"Ada apa?" Green menoleh pada Hana yang mendongak padanya.
"Tolong jangan berwajah seperti itu. Kamu sering murung dan itu membuatku tak nyaman," ucap Hana dengan wajah sendu.
"Kamu sendiri tahu kenapa aku seperti ini. Haruskah aku selalu memasang senyum seolah tidak ada yang terjadi? Kamu istriku tetapi bukan milikku. Kamu bahkan akan segera menjadi milik pria lain. Haruskah aku bersikap riang?" lirih Green.
Hana dengan cepat berkata, "Aku tidak bisa membalas perasaanmu tapi aku bisa membuatmu lebih baik dan tentunya juga akan bahagia dengan membantumu untuk meningkatkan kualitas hidup. Aku sudah memilih universitas yang bagus untukmu nanti. Mudah-mudahan kamu bisa lulus." Hana terlihat kikuk.
"Hana, bersikaplah seperti di awal kita bertemu. Tolong jangan kaku dan menjaga jarak dariku. Kalau kamu seperti itu aku akan merasa kehilangan," pinta Green padanya.
Hana tampak
Hi Readers tercinta! ^^ Dukung terus kisah Hana dan Green ya! ^^ Terima kasih atas dukungannya selama ini. ^^ ❤️
Hana langsung menoleh ke belakang dan terkejut bahwa yang berada di belakang mereka adalah Veronika. Wajah Veronika memerah dan sebentar lagi ia pasti akan meletus dan memuntahkan lahar panas. 'Jika itu terjadi, hancurlah semua rencanaku, begitu pula nama baikku! Hana, kau benar-benar bodoh! Kenapa kau selalu menunda persoalan ini? Kalau sudah seperti ini bagaimana lagi jadinya?' Hana mengutuki diri di dalam hati. Cepat-cepat Hana membalikkan badannya. "Veronika, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Tolong, tolong jangan berteriak. Aku bisa menjelaskannya padamu," ucap Hana pelan dengan nada panik. Kali ini dia sungguh takut. Sementara Marcell tampak diam mengamati. "Apa kau pikir aku orang jahat?!" ucap Veronika dengan suara mulai tinggi. "Veronika, percaya padaku, aku tidak menggoda Marcell," lirih Hana dengan suara cepat. "Diam kau, Hana. Jan
"Bisakah kita bicara berdua saja?" ucap Hana sambil melirik Veronika yang berlinang air mata.Marcell kembali menatap Veronika. "Pergilah. Tinggalkan kami berdua," usirnya. "Dan satu lagi, jangan sampai status Hana tersebar. Kalau tersebar, aku akan menuntut pertanggungjawaban darimu dan keluargamu."Veronika hanya mengangguk lemah, dan segera meninggalkan tempat itu. Hatinya telah hancur saat ini."Sampai kapan pun Marcell tidak akan bisa menjadi milikku. Dia bahkan sangat membenciku," lirihnya dengan air mata yang kembali mengalir.Setelah kepergian Veronika. Hana kembali memulai percakapan."Marcell, a-aku akan melakukan proses cerai setelah Ujian Nasional," ucap Hana gugup.'Aku tidak boleh menyinggung masalah perceraian pada Green sampai ujian berakhir, kalau tidak, Green pasti akan kepikiran lalu ujiannya bisa gagal.'Marcell menyip
Hana menghembuskan napas berat saat dia sedang berendam di bathtub. "Persoalan terberat dalam hidupku baru saja selesai dengan tuntas. Bahkan persoalan ini selesai dengan cara yang sangat mudah dan hasilnya sesuai dengan harapanku, juga keluargaku. Tapi dadaku malah terasa lebih sesak.." "Tuhan.. Sebenarnya apa yang membuatku seperti ini? Aku bahkan tidak merasa senang sedikit pun," lirih Hana di dalam hati. Hana memejamkan matanya. "Sebenarnya aku tahu jawabannya. Mungkin karena aku merasa bersalah pada Green. Aku yang sudah menggodanya duluan hingga akhirnya dia mencintaiku. Dan sekarang, aku malah membuatnya terluka. Aku tidak bisa menutup mata akan hal ini." "Aku akan menebusnya, Green. Aku akan membantumu untuk sukses dan mandiri, juga sehat kembali. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Tekadnya di dalam hati. Selesai berendam, H
