"Ngapain Kak Pinto pake topi sama kaca mata item?" tanya Monik Okky penasaran.
"Biar orang-orang jadi nggak mengenal muka saya. Soalnya saya lagi malas meladeni mereka," kata Pinto ringan. Dia menukas, "Saya nggak mau privasi saya direcoki mereka."
Monik Okky memaklumi penyamaran Pinto. Bahwasanya, penyamaran merupakan hak mutlak Pinto.
"Akting aku bagus atau jelek?" Monik Okky menagih kesediaan Pinto.
Tepuk tangan Pinto mengoceh. "Luar biasa bagus," sanjungnya. Dia memberondong alasan, "Ekspresi marah kamu natural. Teriakan kamu bernyawa. Pelototan kamu ganas. Gerak badan kamu lentur. Cara kamu naik motor balap sebelas dua belas dengan pembalap beneran." Ia mengimbuhkan, "Saking bagusnya akting kamu, saya jadi lupa dengan karakter asli kamu."
Dada Monik Okky mundur dan menurun. "Ah, Kak Pinto bisa aja. Lebay. Aktingku nggak keren, kok," sanggahnya tersipu-sipu. Menurutnya, hasil pekerjaannya terkapar di bawah standar.
Sanggahan Monik Okky ditepis oleh Pinto. Sanjungannya bukan pemanis penilaian. Seratus persen bebas bumbu basa-basi.
Daripada timbul perdebatan konyol, Monik Okky mengalah. Dia mengakui kejujuran sanjungan Pinto.
Setelah pengakuan Monik Okky terujar, keduanya diam bergeming. Antara rikuh dan bingung harus berbuat apa. Pinto hanya sanggup memandangi jalan layang yang berjarak puluhan meter dari tempatnya. Sedangkan Monik Okky cuma mampu menatapi rerumputan di sana-sini. Hingga akhirnya Monik Okky memecah kebekuan dengan pernyataan yang menyentak sukma.
"Aku sayang kamu, Kak."
Sekonyong-konyong Pinto berpaling ke Monik Okky. Kali ini, pandangannya mendalam. Lurus menghunus permukaan wajah Monik Okky.
Pandangan Pinto menganiaya emosi Monik Okky. Monik Okky menjadi salah tingkah.
Pinto meraba ketidaknyamanan Monik Okky. Ia menyetop tindakannya. Pandangannya beranjak ke bentangan aspal.
"Maafin aku, kalo omongan aku salah. Mudah-mudahan, Kakak--"
"Kamu nggak perlu minta maaf," tepis Pinto. "Justru saya yang perlu minta maaf."
Monik Okky sulit mengerti. "Maksudnya?"
Kegalauan menggoyang keyakinan Pinto. Hendak melayangkan beberapa kalimat, tetapi dirundung oleh kecemasan. Cemas kalau-kalau maknanya merunyamkan keadaan impian Monik Okky. Karena sungguh, dia mengharamkan kekecewaan Monik Okky.
Pinto sadar, pilihannya bersifat tunggal. Amat riskan. Dan dia mengambilnya.
"Saya minta maaf, Mon. Saya belum siap."
"Belum siap apa?"
"Belum siap menjalin hubungan percintaan dengan kamu."
Seutuhnya Monik Okky paham. Baru saja ia menelan pil pahit. Penolakan Pinto mengubur angannya.
Apa yang dikhawatirkan Pinto terjadi. Dia melihat awan kelabu dalam bentuk butiran air mata Monik Okky. Bergulir turun. Membasahi celana kulit Monik Okky.
Naluri kelaki-lakian Pinto berbicara. Ia menodongkan sebungkus tisu kepada Monik Okky.
Monik Okky meraih benda pemberian Pinto itu. Digunakannya satu lembar untuk penghapusan cairan kesedihannya. Agar kesenduannya tidak diketahui oleh para pengunjung Taman Mini Indonesia Indah.
"Saya bakal menjalin hubungan percintaan dengan kamu sewaktu saya udah siap. Sekarang, saya belum siap," Pinto meneruskan perkataannya.
"Kapan Kak Pinto siap?" suara parau Monik Okky mendesis.
Seluruh persendian tubuh Pinto mengalami kekakuan. Pertanyaan Monik Okky seolah-olah menyihirnya menjadi patung.
Pinto lantas termenung. Di alam pikirannya, ia terbentur oleh kebuntuan. Pinto gagal menemukan balasan yang cocok. Dia mengutuk kekurangannya. Alangkah payah dirinya dalam pencarian lisan yang menenteramkan Monik Okky.
Sampai waktu berjalan sejauh sepuluh menit, Pinto tetap bungkam. Dampaknya, kegundahan merasuki Monik Okky. Terpaksa Monik Okky menyapu bersih kerisauannya.
"Aku butuh jawaban Kak Pinto," tekan Monik Okky lirih.
