Raihan memandang monitor komputernya, pekerjaan sebagai foto grafer sangat dinikmatinya sampai-sampai dia rela melepaskan perusahaan demi menekuni pekerjaan sekaligus hobi itu.Setelah selesai menyeleksi hasil yang paling bagus, Raihan meregangkan seluruh tubuhnya yang kaku dan pegal. Tiga bulan, tiga bulan mereka tak bertemu, selama tiga bulan itu juga Raihan melalui hari bagaikan tubuh tak bernyawa.Dia sengaja tidak mengunjungi Via, dia ingin mendengar hasil benih yang sudah disemai dengan paksa pada wanita itu. Itu lah tujuannya memberikan obat itu pada Via, jika wanita itu hamil, besar kemungkinan Via akan kembali. Tapi sejauh ini, belum ada kabar apa pun, hati Raihan semakin cemas dan ketat-ketir.*****Via merebahkan tubuhnya di atas ranjang, untuk yang kesekian kalinya dia meminta izin untuk tidak masuk karena kondisinya yang tidak sehat. Muntah setiap saat, tidak mau makan, dan tinggal seorang diri tanpa siapa pun, ternyata cukup berat. Tubuhnya mengalami penurunan berat ba
"Mas, aku hamil." Suara di seberang telpon itu terdengar menahan tangisnya. Raihan terlonjak dari kursi dengan emosi yang berlebihan, ini yang ditunggunya , tuhan ternyata memang luar biasa."Alhamdulilah, Via. Kau baik-baik saja? Anak kita baik-baik saja kan? Ya Tuhan. Aku sangat bahagia mendengar itu semua, aku bahagia mendengar suaramu, aku merindukanmu Via. Halo...Via? Kau masih di sana?" Raihan mengerutkan kening saat tak ada lagi suara Via padahal telpon masih tersambung.Raihan tak menunggu lama, dia mematikan komputernya dan menyambar kunci mobil di atas ranjang. Perasaanya saat ini tidak enak, dari pagi keinginan untuk menghubungi istrinya itu tak tertahankan. Dan puncaknya malam ini akhirnya dia mengalah dengan dirinya. Ini kabar yang sangat dahsyat baginya.Raihan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalan ibu kota yang tidak pernah sepi. Tidak jarang pengemudi lain kena umpatan disebabkan mengemudikan mobilnya dengan lambat.Raihan merasa jantungnya berde
Raihan terpaku dengan apa yang terjadi saat ini, disertai dengan wajah panik dan malu Via. "Mas, ma ... Maaf, saya sungguh tak sengaja." Via mengangkat tangannya mendekati baju Raihan yang menjadi korban. Alih-alih marah, Raihan malah tersenyum."Mungkin ini teguran bagiku, karena mengabaikan kalian tiga bulan ini." Raihan akhirnya mengangkat bajunya hati-hati, melepas perlahan dan penuh perhitungan. Via hanya membuka dan menutup mulutnya salah tingkah."Tadinya aku tak berniat mandi, tapi sepertinya saat ini mandi menjadi keharusan. Kau juga perlu membersihkan mulutmu, ada sisa...," Raihan menunjuk ujung bibir Via."Eh?" Via menutup mulutnya sendiri. Berhasil, dia berhasil mempermalukan dirinya sendiri saat ini. Alangkah menjijikkan tak menyadari ada sisa muntahan di sudut bibirnya. Dia mengusap dengan tisu mulutnya itu dan membuang tisu ke dalam Tong sampah.Via mulai merasakan dirinya sedikit bertenaga, dia merebut baju kotor milik Raihan yang masih berada di tangan pria itu."Say
Raihan membuktikan ucapannya, pagi ini dia langsung mengunjungi Pondok pesantren Via dan memberikan surat permohonan cuti selama dua bulan. Untungnya, ketua yayasan memaklumi kondisi Via dan malah memberikan ucapan selamat dan dibalas Raihan dengan ucapan terimakasih. Namun, karena Via adalah PNS maka ada administrasi lain yang harus di penuhi dan diberikan kepada dinas pendidikan. Tapi ternyata tidak semulus yang diharapkan. Buktinya banyak prosedur rumit yang harus dijalani terlebih dahulu.Via terlihat enggan saat memasukkan bajunya ke koper besar bewarna coklat miliknya. Tapi, dia menurut dan tak banyak bicara saat Raihan membimbingnya dan membuka pintu mobil."Kau mengantuk?" Raihan melirik ke samping. Via jelas-jelas terlihat terpaksa."Tidak. Tapi saya mau bicara serius dengan, Mas.""Silahkan! Aku mendengarmu." Raihan tersenyum tipis."Ada beberapa hal yang harus saya tegaskan sama Mas. Salah satunya adalah kembalinya saya ke rumah mas bukan berarti saya berniat melanjutkan pe
