Raihan terpaku dengan apa yang terjadi saat ini, disertai dengan wajah panik dan malu Via. "Mas, ma ... Maaf, saya sungguh tak sengaja." Via mengangkat tangannya mendekati baju Raihan yang menjadi korban. Alih-alih marah, Raihan malah tersenyum."Mungkin ini teguran bagiku, karena mengabaikan kalian tiga bulan ini." Raihan akhirnya mengangkat bajunya hati-hati, melepas perlahan dan penuh perhitungan. Via hanya membuka dan menutup mulutnya salah tingkah."Tadinya aku tak berniat mandi, tapi sepertinya saat ini mandi menjadi keharusan. Kau juga perlu membersihkan mulutmu, ada sisa...," Raihan menunjuk ujung bibir Via."Eh?" Via menutup mulutnya sendiri. Berhasil, dia berhasil mempermalukan dirinya sendiri saat ini. Alangkah menjijikkan tak menyadari ada sisa muntahan di sudut bibirnya. Dia mengusap dengan tisu mulutnya itu dan membuang tisu ke dalam Tong sampah.Via mulai merasakan dirinya sedikit bertenaga, dia merebut baju kotor milik Raihan yang masih berada di tangan pria itu."Say
Raihan membuktikan ucapannya, pagi ini dia langsung mengunjungi Pondok pesantren Via dan memberikan surat permohonan cuti selama dua bulan. Untungnya, ketua yayasan memaklumi kondisi Via dan malah memberikan ucapan selamat dan dibalas Raihan dengan ucapan terimakasih. Namun, karena Via adalah PNS maka ada administrasi lain yang harus di penuhi dan diberikan kepada dinas pendidikan. Tapi ternyata tidak semulus yang diharapkan. Buktinya banyak prosedur rumit yang harus dijalani terlebih dahulu.Via terlihat enggan saat memasukkan bajunya ke koper besar bewarna coklat miliknya. Tapi, dia menurut dan tak banyak bicara saat Raihan membimbingnya dan membuka pintu mobil."Kau mengantuk?" Raihan melirik ke samping. Via jelas-jelas terlihat terpaksa."Tidak. Tapi saya mau bicara serius dengan, Mas.""Silahkan! Aku mendengarmu." Raihan tersenyum tipis."Ada beberapa hal yang harus saya tegaskan sama Mas. Salah satunya adalah kembalinya saya ke rumah mas bukan berarti saya berniat melanjutkan pe
Kedatangan Via disambut hangat para asisten rumah tangga, walaupun belum lama saling mengenal, namun nyonya muda itu sangat supel dan rendah hati. Via mengikuti Raihan menaiki tangga menuju kamar mereka dulu, setiba di pintu masuk , Via berjalan mundur dan memandang Raihan penuh tanda tanya."Kamar ini lagi, Mas?""Iya, kamar ini yang terbaik. Kenapa?""Hmmm, bisa saya memiliki kamar sendiri?" Via bertanya tidak enak. Sedangkan Raihan mencerna situasi. Dia memilih mengalah, tidak ada salahnya mundur selangkah untuk mendapatkan beribu langkah selanjutnya."Kamar ini milikmu, kamar ku di Sebelah. Istirahatlah! Kau pasti lelah, jangan lupa! Jaga dirimu. Kalau butuh sesuatu kau bisa memanggil pelayan.""Mas, mau kemana?" Via ingin tahu saat Raihan malah berbalik berniat menuruni tangga."Ada pekerjaan yang harus aku tangani segera.""Oh," Via hanya mengangguk pasrah."Aku pergi.""Hati-hati, Mas."Raihan hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Cukup banyak kemajuan, Via mulai menunjukkan
Grace mengulurkan tangannya dengan menampilkan senyum ramah. Sementara Via gelagapan menyambut tangan itu walau menyambut tidak enak. Bahkan, tepung menempel di sela jarinya.Raihan berjalan melewati dua orang wanita yang berhadapan dengan tatapan sama-sama menilai. Grace mengamati penampilan Via, gamis lusuh dipadukan dengan jilbab kaos panjang yang warnanya bahkan tidak nyambung dengan gamisnya. Wajah polos kurus tanpa polesan sedikit pun, tapi tetap tak menutupi kecantikan wanita yang lebih pendek di depannya itu. Inikah selera Raihan? Rasanya dia masih unggul jika dibandingkan dengan wanita itu. Tak ada yang istimewa, terlalu polos dan sedikit ... kampungan.Sedangkan Via hanya merasa rendah diri ditatap begitu. Dia berdehem, membasahi kerongkongannya yang terasa kering."Silahkan masuk, Mbak!" Via memberi jalan. Grace masuk dengan anggun, langkahnya seperti diatur, wanita itu tampak terbiasa dengan rumah ini, tanpa canggung dia meraih remote televisi dan menyalakannya serta ber
