Mereka berdua lantas menentukan pilihan. Saroh menjatuhkan minatnya pada sebuah buku mengenai Corporate Social Responsibility. Arung menetapkan akhir pemburuannya pada tiga buku psikologi anak dan tiga buku pengasuhan anak.
Saroh menghampiri Arung. Ia memerhatikan isi tote bag transparan yang dijinjing Arung. Decak lidah Saroh mengiringi perhatiannya. Menurut Saroh, jumlah buku yang hendak dibeli Arung banyak sekali.
“Bukan banyak sekali, tapi bagus sekali,” tepis Arung. “Kalau bukunya bagus, aku pasti pilih,” dia menambahkan.
“Pinjem bukunya, dong …. Aku penasaran.”
Arung mengulurkan tote bag transparannya kepada Saroh.
Saroh mengeluarkan satu per satu buku yang ada di dalam tote bag transparan Arung. Dia membaca judul setengah lusin buku tersebut.
“Aku baru tahu kamu suka psikologi anak sama parenting,” komentarnya agak kaget.
“Aku suka psikologi anak karena aku nggak mau tuntutan aku terhadap anak-anak kita kelak berlebihan. Aku harus memastikan tuntutan aku terhadap mereka sinkron sama kemampuan atau hobi mereka. Aku suka parenting karena aku nggak mau perilaku aku terhadap mereka menyebabkan mereka merasa bersalah, ketakutan, dan terlalu mematuhi aku,” beber Arung. Ia melampirkan pendapat pribadi, “Bagi aku, psikologi anak sama parenting itu penting buat masa depan kita.”
Tertegun Saroh mendengarnya. “Kita kan belum nikah. Kita masih pacaran.”
“Justru karena masih pacaran, kita harus membekali diri kita dengan teori psikologi anak sama ilmu parenting,” Arung menyanggah halus. “Jangan sampai kita baru mempelajarinya pada masa pernikahan. Itu terlambat.”
“Lebih baik terlambat ketimbang nggak sama sekali,” Saroh menyergah.
“Terlambat itu memang lebih baik. Masalahnya, belajar teori psikologi anak sama ilmu parenting nggak seperti belajar menulis. Belajar teori psikologi anak sama ilmu parenting butuh waktu yang lama karena materinya mendalam. Oleh sebab itu, kita sebaiknya mempelajarinya sewaktu kita masih pacaran,” terang Arung bijaksana.
Saroh menemulangkan tote bag transparan Arung beserta isinya ke empunya.
“Aku nggak nyangka, CEO kutu buku kayak kamu peduli banget sama pengasuhan anak,” kekaguman Saroh meluncur.
“Aku sangat peduli sama pengasuhan anak karena aku sangat peduli sama perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual anak-anak kita kelak. Aku juga sangat peduli sama rumah tangga kita nanti. Jangan sampai rumah tangga kita nanti bergejolak hanya karena masalah pengasuhan anak,” tutur Arung sungguh-sungguh. “Kamu sendiri pilih buku apa?” dia menggeser pokok obrolan.
Saroh menunjukkan buku Corporate Social Responsibility berdasarkan sudut pandang sosiologi yang ada di tangan.
Penglihatan Arung menghadap ke buku tersebut. “Kalau kamu udah rampung baca buku ini, kamu beri tahu aku. Aku mau pinjam. Aku butuh metode Corporate Social Responsibility untuk bisnis aku,” mohonnya.
Dengan penuh kemantapan Saroh menerima permohonan Arung.
Senyum manis di bibir tipis Arung tersimpul. “Kita ke kasir, yuk!” ajaknya.
Saroh menjemput ajakan Arung.
Saroh dan Arung merapati meja kasir. Keduanya bergabung dengan antrean. Saroh berdiri di belakang Arung. Semenit berselang transaksi pembayaran Arung tuntas. Arung keluar dari antrean. Saroh maju satu langkah. Dalam tempo singkat, Saroh memperoleh struk pembelanjaan. Buku yang dia pilih menjadi penghuni kantong plastik.
Punggung Saroh berbalik. “Habis ini kita ke mana?”
Arung berpikir keras. Amat lama mulutnya terkunci.
Hilang kesabaran Saroh dalam penantian jawaban Arung.
Hilang kesabaran Saroh dalam penantian jawaban Arung.
