"Hana, Nenek memintamu datang ke rumah dengan membawa Marcell besertamu," ucap Anton kaku saat mereka bertiga makan malam. "Saat kamu membawanya, semua keluarga Winata akan berkumpul di rumah Nenek."
Tangan Hana yang memegang sendok dan garpu terhenti begitu saja. Dia menatap papanya dengan wajahnya yang masih saja kuyu.
"Papa kan tahu sendiri, aku dan Marcell sudah putus. Aku tidak mungkin membawanya menemui mereka."
"Papa tahu. Tapi..."
"Pa, aku tidak bisa! Papa sudah tahu betul apa alasannya. Aku tidak mau menjelaskan lagi." Hana berkeras hati.
"Hana, ini sudah hampir satu bulan berlalu sejak musibah itu terjadi," ucap Anton ingin membujuk.
"Lalu?" Mata Hana mulai berkaca-kaca. Tetapi perlawanan tetap terlihat di matanya.
"Pa, kenapa kamu memancingnya lagi?" Jihan mengerutkan keningnya.
"Sudah hampir satu bulan ber
Suasana segera menjadi hening. "Hana! Kamu sungguh keterlaluan. Kamu jatuh cinta pada orang yang sudah mati, lalu memutuskan hubungan dengan Marcell begitu saja? Di mana otakmu berada? Bagaimana kamu akan memperbaiki ini semua?" Erina sungguh marah. "Marcell pasti sudah tersinggung berat. Ini tidak akan mudah diperbaiki, Nek!" ucap Ryan. Erina mendadak pusing mendengarnya. "Hana, kau harus memperbaiki segala sesuatunya!" titahnya dengan suara keras. Dia sungguh tidak bisa menerima keadaan saat ini. Erina sudah bermimpi bahwa Keluarga Winata akan semakin berjaya dan semua keluarga kaya di negeri ini akan memandang hormat dan kagum pada mereka karena keluarga Winata telah menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga Williams yang berada di strata paling atas. Tahu-tahu sekarang pupus begitu saja! Hana mengangkat wajahnya menatap neneknya. "Aku tidak berniat memperbaiki apa pun. Aku hanya mau
"Aku tidak bisa membujuk Hana. Aku tidak akan bisa," ucap Anton dengan jujur. "Jadi, apa Mama akan tetap mencabut posisiku?""Kamu bahkan belum mencobanya! Atau jangan-jangan kamu memang sudah bosan mengemban posisi itu? Kalau memang iya, Mama cabut sekarang juga!" Erina marah."Bukan itu maksudku! Tetapi aku memang tidak mampu untuk membujuknya lagi.""Aku beri kamu waktu tiga hari, kalau kamu gagal, Mama akan memberikan posisimu pada Gerry. Kamu tahu Mama tidak pernah main-main." Erina tetap saja mengancam.Gerry dan Rudy saling memandang dengan mata berbinar. Mereka jelas memiliki visi dan misi yang sama di dalam perusahaan. Berbeda dengan Anton yang mereka rasa terlalu bermain aman selama ini. Begitu mereka yang menjabat, perombakan besarlah yang akan mereka lakukan! Ibu mereka pasti akan terkagum dan salut jika nanti mereka berhasil melaksanakannya. Mereka berdua sangat menyayangkan keadaan kare
Green mendesah pelan setelahnya. Binar wajahnya tadi berubah menjadi murung. Sesungguhnya dia merindukan Hana. Dia ingin melihat Hana. Sebentar saja pun tidak apa-apa. "Ada apa, Green?" Reyhans sedari tadi memperhatikan raut wajah cucunya yang tiba-tiba berubah. "Tidak apa-apa, Kek. Hanya saja nilai-nilaiku...." "Kakek memujikan hasil ujianmu. Dalam keadaan tak baik pun kamu bisa berhasil lulus. Kamu benar-benar hebat menurut Kakek," puji Reyhans. "Benarkah, Kek?" "Tentu saja benar." Reyhans tersenyum tulus. "Baiklah, kamu harus bersiap-siap. Tuan Liu sudah menunggumu." Tampak profesor Liu berdiri tegak dengan tersenyum ramah bersama seorang perawat di sampingnya. Green mengangguk bersiap-siap untuk menjalani terapi dengan mesin khusus. Profesor Liu mengatakan bahwa Green bisa sembuh lebih cepat dengan menjalani terapi mesin dua kali dalam semingg