Apa yang terjadi? Tidak seperti yang dipikirkan semua orang. Via mengembalikan kesadarannya saat suara azan Isya mengalun cukup keras dari ponselnya. Tapi saat ini, Via tak mendorong Raihan menjauh, dia hanya mematung dengan mata bingung seolah-olah meminta pendapat pada pria di atasnya yang menatapnya dengan sayu.Padahal Raihan sudah bersiap jika dia akan kena tamparan saat dia mendominasi ciuman itu, tapi yang didapatkannya adalah balasan berbeda, gadis lugu itu malah mencoba membalas walau terkesan ragu-ragu. Bukankah itu sebuah ke ajaiban? Ternyata kesabarannya membuahkan hasil."Azan, Mas." Via berbisik, wajah merah padam dan malu. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya setelah itu."Aku tau.""Saya mau sholat." Via bergerak kecil, Raihan terkekeh dan menjauh."Mas ... Hmmmm...nggak sholat?" Via bertanya ragu-ragu. Raihan berfikir sejenak, sholat? Bahkan dia terakhir melakukannya enam bulan yang lalu saat hari raya Idul Fitri. "Tunggu aku di sini! Kita akan berjamaah."Sen
Via tak sanggup menghabiskan pecel ayam yang dipesannya, hanya beberapa suap, seleranya sudah menghilang entah kemana. Sedangkan Raihan hanya duduk menemani Via dengan segelas susu jahe di depannya. "Mas, mbak Grace itu berapa hari di sini?" Via sebenarnya sudah tahu, ini hanya sebagai pembuka pembicaraan."Tiga hari, setelah itu dia kembali ke Thailand untuk pekerjaan.""Oh." Via kehabisan topik. Tapi hatinya ingin tau." Waktu di dekat kolam mas sama mbak Grace membicarakan apa? Saya lihat dia menangis."Raihan menerawang."Masih topik yang sama, dia ingin kembali padaku, dan tak bosan meminta maaf.""Oh, begitu ya? Lalu?""Lalu maksudmu?""Mas sendiri bagaimana? Apa mbak Grace masuk sebagai kriteria mas?""Dia wanita yang baik.""Terus?" Via tak puas dengan jawaban itu. Hatinya mulai tak enak."Mungkin kami cukup hanya menjadi sahabat.""Oh, syukurlah." Via melepaskan nafas lega."Oh ya, tadi orang dinas meneleponku, sepertinya permohonan mengajukan cuti panjang ditolak.""Saya sud
Raihan mendekati Via dengan hati yang membuncah bahagia. Ternyata taktiknya selama ini berhasil, wanita keras kepala itu tidak bisa dipaksa atau ditekan. Dia hanya perlu didengar dan dituruti. Memaksa hanya akan membuatnya berontak dan melawan.Termasuk, membiarkan wanita itu berbuat sesuka hatinya. Tidur seranjang? Mimpi.Via menata bantalnya di karpet tebal yang berada di atas lantai kamar besar milik Raihan. Tampaknya walau mulai jinak, bukan berarti Via akan menyerahkan diri secara sukarela. Dia tetap mempertahankan kesadarannya bahkan sampai titik akhir. Kalau begitu apa boleh buat. Raihan hanya perlu bersabar sedikit lagi."Jadi, tidur di bawah?" Raihan tak bisa menahan protesnya.Via memandang Raihan yang menunjukkan wajah penuh harap."Iya, mas pikir saya tidur bareng mas? Aduuh! Nggak mas. Saya ke sini supaya si Grace itu tak kegenitan lagi. Mas tau nggak? Dia sampai mendatangi saya, curhat masalah masa lalu kalian. Apa pentingnya buat saya." Via mulai merebahkan diri tanpa m
Via menuntun Raihan melafaskan doa sebelum berjima', laki-laki itu mengikuti dengan antusias setiap arahan yang dikatakan oleh sang istri. Dia baru tau, banyak adab dan tata krama melakukannya. Via, bidadari yang sudah jatuh ke pelukannya, rambut hitam tergerai dengan kulit selembut sutra. Dia bagaikan berlian yang berharga dan berkilau selalu tersembunyi.Via tak menolak, dengan keridhaan dia memasrahkan dirinya yang dari awal memang milik suaminya. Detak jantung penuh cinta, nafas berat dan keringat yang tak terhitung tetesnya. Sebagai saksi dua manusia yang menabur pahala yang diberkati seribu malaikat, malam mengantar nyanyian cinta dua manusia yang halal menyatu demi ridha-Nya.--------Via masih enggan beranjak dari rebahannya. Mukena putih masih terpasang di kepalanya, Raihan pun masih mempertahankan baju Koko dan peci hitamnya. Via menyandarkan kepalanya dengan manja pada paha suaminya itu. Memainkan jari besar Raihan yang tak berhenti mengelus pipinya yang merona, lafaz cin