"HABIS INI KITA KE MANA?" ulang Saroh kesal. "Kalem sedikit, Say ...," sahut Arung pelan. Dia mengusulkan, “Bagaimana kalau kita ke Es Teler 77?” Tanpa berpikir panjang, Saroh menyetujui usul Arung. Arung menggenggam erat telapak tangan Saroh. Mereka berjalan menuju lantai pertama. Di atas tangga eskalator, keduanya bersepakat. Mereka berdua akan mengunjungi Toko Buku Gramedia ini pada hari-hari esok. Sesampainya di gerai Es Teler 77, Saroh dan Arung langsung memesan menu. Mereka menempati kursi di pojok ruangan. "Kapan kamu lanjut kuliah S2?" Arung memulai obrolan baru. Bahu Saroh terangkat. Saroh belum dapat menentukan tahun studi pasca sarjananya. Bisa tahun ini, bisa juga tahun berikutnya. Sebab keseharian Saroh dicengkeram oleh kesibukan pekerjaan. Konsentrasi Saroh tercurahkan untuk aktivitas di kantornya. "Kamu kuliah S2 di kampus aku aja," Arung menganjurkan. Dia mengutarakan alasan, "Kuliah di Stanford Graduate School of Business sanga
Kalimat romantis yang ditanyakan Saroh sulit diingat oleh Arung. Ia gagal menuturkannya. Ia menyampaikan kelupaannya kepada Saroh. Saroh memberengut. “Kamu inget-inget, dong! Aku pengin banget dengerinnya,” dia setengah memaksa. Arung mengalah. Dia mengeluarkan upaya. Memori Arung berpusat pada suatu kejadian yang sudah lewat. Otak Arung berputar ekstra untuk penemuan lantunan pernyataan kasihnya. Setelah bersusah-payah, Arung berhasil menemukan pernyataan kasihnya. Lidah Arung segera menggelindingkan pernyataan kasihnya, “Setahun sudah kita berteman. Perasaanku kini berubah. Aku ingin mengungkapkannya kepadamu. Karena aku tak bersedia memendamnya lebih dalam. Karena aku tak sudi membohongi hasratku sendiri. Aku mengagumimu. Sungguh mendambakanmu. Maukah kamu menjadi kekasihku?” “Aku nggak mau jadi kekasihmu! Aku maunya jadi istrimu!” jawab Saroh disertai kegalakan yang dibuat-buat. Gelak Arung terlepas bebas. Ekspresi Saroh menimbulkan kegelian pada dirin
Pinto meninggalkan kantin di Gedung DPR. Permasalahan perutnya tuntas. Kelaparannya pun binasa. Demikian juga permasalahan otaknya. Akalnya bugar kembali. Di ruang kerjanya, Pinto bersiap untuk sebuah pertemuan. Dua pria akan memberikan laporan bernilai kepada Pinto. Ketika Pinto sedang menelaah hasil kunjungan kerja spesifiknya ke Provinsi Kalimantan Barat, batang hidung dua pria tersebut tampak. Pria pertama menjinjing tas ransel. Tas laptop tersampir di bahu pria kedua. Pinto langsung menyongsong mereka berdua. Mereka berdua menceritakan proses penelitian di Dapil Pinto. Dari mulai perkenalan dengan pemandu penelitian hingga wawancara mendalam dengan informan. Secara antusias Pinto menyimak cerita mereka berdua. Sesekali Pinto menaruh tanggapan pada ujaran mereka berdua. Beberapa tanggapan Pinto mengocok perut mereka berdua. Mereka berdua terkikik keras. “Mas Ondi dan Mas Gagan bisa menyampaikan datanya sekarang,” suruh Pinto secara tidak langsung kepada mereka ber
Mobil Lexus Pinto berlabuh di wilayah Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal. Pintu penumpangnya terbuka lebar. Badan Pinto, kemeja batik bersepuh emas lengan panjang yang dikenakannya, dan arloji Rolex yang melingkari pergelangan tangannya keluar dari kabin penumpang. Pria di samping bodi mobil sigap memayungi Pinto. Pinto menyusuri gang-gang kumuh. Bagian bawah sepatu kulit Pinto menciumi tanah becek. Di sepanjang gang, Pinto menyapa penduduk yang menatapnya. Di ujung jalan sana, tenda berisi puluhan warga setempat berdiri tegap. Sedari tadi menunggu kedatangan Pinto. Dari arah berlawanan, seorang anggota tim sukses Pinto menghampiri Pinto. Dekapannya pada raga Pinto cukup erat. "Wis akeh sing teka, Mas Johan (Sudah banyak yang datang, Mas Johan)?" bisik Pinto. "Wis (sudah)," desis anggota tim suksesnya. Dia mengiringi langkah kaki Pinto. Masuklah Pinto ke dalam tenda. Kader-kader Partai Kesan langsung mengelukan kedatangan Pinto. Pinto membalas sambutan hanga