Pinto membetulkan letak maskernya. "Saya belum tahu kapan saya siap. Saya nggak bisa memastikan."
Tangis Monik Okky terdengar. Isaknya menyentuh hati.
"Sebenernya ... Kak Pinto sayang aku ... atau nggak?" tanya Monik Okky bergetar. "Langsung dijawab, ya ... Please." pintanya dengan sangat.
Belum sempat mulut Pinto membuka, seorang sineas menghampiri mereka berdua. Dia menyuruh Monik Okky. Monik Okky mesti kembali ke lokasi semula, tenda rekan-rekannya.
Atas nama profesionalitas, Monik Okky menaati perintah yang terarah kepadanya. Membiarkan jawaban Pinto yang masih berupa misteri.
"Aku tinggal dulu, Kak. Mau syuting lagi," ucap Monik Okky buru-buru. Ia menstarter motor balap yang dikendarainya tadi. Saat menungganginya, Monik Okky berikrar pada diri sendiri. Dia akan menggulung duka lara. Juga akan berikhtiar mati-matian dalam pengejaran kasih Pinto.
Saat menungganginya, Monik Okky berikrar pada diri sendiri. Dia akan menggulung duka lara. Juga akan berikhtiar mati-matian dalam pengejaran kasih Pinto.
Rooftop yang menyandang konsep kafe sekaligus rumah kaca tersebut berselimut kemewahan. Lantainya terbuat dari granit. Meja-meja di dalamnya mengandung marmer. Di setiap sisinya banyak terdapat kursi buatan Italia. Sebuah sofa panjang bernilai puluhan juta rupiah dikuasai oleh sepasang kekasih. “Perpolitikan sekarang makin bobrok,” Saroh mengomentari berita politik yang baru dia baca. Arung menoleh ke arah Saroh. “Bobrok gimana?” “Parah separah-parahnya!” koar Saroh ketus. “Sebagian anggota DPR makin jago sandiwaranya. Di depan rakyat, mereka mentingin rakyat dan religius. Di belakang rakyat, mereka saling berangkulan sembari bagi-bagi duit. Itu anggota DPR apa pemain teater?” kritiknya keras. Kritik Saroh sangat mengena. Bahkan keruncingannya menembus benak Arung. Benak Arung menyetujui kritik Saroh. Entah mengapa, lidah Arung gatal. Ingin sekali menghubungkan kritik Saroh dengan Khalim Mansyur. “Untung Papa kamu nggak pernah jadi anggota DPR,” tuka
“Gimana kabar perusahaan private equity kamu?” Saroh mengenyahkan keheningan. “Wishlight Capital udah resmi menjalin kemitraan strategis dengan tiga perusahaan investasi dari Amerika Serikat. Wishlight Capital mengelola dana mereka. Ke depannya, Wishlight Capital menanamkan modal di perusahaan rintisan yang prospeknya cerah, perusahaan berkembang, dan perusahaan raksasa. Wishlight Capital fokus di region Asia Tenggara,” Arung menyibakkan perkembangan dan rencana bisnis perusahaannya. Saroh takjub akan pencapaian perusahaan Arung. Dia melambungkan kehebatan Arung. “Biasa aja,” Arung merendah. “Alasan yang bikin mereka mau bukan Wishlight Capital, tapi daya saing dan daya tawar Indonesia. Perekonomian Indonesia cukup bagus di tingkat dunia. Indonesia juga mendapat bonus demografi. Banyak industri yang maju pesat di Indonesia. Kondisi positif ini bakal semakin berkembang di masa depan,” jabarnya nyaring. Saroh menyelami penjabaran Arung. “Bisnis Wishlight Capital b
Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang. Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian
Mereka berdua lantas menentukan pilihan. Saroh menjatuhkan minatnya pada sebuah buku mengenai Corporate Social Responsibility. Arung menetapkan akhir pemburuannya pada tiga buku psikologi anak dan tiga buku pengasuhan anak. Saroh menghampiri Arung. Ia memerhatikan isi tote bag transparan yang dijinjing Arung. Decak lidah Saroh mengiringi perhatiannya. Menurut Saroh, jumlah buku yang hendak dibeli Arung banyak sekali. “Bukan banyak sekali, tapi bagus sekali,” tepis Arung. “Kalau bukunya bagus, aku pasti pilih,” dia menambahkan. “Pinjem bukunya, dong …. Aku penasaran.” Arung mengulurkan tote bag transparannya kepada Saroh. Saroh mengeluarkan satu per satu buku yang ada di dalam tote bag transparan Arung. Dia membaca judul setengah lusin buku tersebut. “Aku baru tahu kamu suka psikologi anak sama parenting,” komentarnya agak kaget. “Aku suka psikologi anak karena aku nggak mau tuntutan aku terhadap anak-anak kita kelak berlebihan. Aku harus memast
