan yang ngerugiin rakyat kecil!” Saroh menyebutkan tindakan Khalim Mansyur.
Arung menggigit bibir. Dahinya tampak berlipat-lipat. Ia terjangkiti oleh kengerian.
“Pak Presiden apalagi. Dia nunjuk orang lain jadi Menteri kayak siswa nunjuk siswa lain jadi anggota kerja kelompok,” Woro Supriyanto juga menjadi sasaran tembak Saroh.
“Maksudnya?”
“Pak Presiden nunjuk orang lain jadi Menteri karena orang itu temen deketnya. Dia nggak liat kompetensi orang itu,” Saroh menjelaskan perumpamaannya.
Ketidakpahaman Arung pupus. Dia mendambakan pembahasan hal lain. Ia mendesak Saroh untuk pemberian ulasan tentang oligarki.
“Oligarki pada masuk ke kementrian-kementrian. Mereka jadi Staf Khusus Menteri. Jumlahnya banyak. Nggak keitung! Mereka intervensi kebijakan Menteri buat kepentingan bisnisnya. Bisnisnya jadi menggurita!” ulas Saroh sengit.
“Oligarki adalah warisan lama. Udah ada sejak rezim pemerintahan yang dulu,” timpal Arung pelan.
“Iya, emang. Warisan lama rezim pemerintahan yang dulu, terus diturunin ke sebagian pejabat sekarang," Saroh mengakui. "Salah satunya Papa. Papa juga oligarki politik. Papa pertahanin jabatannya di pemerintah pake cara kotor,” ia kembali menyentil perilaku menyimpang Khalim Mansyur.
Arung bergidik. Kengerian menghinggapinya lagi. Dugaanya, sikap Saroh terhadap Khalim Mansyur berubah drastis.
“Kamu sayang Papa kamu?” tanya Arung tegas.
“Sayang, lah!”
Kelegaan memadamkan api kecemasan Arung. Otot-ototnya mengendur. Menandakan bahwa rasa ngeri yang menimpanya hilang.
Tubuh Arung bergeser. Duduk persis di sebelah Saroh. Ia mengelus topi beanie yang menudungi kepala Saroh.
“Aku khawatir kamu benci Papa kamu. Soalnya omongan kamu tadi pedas di telinga aku,” ungkap Arung terbuka.
“Nggak pedes, ah,” tepis Saroh serta-merta. Ia berdalih, “Telinga kamu aja yang halus abis.
”Elusan Arung pada topi beanie yang menudungi kepala Saroh usai. Digantikan oleh tatapan teduh Arung terhadap wajah Saroh yang mirip gadis Timur Tengah.
“Aku kagum sama kamu. Kritik kamu selalu relevan. Argumentasi kamu selalu logis. Sulit untuk menyanggah analisis kamu. Kamu luar biasa,” pujian Arung terurai lancar.
Seuntai senyum Saroh menampakkan diri. Berwujud cantik dan lebar. Berwarna cerah.
“Kamu nggak nyoba masuk ke politik?”
“Aku bakal masuk ke politik suatu saat nanti,” balas Saroh mantap. “Pas aku udah di politik, aku bakal fokus di bidang sosial. Aku pengin berkontribusi di masyarakat,” imbuhnya kuat. Dia melempar pertanyaan serupa, “Kamu sendiri nggak nyoba masuk ke politik?”
Arung menggeleng. “Nggak mungkin aku masuk ke politik. Aku bukan ahli politik. Nggak paham politik.”
Suasana hening kini hadir. Desau angin mengitari Saroh dan Arung. Ketika angin berembus pelan, pandangan mereka berjalan berkeliling di kejauhan. Keduanya memandang kemegahan Daswin Office Tower, Raffles Hotel, Menara Gama, Menara BCA, Keraton Private Residence, Wisma 46, Sinarmas MSIG Tower, Millennium Office Tower, Menara Astra, dan Treasury Tower. Kala angin bertiup cepat, Saroh dan Arung berdiri seraya merentangkan kedua tangan. Mereka berdua menikmati jilatan angin pada permukaan kulit. Meneguk semua itu sampai hanyut dalam kepuasan.
sampai hanyut dalam kepuasan.
