Mengamati keadaan tempat kecelakaan bus itu terjadi melalui televisi, juga laporan dari tim swasta yang ia tugaskan, Anton bisa menyimpulkan bahwa Green dan juga enam korban lainnya yang masih dalam pencarian pagi ini oleh tim SAR, pastilah tidak mungkin selamat.
Jadi, walaupun dia menuruti permintaan Hana untuk membatalkan proses perceraian, Anton sebenarnya tidak perlu khawatir akan masalah bahwa Hana akhirnya hidup bersama dengan Green, pria yang diketahui orang sebagai pria penyakitan dan bodoh. Itu 98% tidak akan terjadi.
Masalahnya adalah bagaimana dengan Marcell? Jika Hana membatalkan perceraian, itu berarti Hana akan meminta putus dengan Marcell. Bagaimana jika Marcell dan keluarga Williams sakit hati akibat pemutusan sepihak itu, tentu keadaan akan menjadi gawat. PT. Andalan Winata sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Williams Global Corporation. Dalam waktu singkat Keluarga Williams bisa membuat keluarga Winata
"Pa, walaupun Green sudah tiada, aku tidak akan bisa bahagia bersama Marcell. Kebersamaan dengan Marcell hanya mengingatkanku bahwa aku sudah menyakiti hati lelaki yang kucintai dan membuatnya kecewa!" raung Hana dengan air mata berlinang. Hana menjadi sangat sensitif dan begitu cengeng sejak tadi malam. "Pa!" hardik Jihan dengan kening semakin mengerut dalam. Anton kembali mendesah. Dia sungguh putus asa sekarang. "Baiklah. Terserah kamu. Lakukan apa yang kamu inginkan. Tapi Papa minta kamu menyiapkan hatimu jika Green ternyata...." "Tidak! Green akan selamat! Aku yakin Green akan selamat!" teriak Hana parau walau hatinya sangat ragu. Setelah papanya menyetujui pembatalan proses perceraian itu, hati Hana sedikit lega. "Green, lihat! Aku sudah membatalkan perceraian kita. Aku minta kamu tetap terus hidup. Bertahanlah di mana pun kamu berada sampai
Saat Hana menuruni tangga dan mendapati ayah ibunya dan juga Marcell berada di ruang keluarga, tubuhnya seketika mematung. Hatinya menjadi kesal. Kenapa orang tuanya mengajak Marcell bergabung di ruang keluarga? Bukankah mereka tahu bahwa putri mereka tidak ingin lagi melanjutkan hubungan khusus dengan Marcell?"Hana, kemari sayang!" panggil Jihan."Nak Marcell membawakan makanan kesukaanmu, nih!" ucap Anton tersenyum menatap putrinya. Marcell juga menatap Hana dengan tersenyum kecil tetapi matanya diisi oleh rasa cemas.Hana berjalan dan duduk di sofa tunggal. "Terima kasih, Marcell. Kamu tidak usah repot-repot harusnya.""Aku ingin melihat keadaanmu langsung. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Marcell. Dia sungguh tidak tenang karena Hana sama sekali tidak mengangkat teleponnya ataupun membalas pesan chat-nya beberapa hari ini."Aku....tidak begitu baik. Aku masih menunggu ka
"Marcell?" Tanpa alasan yang jelas Hana merasa khawatir. Marcel masih tenggelam dalam pikirannya sendiri di mana dia ingin membalas kejahatan Veronika."Marcell!" Hana sekali lagi memanggilnya dengan nada sedikit tinggi. Alhasil pikiran Marcell teralihkan kembali. Dia pun menatap Hana dengan tatapan serius."Hana, jawab pertanyaanku dengan jujur. Seandainya Green meninggal, atau tidak ditemukan, apa kamu mau memperbaiki hubungan kita?""Itu...." Pikiran Hana mendadak kosong."Jawab saja dengan jujur," ucap Marcell masih menatap Hana dengan serius."Aku yakin Green masih hidup, dia akan kembali!" jawab Hana dengan perasaan canggung."Hana, yang aku bilang seandainya. Apa jawabanmu?" tuntut Marcell."Aku.....aku tidak tahu jawabannya," jawab Hana berbohong.Marcell mendengkus. "Kenapa tidak tahu?""
