Share

Bab 8

Mereka berdua lantas menentukan pilihan. Saroh menjatuhkan minatnya pada sebuah buku mengenai Corporate Social Responsibility. Arung menetapkan akhir pemburuannya pada tiga buku psikologi anak dan tiga buku pengasuhan anak.

     Saroh menghampiri Arung. Ia memerhatikan isi tote bag transparan yang dijinjing Arung. Decak lidah Saroh mengiringi perhatiannya. Menurut Saroh, jumlah buku yang hendak dibeli Arung banyak sekali.

     “Bukan banyak sekali, tapi bagus sekali,” tepis Arung. “Kalau bukunya bagus, aku pasti pilih,” dia menambahkan.

     “Pinjem bukunya, dong …. Aku penasaran.”

     Arung mengulurkan tote bag transparannya kepada Saroh.

     Saroh mengeluarkan satu per satu buku yang ada di dalam tote bag transparan Arung. Dia membaca judul setengah lusin buku tersebut.

     “Aku baru tahu kamu suka psikologi anak sama parenting,” komentarnya agak kaget.

     “Aku suka psikologi anak karena aku nggak mau tuntutan aku terhadap anak-anak kita kelak berlebihan. Aku harus memastikan tuntutan aku terhadap mereka sinkron sama kemampuan atau hobi mereka. Aku suka parenting karena aku nggak mau perilaku aku terhadap mereka menyebabkan mereka merasa bersalah, ketakutan, dan terlalu mematuhi aku,” beber Arung. Ia melampirkan pendapat pribadi, “Bagi aku, psikologi anak sama parenting itu penting buat masa depan kita.”

     Tertegun Saroh mendengarnya. “Kita kan belum nikah. Kita masih pacaran.”

     “Justru karena masih pacaran, kita harus membekali diri kita dengan teori psikologi anak sama ilmu parenting,” Arung menyanggah halus. “Jangan sampai kita baru mempelajarinya pada masa pernikahan. Itu terlambat.”

     “Lebih baik terlambat ketimbang nggak sama sekali,” Saroh menyergah.

     “Terlambat itu memang lebih baik. Masalahnya, belajar teori psikologi anak sama ilmu parenting nggak seperti belajar menulis. Belajar teori psikologi anak sama ilmu parenting butuh waktu yang lama karena materinya mendalam. Oleh sebab itu, kita sebaiknya mempelajarinya sewaktu kita masih pacaran,” terang Arung bijaksana.

     Saroh menemulangkan tote bag transparan Arung beserta isinya ke empunya.

     “Aku nggak nyangka, CEO kutu buku kayak kamu peduli banget sama pengasuhan anak,” kekaguman Saroh meluncur.

     “Aku sangat peduli sama pengasuhan anak karena aku sangat peduli sama perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual anak-anak kita kelak. Aku juga sangat peduli sama rumah tangga kita nanti. Jangan sampai rumah tangga kita nanti bergejolak hanya karena masalah pengasuhan anak,” tutur Arung sungguh-sungguh. “Kamu sendiri pilih buku apa?” dia menggeser pokok obrolan.

     Saroh menunjukkan buku Corporate Social Responsibility berdasarkan sudut pandang sosiologi yang ada di tangan.

     Penglihatan Arung menghadap ke buku tersebut. “Kalau kamu udah rampung baca buku ini, kamu beri tahu aku. Aku mau pinjam. Aku butuh metode Corporate Social Responsibility untuk bisnis aku,” mohonnya.

     Dengan penuh kemantapan Saroh menerima permohonan Arung.

     Senyum manis di bibir tipis Arung tersimpul. “Kita ke kasir, yuk!” ajaknya.

     Saroh menjemput ajakan Arung.

     Saroh dan Arung merapati meja kasir. Keduanya bergabung dengan antrean. Saroh berdiri di belakang Arung. Semenit berselang transaksi pembayaran Arung tuntas. Arung keluar dari antrean. Saroh maju satu langkah. Dalam tempo singkat, Saroh memperoleh struk pembelanjaan. Buku yang dia pilih menjadi penghuni kantong plastik.

     Punggung Saroh berbalik. “Habis ini kita ke mana?”

     Arung berpikir keras. Amat lama mulutnya terkunci.

    Hilang kesabaran Saroh dalam penantian jawaban Arung.

     Hilang kesabaran Saroh dalam penantian jawaban Arung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status