"Pa, walaupun Green sudah tiada, aku tidak akan bisa bahagia bersama Marcell. Kebersamaan dengan Marcell hanya mengingatkanku bahwa aku sudah menyakiti hati lelaki yang kucintai dan membuatnya kecewa!" raung Hana dengan air mata berlinang.
Hana menjadi sangat sensitif dan begitu cengeng sejak tadi malam.
"Pa!" hardik Jihan dengan kening semakin mengerut dalam.
Anton kembali mendesah. Dia sungguh putus asa sekarang. "Baiklah. Terserah kamu. Lakukan apa yang kamu inginkan. Tapi Papa minta kamu menyiapkan hatimu jika Green ternyata...."
"Tidak! Green akan selamat! Aku yakin Green akan selamat!" teriak Hana parau walau hatinya sangat ragu.
Setelah papanya menyetujui pembatalan proses perceraian itu, hati Hana sedikit lega.
"Green, lihat! Aku sudah membatalkan perceraian kita. Aku minta kamu tetap terus hidup. Bertahanlah di mana pun kamu berada sampai
Selamat malam, Readers! ^^ Terima kasih atas dukungannya! Dukung terus karya ini dengan memberi Vote dan komentar ya! ^^ ❤️
Saat Hana menuruni tangga dan mendapati ayah ibunya dan juga Marcell berada di ruang keluarga, tubuhnya seketika mematung. Hatinya menjadi kesal. Kenapa orang tuanya mengajak Marcell bergabung di ruang keluarga? Bukankah mereka tahu bahwa putri mereka tidak ingin lagi melanjutkan hubungan khusus dengan Marcell?"Hana, kemari sayang!" panggil Jihan."Nak Marcell membawakan makanan kesukaanmu, nih!" ucap Anton tersenyum menatap putrinya. Marcell juga menatap Hana dengan tersenyum kecil tetapi matanya diisi oleh rasa cemas.Hana berjalan dan duduk di sofa tunggal. "Terima kasih, Marcell. Kamu tidak usah repot-repot harusnya.""Aku ingin melihat keadaanmu langsung. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Marcell. Dia sungguh tidak tenang karena Hana sama sekali tidak mengangkat teleponnya ataupun membalas pesan chat-nya beberapa hari ini."Aku....tidak begitu baik. Aku masih menunggu ka
"Marcell?" Tanpa alasan yang jelas Hana merasa khawatir. Marcel masih tenggelam dalam pikirannya sendiri di mana dia ingin membalas kejahatan Veronika."Marcell!" Hana sekali lagi memanggilnya dengan nada sedikit tinggi. Alhasil pikiran Marcell teralihkan kembali. Dia pun menatap Hana dengan tatapan serius."Hana, jawab pertanyaanku dengan jujur. Seandainya Green meninggal, atau tidak ditemukan, apa kamu mau memperbaiki hubungan kita?""Itu...." Pikiran Hana mendadak kosong."Jawab saja dengan jujur," ucap Marcell masih menatap Hana dengan serius."Aku yakin Green masih hidup, dia akan kembali!" jawab Hana dengan perasaan canggung."Hana, yang aku bilang seandainya. Apa jawabanmu?" tuntut Marcell."Aku.....aku tidak tahu jawabannya," jawab Hana berbohong.Marcell mendengkus. "Kenapa tidak tahu?""
Sally mendapat telepon dari luar negeri. Siapa lagi kalau bukan dari kakak kandungnya? Dia sudah bisa menebak-nebak apa yang akan kakaknya itu bicarakan. Karena itu sering dan sering terjadi hingga membuat Sally muak! "Ada apa?" sapa Sally dengan ketus. "Halo, Sally? Bagaimana kabarmu?" tanya di seberang dengan lembut. "Sudahlah, Robert! Tidak usah basa-basi. Ada apa?" Terdengar suara kekehan di seberang. "Kamu sama kakakmu sendiri, ketus sekali!" "Iya, itu karena kau tidak punya otak. Sudah berapa banyak uang yang kau habiskan untuk berjudi?" Robert mendecak. "Ck, percuma adikku menikah dengan seorang konglomerat. Masa untuk membantu kakaknya kesusahan tidak mampu?" "Dasar bajingan! Kesusahan itu kau sendiri yang menciptakan. Kau pergi ke Makau hanya untuk berjudi! Kau tidak memedulikan masa depan keluargamu, istri dan anak
"Hana, Nenek memintamu datang ke rumah dengan membawa Marcell besertamu," ucap Anton kaku saat mereka bertiga makan malam. "Saat kamu membawanya, semua keluarga Winata akan berkumpul di rumah Nenek."Tangan Hana yang memegang sendok dan garpu terhenti begitu saja. Dia menatap papanya dengan wajahnya yang masih saja kuyu."Papa kan tahu sendiri, aku dan Marcell sudah putus. Aku tidak mungkin membawanya menemui mereka.""Papa tahu. Tapi...""Pa, aku tidak bisa! Papa sudah tahu betul apa alasannya. Aku tidak mau menjelaskan lagi." Hana berkeras hati."Hana, ini sudah hampir satu bulan berlalu sejak musibah itu terjadi," ucap Anton ingin membujuk."Lalu?" Mata Hana mulai berkaca-kaca. Tetapi perlawanan tetap terlihat di matanya."Pa, kenapa kamu memancingnya lagi?" Jihan mengerutkan keningnya."Sudah hampir satu bulan ber