Albert saat ini duduk di kursi ruang kerjanya yang luas dan nyaman. Keningnya sedikit mengerut saat ia memandangi foto seorang balita laki-laki bertubuh kecil dan tampak bodoh. Balita itu adalah Green Williams, putra sulungnya yang dengan sengaja sudah ia telantarkan demi kelanggengan hidup rumah tangganya bersama Sally. Kemudian matanya beralih melihat foto Green yang sudah dewasa. Perubahan yang cukup drastis! Albert cukup terkejut ketika pertama kali ia menerima dan melihat foto itu. Green bertubuh tinggi dan walaupun agak kurus tetapi wajah putra sulungnya itu terlihat sangat tampan, dan sama sekali tidak terlihat bodoh seperti masa kecilnya dulu. Jujur saja, waktu itu selain karena tekanan istri, Albert sendiri memang cukup malu memiliki anak yang tampak bodoh, lamban dan penyakitan. Keberadaan Green kecil dalam keluarga Williams hanya seperti aib saja baginya. Sungguh menjatuhkan harga diri dan martabatnya. Itu sebabnya dia tidak merasa ragu sedikit pun
"Bu, kata Kak Green kita tidak akan lama lagi tinggal di sini. Kak Green bilang kita akan tinggal di tempat yang jauh lebih nyaman setelah nanti jati diri Kak Green diumumkan!" Rafa bercerita dengan penuh semangat. Tadi Rafa baru saja bertelepon dengan Green. Sayangnya Mirna dan Budi sedang tidak ada di rumah, dan baru pulang sekarang. Mirna tersenyum lembut mengusap kepala putranya. "Kita tidak pindah pun, ibu tetap bahagia karena kakakmu ternyata baik-baik saja," ucap Mirna dengan tulus. Sebelumnya hati Mirna begitu hancur saat waktu itu mengetahui bahwa Green mengalami kecelakaan dan sedang dalam pencarian. Tetapi keesokan harinya Green meneleponnya. Syukur sekali Green meneleponnya. Rasa duka langsung seketika berubah 180 derajat menjadi rasa sukacita. "Rafa, kamu harus ingat ya pesan Kakek Reyhans bahwa keberadaan Kak Green masih harus dirahasiakan untuk sementara waktu," ucap Budi mengi
Saat ini Hana dan Marcell duduk berdampingan di dalam mobil yang melaju menuju Williams University 21. Marcell yang mengendarai langsung mobil itu. "Marcell, kenapa kamu tidak bilang akan menjemputku?" tanya Hana dengan suara rendah. "Kalau aku bilang, memangnya kamu mau aku jemput?" Hana diam. Tentu saja dia akan menolak. Tadi pun sebenarnya dia ingin menolak, tetapi Anton mengatakan bahwa menolak seperti itu kesannya kasar karena Marcell sudah berada di rumah mereka. "Ini hari pertama kita masuk kampus. Kan tidak salah kita berangkat bersama?" ucap Marcell. Hana menoleh menatap Marcell. Fitur samping Marcell terlihat mirip sekali dengan Green, Apalagi tulang hidungnya yang tinggi dengan bentuk rahang yang sempurna. "Marcell, sebenarnya wajahmu mirip dengan Green," ucap Hana tiba-tiba dengan tatapan penuh kerinduan, membuat Marcell menaikkan alis
Julia yang baru saja turun dari mobil langsung menarik semua perhatian di area parkir."Siapa dia?""Wah, cantik sekali..!""Jangan-jangan artis?""Anak pejabat kali, lihat mobilnya! Wusshhh mataku silau!"Gumaman-gumaman memuja sama sekali tak dihiraukannya. Julia melangkah dengan bersemangat layaknya gadis belia menuju ke lapangan satu, tempat junior berkumpul sesuai jurusan yang dia ambil.Semua keramaian yang ada di lapangan satu terpesona melihat Julia yang begitu cemerlang. Dia imut dan penampilannya benar-benar segar."Oh ternyata perempuan itu di situ," ucap Julia di dalam hati ketika matanya melihat sosok Hana. "Wow, dia bersama Marcell! Apa ini akan menjadi kabar baik untukku? Kasihan, tuan muda pasti kecewa melihat perempuan itu."Begitu dia sampai, banyak orang datang menghampirinya dan mengajaknya berkena
Mereka berjarak delapan langkah saat ini. Hana ingin segera melompat padanya, memastikan benarkah dia Green? Benarkah dia suaminya, lelaki yang sangat dia cintai dan rindukan itu? Sesuatu meletup-letup dalam diri Hana! Dia merasakan harapan kegembiraan yang luar biasa, yang membuatnya segera melangkah ke arahnya. Tetapi kejadian ini begitu mengejutkan, hingga membuat kaki Hana melemas dan kemudian ia terhuyung! Nyaris saja Hana terjatuh kalau saja Marcell tidak dengan sigap memeganginya. Mata Green melebar saat dia menyadari ada Marcell di sisi Hana. Tampak Marcell memeluk tubuh Hana yang ringkih. Green segera memalingkan wajahnya dengan sedih. Tiba-tiba terdengar seruan seseorang. "Wow, Green, kau beneran Green ternyata!" Green segera menoleh pada sumber suara dan matanya seketika terbelalak. "Baron!" teriak Green di dalam hati. Wajahnya pucat. Mulutnya terkatup dan tu