"Saat tadi aku mengatakan pada Green bahwa kami akan bercerai, Green mengatakan padaku bahwa ia akan keluar dari rumah ini. Jadi, bisakah Papa membujuknya agar tetap tinggal bersama kita? Selama ini Papa dan Mama selalu bersikap dingin dan ketus padanya. Wajar saja dia tidak betah tinggal di sini. Jika Papa dan Mama membujuknya untuk tinggal dan bersikap ramah padanya, mungkin dia akan melunak dan mau tinggal bersama kita!"Anton mengangkat sebelah alisnya. "Apa Papa tidak salah mendengar? Kamu meminta Papa untuk membujuknya tinggal? Bukankah seharusnya saat ini dia yang merasa cemas takut diusir karena sudah tidak berguna bagi keluarga kita? Kenapa malah posisinya terbalik?"Kening Hana mengerut. "Apa yang sedang Papa katakan? Green tidak pernah takut meninggalkan rumah ini. Bahkan belakangan ini dia selalu mengeluh ingin kembali ke keluarga Assa karena perlakuan keluarga Winata yang begitu membencinya. Kalau bukan karena demi melindungiku
"Ma, susul Hana. Sapa Marcell dengan ramah!" ucap Anton tersenyum sumringah. Jika mereka menyapa berdua bersama sepertinya terkesan berlebihan. "Okay, Pa!" Jihan segera ke depan untuk menyapa calon menantu idaman masa depan. Anton kemudian mengarahkan pandangannya pada Green. "Kalau kamu sudah memutuskan untuk keluar dari rumah ini setelah bercerai maka lakukanlah," ucap Anton dengan nada dingin. Dia tidak perlu berpura-pura lagi karena Hana sudah tidak ada di ruang makan itu. "Baik," ucap Green tanpa ragu. *** Di sekolah, Marcell dan Hana tampak semakin akrab. Sementara Veronika tidak masuk sekolah hari ini. Dia masih merasa terpukul akan kejadian kemarin. Di jam istirahat, Marcell melangkah ke luar kelas sambil menggenggam tangan Hana. Green hanya bisa diam menatapnya. Tetapi suasana kelas segera riuh melihat adegan manis
"Marcell, ini sudah jam delapan malam. Aku harus segera pulang." Hana menuntaskan makannya dengan lebih cepat. "Kenapa? Aku kan sudah meminta izin? Lagian Om Anton sendiri bilang boleh saja agak lebih malam. Asalkan tidak lewat dari jam 11 malam." Marcell merasa tidak senang karena Hana terkesan buru-buru. Mendengar itu, Hana kesal sekali pada papanya. Hana pernah berjanji pada Green jika dia harus pulang sebelum jam tidurnya. Dia tidak ingin melanggar hal itu. Suasana hati Green sudah cukup buruk, Hana tidak ingin menambah keburukan lagi. Pada akhirnya Hana sampai di halaman rumah pukul setengah sepuluh malam. "Apa aku boleh cium kamu?" tanya Marcell meminta izin sebelum berpisah. Hana terkejut mendengarnya. "Itu...aku belum siap, Marcell," ucap Hana menolak halus. Marcell hanya mengangguk dengan bibir mengerucut. "Kalau begitu masuklah ke dalam
Pak Bian membuka matanya dan tidak mendapati Green di ranjang. Dia segera bangkit menuju toilet."Tuan Green?"Tidak ada sahutan, lantas Pak Bian membuka pintu toilet. Ternyata tidak ada di sana."Ke mana Tuan Green jam segini?"Pak Bian keluar dari kamar hendak menuju tangga, tetapi saat melewati kamar Nona Hana, dia mendengar suara aneh."Ini sudah dini hari, dan Tuan Green tidak ada di kamar. Apa jangan-jangan?""Tidak mungkin." Pak Bian menggeleng mengusir pikiran jeleknya terhadap Nona Hana.Karena penasaran Pak Bian pun menempelkan telinganya di sana. Suara desahan panas terdengar bersahut-sahutan. Matanya terbelalak!Pak Bian segera pergi untuk membangunkan Tuan Anton. Dia merasa tidak ada nyali mengganggu Nona-nya yang pasti sedang berada dalam keadaan yang memalukan. Dia sungguh menghormati Nona-nya. Tetapi d
"Jadi maksud Papa, Green akan tinggal di mana? Sebentar lagi kami akan ujian nasional, Pa!" tanya Hana dengan ekspresi masih menentang.Anton seketika terkekeh jengkel melihat putrinya. Dia lalu berdiri. "Itu urusannya sendiri. Dia bisa tinggal di kolong jembatan jika dia suka. Papa tidak peduli dengan laki-laki licik seperti dia. Dan kamu juga tidak boleh mengurusi dia lagi. Papa tidak akan mengizinkanmu!" tegas Anton."Apa maksud Papa berkata seperti itu? Bukankah Papa berjanji akan mengobati Green?" Hana menjadi bingung seketika."Apa kamu pikir Papa bodoh masih peduli soal janji itu setelah apa yang sudah ia lakukan padamu? Biar saja dia mati karena penyakitnya itu!" ucap Anton tanpa perasaan sedikit pun.Mendengar itu Hana menjadi emosi. "Kenapa Papa kejam sekali? Papa harusnya sudah puas memukuli Green sampai seperti itu, tetapi papa masih saja tidak puas, dan malah mengusirnya, bahkan tidak me