Kedatangan Via disambut hangat para asisten rumah tangga, walaupun belum lama saling mengenal, namun nyonya muda itu sangat supel dan rendah hati. Via mengikuti Raihan menaiki tangga menuju kamar mereka dulu, setiba di pintu masuk , Via berjalan mundur dan memandang Raihan penuh tanda tanya."Kamar ini lagi, Mas?""Iya, kamar ini yang terbaik. Kenapa?""Hmmm, bisa saya memiliki kamar sendiri?" Via bertanya tidak enak. Sedangkan Raihan mencerna situasi. Dia memilih mengalah, tidak ada salahnya mundur selangkah untuk mendapatkan beribu langkah selanjutnya."Kamar ini milikmu, kamar ku di Sebelah. Istirahatlah! Kau pasti lelah, jangan lupa! Jaga dirimu. Kalau butuh sesuatu kau bisa memanggil pelayan.""Mas, mau kemana?" Via ingin tahu saat Raihan malah berbalik berniat menuruni tangga."Ada pekerjaan yang harus aku tangani segera.""Oh," Via hanya mengangguk pasrah."Aku pergi.""Hati-hati, Mas."Raihan hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Cukup banyak kemajuan, Via mulai menunjukkan
Grace mengulurkan tangannya dengan menampilkan senyum ramah. Sementara Via gelagapan menyambut tangan itu walau menyambut tidak enak. Bahkan, tepung menempel di sela jarinya.Raihan berjalan melewati dua orang wanita yang berhadapan dengan tatapan sama-sama menilai. Grace mengamati penampilan Via, gamis lusuh dipadukan dengan jilbab kaos panjang yang warnanya bahkan tidak nyambung dengan gamisnya. Wajah polos kurus tanpa polesan sedikit pun, tapi tetap tak menutupi kecantikan wanita yang lebih pendek di depannya itu. Inikah selera Raihan? Rasanya dia masih unggul jika dibandingkan dengan wanita itu. Tak ada yang istimewa, terlalu polos dan sedikit ... kampungan.Sedangkan Via hanya merasa rendah diri ditatap begitu. Dia berdehem, membasahi kerongkongannya yang terasa kering."Silahkan masuk, Mbak!" Via memberi jalan. Grace masuk dengan anggun, langkahnya seperti diatur, wanita itu tampak terbiasa dengan rumah ini, tanpa canggung dia meraih remote televisi dan menyalakannya serta ber
Apa yang terjadi? Tidak seperti yang dipikirkan semua orang. Via mengembalikan kesadarannya saat suara azan Isya mengalun cukup keras dari ponselnya. Tapi saat ini, Via tak mendorong Raihan menjauh, dia hanya mematung dengan mata bingung seolah-olah meminta pendapat pada pria di atasnya yang menatapnya dengan sayu.Padahal Raihan sudah bersiap jika dia akan kena tamparan saat dia mendominasi ciuman itu, tapi yang didapatkannya adalah balasan berbeda, gadis lugu itu malah mencoba membalas walau terkesan ragu-ragu. Bukankah itu sebuah ke ajaiban? Ternyata kesabarannya membuahkan hasil."Azan, Mas." Via berbisik, wajah merah padam dan malu. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya setelah itu."Aku tau.""Saya mau sholat." Via bergerak kecil, Raihan terkekeh dan menjauh."Mas ... Hmmmm...nggak sholat?" Via bertanya ragu-ragu. Raihan berfikir sejenak, sholat? Bahkan dia terakhir melakukannya enam bulan yang lalu saat hari raya Idul Fitri. "Tunggu aku di sini! Kita akan berjamaah."Sen
Via tak sanggup menghabiskan pecel ayam yang dipesannya, hanya beberapa suap, seleranya sudah menghilang entah kemana. Sedangkan Raihan hanya duduk menemani Via dengan segelas susu jahe di depannya. "Mas, mbak Grace itu berapa hari di sini?" Via sebenarnya sudah tahu, ini hanya sebagai pembuka pembicaraan."Tiga hari, setelah itu dia kembali ke Thailand untuk pekerjaan.""Oh." Via kehabisan topik. Tapi hatinya ingin tau." Waktu di dekat kolam mas sama mbak Grace membicarakan apa? Saya lihat dia menangis."Raihan menerawang."Masih topik yang sama, dia ingin kembali padaku, dan tak bosan meminta maaf.""Oh, begitu ya? Lalu?""Lalu maksudmu?""Mas sendiri bagaimana? Apa mbak Grace masuk sebagai kriteria mas?""Dia wanita yang baik.""Terus?" Via tak puas dengan jawaban itu. Hatinya mulai tak enak."Mungkin kami cukup hanya menjadi sahabat.""Oh, syukurlah." Via melepaskan nafas lega."Oh ya, tadi orang dinas meneleponku, sepertinya permohonan mengajukan cuti panjang ditolak.""Saya sud