Kepala Mas Gagan terangkat. Indera penglihatannya membeliak. Terperanjat dia menatap ekspresi Pinto. "Ja-di be-gini, Pak Pinto ...," Mas Gagan gugup menenangkan Pinto. Ia mengusap keringat di dahi. "Kami akan memberitahukan usul berharga kepada Pak Pinto saat kami dan Pak Pinto tiba di Jakarta. Kami tidak memberitahukannya sekarang karena situasinya belum pas. Sekarang kami dan Pak Pinto sedang sibuk mengikuti reses kedua. Kalau kami memberitahukannya sekarang, fokus Pak Pinto bisa pecah," lidahnya mengalirkan maksud pengungkapan Mas Ondi. Rona merah di wajah Pinto memudar. Menandakan bahwa gumpalan kemarahan di dadanya hancur. "Oh, itu maksudnya. Saya kira, Mas Ondi malas memberitahukan usul berharga ke saya," Pinto terbangun dari kesalahpahamannya. "Untung saya belum pecat Mas Ondi," kelakarnya sembarangan. Ketakutan yang menekan sekaligus mengerikan Mas Gagan sirna. Napas kelegaannnya berembus kencang. Sementara Mas Ondi terkekeh keras. Mereka bertiga b
Pinto mengeluarkan telepon selulernya dari dalam saku celana. Membuktikan kebenaran bisikan wanita tersebut. Ternyata, bisikan wanita tersebut tepat. Telepon selulernya dalam keadaan non-aktif. "Bilang ke Mas Nawaaf, kalau saya bakal hubungi dia," suruh Pinto kepada wanita tersebut yang merupakan Staf Administrasinya. Wanita tersebut melakukan suruhan Pinto. Jemarinya membalas pesan WA yang baru saja ia baca. Setengah menit berselang, ia meninggalkan ruang kerja Pinto. Berpindah ke ruang kerjanya. Perbincangan antara Pinto dan kedua TA tambahannya hidup lagi. Hingga jam dinding di ruang kerja Pinto memperlihatkan pukul enam petang. ***** Pinto baru pulang dari Gedung DPR. Sejenak dia melepas lelah di kamar tidur. Menyelonjorkan kaki di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Tak lama ponselnya menyambung ke HP Nawaaf. "Halo, Mas Pinto!" terdengar suara cempreng Nawaaf di ujung sana. "Iya, halo," timpal Pinto. "Tadi Mas Nawaaf kirim WA ke Staf Admin
Dalam keadaan berdiri, Pinto dan pria itu berbincang akrab. Di sela perbincangan, pria itu mengirimkan sebaris senyuman dan sepotong lambaian tangan kepada Nawaaf. Sehabis perbincangan, pria itu angkat kaki. Pintu ruangan yang ditempati Pinto dan Nawaaf tertutup rapat lagi. Pinto kembali duduk di samping Nawaaf. "Kenapa Mas Nawaaf bengong waktu bapak saya datang?" tanya Pinto menyelisik. Nawaaf menggaruk kepala. "Ya ... saya bingung aja. Soalnya dari berita yang saya baca, Pak Presiden lagi menghadiri konferensi di Tiongkok selama tiga hari. Tapi kok, Pak Presiden ada di sini?" "Bapak saya terpaksa nggak ikut konferensi hari ini. Dia ada acara mendadak di Tangerang," Pinto memberi tahu. Ia membubuhkan keterangan tambahan, "Bapak saya udah mengutus Menteri Luar Negeri sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia pada konferensi hari ini. Jadi, Pemerintah Indonesia tetap mengikuti konferensi hari ini." "Oh, gitu ...," gumam Nawaaf. Kekagetannya musnah. Selepas ke
Hanya segelintir orang yang mengetahui profesi rahasia Pinto. Selain menjadi "wakil rakyat", Pinto juga menjadi pemegang saham sekaligus Komisaris Mieshdrink. Mieshdrink ialah perusahaan fast moving consumer goods. Mieshdrink memproduksi minuman kopi, coklat, dan cereal dalam kemasan botol. Penetapan Pinto sebagai pemegang saham sekaligus Komisaris Mieshdrink semata-mata karena statusnya, yakni anak Presiden Indonesia. Pendiri Mieshdrink mengukuhkan Pinto sebagai "tameng" alias pelindung sekaligus pelancar bisnisnya. Pendiri Mieshdrink selalu menghubungi Pinto ketika bersengketa dengan pengusaha-pengusaha lain. Berkat andil Pinto, pendiri Mieshdrink memenangi seluruh sengketa itu. Pabrik Mieshdrink berkedudukan di Cikarang, Jawa Barat. Tepatnya di bagian belakang kawasan industri Jababeka. Sekitar 35 kilometer arah timur Jakarta. Lokasinya cukup strategis. Dibandingkan dengan pabrik-pabrik lain di kawasan tersebut, pabrik Mieshdrink tampak istimewa. Pagarnya sangat
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebut. “Tuntu
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bisma m