“Gimana kabar perusahaan private equity kamu?” Saroh mengenyahkan keheningan. “Wishlight Capital udah resmi menjalin kemitraan strategis dengan tiga perusahaan investasi dari Amerika Serikat. Wishlight Capital mengelola dana mereka. Ke depannya, Wishlight Capital menanamkan modal di perusahaan rintisan yang prospeknya cerah, perusahaan berkembang, dan perusahaan raksasa. Wishlight Capital fokus di region Asia Tenggara,” Arung menyibakkan perkembangan dan rencana bisnis perusahaannya. Saroh takjub akan pencapaian perusahaan Arung. Dia melambungkan kehebatan Arung. “Biasa aja,” Arung merendah. “Alasan yang bikin mereka mau bukan Wishlight Capital, tapi daya saing dan daya tawar Indonesia. Perekonomian Indonesia cukup bagus di tingkat dunia. Indonesia juga mendapat bonus demografi. Banyak industri yang maju pesat di Indonesia. Kondisi positif ini bakal semakin berkembang di masa depan,” jabarnya nyaring. Saroh menyelami penjabaran Arung. “Bisnis Wishlight Capital b
Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang. Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian
Mereka berdua lantas menentukan pilihan. Saroh menjatuhkan minatnya pada sebuah buku mengenai Corporate Social Responsibility. Arung menetapkan akhir pemburuannya pada tiga buku psikologi anak dan tiga buku pengasuhan anak. Saroh menghampiri Arung. Ia memerhatikan isi tote bag transparan yang dijinjing Arung. Decak lidah Saroh mengiringi perhatiannya. Menurut Saroh, jumlah buku yang hendak dibeli Arung banyak sekali. “Bukan banyak sekali, tapi bagus sekali,” tepis Arung. “Kalau bukunya bagus, aku pasti pilih,” dia menambahkan. “Pinjem bukunya, dong …. Aku penasaran.” Arung mengulurkan tote bag transparannya kepada Saroh. Saroh mengeluarkan satu per satu buku yang ada di dalam tote bag transparan Arung. Dia membaca judul setengah lusin buku tersebut. “Aku baru tahu kamu suka psikologi anak sama parenting,” komentarnya agak kaget. “Aku suka psikologi anak karena aku nggak mau tuntutan aku terhadap anak-anak kita kelak berlebihan. Aku harus memast
"HABIS INI KITA KE MANA?" ulang Saroh kesal. "Kalem sedikit, Say ...," sahut Arung pelan. Dia mengusulkan, “Bagaimana kalau kita ke Es Teler 77?” Tanpa berpikir panjang, Saroh menyetujui usul Arung. Arung menggenggam erat telapak tangan Saroh. Mereka berjalan menuju lantai pertama. Di atas tangga eskalator, keduanya bersepakat. Mereka berdua akan mengunjungi Toko Buku Gramedia ini pada hari-hari esok. Sesampainya di gerai Es Teler 77, Saroh dan Arung langsung memesan menu. Mereka menempati kursi di pojok ruangan. "Kapan kamu lanjut kuliah S2?" Arung memulai obrolan baru. Bahu Saroh terangkat. Saroh belum dapat menentukan tahun studi pasca sarjananya. Bisa tahun ini, bisa juga tahun berikutnya. Sebab keseharian Saroh dicengkeram oleh kesibukan pekerjaan. Konsentrasi Saroh tercurahkan untuk aktivitas di kantornya. "Kamu kuliah S2 di kampus aku aja," Arung menganjurkan. Dia mengutarakan alasan, "Kuliah di Stanford Graduate School of Business sanga