Suasana segera menjadi hening. "Hana! Kamu sungguh keterlaluan. Kamu jatuh cinta pada orang yang sudah mati, lalu memutuskan hubungan dengan Marcell begitu saja? Di mana otakmu berada? Bagaimana kamu akan memperbaiki ini semua?" Erina sungguh marah. "Marcell pasti sudah tersinggung berat. Ini tidak akan mudah diperbaiki, Nek!" ucap Ryan. Erina mendadak pusing mendengarnya. "Hana, kau harus memperbaiki segala sesuatunya!" titahnya dengan suara keras. Dia sungguh tidak bisa menerima keadaan saat ini. Erina sudah bermimpi bahwa Keluarga Winata akan semakin berjaya dan semua keluarga kaya di negeri ini akan memandang hormat dan kagum pada mereka karena keluarga Winata telah menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga Williams yang berada di strata paling atas. Tahu-tahu sekarang pupus begitu saja! Hana mengangkat wajahnya menatap neneknya. "Aku tidak berniat memperbaiki apa pun. Aku hanya mau
"Aku tidak bisa membujuk Hana. Aku tidak akan bisa," ucap Anton dengan jujur. "Jadi, apa Mama akan tetap mencabut posisiku?""Kamu bahkan belum mencobanya! Atau jangan-jangan kamu memang sudah bosan mengemban posisi itu? Kalau memang iya, Mama cabut sekarang juga!" Erina marah."Bukan itu maksudku! Tetapi aku memang tidak mampu untuk membujuknya lagi.""Aku beri kamu waktu tiga hari, kalau kamu gagal, Mama akan memberikan posisimu pada Gerry. Kamu tahu Mama tidak pernah main-main." Erina tetap saja mengancam.Gerry dan Rudy saling memandang dengan mata berbinar. Mereka jelas memiliki visi dan misi yang sama di dalam perusahaan. Berbeda dengan Anton yang mereka rasa terlalu bermain aman selama ini. Begitu mereka yang menjabat, perombakan besarlah yang akan mereka lakukan! Ibu mereka pasti akan terkagum dan salut jika nanti mereka berhasil melaksanakannya. Mereka berdua sangat menyayangkan keadaan kare
Green mendesah pelan setelahnya. Binar wajahnya tadi berubah menjadi murung. Sesungguhnya dia merindukan Hana. Dia ingin melihat Hana. Sebentar saja pun tidak apa-apa. "Ada apa, Green?" Reyhans sedari tadi memperhatikan raut wajah cucunya yang tiba-tiba berubah. "Tidak apa-apa, Kek. Hanya saja nilai-nilaiku...." "Kakek memujikan hasil ujianmu. Dalam keadaan tak baik pun kamu bisa berhasil lulus. Kamu benar-benar hebat menurut Kakek," puji Reyhans. "Benarkah, Kek?" "Tentu saja benar." Reyhans tersenyum tulus. "Baiklah, kamu harus bersiap-siap. Tuan Liu sudah menunggumu." Tampak profesor Liu berdiri tegak dengan tersenyum ramah bersama seorang perawat di sampingnya. Green mengangguk bersiap-siap untuk menjalani terapi dengan mesin khusus. Profesor Liu mengatakan bahwa Green bisa sembuh lebih cepat dengan menjalani terapi mesin dua kali dalam semingg
Albert saat ini duduk di kursi ruang kerjanya yang luas dan nyaman. Keningnya sedikit mengerut saat ia memandangi foto seorang balita laki-laki bertubuh kecil dan tampak bodoh. Balita itu adalah Green Williams, putra sulungnya yang dengan sengaja sudah ia telantarkan demi kelanggengan hidup rumah tangganya bersama Sally. Kemudian matanya beralih melihat foto Green yang sudah dewasa. Perubahan yang cukup drastis! Albert cukup terkejut ketika pertama kali ia menerima dan melihat foto itu. Green bertubuh tinggi dan walaupun agak kurus tetapi wajah putra sulungnya itu terlihat sangat tampan, dan sama sekali tidak terlihat bodoh seperti masa kecilnya dulu. Jujur saja, waktu itu selain karena tekanan istri, Albert sendiri memang cukup malu memiliki anak yang tampak bodoh, lamban dan penyakitan. Keberadaan Green kecil dalam keluarga Williams hanya seperti aib saja baginya. Sungguh menjatuhkan harga diri dan martabatnya. Itu sebabnya dia tidak merasa ragu sedikit pun