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Malam menggelap pekat. Pinto mempercepat langkah kakinya. Buru-buru keluar dari Gedung DPR RI. Bergegas meluncur ke kediaman pribadi orang tuanya. Ia ingin menemui Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto. Memanfaatkan waktu senggang keduanya. Yang jarang tersedia untuk Pinto. Sesudah bersusah-payah menerobos kemacetan, mobil dinas Pinto akhirnya mencapai halaman kediaman pribadi Woro Supriyanto. Pinto masuk ke dalam rumah. Langsung menghampiri lantai dua. "Udah pulang?" sapa Yeni Supriyanto ketika Pinto baru menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Udah," balas Pinto. Pinto berjalan ke arah sofa panjang berwarna merah. Duduk di samping Yeni Supriyanto. Di hadapan mereka, berdiri sofa panjang berwarna putih yang ditempati Woro Supriyanto. Pandangan Pinto bertaut pada Woro Supriyanto. “Serius sekali Bapak bacanya ...," ia mencandai Woro Supriyanto. Bibir Woro Supriyanto melukiskan senyum tipis. “Bapak sedang baca jurnal penelitian. Isinya menarik ,” timpalnya sera
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinantya, m
Ruang Rapat Fraksi Kebijaksanaan Nasional (Kesan) berangsur senyap. Segala suara menguap. Para peserta rapat berganti kegiatan. Tak terkecuali Pinto, Wahid, dan Bisma. Bisma sibuk menggarap tugasnya. Pinto dan Wahid baru sampai di ruang kerja Wahid. “Saya sudah bertemu dengan dua peneliti sekaligus konsultan sosial yang nantinya akan menjadi TA tambahan Mas Pinto. Saya juga sudah mewawancarai mereka,” Wahid membuka pembicaraan. Sungguh Pinto tidak mengira begitu lekasnya bantuan Wahid. Tanpa sangsi, dia memuji setengah mati bantuan Wahid. Wahid merendah. Ia menolak anggapan Pinto. Bagi Wahid, bantuannya untuk Pinto tergolong biasa. Sekadar pertolongan untuk sahabat. “Mereka cocok untuk membantu Mas Pinto,” nilai Wahid serius. “Cocok bagaimana, Mas? Bisa dijelaskan, nggak?” “Mereka merupakan peneliti di sebuah lembaga riset sosiologi di Jakarta. Mereka bergelar PhD,” Wahid menyingkap latar belakang pekerjaan dan pendidikan dua calon TA tambahan Pinto.
Perintah Woro Supriyanto mengusik ketenteraman Pinto. Semisal hantu yang terus menghantui Pinto. Ke manapun raga Pinto bergerak, perintah Woro Supriyanto tetap membayangi Pinto. Di dalam keramaian, Pinto merasakan kesepian. Sendirian merenungkan perintah Woro Supriyanto. Selain itu, perintah Woro Supriyanto mengaduk-aduk benak Pinto. Membuat Pinto berkecamuk sekaligus pusing tujuh keliling. Pinto bingung, tindakan apa yang mesti diambil. Ia enggan menangisi kekhilafan yang diperbuat. Takut terhadap kesalahan yang mengacaukan kehidupannya. Terlebih, perintah Woro Supriyanto menentukan masa depan asmaranya. Pinto sukar menilai apakah perintah Woro Supriyanto tepat atau keliru. Dia bukan pakarnya. Yang jelas, Pinto memikul kegalauan. Sekiranya dibiarkan, kegalauan tersebut mungkin menjelma menjadi kekalutan. Memang, Woro Supriyanto telah membeberkan alasan di balik perintahnya kepada Pinto. Ditambah celotehan Yeni Supriyanto yang menepatkan alasan Woro Supriyanto. Namun, P
Kendaraan Pinto menjauhi rumah Ardan. Melaju secara kencang. Melintasi jalan-jalan yang tadi dilewati. Pinto dan kendaraan yang mengangkutnya balik ke komplek perumahan dinas anggota DPR RI. "Woooiii ... Mas Pinto!" pekik Bisma ketika mendapati siluet Pinto di beranda depan rumah dinasnya. Pinto menoleh ke Bisma. "Tumben kamu dateng ke sini malem-malem," Bisma berbasa-basi. "Iya. Maaf ya, Mas. Saya mengganggu jam kelonan Mas Bisma," canda Pinto dengan muka kuyu. Bisma mengakak. "Nggak usah minta maaf. Orang kamu nggak salah," tepis Bisma. "Jam segini saya belum kelonan sama istri saya. Lagian, istri saya tidur di rumah pribadi saya," sambungnya menegaskan. Ia menyilakan, "Ayo, kita masuk ke dalem." Dia menggapai bahu Pinto dan merangkulnya. Mereka melangkahkan kaki bersama ke ruang tamu. Di ruang tamu, Pinto melakukan hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya di rumah Ardan. Diamenceritakan perintah Woro Supriyanto, alasan di balik perintah