Sally mendapat telepon dari luar negeri. Siapa lagi kalau bukan dari kakak kandungnya? Dia sudah bisa menebak-nebak apa yang akan kakaknya itu bicarakan. Karena itu sering dan sering terjadi hingga membuat Sally muak! "Ada apa?" sapa Sally dengan ketus. "Halo, Sally? Bagaimana kabarmu?" tanya di seberang dengan lembut. "Sudahlah, Robert! Tidak usah basa-basi. Ada apa?" Terdengar suara kekehan di seberang. "Kamu sama kakakmu sendiri, ketus sekali!" "Iya, itu karena kau tidak punya otak. Sudah berapa banyak uang yang kau habiskan untuk berjudi?" Robert mendecak. "Ck, percuma adikku menikah dengan seorang konglomerat. Masa untuk membantu kakaknya kesusahan tidak mampu?" "Dasar bajingan! Kesusahan itu kau sendiri yang menciptakan. Kau pergi ke Makau hanya untuk berjudi! Kau tidak memedulikan masa depan keluargamu, istri dan anak
"Hana, Nenek memintamu datang ke rumah dengan membawa Marcell besertamu," ucap Anton kaku saat mereka bertiga makan malam. "Saat kamu membawanya, semua keluarga Winata akan berkumpul di rumah Nenek."Tangan Hana yang memegang sendok dan garpu terhenti begitu saja. Dia menatap papanya dengan wajahnya yang masih saja kuyu."Papa kan tahu sendiri, aku dan Marcell sudah putus. Aku tidak mungkin membawanya menemui mereka.""Papa tahu. Tapi...""Pa, aku tidak bisa! Papa sudah tahu betul apa alasannya. Aku tidak mau menjelaskan lagi." Hana berkeras hati."Hana, ini sudah hampir satu bulan berlalu sejak musibah itu terjadi," ucap Anton ingin membujuk."Lalu?" Mata Hana mulai berkaca-kaca. Tetapi perlawanan tetap terlihat di matanya."Pa, kenapa kamu memancingnya lagi?" Jihan mengerutkan keningnya."Sudah hampir satu bulan ber
Suasana segera menjadi hening. "Hana! Kamu sungguh keterlaluan. Kamu jatuh cinta pada orang yang sudah mati, lalu memutuskan hubungan dengan Marcell begitu saja? Di mana otakmu berada? Bagaimana kamu akan memperbaiki ini semua?" Erina sungguh marah. "Marcell pasti sudah tersinggung berat. Ini tidak akan mudah diperbaiki, Nek!" ucap Ryan. Erina mendadak pusing mendengarnya. "Hana, kau harus memperbaiki segala sesuatunya!" titahnya dengan suara keras. Dia sungguh tidak bisa menerima keadaan saat ini. Erina sudah bermimpi bahwa Keluarga Winata akan semakin berjaya dan semua keluarga kaya di negeri ini akan memandang hormat dan kagum pada mereka karena keluarga Winata telah menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga Williams yang berada di strata paling atas. Tahu-tahu sekarang pupus begitu saja! Hana mengangkat wajahnya menatap neneknya. "Aku tidak berniat memperbaiki apa pun. Aku hanya mau
"Aku tidak bisa membujuk Hana. Aku tidak akan bisa," ucap Anton dengan jujur. "Jadi, apa Mama akan tetap mencabut posisiku?""Kamu bahkan belum mencobanya! Atau jangan-jangan kamu memang sudah bosan mengemban posisi itu? Kalau memang iya, Mama cabut sekarang juga!" Erina marah."Bukan itu maksudku! Tetapi aku memang tidak mampu untuk membujuknya lagi.""Aku beri kamu waktu tiga hari, kalau kamu gagal, Mama akan memberikan posisimu pada Gerry. Kamu tahu Mama tidak pernah main-main." Erina tetap saja mengancam.Gerry dan Rudy saling memandang dengan mata berbinar. Mereka jelas memiliki visi dan misi yang sama di dalam perusahaan. Berbeda dengan Anton yang mereka rasa terlalu bermain aman selama ini. Begitu mereka yang menjabat, perombakan besarlah yang akan mereka lakukan! Ibu mereka pasti akan terkagum dan salut jika nanti mereka berhasil melaksanakannya. Mereka berdua sangat menyayangkan keadaan kare
Green mendesah pelan setelahnya. Binar wajahnya tadi berubah menjadi murung. Sesungguhnya dia merindukan Hana. Dia ingin melihat Hana. Sebentar saja pun tidak apa-apa. "Ada apa, Green?" Reyhans sedari tadi memperhatikan raut wajah cucunya yang tiba-tiba berubah. "Tidak apa-apa, Kek. Hanya saja nilai-nilaiku...." "Kakek memujikan hasil ujianmu. Dalam keadaan tak baik pun kamu bisa berhasil lulus. Kamu benar-benar hebat menurut Kakek," puji Reyhans. "Benarkah, Kek?" "Tentu saja benar." Reyhans tersenyum tulus. "Baiklah, kamu harus bersiap-siap. Tuan Liu sudah menunggumu." Tampak profesor Liu berdiri tegak dengan tersenyum ramah bersama seorang perawat di sampingnya. Green mengangguk bersiap-siap untuk menjalani terapi dengan mesin khusus. Profesor Liu mengatakan bahwa Green bisa sembuh lebih cepat dengan menjalani terapi mesin dua kali dalam semingg
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be