Kalimat romantis yang ditanyakan Saroh sulit diingat oleh Arung. Ia gagal menuturkannya. Ia menyampaikan kelupaannya kepada Saroh. Saroh memberengut. “Kamu inget-inget, dong! Aku pengin banget dengerinnya,” dia setengah memaksa. Arung mengalah. Dia mengeluarkan upaya. Memori Arung berpusat pada suatu kejadian yang sudah lewat. Otak Arung berputar ekstra untuk penemuan lantunan pernyataan kasihnya. Setelah bersusah-payah, Arung berhasil menemukan pernyataan kasihnya. Lidah Arung segera menggelindingkan pernyataan kasihnya, “Setahun sudah kita berteman. Perasaanku kini berubah. Aku ingin mengungkapkannya kepadamu. Karena aku tak bersedia memendamnya lebih dalam. Karena aku tak sudi membohongi hasratku sendiri. Aku mengagumimu. Sungguh mendambakanmu. Maukah kamu menjadi kekasihku?” “Aku nggak mau jadi kekasihmu! Aku maunya jadi istrimu!” jawab Saroh disertai kegalakan yang dibuat-buat. Gelak Arung terlepas bebas. Ekspresi Saroh menimbulkan kegelian pada dirin
Pinto meninggalkan kantin di Gedung DPR. Permasalahan perutnya tuntas. Kelaparannya pun binasa. Demikian juga permasalahan otaknya. Akalnya bugar kembali. Di ruang kerjanya, Pinto bersiap untuk sebuah pertemuan. Dua pria akan memberikan laporan bernilai kepada Pinto. Ketika Pinto sedang menelaah hasil kunjungan kerja spesifiknya ke Provinsi Kalimantan Barat, batang hidung dua pria tersebut tampak. Pria pertama menjinjing tas ransel. Tas laptop tersampir di bahu pria kedua. Pinto langsung menyongsong mereka berdua. Mereka berdua menceritakan proses penelitian di Dapil Pinto. Dari mulai perkenalan dengan pemandu penelitian hingga wawancara mendalam dengan informan. Secara antusias Pinto menyimak cerita mereka berdua. Sesekali Pinto menaruh tanggapan pada ujaran mereka berdua. Beberapa tanggapan Pinto mengocok perut mereka berdua. Mereka berdua terkikik keras. “Mas Ondi dan Mas Gagan bisa menyampaikan datanya sekarang,” suruh Pinto secara tidak langsung kepada mereka ber
Mobil Lexus Pinto berlabuh di wilayah Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal. Pintu penumpangnya terbuka lebar. Badan Pinto, kemeja batik bersepuh emas lengan panjang yang dikenakannya, dan arloji Rolex yang melingkari pergelangan tangannya keluar dari kabin penumpang. Pria di samping bodi mobil sigap memayungi Pinto. Pinto menyusuri gang-gang kumuh. Bagian bawah sepatu kulit Pinto menciumi tanah becek. Di sepanjang gang, Pinto menyapa penduduk yang menatapnya. Di ujung jalan sana, tenda berisi puluhan warga setempat berdiri tegap. Sedari tadi menunggu kedatangan Pinto. Dari arah berlawanan, seorang anggota tim sukses Pinto menghampiri Pinto. Dekapannya pada raga Pinto cukup erat. "Wis akeh sing teka, Mas Johan (Sudah banyak yang datang, Mas Johan)?" bisik Pinto. "Wis (sudah)," desis anggota tim suksesnya. Dia mengiringi langkah kaki Pinto. Masuklah Pinto ke dalam tenda. Kader-kader Partai Kesan langsung mengelukan kedatangan Pinto. Pinto membalas sambutan hanga
Kepala Mas Gagan terangkat. Indera penglihatannya membeliak. Terperanjat dia menatap ekspresi Pinto. "Ja-di be-gini, Pak Pinto ...," Mas Gagan gugup menenangkan Pinto. Ia mengusap keringat di dahi. "Kami akan memberitahukan usul berharga kepada Pak Pinto saat kami dan Pak Pinto tiba di Jakarta. Kami tidak memberitahukannya sekarang karena situasinya belum pas. Sekarang kami dan Pak Pinto sedang sibuk mengikuti reses kedua. Kalau kami memberitahukannya sekarang, fokus Pak Pinto bisa pecah," lidahnya mengalirkan maksud pengungkapan Mas Ondi. Rona merah di wajah Pinto memudar. Menandakan bahwa gumpalan kemarahan di dadanya hancur. "Oh, itu maksudnya. Saya kira, Mas Ondi malas memberitahukan usul berharga ke saya," Pinto terbangun dari kesalahpahamannya. "Untung saya belum pecat Mas Ondi," kelakarnya sembarangan. Ketakutan yang menekan sekaligus mengerikan Mas Gagan sirna. Napas kelegaannnya berembus kencang. Sementara Mas Ondi terkekeh keras. Mereka bertiga b