Kepala Mas Gagan terangkat. Indera penglihatannya membeliak. Terperanjat dia menatap ekspresi Pinto. "Ja-di be-gini, Pak Pinto ...," Mas Gagan gugup menenangkan Pinto. Ia mengusap keringat di dahi. "Kami akan memberitahukan usul berharga kepada Pak Pinto saat kami dan Pak Pinto tiba di Jakarta. Kami tidak memberitahukannya sekarang karena situasinya belum pas. Sekarang kami dan Pak Pinto sedang sibuk mengikuti reses kedua. Kalau kami memberitahukannya sekarang, fokus Pak Pinto bisa pecah," lidahnya mengalirkan maksud pengungkapan Mas Ondi. Rona merah di wajah Pinto memudar. Menandakan bahwa gumpalan kemarahan di dadanya hancur. "Oh, itu maksudnya. Saya kira, Mas Ondi malas memberitahukan usul berharga ke saya," Pinto terbangun dari kesalahpahamannya. "Untung saya belum pecat Mas Ondi," kelakarnya sembarangan. Ketakutan yang menekan sekaligus mengerikan Mas Gagan sirna. Napas kelegaannnya berembus kencang. Sementara Mas Ondi terkekeh keras. Mereka bertiga b
Pinto mengeluarkan telepon selulernya dari dalam saku celana. Membuktikan kebenaran bisikan wanita tersebut. Ternyata, bisikan wanita tersebut tepat. Telepon selulernya dalam keadaan non-aktif. "Bilang ke Mas Nawaaf, kalau saya bakal hubungi dia," suruh Pinto kepada wanita tersebut yang merupakan Staf Administrasinya. Wanita tersebut melakukan suruhan Pinto. Jemarinya membalas pesan WA yang baru saja ia baca. Setengah menit berselang, ia meninggalkan ruang kerja Pinto. Berpindah ke ruang kerjanya. Perbincangan antara Pinto dan kedua TA tambahannya hidup lagi. Hingga jam dinding di ruang kerja Pinto memperlihatkan pukul enam petang. ***** Pinto baru pulang dari Gedung DPR. Sejenak dia melepas lelah di kamar tidur. Menyelonjorkan kaki di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Tak lama ponselnya menyambung ke HP Nawaaf. "Halo, Mas Pinto!" terdengar suara cempreng Nawaaf di ujung sana. "Iya, halo," timpal Pinto. "Tadi Mas Nawaaf kirim WA ke Staf Admin
Dalam keadaan berdiri, Pinto dan pria itu berbincang akrab. Di sela perbincangan, pria itu mengirimkan sebaris senyuman dan sepotong lambaian tangan kepada Nawaaf. Sehabis perbincangan, pria itu angkat kaki. Pintu ruangan yang ditempati Pinto dan Nawaaf tertutup rapat lagi. Pinto kembali duduk di samping Nawaaf. "Kenapa Mas Nawaaf bengong waktu bapak saya datang?" tanya Pinto menyelisik. Nawaaf menggaruk kepala. "Ya ... saya bingung aja. Soalnya dari berita yang saya baca, Pak Presiden lagi menghadiri konferensi di Tiongkok selama tiga hari. Tapi kok, Pak Presiden ada di sini?" "Bapak saya terpaksa nggak ikut konferensi hari ini. Dia ada acara mendadak di Tangerang," Pinto memberi tahu. Ia membubuhkan keterangan tambahan, "Bapak saya udah mengutus Menteri Luar Negeri sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia pada konferensi hari ini. Jadi, Pemerintah Indonesia tetap mengikuti konferensi hari ini." "Oh, gitu ...," gumam Nawaaf. Kekagetannya musnah. Selepas ke
Hanya segelintir orang yang mengetahui profesi rahasia Pinto. Selain menjadi "wakil rakyat", Pinto juga menjadi pemegang saham sekaligus Komisaris Mieshdrink. Mieshdrink ialah perusahaan fast moving consumer goods. Mieshdrink memproduksi minuman kopi, coklat, dan cereal dalam kemasan botol. Penetapan Pinto sebagai pemegang saham sekaligus Komisaris Mieshdrink semata-mata karena statusnya, yakni anak Presiden Indonesia. Pendiri Mieshdrink mengukuhkan Pinto sebagai "tameng" alias pelindung sekaligus pelancar bisnisnya. Pendiri Mieshdrink selalu menghubungi Pinto ketika bersengketa dengan pengusaha-pengusaha lain. Berkat andil Pinto, pendiri Mieshdrink memenangi seluruh sengketa itu. Pabrik Mieshdrink berkedudukan di Cikarang, Jawa Barat. Tepatnya di bagian belakang kawasan industri Jababeka. Sekitar 35 kilometer arah timur Jakarta. Lokasinya cukup strategis. Dibandingkan dengan pabrik-pabrik lain di kawasan tersebut, pabrik Mieshdrink tampak istimewa. Pagarnya sangat