"HABIS INI KITA KE MANA?" ulang Saroh kesal. "Kalem sedikit, Say ...," sahut Arung pelan. Dia mengusulkan, “Bagaimana kalau kita ke Es Teler 77?” Tanpa berpikir panjang, Saroh menyetujui usul Arung. Arung menggenggam erat telapak tangan Saroh. Mereka berjalan menuju lantai pertama. Di atas tangga eskalator, keduanya bersepakat. Mereka berdua akan mengunjungi Toko Buku Gramedia ini pada hari-hari esok. Sesampainya di gerai Es Teler 77, Saroh dan Arung langsung memesan menu. Mereka menempati kursi di pojok ruangan. "Kapan kamu lanjut kuliah S2?" Arung memulai obrolan baru. Bahu Saroh terangkat. Saroh belum dapat menentukan tahun studi pasca sarjananya. Bisa tahun ini, bisa juga tahun berikutnya. Sebab keseharian Saroh dicengkeram oleh kesibukan pekerjaan. Konsentrasi Saroh tercurahkan untuk aktivitas di kantornya. "Kamu kuliah S2 di kampus aku aja," Arung menganjurkan. Dia mengutarakan alasan, "Kuliah di Stanford Graduate School of Business sanga
Kalimat romantis yang ditanyakan Saroh sulit diingat oleh Arung. Ia gagal menuturkannya. Ia menyampaikan kelupaannya kepada Saroh. Saroh memberengut. “Kamu inget-inget, dong! Aku pengin banget dengerinnya,” dia setengah memaksa. Arung mengalah. Dia mengeluarkan upaya. Memori Arung berpusat pada suatu kejadian yang sudah lewat. Otak Arung berputar ekstra untuk penemuan lantunan pernyataan kasihnya. Setelah bersusah-payah, Arung berhasil menemukan pernyataan kasihnya. Lidah Arung segera menggelindingkan pernyataan kasihnya, “Setahun sudah kita berteman. Perasaanku kini berubah. Aku ingin mengungkapkannya kepadamu. Karena aku tak bersedia memendamnya lebih dalam. Karena aku tak sudi membohongi hasratku sendiri. Aku mengagumimu. Sungguh mendambakanmu. Maukah kamu menjadi kekasihku?” “Aku nggak mau jadi kekasihmu! Aku maunya jadi istrimu!” jawab Saroh disertai kegalakan yang dibuat-buat. Gelak Arung terlepas bebas. Ekspresi Saroh menimbulkan kegelian pada dirin
Pinto meninggalkan kantin di Gedung DPR. Permasalahan perutnya tuntas. Kelaparannya pun binasa. Demikian juga permasalahan otaknya. Akalnya bugar kembali. Di ruang kerjanya, Pinto bersiap untuk sebuah pertemuan. Dua pria akan memberikan laporan bernilai kepada Pinto. Ketika Pinto sedang menelaah hasil kunjungan kerja spesifiknya ke Provinsi Kalimantan Barat, batang hidung dua pria tersebut tampak. Pria pertama menjinjing tas ransel. Tas laptop tersampir di bahu pria kedua. Pinto langsung menyongsong mereka berdua. Mereka berdua menceritakan proses penelitian di Dapil Pinto. Dari mulai perkenalan dengan pemandu penelitian hingga wawancara mendalam dengan informan. Secara antusias Pinto menyimak cerita mereka berdua. Sesekali Pinto menaruh tanggapan pada ujaran mereka berdua. Beberapa tanggapan Pinto mengocok perut mereka berdua. Mereka berdua terkikik keras. “Mas Ondi dan Mas Gagan bisa menyampaikan datanya sekarang,” suruh Pinto secara tidak langsung kepada mereka ber
Mobil Lexus Pinto berlabuh di wilayah Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal. Pintu penumpangnya terbuka lebar. Badan Pinto, kemeja batik bersepuh emas lengan panjang yang dikenakannya, dan arloji Rolex yang melingkari pergelangan tangannya keluar dari kabin penumpang. Pria di samping bodi mobil sigap memayungi Pinto. Pinto menyusuri gang-gang kumuh. Bagian bawah sepatu kulit Pinto menciumi tanah becek. Di sepanjang gang, Pinto menyapa penduduk yang menatapnya. Di ujung jalan sana, tenda berisi puluhan warga setempat berdiri tegap. Sedari tadi menunggu kedatangan Pinto. Dari arah berlawanan, seorang anggota tim sukses Pinto menghampiri Pinto. Dekapannya pada raga Pinto cukup erat. "Wis akeh sing teka, Mas Johan (Sudah banyak yang datang, Mas Johan)?" bisik Pinto. "Wis (sudah)," desis anggota tim suksesnya. Dia mengiringi langkah kaki Pinto. Masuklah Pinto ke dalam tenda. Kader-kader Partai Kesan langsung mengelukan kedatangan Pinto. Pinto membalas sambutan hanga