Ujaran Louis mengenai pernikahan Pinto dengan anak Khalim Mansyur pada tempo hari telah lewat dari pikiran Pinto. Keadaan Pinto berputar balik ke sedia kala. Tiada perenungan hebat mengenai Saroh, Caca Yunita, Feni Kinantya, dan Monik Okky. Pinto mampu menuangkan segenap konsentrasi ke dalam pekerjaannya. Penggarapan tugas di ruang kerjanya beres. Keikutsertaannya di ruang rapat tergenapi. Keadaan Pinto di tempat lain pun sewarna. Di ruang kerja Wahid, Pinto, Wahid, dan Bisma berdiskusi ringan bersama. Diselingi oleh seloroh. Berlangsung mengasyikkan. Di rumah Ardan, Pinto dan Ardan mengobrolkan makna cinta sejati. Diselingi oleh kelakar. Berlangsung seru. Di rumah dinasnya, Pinto bercengkerama dengan satpam dan beberapa Paspampres. Diselingi oleh canda. Berlangsung rileks. Seperti saat ini, Pinto tengah bercengkerama dengan seorang Paspampres yang rutin mengawalnya. "Jadi, Letkol Irwan udah sebelas tahun berumah tangga?" tanya Pinto di ruang tengah ruma
Sebuah kabar tentang Musyawarah Tingkat Nasional (Mutingnas) Apwimesia bertengger di deretan berita populer di seluruh media daring. Seorang anak pejabat tinggi negara terpilih sebagai Ketua Umum BPP Apwimesia. Dia menundukkan dua pesaingnya hanya dengan satu putaran. Dua pesaingnya bukan anak pejabat maupun taipan. Cuma pengusaha muda biasa. Menurut sumber terpercaya, sang anak pejabat tinggi negara menerapkan praktik jual beli suara dalam Mutingnas Apwimesia. Dia menyuap pemilik suara, yaitu para Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Apwimesia yang tersebar di berbagai provinsi. Uang suap berasal dari kas internal beberapa BUMN. Para pemilik suara mengantongi uang suap setelah Mutingnas usai, satu jam sebelum mereka pulang ke daerah masing-masing. Para pemilik suara bersedia menerima uang suap karena kondisi bisnisnya belum mapan. Penghasilan mereka masih berproses. Sulit membuktikan keberadaan praktik jual beli suara tersebut. Karena transfer uang dan kwitansi pembayaran ti
Malam menggelap pekat. Pinto mempercepat langkah kakinya. Buru-buru keluar dari Gedung DPR RI. Bergegas meluncur ke kediaman pribadi orang tuanya. Ia ingin menemui Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto. Memanfaatkan waktu senggang keduanya. Yang jarang tersedia untuk Pinto. Sesudah bersusah-payah menerobos kemacetan, mobil dinas Pinto akhirnya mencapai halaman kediaman pribadi Woro Supriyanto. Pinto masuk ke dalam rumah. Langsung menghampiri lantai dua. "Udah pulang?" sapa Yeni Supriyanto ketika Pinto baru menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Udah," balas Pinto. Pinto berjalan ke arah sofa panjang berwarna merah. Duduk di samping Yeni Supriyanto. Di hadapan mereka, berdiri sofa panjang berwarna putih yang ditempati Woro Supriyanto. Pandangan Pinto bertaut pada Woro Supriyanto. “Serius sekali Bapak bacanya ...," ia mencandai Woro Supriyanto. Bibir Woro Supriyanto melukiskan senyum tipis. “Bapak sedang baca jurnal penelitian. Isinya menarik ,” timpalnya
Perintah Woro Supriyanto mengusik ketenteraman Pinto. Semisal hantu yang terus menghantui Pinto. Ke manapun raga Pinto bergerak, perintah Woro Supriyanto tetap membayangi Pinto. Di dalam keramaian, Pinto merasakan kesepian. Sendirian merenungkan perintah Woro Supriyanto. Selain itu, perintah Woro Supriyanto mengaduk-aduk benak Pinto. Membuat Pinto berkecamuk sekaligus pusing tujuh keliling. Pinto bingung, tindakan apa yang mesti diambil. Ia enggan menangisi kekhilafan yang diperbuat. Takut terhadap kesalahan yang mengacaukan kehidupannya. Terlebih, perintah Woro Supriyanto menentukan masa depan asmarany Pinto sukar menilai apakah perintah Woro Supriyanto tepat atau keliru. Dia bukan pakarnya. Yang jelas, Pinto memikul kegalauan. Sekiranya dibiarkan, kegalauan tersebut mungkin menjelma menjadi kekaluta Memang, Woro Supriyanto telah membeberkan alasan di balik perintahnya kepada Pinto. Ditambah celotehan Yeni Supriyanto yang menepatkan alasan Woro Supriyanto. Namun, Pin